MAH’ZANI, SASTRA LISAN ORANG MINAHASA

Oleh : M.J. Sumarauw

(Peneliti BPNB Manado)

 

Kata Mah’zani berasal dari kata dasar zani dalam dialek Minahasa (Tombulu), yang artinya nyanyi dan ma yang merupakan kata awalan berarti me dalam bahasa Indonesia. Perry Rumengan dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar seni di Taman Budaya Manado pada 22 Mei 2007 mengemukakan bahwa mah’zani berasal dari kata zani yang berarti bunyi yang didengar, baik yang keluar dari satu atau lebih organ maupun dari suara manusia. Menurutnya zani bukan hanya terbatas pada bunyi musik saja, tetapi semua bunyi dapat dikatakan zani. Pengertian ini lebih dilihat dari pemahaman yang digunakan dalam bahasa subetnis Tombulu. Dalam konteks musik zani dapat bersifat nada maupun non nada, baik yang bersifat frekuensif maupun amplitudis. Walaupun demikian secara umum istilah zani (nyanyi) atau zazanian (nyanyian) ataupun mah’zani dalam hubungan dengan istilah musik di Tombulu lebih dimaksudkan atau diasosiasikan untuk musik vokal atau nyanyian dan bukan untuk instrumen.

Mengenai Mah’zani C.G.C. Reinward (1858:550) mengemukakan bahwa mah’zani dinyanyikan di ladang setelah petik padi, atau di halaman luas pada saat menghormati tamu agung yang datang berkunjung di suatu negeri. Sebagaimana dikemukakannya ketika ia berkunjung ke Tomohon pada tahun 1821 (dalam Jessy Wenas 2007:1), yang terjemahannya sebagai berikut: Pada malam hari di lapangan terbuka diadakan acara tari sambil menyanyi bersama, yang diikuti oleh banyak penduduk negeri tersebut, saling berpegangan tangan membentuk lingkaran. Mereka melakukannya pada acara-acara tertentu misalnya pada waktu panen raya peti padi, tetapi yang ini khusus mereka lakukan untuk menghormati kedatangan kami.

Data ini merupakan informasi tentang keberadaan mah’zani pada masa lalu, bahwa mah’zani pada mulanya mah’zani dinyanyikan di ladang namun kemudian dilakukan di halaman luas dalam rangka menghormati tamu agung yang datang berkunjung.

Johanis Kumowal adalah salah seorang informan sekaligus pencipta lagu-lagu mah’zani mengemukakan bahwa mah’zani dapat dikatakan sebagai ibu dari maengket, artinya bahwa sebelum ada maengket sudah ada mah’zani.

Tulisan J.G.F. Riedel berjudul A’asaren Wo Raranian Ne Touw un Bulu tahun 1869 terdapat banyak cerita tentang leluhur Minahasa yang dinyanyikan, yakni cerita Toar Lumimuut serta upacara adat peposanan dengan 88 kuplet nyanyian. Pada bagian syairnya (Raranian ne Tombulu) terdapat kata keliyat yang artinya buah ganemo yang sepertinya digunakan sebagai makanan pokok orang Minahasa sebelum mengenal padi. Hal ini menunjukkan pula bahwa mah’zani sudah ada sebelum maengket, karena dalam maengket sudah ada owey kamberu artinya makan nasi baru.

Selanjutnya melalui syair nyanyian ma’zani dari buku tulisan J.F.G. Riedel (1969:18-19) dapat dikatakan bahwa mah’zani sudah dinyanyikan di Batu-Pinabetengan, syairnya sebagai berikut:

Toar wo si Lumimuut menentoh waki tuhur in tanah

Se Opo’ ta suruh nera zua, mineimo ika serah

Wia sinangkum antanah iya’i

Se Opo’ makarua siyou wo se makateluh pitu iti’i

Mineimo ikaweteng wanan awohan,un nikapahar si esa wo si esa

Laleyano in malaker-laker se suruh nera

Nianamo sera woan lume’os u lawih telu

Witu lawih telu iti’i, line’osan um Peposanan

Sanagio-gio witum esa wo un esa

Um peposanan ne touh um Buluh

Um peposanan ne tou um Kimbut

Umpeposanane tou umTewoh

Kamu in sana wekah Amian-Talikuran, kumihit um peposanan Tou un Buluh,

tanuh winangun witu lawih Amian-Talikuran.

Kamu in sana wekah Timu-Talikuran, kumihit um peposanan Tou un Kimbut, tanuh winangun witu lawih Timu-Talikuran.

Kamu in sana wekah Sendangan-Amian, kumihit um peposanan Tou un Tewoh, tanuh winangun witu lawih Sendangan-Amian.

Tanuh mo ni’tu un wineteng ne Opo’ Lumimuut woh ni Toar

Um peposanan wia semina Opo’ puhuna.

 

Artinya/Terjemahan bebas:

Toar dan Lumimuut tinggal di tanah (sekitar pegunungan Wulur Mahatus, Minahasa Tenggara)

Leluhur kita keturunan mereka berdua, sudah menyebar

Ke seluruh bagian tanah ini

Mereka adalah kelompok makarua siyou dan makateluh pitu

Sudah terbagi di awohan (Batu Pinabetengan), menurut keinginan masing-masing

Setelah lama berlalu keturunannya makin banyak

Oleh karena itu mereka membuat tiga pondok tempat upacara

Pada pondok tersebut dilakukan upacara peposanan

Untuk saling bersatu hati, yang satu dengan yang lainnya

Aturan adat untuk orang Tombulu

Aturan adat untuk orang Tontemboan (Tongkimbut)

Aturan adat untuk orang Tontewoh (Tonsea dan Tondano)

Kamu semua yang dibagian Barat Laut, ikut aturan adat pemujaan Tombulu,

Seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah Barat Laut Watu Pinabetengan.

