Torang Samua Basudara : Nilai Budaya dan Kehidupan Antar Umat Beragama di Kota Manado

 

Oleh : Nono Sumampouw

 

Pendahuluan

Harus diakui, keragaman masyarakat memiliki potensi timbulnya konflik dan ancaman terhadap integritas sosial sebagaimana konflik yang terjadi di Sambas dan Sampit (2000-2001), Maluku (1999-2001), Ketapang (1998), Poso (1999-2002) dan lainnya[2]. Kehadiran era reformasi yang semula diharapkan untuk memper-sempit sekat-sekat perbedaan, justru membuat beberapa oknum anak bangsa membenarkan aksi agresif sektarian, militansi ekstrem, kebrutalan, separatisme dan tindakan-tindakan kekerasan lain yang bisa mengancam kesatuan nasional. Apalagi, aksi destruktif tersebut banyak bersembunyi dibalik dalil agama.

Hingga saat ini, kekerasan bermotifkan agama masih menjadi fenomena dalam beberapa kejadian sebagaimana yang dapat ditangkap dalam media cetak dan elektronik. Misalnya beberapa kasus yang mengemuka tahun ini: penyerangan penganut Ahmadiyah di Pandeglang (Kompas, 7 Februari 2011); penyerangan gereja di Temanggung  (Kompas, 9 Februari 2011); pemboman gereja di Kepunten Solo (Kompas, 26 September 2011). Pada titik inilah, oleh banyak kalangan[3], Indonesia dalam banyak berita dan publikasi disamakan dengan bermacam bentuk kekerasan[4] serta tidak ramah soal kebebasan beragama (Kompas, 30 September 2011).

Bertolak belakang dengan hal tersebut, salah satu kota di Indonesia yaitu Manado, tampil beda dengan membangun citra toleran dalam kehidupan antar umat beragama masyarakatnya. Kota ini menjadi tujuan exodus dari daerah bertikai di wilayah Indonesia Timur, seperti Ambon, Ternate dan Poso. Ketika menjadi rumah baru bagi orang dari daerah bertikai, Manado hingga kini mampu menjaga citra tersebut. Tidak sampai hanya pada reportase semata, dalam beberapa tulisan ilmiah-pun, Manado disamakan dengan ’The City of Brotherly Love”[5].

Melihat hal tersebut, penulis menganggap perlu menangkap dan mendokumentasi nilai-nilai budaya[6] dan implementasinya dalam kehidupan antar umat-beragama yang menghantarkan masyarakat Manado mampu membangun kehidupan toleran. Selain itu, tulisan ini, dapat juga dipandang sebagai bahan refleksi untuk membangun sebuah model masyarakat Indonesia -secara nasional- yang lebih ramah untuk kehidupan antar-umat beragama dengan didasarkan pada pengembangan nilai-nilai lokal.

 

Kehidupan Umat Beragama di Manado: Beberapa Catatan Pustaka

Kajian mengenai kehidupan antar umat beragama di wilayah Sulawesi Utara dan sekitarnya, termasuk Kota Manado terasa masih kurang memadai. Apalagi, jika melihatnya dalam masa-masa Soeharto masih kokoh berkuasa. Beberapa tahun sebelum orde baru tumbang dan masuk era reformasi, krisis konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) yang mewarnai banyak daerah, menimbulkan pertanyaan sekaligus perhatian -termasuk- ke wilayah yang terhitung aman dan menjadi contoh daerah damai di Indonesia, Manado salah satunya. Perhatian kalangan akademisi tersebut melahirkan beberapa karya ilmiah yang penulis kira akan didiskusikan dalam bagian ini, termasuk juga dengan melihat karya yang mengusung tema bertalian dengan judul ini pada masa sebelun reformasi.

Pastor bernama Van Paassen pernah melihat fenomena kehidupan antar umat beragama di Sulawesi Utara[7], menurutnya masyarakat memiliki kesadaran untuk bekerjasama antar umat dan tidak menaruh curiga serta diikat rasa kekeluargaan. Ia mencontohkan, bagaimana Manado yang dikenal sebagai kantong Kristen menjadi tuan rumah MTQ ke X dan umat secara bersama-sama mendoakan pelaksanaan kegiatan dimaksud. Hal menarik sekaligus menjadi salah satu kekuatan tulisan ini, ia mampu menangkap keasingan masyarakat Sulawesi Utara menerima ataupun hidup sebagai kaum fundamental agama, dalam bahasanya seorang Prinzipienreiter. Selain tentu contoh-contoh lazim seperti saling mengunjungi pada perayaan hari besar keagamaan, proses sosialisasi sejak dini dengan umat beragama lain. Namun, ia terlalu menampakkan aspek teoritis dan bukan substantif, apalagi kebanyakan melihat peran lembaga pemerintah (BKSAUA) dalam membangun solidaritas. Hasilnya, memang karya ini menampakkan fenomena dalam bentuknya yang terkesan top-down.

