MEMBONGKAR WACANA DI BALIK TERMINOLOGI MINAHASA

Oleh : Fredy Sreudeman Wowor, SS*

Berdasarkan asal katanya, “Minahasa” berasal dari kata dasar “Asa” yang berarti “satu”. Kata “Asa” juga dilafalkan sebagai “Esa”. Melalui lafalan yang tajam dari “S” beserta “A” yang pendek maka kata ini berbunyi seperti “Essa”, “Assa”, seperti ada bunyi “S” yang telah digandakan. Kata “Asa” ini ditambah prefiks “Maha”, maka terjadilah kata “Mahasa” yang berarti “menyatukan” atau “Disatukan”.  Kata “Mahasa” ini kemudian diberikan sisipan “In”, hingga terbentuklah kata “Minahasa” yang berarti “Dijadikan satu”. Penduduk pribumi menyebutnya “Minahassa” atau “Minahasa”. (Graafland, N. Minahasa, Negeri, Rakyat dan Budayanya,1991:9-10).

Kata “Minahasa” pada mulanya tidak digunakan sebagai sebutan untuk menamai suatu wilayah tapi dipakai untuk menyebut “Rapat Negeri”. Kata ini ditemukan pertama kali dalam surat yang ditulis oleh J.D.Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8 Oktober 1789 :

“Bij dezen neme ik de Vrijheid Uw WelEdele Achtb. ter g’eerde kennisse te brengen dat de Minhasa of landraad op den 1:  dezer de geschillen tusschen Bantik en Tattelie volgens hunne landsmanier hebben afgedaan, staande de solemnisatie of betuiging van vreede met Eede eerstdaags te volgen” (Molsbergen, E.C.G.,Geschiedenis Van De Minahassa Tot 1829, 1928:137)

 

Artinya:

“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada paduka tuan,bahwa Minhasa atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini,telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat istiadat mereka dan Pengesahan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah.” (Supit, B, Minahasa. Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua. 1986:142).

Sebelum kata “Minahasa” ini dipakai untuk menandai wilayah, sebenarnya telah ada terminologi yang diakui dan diterima serta dipakai untuk menandai keberadaan wilayah yaitu kata “Malesung” atau “Makalesung”..

Malesung adalah nama Minahasa hingga kedatangan VOC, demikian pendapat J.F. Malonda dalam ceramah tentang budaya Malesung pada hari Jumat,  tanggal, 7 Maret 1952 di gedung perguruan KRIS, Asembaru 26, Djakarta. (Malonda,J.F., Tjeramah-Tjeramah Kebudayaan Malesung, 1952:16).

Adapun arti dari kata “Malesung” menurut H.M. Taulu adalah : pertama, karena di zaman dulu hampir semua gunungnya berlubang laksana lesung; kedua, disana-sini terdapat lesung batu besar-besar seperti di Likupang, Sonder, Ratahan, Pontak, Wulur Mahatus, dll. (Taulu, H.M., Langkah Sedjarah Malesung-Minahasa : dari purba hingga pendjadjahan Belanda Djilid I, 1969:ii).

Sedangkan, Jan G. Mangindaan berpendapat bahwa kata “Malesung” berarti : pertama, merupakan lesung; kedua, berasal dari tanah lesung (Luzon) di Pilipina; ketiga, nama jenis pohon kayu (latina: Calophilum Koorders 347), sedangkan kata “Makalesung” berarti : pertama, tanah yang mempunyai lesung batu; kedua, mempunyai hak di tanah lesung (Luzon)  Philipina. (Mangindaan, J.G., Sejarah Tanah Minahasa dan Kaum Minahasa,2002:1-2).

Pertanyaannya sekarang mengapa “Minahasa” akhirnya diterima untuk menunjukan keberadaan suatu wilayah yang sebelumnya oleh penduduk pribumi telah dinamai “Malesung” ?

Jawabannya dapat kita telusuri dalam logika Kolonialisme dan Imperialisme  yang melandasi cara pandang Kompeni-Belanda yang menganggap Timur (Baca:Malesung) sebagai “Daerah Tak Beradab” yang “Mesti ditaklukan” dan “Dikuasai”.

Ini nampak  dalam pernyataan-pernyataan terhadap penduduk pribumi sebagai “Orang Alifuru” dan “Orang Tak Beradab”.