Kamu semua yang di bagia Barat Daya, ikut aturan adat pemujaan Tontemboan,

Seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah Barat Daya Watu Pinabetengan.

Kamu semua yang di bagian Timur Laut, ikut aturan adat pemujaan Tonsea dan Tondano

Seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah Timur Laut Watu Pinabetengan.

Seperti itulah yang dibagi oleh leluhur Lumimuut dan Toar

Tentang adat pemujaan kepada leluhur kita tempo dulu.

 

Syair lainnya dari buku A’asaren wo Raranian neTouw un Buluh adalah sebagai berikut:

Maka pangkat o, impangkukukan ni ko’ko’ rangdang

Maka pangkat o, i pa’pera u reges Amian.

Ko’ko’ kulo’ kimontoi wana panga in wasian

Sa sia rumagos o, ma’simpora se kawanua

Ko’ko’ kulo wo ko’ko’ randang,

Wisa si pa’endonku

Mendo mo tare si ko’ko’ randang, mesuat uman

 

Artinya/Terjemahan bebas:

Mendapat jabatan, karena bunyi ayam jantan merah

Mendapat jabatan, karena tiupan angin Utara yang mengeringkan padi

Ayam putih bertengger di cabang pohon wasian

Kalau dia turun ke tanah, orang Minahasa menjadi sibuk

Ayam putih dan ayam merah

Mana yang aku ambil

Ambil saja ayam merah, sama saja

 

Syair di atas mengandung unsur penjelasan mengenai masyarakat Minahasa yang memuja dewa-dewi. Mendapat jabatan, karena bunyi ayam jantan merah maksudnya mendapat jabatan karena teriakan prajurit Kabasaran yang menjadi panglima tertinggi. Mendapat jabatan karena tiupan angin Utara yang mengeringkan padi maksudnya mendapat jabatan karena produksi beras dari dewi padi Lingkan Wene.

Ayam putih bertengger di cabang pohon wasian maksudnya Walian wanita berjambul bulu cenderawasih putih di atas rumah (tempat melakukan upacara). Kalau dia turun ke tanah, orang Minahasa menjadi sibuk maksudnya apabila dia sudah turun dari rumah, maka masyarakat menjadi sibuk, ada keputusan untuk berperang, melakukan upacara adat selama sembilan hari atau ada upacara perkawinan.

Ayam putih menunjuk kepada leluhur orang Minahasa yakni Lumimuut (Tondano dan Tonsea) dan Karema (Tontemboan) sedangkan ayam merah menunjuk kepada Toar. Ambil saja ayam merah, sama saja artinya walaupun ada perbedaan bentuk pemujaan (upacara adat) pada leluhur utama, tetapi bentuk pemujaan di seluruh tanah Minahasa memiliki tujuan sama, karena semua orang Minahasa keturunan Toar dan Lumimuut.

Nyanyian Mah’zani dalam bentuk kuplet syair mengenai dewa-dewi setelah keturunan Makarua Siyow dan Makatelu Pitu tidak lagi dipimpin oler Walian Peposanan tetapi dipimpin oleh Walian Mangorai. Nyanyian Mah’zani yang dipimpin oleh Walian Mangorai yakni De Zang van Kadhema in het Yomboeloeh (H.van Kol:160) artinya Nyanyian dari Karema. Menurut Yessy Wenas (2007:6) bahwa nyanyian tersebut tidak mengandung unsur Peposanan atau pemujaan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, tetapi hanya menjelaskan bahwa orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Sehingga dapat dinyanyikan di Batu Pinabetengan atau di Batu Tumotowa di setiap negeri di Tombulu maupun di Batu Tumotowa di seluruh Minahasa.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tidak semua nyanyian Mah’zani melakukan tarian, pada kegiatan mapalus dinyanyikan sambil bekerja, pada acara perkawinan kelompok yang menyanyi secara bergantian duduk di depan pengantin. Ada Raranien imbo’ondo atau nyanyian pada pagi hari, ada pula Raranien ne Mapalus atau nyanyian pada kegiatan Mapalus, Raranien imbengi atau nyanyian malam hari, contoh syairnya sebagai berikut:

Raranien ne Mapalus (H.Van Kol., 1903: 122) artinya Nanyian pada kegiatan Mapalus :

Oh Tembone eh Kawanua, se mamulei wo se maloyan

wia um pa’wenduan, eh Masule

Oh, Tembonio se kalaya’ u nuzan,

se karamoyan ni suatan wiam pa’wenduan, eh Masule

Oh, i laya’ i leonge se wata’,

se mali-ali um banua wiam pa’wenduan, eh Masule

Oh, i laya’ i leong se kendis,

wo Tungkara’um Banua wiam pa’wenduan, eh Masule

Oh, i ombal wo i poka’eh wangko’ tegameh wangko’ tegam,

se kaleong kanaramen wiam pa’wenduan, eh Masule

Oh,i ombal wo i poka’,

semenu’tu’ ung kalo’ozan wiam pa’wenduan, eh Masule

Artinya/Terjemahan bebas:

Hai, lihatlah masyarakat sekampung,

baik yang masih bujang maupun sudah berkeluarga, aduhai bukan main

Hai, lihatlah mereka yang bermain dengan hujan,

Dan tahan sengatan matahari di kebun, aduhai bukan main

Wahai bergembiralah dan menarilah,

para gadis cantik dan bunga desa ada di kebun, aduhai bukan main

Wahai lambaikan dan bertepuk tanganlah pada yang senang menerima tamu

Para sahabat kenalan bekerja dikebun, aduhai bukan main

Wahai lambaikan dan bertepuk tanganlah

Orang-orang kehormatan ada dikebun, aduhai bukan main

 

Raranien imbo’ondo atau nyanyian pada pagi hari:

Tumingtingo tare me, setengah polonolah

Mange polon-na mei, sambe lumamo i royor

Repow kampe i repow si royor eh mamolo-molo mo

Mamolo-molo mo si royor yah reikan mopolome

Artinya/ terjemahan bebas:

Jam sudah berdentang, pukul 05.30 bangunlah

Bangunkan yang masih tidur, agar turun dari rumah

Pagi subuh masih gelap memang sudah bangun

Sudah bangun tetapi belum turun dari tempat tidur

 

Sejalan dengan perkembangan zaman disertai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kebudayaan asing pun tak terelakkan masuk di tanah Minahasa. Mah’zani pun mulai tergeser oleh budaya luar, kelompok-kelompok mah’zani dewasa ini sangat sulit ditemukan, di wilayah subetnik Tombulu sendiri pun sulit ditemukan. Namun masih ada beberapa desa yang memiliki kelompok atau group Mah’zani antara lain di Kelurahan Woloan, Tara-Tara dan Rurukan.