Memasuki masa reformasi, kajian mengenai kerukunan antar umat beragama yang melihat Manado dan sekitarnya, mengalami kemajuan dari segi kuantitas. Salah satunya kajian Swazey[8], yang melihat hubungan Kristen-Islam dan hubungannya dengan pembentukan identitas. Ia melihat ambivalensi, karena di satu sisi, dalam berbagai bentuk kehidupan dan simbol di dalamnya, masyarakat amat sangat toleran, bahkan untuk pemilihan Indonesian Idol, wakil Manado, Dirly sekalipun beragama Kristen tetap didukung. Namun pada sisi yang bersamaan, pembenahan tata kota yang menyingkirkan PKL (Pedagang Kaki Lima) dari pusat kota menuai kontroversi agama dan etnis. Harus diakui, Swazey secara kritis mempertanyakan soal kerukunan. Namun, dalam artikelnya, ia belum melihat jauh kedalam sampai bagaimana mendeskripsi konsep nilai budaya yang mewujud dalam kehidupan nyata.

Weichart juga melihat Torang Samua Basudara, bahkan meletakkannya sebagai judul (dalam bahasa inggris)[9], ia melihat proses pembentukan identitas egaliter dan toleran ini -kebanyakan- secara diakronistis, sekaligus menyimak kontestasi gereja dalam geraknya yang membentuk identitas dimaksud. Namun karena terlampau diakronis, serta berkonsentrasi pada dinamika gereja dan orang Minahasa saja, ia luput mencatat bagaimana kredo tersebut berdinamika sekaligus bermetamorfosa pada masyarakat hingga mencapai bentuknya yang sekarang.

Tirtosudarmo[10] dan laporan LSI yang dimuat pada buletin kajiannya[11], mencermati hubungan antar umat beragama dari sudut pandang dinamika politik daerah. Mereka memandang bahwa orang Islam ditempatkan dalam posisi “nomor dua” pada kancah-kancah politik dan posisi-posisi strategis pemerintahan. Dalam hal kuantifikasi, elit beragama Islam yang muncul dilihat terbatas, hal ini memiliki sisi benarnya. Namun, ketika kita melihat soal kualitas hubungan antar umat dan mengarahkan pandangan pada fakta sejarah, asumsi yang mereka bangun tentu perlu dikritisi sekaligus didialogkan.

Karen Kray dalam tesisnya[12], melihat bagaimana peran pemerintah dan organisasi kepemudaan menjaga kedamaian di Sulawesi Utara, organisasi mampu membangun kekuatan kolektif untuk menjaga kedamaian dan meningkatkan kewaspadaan akan timbulnya konflik. Melalui judulnya, ia mencoba merepresentasikan kesetaraan umat Kristen dan Islam dalam simbol “Lilin” dan “Ketupat”. Hal tersebut hampir senada dengan yang diutarakan oleh David Henley, Mieke Schouten dan Alex Ulaen[13] yang melihat peran lembaga seperti GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) dan kepolisian serta tidak lupa masyarakat dalam menjaga kedamaian di Minahasa, Sulawesi Utara. Namun sebagaimana karya lain pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, karya-karya ini kurang “membumi”, belum sampai pada pendeskripsian spesifik nilai-nilai budaya yang lahir dari masyarakat lokal serta penerapannya dalam kehidupan sehari. Lagipula, karya tentang kehidupan antar umat beragama masih cenderung membagi masyarakat ke dalam dua golongan agama dominan yaitu Kristen dan Islam, sementara kelompok lain yang lebih kecil secara kuantitas seperti diabaikan dalam deskripsi.

 

Manado dan Umat Beragamanya

  1. Heterogenitas Agama Masyarakat

Manado merupakan kota dengan penduduk yang beragam pemeluk agama dan kepercayaannya. Kota yang dikenal sebagai kantong Kristen ini, justru dalam perbandingan antara penduduk Kristen dan Islam ini cukup berimbang. Jumlah penduduk menurut agama hingga tahun 2004[14], yang merupakan tahun terakhir BPS mencantumkan sebaran agama penduduk pada publikasinya adalah: (1) Kristen, 249.194 Jiwa; (2) Islam, 171.742 Jiwa; (3) Katolik, 25.040 Jiwa; (4) Hindu, 4.808 Jiwa; (5) Budha, 8.230 Jiwa. Dalam angka tersebut, yang tidak terdeskripsi secara detail adalah para penganut golongan kepercayaan, hal ini lebih karena sisi politik dari agama yang diakui di Indonesia hingga tidak tercatat dalam publikasi. Kecenderungan saat ini, penduduk Islam dari segi kuantitas berkembang lebih cepat dari penduduk yang lain, hal ini karena faktor arus migrasi baik daerah konflik ataupun untuk tujuan pekerjaan, termasuk juga angka kelahiran bayi pada penduduk beragama Islam lebih cepat dari penduduk beragama lain di Kota Manado[15].

