Desa Lebong Tandai pernah dinamai batavia kecil oleh Kolonial Belanda. Bahkan hingga kini istilah batavia kecil masih cukup popules bagi masyarakatnya. Lebong tandai berada di Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara. Sebagai wilayah tambang emas, desa ini cukup penting dalam menunjang perekonomian pemerintah kolonial pada masa lalu. Bahkan konon emas yang terdapat dalam tugu monumen nasional berasal dari daerah ini.
Pembukaan tambang emas pada masa lalu secara singkat telah mampu menyulap desa kecil menjadi kota mewah. Namun demikian semua kini sudah tinggal kenangan.
Produksi emas yang dikelola oleh Mijnbouw Maatschappij Simau (MMS) sejak tahun 1906 hingga tahun 1942 dapat menghasilkan satu ton emas per tahun. Pada 1937 saja produksi emas mencapai 1,095.538 gram. Bahkan, tambang ini mampu memproduksi 72% dari semua emas Netherlands East Indies yang totalnya 123 ton. Tambang ini menjadi salah satu daerah tambang yang besar di Asia Tenggara.
Tambang yang besar tentu membutuhkan dukungan fasilitas baik untuk para pegawainya maupun pekerja tambang yang ada. Sehingga untuk mendukung hal tersebut berbagai fasilitas dibangun seperti lapangan tenis, lapangan basket, rumah sakit, rumah bola (biliard), hingga rumah bordil yang disebut rumah kuning. Pembangunan rumah bordil ini kemudian dilanjutkan oleh PT.Lusang.
Berakhirnya pengelolaan MMS pada tahun 1942 membuat tambang emas lebong tandai berganti-ganti. Mulai dari pengerjaan tradisional oleh tradisional oleh masyarakat, PT. Lusang Mining pada tahun 1980-1995 dan kembali lagi dikelola secara tradisional oleh masyarakat.
Pada masa pengelolaan PT. Lusang Mining terjadi pemindahan warga ke Kecamatan Ipuh, Kabupaten Muko-muko. Pemindahan disertai dengan ganti rugi dan pembangunan pemukiman. Alasan pemindahan ini untuk menghindari gas beracun karena akan dibangun smelter. PT.Lusang berakhir pada 1995 dan kemudian diganti oleh warga transmigrasi dan kemudian tambang berubah ke tradisional yang diusahai oleh masyarakat.
Apa yang mendorong masyarakat untuk bertahan dalam pengelolaan pertambangan tradisional menarik bagi Undri dan tim untuk mengkaji hal tersebut secara mendalam. Menurut Undri bahwa berlangsungnya tambang tradisional disebabkan oleh sifat kegiatan yang dapat menghasilkan uang cepat, kadang jumlahnya cukup signifikan dan tidak memerlukan keahlian yang tinggi. Namun yang menjadi masalah adalah tambang tradisional lebih banyak merugikan bahkan sama sekali tidak menyejahterakan.
Undri berasumsi bahwa keterbatasan ekonomi penambang seharusnya dapat mempermudah menghentikan aktifitas tersebut, namun adanya aktor lain menyebabkan kegiatan ini terus berlanjut. Aktor lain ini senantiasa memberi harapan akan butir emas yang bisa saja muncul dan menguntungkan.
Atas dasar itu kemudian tim yang beranggotakan Undri, Hariadi, Erricsyah dan Rahma Dona mencoba mencari jawaban bagaimana sejarah tambang emas Lebong Tandai, kehidupan penambang emas, hubungan penambang dan pemodal serta pengaruh tambang terhadap kehidupan masyarakat.