Patomuan; Perkampungan Tua di Pasaman*

0
3684
Hariadi

Penulis : Hariadi, peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Basah, awas camera!  terdengar teriakan disela deru air hulu sungai Kampar yang sangat bening. Perahu yang kami tumpangi membelah derasnya air di sela-sela batu batu besar yang terkadang membuat air mengamuk melompat, masuk perahu yang kami tumpangi. Pakaian dan wajah kami di sembur air sungai  bening yang menyejukkan.  Perjalanan menaiki perahu kami mulai dari Muaro Sungai Lolo sebuah nagari di Kabupaten Pasaman, yang merupakan daerah administrasi kecamatan Mapattunggul Selatan. Informasi yang kami terima dari Bapak Yozawardi Sekretaris Dinas Kehutanan Sumatera Barat,  mobil baru bisa sampai ke Muaro Sungai Lolo sekitar lima tahun belakangan.

Nagari Patomuan, Foto. Hariadi

Perjalanan kami kali ini adalah  perjalanan survey penelitian sejarah dan budaya ke perkampungan tua di tengah hutan lindung Pasaman. Perjalanan hanya bisa di tempuh dengan jalan kaki atau menaiki perahu.  Tim memilih untuk menyewa perahu, karena  di sini tidak tersedia perahu yang bisa ditumpangi setiap waktu. Anggota tim  terdiri dari Hariadi, Seno, Yulisman, dan Sivia Devi dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dan Idil Fitrianto dari Dinas kehutanan  Sumatera Barat.

Perjalanan dimulai dengan mengiliri Sungai Lolo, air sungai ini tampak kuning pertanda banyaknya aktivitas masyarakat di dihulunya. Beberapa menit berlayar perahu yang kami tumpangi berbelok arah kekanan, kami memasuki aliran hulu sungai Kampar yang deras, bening dan berbatu. Nahkoda perahu nampak bekerja keras mengarahkan perahu menuju hulu, nahkoda bagian belakang memainkan gas mesin tempel berkekuatan kecil sedangkan nahkoda bagian depan dengan sigap memainkan galah untuk memastikan kapal tidak menabrak batu-batu besar yang bertebaran di sungai.

Sepanjang perjalanan rasa takjub terhadap ciptaan yang maha kuasa menghiasi jiwa.  Pemandangan alam yang amat menakjubkan. diawal pelayaran kami saksikan pondok-pondok kebun masyarakat dan dapur untuk penyulingan nilam. Daun nilam yang akan disuling dijemur di bebatuan dipinggir sungai. Semakin jauh menyusuri hulu sungai suara alam semakin mendominasi, desiran air,kicauan burung dan bunyi binatang hutan lainnya saling bersahutan.

Perjalanan kami cukup beruntung, di pohon pohon rindang di tepi sungai kami menyalksikan berbagai jenis burung warna warni, seperti murai batu, burung Elang dan jenis lainnya yang tidak kami tahu namanya. Di atas bebatuan, beberapa kali kami saksikan biawak ukuran sedang sedang berjemur menikmati cahaya sang surya. Yang tidak kalah menyejukkannya adalah menyaksikan belasan air terjun didinding tebing sungai, ada yang tunggal bahkan ada juga yang bertingkat. Pemandangan yang juga tidak kalah menariknya adalah berbagai jenis dan warna warni kupu-kupu dapat kita jumpai terbang berkelompok di sepanjang aliran sungai.

Beberapa kali kami harus melewati sungai yang berbelok tajam dengan pusaran air cukup deras. Saat seperti inilah kami melihat kesigapan dua orang nahkoda dalam mengendalikan perahu agar tidak terbalik dihantam derasnya air, beberapa kali nahkoda bagian depan   harus bolak-balik kebagian belakang untuk menstabilkan lajunya perahu.

Satu setengah jam kami berlayar ke hulu sungai Kampar, dari kejauhan terlihat jembatan gantung yang menghubungkan dua pemukiman yang dipisahkan oleh sungai, itu lah tempat yang kami tuju, Jorong Patomuan, sebuah perkampungan tua di tengah hutan Lindung Pasaman.