Di Kelurahan Rurukan sesuai data yang diperoleh dari Lurah bahwa di sana setiap Lingkungan terdapat group Mah’zani bahkan ada lingkungan yang memiliki lebih dari satu group Mah’zani. Selain itu di Rurukan terdapat seorang seniman yakni Johanis Kumowal yang telah menciptakan syair mah’zani serta menjadi pelatih bagi group-group mah’zani yang ada di Rurukan. Syair mah’zani hasil ciptaannya sebagai berikut:

 

MAH’ZANI MAPA’YANG Cipt: Johanes Kumowal

T (Tuuz) : Oh. . . Mengapetor

P (Pekazani) : Hoii . . .

T : Meimo maambare karia

P : Wo kita le’os tumarendem

T : Wo kita le’os tumarendem

P : Meimo maambare karia

T : Meimo maambare karia

P : Wo kita le’os tumarendem

T : Wo kita le’os tumarendem

P : Meimo maambare karia

T : Meimo maambare karia

P : Wo kita le’os tumarendem

 

T : O mengapetor!

P : Hoii . . .

T : Tumarendem wangun-wangunen

P : Satotoz tumarendem karia

T : Satotoz tumarendem karia

P : Tumarendem wangun-wangunen

T : Tumarendem wangun-wangunen

P : Satotoz tumarendem karia

T : Satotoz tumarendem karia

P : Tumarendem wangun-wangunen

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

T : Tetei toumo ya sewanantana’

P : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

T : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

P : Tetei toumo ya sewanantana’

T : Tetei toumo ya sewanantana’

P : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

T : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

P : Tetei toumo ya sewanantana’

T : Tetei toumo ya sewanantana’

P : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

T : Ya we sei kowe merondo-rondoze         

P : Ya merondo-rondoze wanang karimbengan

T : Ya merondo-rondoze wanang karimbengan

P : Ya we sei kowe merondo-rondoze

T : Ya we sei kowe merondo-rondoze

P : Ya merondo-rondoze wanang karimbengan

T : Ya merondo-rondoze wanang karimbengan

P : Ya we sei kowe merondo-rondoze

T : Ya we sei kowe merondo-rondoze

P : Ya merondo-rondoze wanang karimbengan

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

T : Tombo-tombolen

P : Maman wukana

T : Maman wukana

P : Tombo-tombolen

T : Tombo-tombolen

P : Maman wukana

T : Maman wukana

P : Tombo-tombolen

T : Tombo-tombolen

P : Maman wukana

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

T : Ya we sei ko we ma’ wuwukan tinombol

P : Ya niaku kan de’e royoz wukaanna

P : Amokeko rumeteme

T : Amokeko rumeteme

P : Woko kewitena T : Ya niaku kan de’e royoz wukaanna

P : Ya we sei ko we ma’ wuwukan tinombol           

T : Ya we sei ko we ma’ wuwukan tinombol           

P : Ya niaku kan de’e royoz wukaanna

T : Ya niaku kan de’e royoz wukaanna

P : Ya we sei ko we ma’ wuwukan tinombol           

T : Ya we sei ko we ma’ wuwukan tinombol           

P : Ya niaku kan de’e royoz wukaanna

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

T : Amokeko rumeteme

P : Woko kewitena

T : Woko kewitena

P : Amokeko rumeteme

T : Amokeko rumeteme

P : Woko kewitena

T : Woko kewitena

T : O Mengapetor

P : Hoii . . .

T : Azo unda’un noki

P : Ayone tung kambar

T : Ayone tung kambar

P : Azo unda’un noki

T : Azo unda’un noki

P : Ayone tung kambar

T : Ayone tung kambar

P : Azo unda’un noki

T : Azo unda’un noki

P : Ayone tung kambar

T : O. . . Mengapetor!

P : Hoii . . .

T/P : Mangemo sako mangemo,

 Mangemo mile-ilek la

T/P : Mangemo mile-ilek la,

 Wana lalan zei’ kanaramen

T/P : Mangemo sako mangemo,

 Tia’mo manlenge-lengeme

T/P : Sako wo lumengekanne,

 Lumenge mokan um pene’selan

T/P : Lumenge mokan um pene’selan,

 Awes tare woko tumeruso

T/P : Ma witila tampa lakoan

 Sako wo ikagengange

T/P : Sako wo ikagengange,

 Lumo’o umana si endo

T/P : Lumo’o umana si endo,

 Sasia nimato’ozo

T/P : Sasia nimato’ozo,

 Werenta nimasungkulo

T/P : Werenta nimasungkulo,

 Tanumo nimawerenan

T/P : Tanumo nimawerenan,

 Tanumo nimalelezan

T : O Mengapetor!

P : Hoii . . .

