Prospek Mata Ajar dan Strategi Saintifik

0
826

Penulis: Ferawati (Staf BPNB Sumatera Barat)

Sejarah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ibarat Ibu Pertiwi yang mesti dicintai dan idolakan. Menelantarkan sejarah dan pelajarannya sama saja tidak mempedulikan dan tidak cinta Tanah Air. Pandangan ini terkait dengan penekanan pada sejarah lokal untuk siswa/i, seperti ditegaskan dalam workshop sejarah lokal untuk guru-guru se-Sumatera Barat pada pertengahan Juli 2017, yang sempat terancam dibatalkan. Seberapa pentingkah workshop kesejarahan seperti itu bagi guru-guru dan anak didiknya?

Prospek Mata Ajar Sejarah

Ancaman penghapusan program pembekalan seperti workshop dari Kemdikbud untuk bidang sejarah sangat bertolak belakang dengan keinginan kuat dari guru-guru peserta dan pengurus MGMP sejarah Sumatera Barat. Workshop semacam itu masih dibutuhkan oleh para guru untuk diteruskan kepada anak didik mereka. Mereka merasa sejarah dan pendidikan sejarah di sekolah-sekolah selama ini masih terpinggirkan. Jam pelajaran sejarah sempat beberapa kali dikurangi seiring dengan perubahan kurikulum. Pihak sekolah juga tidak jarang mengalokasikan jam pelajaran sejarah pada jam-jam terakhir, dan pelajaran ini juga tidak dimasukkan ke dalam mata ujian nasional siswa. Para guru memang tidak harus ketergantungan pada pemerintah untuk menyikapi masalah ini. Namum jika tidak diprogramkan, dalam artian tidak ada komitmen dan konsistensi bersama, rasanya mustahil tujuan mempelajari sejarah untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air akan tercapai.

Sesungguhnya, bukan workshop atau even-even pertemuan antar-guru yang mereka utamakan. Bukan pula kesenangan layanan menginap dan makan gratis di hotel-hotel yang mereka pikirkan, atau bukan pula mengharapkan sertifikat semata. Buktinya, jumlah guru yang mengikuti kegiatan ini mampu mencapai target yang dianggarkan, sekalipun panitia pusat sempat mengabarkan ketidakpastian bantuan akomodasi dan transportasi dari Ditjen. Mereka hampir merata aktif dan berperan selama workshop berlangsung. Mereka mengaku, melalui kegiatan semacam ini yang sudah empat kali diselenggarakan berturut-turut ternyata cukup menginspirasi guru-guru untuk membekali dan mengubah pola pikir siswa/i di Sumatera Barat tentang sejarah. Salah satu contoh manfaatnya, yaitu ketika salah seorang guru yang telah terinspirasi menceritakan pengalamannya ketika menghadapi siswa/i yang sering menyebutnya “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Ibu Homo Sapiens”. Hasilnya sangat mengejutkan, setelah sang guru mengubah strateginya dari lelucon menjadi sebuah inspirasi pengantar materi pelajaran sejarah, yang relevan dengan sistim kurikulum. Lebih mengejutkan lagi, dengan metode belajar seperti itu, terbukti guru mata ajar sejarah itu telah berhasil mengubah pola pikir dan semangat siswa/i-nya dari cuek menjadi bersemangat mempelajari sejarah; dari bosan dengan guru-guru sejarah menjadi merindukannya; dan dari tidak respek menjadi mengidolakan. Semuanya itu kembali pada kreatifitas, kompetensi keilmuan (saintifik) sejarah, serta bekal ilmu psikologi pendidikan masing-masing guru. Sebagian kemampuan itu telah mereka peroleh semasa kuliah, sebagian dari pengalaman hidup, dan selebihnya dari pembekalan pelatihan. Namun even-even workshop dan kerja sama yang sinergis antara organisasi profesi guru seperti MGMP dengan organisasi yang memayungi sejarawan seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) maupun dengan lembaga-lembaga terkait, diharapkan semakin memberi kesempatan kepada guru-guru untuk saling berbagi pengalaman mengajar dan mengembangkan keilmuan.