Kata Alifuru/alfuru menurut Samuel Cornelis Jan Willem van Musschenbroek, pejabat Residen Manado sejak bulan Mei 1875 sampai pertengahan Maret 1876, “Bukan sebutan bagi salah satu penduduk, akan tetapi nama bagi keadaan “Peradaban” dimana pengertian “liar dan kebebasan dari segala kekuasaan terkait padanya”, pula bagi penduduk sendiri kata ini adalah asing baginya. Kata ini berasal dari bahasa Arab yaitu “hhorro” (dengan kata al-hhorro) yang dalam bentuk hhorro dan forro (pergantian abjad h ke f dalam bahasa adalah biasa) telah beralih ke dalam bahasa Spanyol dan Portugis. Ini bisa dilihat pada ucapan “Alforro” beralih ke “Alfoeroe/alfuru”. Tentang hal ini G.A. Wilken telah menulis: “Kata Alfuru terlahir dari kata dalam hal furu dalam arti berada dalam alam bebas /liar, yang oleh keteledoran orang-orang belanda saat itu kalimat ini diucap dalam bahasanya halfoeren dengan arti masih terdapat keliaran”. Ia mengutarakan pula bahwa kata alfuru dalam bahasa Melayu-Minahasa dan Ternate berarti liar, tidak terkekang. (Dotulong, B.J.D.A.G., Silsilah Keluarga Gerungan 1500-1990, 2006:3).

Pernyataan-pernyataan bahwa penduduk pribumi adalah “Orang Alifuru” berarti penduduk pribumi adalah “Orang Liar” dan “Orang Liar” bermakna “Orang yang tidak tahu aturan”, adapun “Orang yang tidak tahu aturan” adalah “Orang yang tidak beradap”.

Hal ini pada satu sisi menyiratkan adanya penilaian subyektif serta deskripsi sepihak yang sarat kepentingan penjajahan dan pada sisi lain menyuratkan kenyataan akan harus adanya “Superioritas” atas “Daerah-daerah tak beradab” itu sehingga dapat “Melegalisasi” setiap proses penaklukan dan eksploitasi yang mereka lakukan.

Alasan lainnya dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sejak Simon Cos pelaut Belanda dan pasukannya mendarat di muara sungai Monangolabo (Sungai Tondano) pada tahun 1655 dan mendirikan benteng Nederlandsche Vasticoheit  yang kemudian menjadi Benteng Amsterdam Manado, sampai pada Kontrak Persekutuan dan Kerjasama tanggal 10 Januari 1679 pihak Kompeni-Belanda ternyata belum bisa mengadakan pengerukan secara maksimal terhadap sumber daya alam yang ada di tanah Lumimuut-Toar  karena adanya perlawanan terhadap kehendak dan kemauan mereka yang dilakukan oleh beberapa walak yang menolak menjual berasnya kepada Kompeni-Belanda, akibatnya adalah terjadinya “Perang Tondano” tahap pertama tahun 1660-1661.

Dari keinginan untuk mendapat untung besar ternyata Kompeni-Belanda malah mengalami kerugian akibat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan selama “Perang Tondano” tahun 1660-1661 tersebut.

Sebab-sebab perang tersebut selain secara mendasar ditentukan oleh adanya konflik kepentingan baik secara ekonomi dan politik juga ditentukan oleh kenyataan bahwa walaupun pihak Kompeni-Belanda telah berhasil mengadakan hubungan dengan beberapa pemimpin walak di tanah Lumimuut-Toar pada waktu itu, tapi ternyata hubungan persahabatan ini tidak berarti bahwa mereka telah dapat mengakses apalagi menguasai seluruh wilayah tanah Lumimuut-Toar yang berada dalam kekuasaan walak-walak lain, sebaliknya mereka malah mengalami perlawanan yang sangat sengit.

Berdasarkan latar belakang kondisi objektif  seperti inilah terlahir upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang melandasi pola hidup yang membentuk identitas orang-orang keturunan Lumimuut-Toar dan kemudian setelah didekonstruksi nilai-nilai tersebut lalu dikonstruksikan kembali berdasarkan logika Kolonialisme dan Imperialisme untuk mendukung kepentingan Kompeni-Belanda.

Pada tahap pengertian ini “Pengkonstruksian Kembali” identitas wilayah dari “Malesung” menjadi  “Minahasa” jadi penting artinya karena sebagai “Sebuah wilayah yang telah disatukan” (Oleh Kompeni-Belanda), maka logikanya “Malesung” telah menjadi “Wilayah Jajahan” Kompeni-Belanda. Dan sebagai “Sebuah wilayah yang telah menjadi wilayah jajahan Kompeni-Belanda”, “Malesung” secara legal formal dapat dieksploitasi untuk kepentingan Kompeni-Belanda.

*Sastrawan dan Dosen Tetap di jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sam ratulangi