T : Maka sosozo eroyoz niagaan

P : Ya we ma tumembome ung kakapeymu eroyoz

T : Ya we ma tumembome ung kakapeymu eroyoz

P : Maka sosozo eroyoz niagaan

T : Maka sosozo eroyoz niagaan

P : Ya we ma tumembome ung kakapeymu eroyoz

T : Ya we ma tumembome ung kakapeymu eroyoz

P : Maka sosozo eroyoz niagaan

T : Maka sosozo eroyoz niagaan

P : Ya we ma tumembome ung kakapeymu eroyoz

T : O Mengapetor

P : Hoii …

T : Se mengoli-ngoli

P : Wanantemboan

T : Wanantemboan

P : Semengoli-ngoli

T : Semengoli-ngoli

P : Wanantemboan

T : Wanantemboan     

P : Semengoli-ngoli

T : Semengoli-ngoli

P : Wanantemboan     

T : O Mengapetor

P : Hoii . . .

T : Mengale-ngaley uman karia

P : Pakatuan pakalawizen

T : Lumaya-laya’ pe’ ma karia

P : Wia kampe’ rege-regesan

T : Wia kampe’ rege-regesan

P : Lumaya-laya’ pe’ ma karia

T : Lumaya-laya’ pe’ ma karia

P : Wia kampe’ rege-regesan

T : Wia kampe’ rege-regesan

P : Lumaya-laya’ pe’ ma karia

T : Lumaya-laya’ pe’ ma karia

P : Wia kampe’ rege-regesan

T : O Mengapetor

P : Hoii . . .

T : Saukuro ni renga-rengan

P : Kurantape u lalayaan

T : Kurantape u lalayaan

P : Saukuro ni renga-rengan

T : Saukuro ni renga-rengan

P : Kurantape u lalayaan

T : Kurantape u lalayaan

P : Saukuro ni renga-rengan

T : Saukuro ni renga-rengan

P : Kurantape u lalayaan


T : O Mengapetor

P : Hoii . . .

T : Witi pe’ kaengkolan si royoz amberenanku

P : Nisia kan tuu e ninau tu lalampangna   

T : Nisia kan tuu e ninau tu lalampangna   

P : Witi pe’ kaengkolan si royoz amberenanku

T : Witi pe’ kaengkolan si royoz amberenanku

P : Nisia kan tuu e ninau tu lalampangna   

T : Nisia kan tuu e ninau tu lalampangna   

P : Witi pe’ kaengkolan si royoz amberenanku

T : Witi pe’ kaengkolan si royoz amberenanku

P : Nisia kan tuu e ninau tu lalampangna   

T : O Mengapetor

P : Hoii . . .

T : Saana kinarisan lalan witi amian

P : Tia’mo mento-ento’e sera timeruso

T : Tia’mo mento-ento’e sera timeruso

P : Saana kinarisan lalan witi amian

T : Saana kinarisan lalan witi amian

P : Tia’mo mento-ento’e sera timeruso

T : Tia’mo mento-ento’e sera timeruso

P : Saana kinarisan lalan witi amian

T : Saana kinarisan lalan witi amian

P : Tia’mo mento-ento’e sera timeruso

T : O mengapetor

P : Hoii . . .

Lumayalaya’ pe’ ma wia kampe’ rege-regesan e niolatane

Saukuro ni Empungen kurantape’ u lalayaen e niolatane

Mangemo ko gagaren mangemo i elu-eluzla e niolatane

Mangemo i kuala mamuali angginontalon e niolatane

Tatatar mamaspase saaku wola ene anu e niolatane

Sosoisoi ni sapeme saaku wola kelongannu e niolatane

Sa reken wewerenan areges tare lumungkeyla e niolatane

Wiana aligawan salalei kan merondo-rodozen

 

Artinya/Terjemahan bebas : Nyanyian Sementara Bekerja

Solo : Siap !

Koor : Ya . . .

Solo : Marilah berjajar hai teman,

Koor : Supaya kita dapat bercakap-cakap dengan baik.

Solo : Apabila berbicara hai teman,

Koor : Bicaralah dengan baik

Solo : Aduh sudah banyak orang di bawah (di tanah)

Koor : Babi-babi mengembus-embus mereka

Solo : Ya mereka sedang berdiri

Koor : Berdiri di kegelapan

Solo : Pasang penyanggah

Koor : Hendak dibukanya

Solo : Siapakah engkau yang berusaha membuka pintu,

Koor : Aku ini sayang, bukalah pintunya

Solo : Kemarilah mendekat,

Koor : Aku hendak berbisik

 

Solo : Oh itu yang kecil

Koor : Raihlah yang tergantung di balok basah

Solo/ Koor: Pergilah apabila kau hendak pergi,

Pergilah berhati-hatilah,

Baik-baiklah di jalan,

Apabila kau menengok ke belakang,

Hanya akan melihat penyesalan,

Maka sebaiknya kau teruskan perjalanan,

Ketika kau tiba ditempat yang jauh,

Apabila kau terkenang tempat ini,

Menengadalah ke matahari,

Ketika ia mulai terbit,

Pandangan kita akan bertemu,

Bagaikan bertatapan langsung,

Bagaikan telah bertemu

Solo : Sudah hampir di atas gunung sayang

Koor : Sambil memandang lambaian tanganmu sayang

Solo : Melihat-lihat

Koor : Dari ketinggian

Solo : Berdoa saja hai teman

Koor : Semoga panjang umur

Solo : Marilah bercinta hai teman

Koor : Selagi masih berada di dunia

Solo : Ketika ajal telah tiba

Koor : Cinta sudah tak berarti lagi

Solo : Masih di tikungan jalan saya sudah melihat sang kekasih

Koor : Dia kan sudah saya kenal dari cara berjalannya

Solo : Jikalau ada tanda garis di jalan Utara

Koor : Jangan berhenti karena terus berjalan

Solo/Koor : Marilah menari bergembira selagi masih di dunia

Kalau Tuhan telah memanggil kita maka kita tidak dapat menari lagi

Pergilah kau, pergilah dengan berhati-hati

Pergilah dan ceritakan apa yang terjadi di sana

Satu saat apabila saya datang

Apabila saya meminta kepastian, jangan ditolak

Kalau seandainya angin yang lewat dapat saya lihat

Maka saya akan bertanya, apakah mereka baik-baik saja.