Strategi Saintifik (Keilmuan Sejarah)

Cukup banyak guru-guru mata ajar sejarah yang mengeluhkan bahwa materi pelajaran sejarah dalam buku-buku materi kurikulum selama ini terasa menjenuhkan. Hampir setiap tahun para guru pengampu mata pelajaran ini mengulangi materi yang sama. Tidak satu atau dua guru yang mengaku jenuh dengan materi sejarah yang butuh hafalan, sehingga untuk menyerap pengetahuan sejarah yang baru pun mereka merasa kesulitan. Gejala ini memang tidak melanda semuga guru, namun sangat disayangkan bila terus dibiarkan dan menimpa guru-guru sejarah yang kesulitan memacu kreatifitas mengajarnya.

Menanggapi persoalan ini, selain dibutuhkan kreatifitas, guru-guru dan siswa/i ditengarai juga butuh pencerahan metode dan materi pelajaran sejarah. Salah satunya melalui pengembangan pengetahuan sejarah yang saintifik, yaitu sejarah berbasis keilmuan dengan metode dan metodologi tertentu, sebagaimana didorong dalam workshop itu. Sifatnya tidak lagi hafalan, melainkan pemahaman. “Sejarah lokal” salah satu materi saintifik sejarah yang diperkenalkan oleh Sartono Kartodirdjo melalui disertasi Pemberontakan Petani Banten, 1888 dan diajarkan di perguruan tinggi. Siswa/i di sekolah-sekolah di Sumatera Barat tidak perlu terbebani dengan karya itu. Mereka tidak akan kekurangan bahan untuk menggali sejarah lokal di daerah masing-masing, yang mudah dipahami dan dicari. Beberapa contoh yang cukup familiar dengan siswa dan guru-guru sejarah, yaitu peristiwa sejarah lokal terkait nama-nama tokoh dan pahlawan yang dijadikan nama jalan, bangunan, dan tugu di daerah masing-masing. Bukan mustahil guru-guru juga bisa mengajak siswa/i untuk belajar di luar kelas sambil melatih dan mengasah rasa keingintahuan mereka tentang objek yang dipelajari. Tidak hanya itu, hasilnya dapat ditindaklanjuti, baik di sekolah maupun di kegiatan lainnya. Contohnya, dengan mengikutsertakan siswa/i dalam sejumlah ajang kreatifitas keilmuan yang dibimbing oleh pihak sekolah atau organisasi profesi dan lembaga terkait. Beberapa kegiatan yang sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir cukup memberi pencerahan, seperti siswa/i dilibatkan dalam ajang “olimpiade sejarah”, lomba-lomba karya tulis bagi peneliti muda dan pembuatan film-film dokumenter di Kemdikbud maupun di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI). Bila mereka sudah berprestasi dalam bidang sejarah, bukan mustahil para siswa/i akan berprestasi dalam meningkatkan bidang lainnya, dengan pertimbangan bahwa melalui belajar sejarah mereka akan belajar dan membaca berbagai sumber yang lebih luas dan mendalam. Sejarah akan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan dan dirindukan.

Semua masalah maupun jalan keluar yang pernah muncul terkait upaya mempelajari, memahami, dan menggandrungi sejarah tergantung pada upaya berbagai pihak untuk mendorong masyarakat terutama anak didik di sekolah-sekolah. Upaya membangkitkan kembali rasa cinta dan semangat pada sejarah demi memupuk rasa cinta pada negeri ini memang butuh kesinambungan dan konsistensi. Mata rantai generasi melek sejarah dan “industri otak” diharapkan terus pula berkelanjutan. Semoga tidak ada lagi siswa/i yang tega memanggil gurunya “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Homo Sapiens”, sekalipun dengan menambah kata “cantik” atau “ganteng”. Guru sejarah juga pahlawan tanpa tanda jasa

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 27 Agustus 2017