Melihat ada perahu yang datang anak anak seusia TK (Taman Kanak-Kanak) dan SD (Sekolah Dasar), berdatangan ke pelabuhan, sebagian mereka berusaha membantu mengangkat barang yang bisa mereka angkat, nampak sekali rasa kebersamaan dan saling tolong menolong walaupun mereka masih kecil-kecil. Sesuatu yang mereka dapatkan dari kehidupan bersahaja di perkampungan yang belum banyak terpengaruh arus informasi dan modernisasi.

Turun dari sampan, mendaki puluhan anak tangga, sampailah kami di pemukiman.  Pemukiman cenderung menanjak, berdasarkan informasi yang diperoleh perkampungan ini dihuni sekitar 150 kepala keluarga.  Di tengah pemukiman kita disuguhkan pemandangan yang menakjubkan, sekaligus menyedihkan. Belasan rumah adat Minangkabau berukiran masih berdiri memperagakan kerapuhan dan kereotan. Rumah-rumah tersebut diperkirakan berusia ratusan tahun sedang menunggu saat akan roboh bila tidak segera diperbaiki. Dt Bagindo Bosa, pemuka adat di Patomuan mengatakan,  rumah gadang sudah banyak yang runtuh dimakan usia dan digantikan dengan rumah semi permanen.

Rumah gadang yang  ada dimiliki oleh lima suku  yaitu suku Pitopang Dt Bagindo Bosa, Suku Pitopang Dt Bagindo Jelo, Suku Pitopang Dt Panglimo Rajo, Suku Caniago Dt Bagindo Sutan dan Suku Piliang. Masing masing suku yang ada memfungsikan rumah gadang untuk pertemuan dan musyawarah suku, pengangkatan pengulu suku, dan kegiatan adat lainnya.

Berdasarkan informasi dari pemuka adat di patomuan  nenek moyang masyarakat Patomuan berasal dari Pagaruyung, melalui dan kapan mereka sampai di Patomuan ini belum didapatkan waktu pastinya. Menurut pemuka adat Patomuan, berdasarkan tutua nan bajawek bahwa daerah Patomun ini lebih dulu didiami dibandingkan daerah Lubuk Sikaping, lebih lanjut dijelaskan bahwa penduduk di daerah Jambak Lubuk Sikaping dulunya berasal dari Patomuan.

Sebagai nagari yang sudah lama didiami masyarakat Patomuan mempunyai adat tradisi salingka nagari yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya seperti tardisi mandian Mamak  sebelum memasuki puasa. Dalam pelaksanaan tradisi ini, tapian pemandian perempuan  terpisah dari laki-laki.  Tradisi ini dilaksanakan sebelum matahari tenggelam di akhir bulan sya’ban.  Mamak atau penghulu suku datang ke pemandian dengan pakaian kebesarannya sebagai penghulu, sesampai di tepian pakaian diganti dan dilakanakan tradisi mamandikan mamak oleh kemenakan dengan air limau. Prosesi ini berlangsung sampai mata hari terbenam. Mamak yang dimandikan kembali mengenakan pakaian kebesarannya, berwuduk dan langsung menuju masjid untuk melaksanakan shalat magrib, isya tarawih.

Masyarakat Patomuan juga melaksanakan tarawih adat.  Delapan belas hari semenjak awal ramadhan setiap malam secara bergantian penghulu dan petugas syarak  menjadi penanggung jawab pelaksanaan tarwih, dan setelah tarwih para jamaah dibawa ke rumah untuk dihidangkan berbagai makanan. Apa yang dipaparkan di atas baru sekelumit tetang eksotis alam dan kekayaan budaya yang dimiliki patomuan, sebuah nagari yang oleh Bapak Yozawardi, dipopulerkan  sebagai nagari” tambah ongkos seribu, sampai kelangit. Hal itu karena begitu sulit dan beratnya medan yang dilalui beberapa tahun yang lalu.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada April 2017