FUNGSI LAGU-LAGU MAH’ZANI

DALAM KEHIDUPAN ORANG TOMBULU MASA KINI

 

Lagu-lagu Mah’zani yang dimuat dalam tulisan ini yakni pada BAB III mengandung berbagai unsur nilai budaya. Pada syairnya terdapat berbagai pesan dan petuah yang tentunya dapat berfungsi sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Di Kota Tomohon pada setiap tahun dilaksanakan lomba Mah’zani dengan tujuan antara lain memotivasi masyarakat umumnya generasi muda khususnya untuk mencintai budayanya sendiri. Masyarakat Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur Kota Tomohon ternyata pada umumnya tak terkecuali generasi muda masih menyukai Mah’zani, sebagai buktinya di Kelurahan Rurukan terdapat kelompok-kelompok Mah’zani bahkan sudah sering mendapat juara pada lomba yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Tomohon.

Di Kelurahan Rurukan sendiri pun pada setiap tahun selalu digelar lomba Mah’zani antar lingkungan. Anggota kelompok/group Mah’zani sebagian sudah lanjut usia namun tidak ketinggalan pula generasi muda. Menurut Lurah Rurukan bahwa atensi generasi muda di Rurukan terhadap kesenian tradisional dalam hal ini Mah’zani dapat dikatakan baik karena keikut sertaan dari generasi muda tersebut dalam group-group Mah’zani dan bukan hanya menjadi penonton.

Melihat syair-syair mah’zani sebagaimana diuraikan pada BAB III, maka bagi masyarakat Minahasa umumnya orang Tombulu khususnya bahwa pada masa silam mah’zani memiliki fungsi yang begitu luas dalam kehidupannya. Fungsi yang dimaksud antara lain untuk kekuatan yang disajikan untuk mahkluk yang tak kasat mata sebagai fungsi ritual, bahkan juga dengan isi alam lain yang bukan hanya manusia tak kasat mata serta dengan jiwa alam semesta yakni Opo. Sebagai contoh syair yang diambil buku A’asaren wo Raranian neTouw un Buluh sebagai berikut:

Maka pangkat o, impangkukukan ni ko’ko’ rangdang

Maka pangkat o, i pa’pera u reges Amian.

Ko’ko’ kulo’ kimontoi wana panga in wasian

Sa sia rumagos o, ma’simpora se kawanua

Ko’ko’ kulo wo ko’ko’ randang,

Wisa si pa’endonku

Mendo mo tare si ko’ko’ randang, mesuat uman

Artinya/Terjemahan bebas:

Mendapat jabatan, karena bunyi ayam jantan merah

Mendapat jabatan, karena tiupan angin Utara yang mengeringkan padi

Ayam putih bertengger di cabang pohon wasian

Kalau dia turun ke tanah, orang Minahasa menjadi sibuk

Ayam putih dan ayam merah

Mana yang aku ambil

Ambil saja ayam merah, sama saja

 

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa syair di atas merupakan gambaran atau penjelasan mengenai masyarakat Minahasa yang memuja dewa-dewi. Ayam putih atau Walian wanita menunjuk kepada leluhur orang Minahasa yakni Lumimuut (Tondano dan Tonsea) dan Karema (Tontemboan) sedangkan ayam merah menunjuk kepada Toar. Ambil saja ayam merah, sama saja artinya walaupun ada perbedaan bentuk pemujaan (upacara adat) pada leluhur utama, tetapi bentuk pemujaan di seluruh tanah Minahasa memiliki tujuan sama, karena semua orang Minahasa keturunan Toar dan Lumimuut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syair mah’zani ini memiliki nilai persatuan yang berfungsi untuk mengingatkan bahwa semua orang Minahasa adalah satu termasuk orang Tombulu, sehingga tidak perlu mempersoalkan perbedaan yang ada tetapi harus mengutamakan dan menjunjung tinggi rasa persatuan.

Ada pula Raranien ne Mapalus atau nyanyian pada kegiatan Mapalus syairnya sebagai berikut: Oh Tembone eh Kawanua, se mamulei wo se maloyan, wia um pa’wenduan, eh Masule, Oh, Tembonio se kalaya’ u nuzan, se karamoyan ni suatan wiam pa’wenduan, eh Masule’’, Oh, i laya’ i leonge se wata’, artinya: Hai, lihatlah masyarakat sekampung, baik yang masih bujang maupun sudah berkeluarga, aduhai bukan main, Hai, lihatlah mereka yang bermain dengan hujan, Dan tahan sengatan matahari di kebun, aduhai bukan main, Wahai bergembiralah dan menarilah. Kata-kata dalam bagian syair mah’zani ini mengandung nilai etos kerja sekaligus memotivasi masyarakat masa kini agar memiliki semangat kerja tanpa peduli hujan ataupun sengatan matahari.

Syair selanjutnya berbunyi Oh, i laya’ i leong se kendis, wo Tungkara’um Banua wiam pa’wenduan, eh Masule, artinya Wahai bergembiralah dan menarilah, para gadis cantik dan bunga desa ada di kebun, aduhai bukan main. Syair ini menggambarkan tentang kehadiran para gadis desa di lahan perkebunan dan tentu saja kehadiran para gadis tersebut menambah semangat kerja bagi para lelaki bujangan. Itulah sebabnya maka mah’zani ini dinyanyikan pada saat sementara bekerja Mapalus.

Selain itu kerja Mapalus melibatkan pula sahabat kenalan serta orang-orang terhormat, hal itu tergambar melalui syair yang berkata se kaleong kanaramen wiam pa’wenduan, eh Masule, se mali-ali um banua wiam pa’wenduan, eh Masule artinya Wahai bergembiralah dan menarilah, Para sahabat kenalan bekerja dikebun, aduhai bukan main, Orang-orang kehormatan ada dikebun, aduhai bukan main.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mah’zani mengandung nilai persatuan, pertemanan dan etos kerja yang tentunya dapat berfungsi untuk memotivasi masyarakat masa kini agar selalu memiliki semangat kerja dan selalu mengutamakan persatuan tanpa memandang latar belakang seseorang.

Nilai etos kerja pun tergambar melalui Raranien imbo’ondo atau nyanyian pada pagi hari yang berbunyi Tumingtingo tare me, setengah polonolah, Mange polon-na mei, sambe lumamo i royor, Repow kampe i repow si royor eh mamolo-molo mo, Mamolo-molo mo si royor yah reikan mopolome artinya Jam sudah berdentang, pukul 05.30 bangunlah, Bangunkan yang masih tidur, agar turun dari rumah. Pagi subuh masih gelap memang sudah bangun, Sudah bangun tetapi belum turun dari tempat tidur.

Lagu di atas dinyanyikan sementara berjalan menuju ladang. Pada waktu itu sebagian besar orang Minahasa belum bersekolah. Selain itu lagu ini dinyanyikan ketika sedang beristirahat kerja mapalus. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa mah’zani tempo dulu memiliki nilai disiplin yang dapat peran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan orang Tombulu masa kini.

Selanjutnya dalam Mah’zani Mapa’yang atau Nyanyian sementara bekerja terdapat pula nilai-nilai budaya luhur sebagaimana terlihat dalam kata-katanya, seperti berikut:

T (Tuuz) : Oh. . . Mengapetor

P (Pekazani) : Hoii . . .

T : Meimo maambare karia

P : Wo kita le’os tumarendem

Artinya: Nyanyian sementara bekerja

Solo : Siap !

Koor : Ya . . .

Solo : Marilah berjajar hai teman,

Koor : Supaya kita dapat bercakap-cakap dengan baik.

 

Syair Mah’zani di atas menggambarkan adanya nilai kebersamaan dari masyarakat Minahasa termasuk orang Tombulu dalam melakukan suatu pekerjaan. Selain itu terdapat nilai etika yang nampak dalam caranya memulai pekerjaan yakni Tuuz atau pemimpin bertanya terlebih dahulu Oh. . . Mengapetor maksudnya apakah sudah siap. Kemudian si pemimpin mengajak semua untuk berjajar supaya dapat berbicara dengan baik. Ajakan untuk berjajar di sini mengandung nilai kesetaraan dan pertemanan, artinya bahwa seorang pemimpin sebaiknya memandang yang dipimpinnya sebagai teman sehingga akan tercipta hubungan atau komunikasi yang baik.

Bagian syair mah’zani selanjutnya berbunyi Satotoz tumarendem karia, Tumarendem wangun-wangunen, artinya: Apabila berbicara hai teman, Bicaralah dengan baik. Syair ini jelas menggambarkan adanya nilai etika berbicara, artinya bahwa orang Tombulu ketika berkomunikasi harus memperhatikan nilai-nilai etika misalnya dari segi bahasa yang digunakan ataupun cara penyampaian. Apabila hendak menyampaikan sesuatu tanpa memperhatikan segi bahasa yang digunakan, maka terkadang orang akan salah memahaminya bahkan dengan adanya kesalah pahaman dapat menyebabkan terjadinya konflik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syair dalam Mah’zani ini memiliki fungsi sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan masyarakat Tombulu masa kini tentang hal-hal baik yang perlu dijaga dan dilestarikan.

T : Tetei toumo ya sewanantana’

P : Oya i pa’ embu-embuso yane wawi

Artinya:

Solo : Aduh sudah banyak orang di bawah (di tanah)

Koor : Babi-babi mengembus-embus mereka

 

Syair di atas merupakan gambaran kehidupan masyarakat Tombulu masa lalu yang memiliki rumah panggung dan di kolong rumah tersebut mereka memelihara ternak. Ternak peliharaan tersebut selain untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tetapi juga berfungsi sebagai penjaga, karena ketika ada orang lain yang datang maka ternak tersebut akan memberi isyarat sehingga pemilik rumah segera mengetahuinya.

Bagi masyarakat Minahasa termasuk sub etnis Tombulu, musik vokal dalam hal ini mah’zani dapat dijadikan sebagai ekspresi untuk mengungkapkan keberadaannya ataupun sebagai sarana berkomunikasi antar sesama masyarakat. Dapat dikatakan bahwa mah’zani memiliki fungsi atau kegunaan antara lain untuk menyampaikan nasihat yang tentunya dianggap berguna sebagai orientasi bagi masyarakat.

Mangemo sako mangemo, Mangemo mile-ilek la artinya: Pergilah apabila kau hendak pergi, Pergilah berhati-hatilah. Ketika seseorang hendak pergi jauh atau merantau maka nasihat perlu diberikan sebagai motivasi dan penuntun untuk mencapai suatu keberhasilan. Wana lalan zei’ kanaramen, Mangemo sako mangemo, Tia’mo manlenge-lengeme, Sako wo lumengekanne, Lumenge mokan um pene’selan, Awes tare woko tumeruso, artinya: Baik-baiklah di jalan, Apabila kau menengok ke belakang, Hanya akan melihat penyesan, Maka sebaiknya kau teruskan perjalan. Maksudnya bahwa walaupun banyak kendala yang ditemui harus terus maju menghadapinya, pantang mundur, tidak boleh menyerah agar sukses dan tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Syair selanjutnya berbunyi Ma witila tampa lakoan, Sako wo ikagengange, Lumo’o umana si endo, Sasia nimato’ozo, Werenta nimasungkulo, Tanumo nimawerenan, artinya Apabila kau terkenang tempat ini, Menengadalah ke matahari, Ketika ia mulai terbit, Pandangan kita akan bertemu, Bagaikan bertatapan langsung, Bagaikan telah bertemu. Syair ini berisi pesan terhadap seseorang yang hendak bepergian dan di dalamnya terdapat nilai kecintaan. Pada saat seseorang harus terpisah dengan orang-orang yang disayanginya, tentu saja ada kerinduan dan ingin segera bertemu. Sebagai pengobat rindu dianjurkan agar menatap matahari karena saat itulah terjadi pertemuan. Memang harus diakui bahwa masa kini mungkin nasihat seperti ini kurang relevan, karena dengan adanya teknologi komunikasi yang semakin canggih maka jarak bukan menjadi masalah untuk dapat berkomunikasi. Bahkan melalui panggilan vidio yang tersedia di handphone atau sarana canggih lainnya, maka pembicaraan jarak jauh pun dapat disertai dengan gambar. Namun demikian penggalan syair mah’zani tersebut di atas merupakan gambaran tentang kondisi masyarakat masa lalu yang dapat menjadikan bagian dari alam yakni matahari sebagai sarana untuk melepas rasa rindu terhadap seseorang.

Dalam mah’zani terdapat pula nilai religius yang tergambar melalui syairnya yang berkata Mengale-ngaley uman karia, Pakatuan pakalawizen artinya Berdoa saja hai teman, Semoga panjang umur. Bagian syair ini menunjukkan bahwa orang Tombulu selalu pasrah kepada Tuhan dan tentu saja hanya Dialah yang menentukan umur manusia di dunia ini. Hal ini pun dapat berfungsi untuk mendidik masyarakat agar selalu taqwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan senantiasa berdoa memohon padaNya.

Syair selanjutnya berkata Lumaya-laya’ pe’ ma karia, Wia kampe’ rege-regesan, Saukuro ni renga-rengan, Kurantape u lalayaan artinya Marilah bercinta hai teman, Selagi masih berada di dunia, Ketika ajal telah tiba, Cinta sudah tak berarti lagi. Syair ini mengandung nilai percintaan dan sekaligus mengingatkan setiap insan di dunia ini tidaklah kekal, sehingga selagi masih berada di dunia harus menggunakan waktu sebaik mungkin. Hal ini dapat dilihat pula pada bagian lain syairnya yang berbunyi Lumayalaya’ pe’ ma wia kampe’ rege-regesan e niolatane, Saukuro ni Empungen kurantape’ u lalayaen e niolatane, artinya Marilah menari bergembira selagi masih di dunia, Kalau Tuhan telah memanggil kita maka kita tidak dapat menari lagi. Selain nilai percintaan dan ketaqwaan syair dalam mah’zani inipun hendak mengajak masyarakat untuk selalu bergembira dalam menjalani kehidupan ini sambil selalu pasrah dan memohon pada Yang Kuasa.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada mulanya mah’zani dinyanyikan di ladang sementara bekerja atau pada saat istirahat. Melalui syairnya nampak pula bahwa mereka yang hadir dalam suatu kerja mapalus terdapat pula para lelaki bujangan dan para gadis, maka tidak mengherankan apabila syair dalam mah’zani mengandung nilai percintaan. Tentu saja hal ini pun dapat berfungsi untuk memberi semangat kerja bagi para generasi muda yang ada. Selain itu terdapat pula nasihat bagi masyarakat agar selalu berhati-hati dalam bertindak, menepati janji dan jangan berdusta, sebagaimana tergambar lewat syarirnya yang berkata Mangemo ko gagaren mangemo i elu-eluzla e niolatane, Mangemo i kuala mamuali angginontalon e niolatane, Tatatar mamaspase saaku wola ene anu e niolatane, Sosoisoi ni sapeme saaku wola kelongannu e niolatane artinya Pergilah kau, pergilah dengan berhati-hati, Pergilah dan ceritakan apa yang terjadi di sana, Satu saat apabila saya datang, Apabila saya meminta kepastian, jangan ditolak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mah’zani dapat berfungsi sebagai sarana untuk menasihati masyarakat termasuk generasi muda tentang nilai-nilai luhur yang harus dijadikan sebagai penuntun dalam kehidupan ini. Bapak Yohanis Kumowal mengemukakan bahwa generasi muda di Kelurahan Rurukan memiliki atensi cukup tinggi terhadap kesenian mah’zani, sehingga dibentuklah kelompok-kelompok mah’zani yang sebagian anggotanya adalah generasi muda. Melalui adanya kelompok-kelompok mah’zani ini maka kesenian tradisional yang diwariskan oleh generasi terdahulu dapat terus dilestarikan. Apabila dilihat dari kondisi kehidupan masyarakat Kelurahan Rurukan, maka dapat dikatakan bahwa hal ini sangat memungkinkan karena dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakatnya masih menggunakan bahasa daerah Tombulu sebagai alat komunikasi.

 

 

P E N U T U P

 

  1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

  • Mah’zani memiliki misi penting dalam upaya pemertahanan nilai-nilai budaya.
  • Bagi masyarakat Minahasa masa silam mah’zani memiliki fungsi yang begitu luas dalam kehidupannya. Fungsi yang dimaksud antara lain untuk kekuatan yang disajikan untuk mahkluk yang tak kasat mata sebagai fungsi ritual, bahkan juga dengan isi alam lain yang bukan hanya manusia tak kasat mata serta dengan jiwa alam semesta yakni Sebagai contoh syair yang diambil buku A’asaren wo Raranian neTouw un Buluh.
  • Sejalan dengan perkembangan zaman disertai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kebudayaan asing pun tak terelakkan masuk di tanah Minahasa. Mah’zani pun mulai tergeser oleh budaya luar, kelompok-kelompok mah’zani dewasa ini sangat sulit ditemukan, di wilayah subetnik Tombulu sendiri pun sulit ditemukan. Namun masih ada beberapa desa yang memiliki kelompok atau group Mah’zani antara lain di Kelurahan Woloan, Tara-Tara dan Rurukan.
  • Di Kelurahan Rurukan setiap Lingkungan terdapat group Mah’zani bahkan ada lingkungan yang memiliki lebih dari satu group Mah’zani. Selain itu di Rurukan terdapat seorang seniman yakni Johanis Kumowal yang telah menciptakan syair mah’zani serta menjadi pelatih bagi group-group mah’zani.
  • Hal positif yang terjadi di Kelurahan Rurukan khususnya bahwa walaupun begitu banyak budaya asing yang masuk, namun ternyata hasil karya asli para seniman lokal tetap diminati masyarakat setempat. Selain itu adanya kepedulian pemerintah daerah dengan membentuk Kelompok-kelompok Mah’zani, bahkan pada setiap tahun baik pemerintah Kota Tomohon maupun pemerintah di Kelurahan Rurukan selalu menggelar lomba mah’zani.
  • Atensi dan animo masyarakat terhadap kesenian tradisional cukup tinggi.
  • Hasil karya asli para seniman lokal ternyata memiliki nilai-nilai budaya yang luhur yang dapat berfungsi sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan warga masyarakat. Nilai-nilai luhur dimaksud sepertiberikut ini.
  • Mah’zani memiliki nilai persatuan yang berfungsi untuk mengingatkan bahwa semua orang Minahasa adalah satu termasuk orang Tombulu, agar tidak perlu mempersoalkan perbedaan yang ada tetapi harus mengutamakan dan menjunjung tinggi rasa persatuan.
  • Mah’zani memiliki nilai disiplin yang dapat peran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan orang Tombulu masa kini.
  • Nilai etos kerja yang memotivasi masyarakat terutama generasi muda masa kini agar memiliki semangat kerja tanpa peduli hujan ataupun sengatan matahari.
  • Mah’zani memiliki nilai gotong royong atau kebersamaan dalam melakukan suatu pekerjaan.
  • Nilai etika
  • Dalam mah’zani terdapat pula nilai religius yang tergambar melalui syairnya yang berkata Mengale-ngaley uman karia, Pakatuan pakalawizen artinya Berdoa saja hai teman, Semoga panjang umur.
  • Nilai kesetaraan dan pertemanan
  • Nilai disiplin yang dapat peran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan orang Tombulu masa kini.

 

  1. Saran
    • Mah’zani perlu dilestarikan dalam rangka pemertahanan nilai-nilai budaya lokal.
    • Mah’zani perlu terus ditumbuh-kembangkan dan disosialisasikan baik di rumah, di sekolah melalui pelajaran muatan lokal atau pun dalam acara-acara tertentu sesuai kondisi.
    • Para seniman di daerah perlu terus berkarya menciptakan karya seni tradisional.
    • Pemerintah Daerah perlu membuat kebijakan dalam rangka pesestarian kesenian tradisional.
    • Mah’zani perlu diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan festival kesenian.
    • Lomba Mah’zani perlu terus dilakukan oleh pemerintah.
    • Bantuan dana dari Pemerintah Daerah kepada para seniman atau group-group Mah’zani perlu diadakan.


DAFTAR PUSTAKA

Bahari Nooryan, DR.M.Sn, 2008, Kritik Seni, Wacana, Apresiasi dan Kreasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Boas Frans, Primitive Art, New York, 1955. dalam Harsojo, 1982. Pengantar Antropologi, Bandung, Bina Cipta.

Bunzel Ruth, 1939. Art, New york, 1939. dalam Harsojo, 1982. Pengantar Antropologi, Bandung, Bina Cipta.

Edy Sedyawati, 2006. Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Fuad Hasan, Prof, 1975. Kita dan Kami, An Analysis of The Basic Modes of Togetherness, Jakarta, Bharata.

Harsojo, Prof., 1986. Pengantar Antropologi, Bandung, Bina Cipta.

Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.

Nursid Sumaatmaja, 1981. Pengantar Studi Sosial, Bandung, Alumni.

Reinwardt C.G.C.,1858. Reis naar het Oostelijk van den Indischen Archipel in 1821, Amsterdam, dalam Wenas Jessy, 2007. Sejarah Pekembangan Ma’zani, makalah yang disampaikan dalam seminar seni budaya di Taman Budaya Manado.

Riedel J.G.F., 1869. A’asaren wo Raranian ne Touw um Buluh dalam Wenas Jessy, 2007. Sejarah Pekembangan Ma’zani, makalah yang disampaikan dalam seminar seni budaya di Taman Budaya Manado.

Rumengan Perry, 2007. Musik Mah’zani, makalah yang disampaikan dalam seminar seni budaya di Taman Budaya Manado.

Saripin, dkk, 1976. Sejarah Kesenian Indonesia, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.

Soedarso, Sp., 1994. Solusi Siswa Pendidikan Seni, Yogyakarta

Soedarsono R.M., 1992. PengantarApresiasi Seni, Jakarta, Balai Pustaka

Johson dalam Prof. Fuad Hasan, 1975. Kita dan Kami, An Analysis of The Basic Modes of Togetherness, Jakarta, Bharata.

Kumowal Johanis, 2010. Mah’zani Mapa’yang, naskah.

Van Kol H., 1903. Uit Onze Kolonie, dalam Wenas Jessy, 2007. Sejarah Pekembangan Ma’zani, makalah yang disampaikan dalam seminar seni budaya di Taman Budaya Manado.

Wenas Jessy, 2007. Sejarah Pekembangan Ma’zani, makalah yang disampaikan dalam seminar seni budaya di Taman Budaya Manado.

 

Sumber lainnya:

  • Tomohon Dalam Angka, 2010 (Tanpa Pengarang dan Penerbit)
  • Data Kependudukan di Kantor Kelurahan Rurukan.