 

  1. Nilai-nilai Budaya dan Dinamikanya Dalam Masyarakat

Masyarakat menunjukkan hubungan mendalam antar budaya berbagai macam masyarakat yang terjadi sebagai akibat adaptasi kultural dengan nilai budaya lokal. Dalam hal ini, masyarakat tempatan yaitu orang Minahasa yang dominan kuantitas memiliki nilai budaya ideal yang adaptif dan berkembang secara alamiah seiring proses interaksi serta diterima dengan baik oleh masyarakat pendatang (bukan orang Minahasa) sebagai culture dominant. Berhubung dengan dengan hal tersebut penulis menggarisbawahi lima nilai budaya yang berdasarkan fakta lapangan sangat segar di pikiran masyarakat Manado secara keseluruhan dan menjadi kontekstual dalam kehidupan interaksi sehari-hari, yaitu :

 

  1. Falsafah Hidup:
  2. Sitou Timou Tumou Tou

Artinya, manusia hidup memanusiakan manusia lain. Anggapan umum menilai, falsafah ini ditelorkan oleh Dr. Sam Ratulangi, yang tepat sebenarnya, beliau menyimpulkannya dari realitas kehidupan bangsa Minahasa yang toleran, saling membangun, akrab dengan sesama serta saling menghargai segala bentuk perbedaan yang melewati sekat-sekat perbedaan kronis, dalam hal ini perbedaan agama sebagai penghambat. Dahulu, falsafah ini sangat nampak muncul pada proses adaptasi antara pengungsi “Perang Jawa” (1825-1830)[16] yang beragama Islam dan masyarakat Tondano, Minahasa beragama Kristen. Orang Jawa yang ketika itu dipimpin Kyai Modjo, hingga kini telah hidup dengan harmonis dengan masyarakat setempat, bahkan beberapa putranya pernah menjadi Walikota Manado (Hi. Abdi Buchari) dan wakil propinsi di MPR-RI (Ishak Pulukadang). Rasa saling terbuka dan menerima perbedaan membuat masyarakat Jawa yang tinggal dalam pembuangan tersebut, sekalipun beragama Islam melabeli diri mereka dengan sebutan Niyaku Toudano (aku orang Tondano)[17].

Saat ini, falsafah hidup tersebut tidak hanya milik orang Minahasa, sebagai masyarakat tempatan Manado. Namun juga oleh semua penduduk kota dari berbagai latar belakang agama. Falsafah ini menjadi tameng utama penangkal konflik dan kemungkinan disintegrasi. Saling membantu, saling hidup menghidupi dalam berbagai bentuk tanpa memperdulikan perbedaan terlihat dari kehidupan masyarakat yang bisa saling mawas diri akan ancaman konflik. Berbagi dengan yang kekurangan, saling mendukung dalam kehidupan sosial serta mentoleransikan adat dan agama yang berbeda, jadi suasana sejuk yang terlihat dalam realitas kehidupan masyarakat;

 

  1. Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara)

Pada awalnya, slogan yang sekarang berubah menjadi nilai budaya ini, ditelorkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara Letjen (Purn) E.E. Mangindaan untuk jadi senjata perekat dalam menghindari konflik SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) yang meluas di Indonesia bagian Timur (1998-1999), agar rasa persatuan dan kesatuan masyarakat tetap merekat. Sejak ditelorkan, slogan ini menjadi ikon hidup masyarakat Manado. Wujud nyatanya, dalam bidang  pendidikan, umat Islam sering sekolah di yayasan pendidikan Kristen dan tetap mampu berinteraksi secara sehat tanpa menghilangkan ciri identitas agamanya. Dalam bidang keagamaan, kita akan sangat terkesima karena kagum, jika mendengar nama Gereja Masehi Injili di Minahasa Jemaat Yarden Kampung Islam, merupakan kumpulan anggota masyarakat beragama Kristen yang eksistensinya diakui selama bertahun-tahun serta telah mendarah daging di lingkungan dominan agama Islam. Masyarakat kota Manado, menganggap tiap manusia sebagai saudara yang harus diakui keberadaannya serta tetap saling mendukung dalam kegiatan positif. Perbedaan agama dan segala bentuk identitas primordial tidak menjadi penghalang untuk tumbuh berkembangnya slogan ini menjadi kata-kata yang dihidupi masyarakat.

 

  1. Nilai Budaya Mapalus (kerjasama)

Pada masyarakat Minahasa, mapalus dilakukan sebagai usaha saling membantu dalam mengerjakan ladang. Saat ini, pemerintah kota Manado menadopsinya terutama ke dalam organisasi BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama) dan BAMAG (Badan Musyawarah Antar Umat Beragama) yang bertugas bekerjasama membangun komunikasi dua arah antara pemimpin agama dengan umat. Kedua organisasi ini dibangun dengan komposisi keterwakilan dari seluruh latar belakang agama yang ada seperti. Dengan begitu, organisasi ini memiliki massa pendukung yang notabene berlainan agama dan tentu saja berlainan etnis. Organisasi masyarakat yang turut menjadi bagian dari usaha membangun komunikasi ini adalah GP Ansor, PMII, HMI, Brigade Manguni, Legium Christum, Paguyuban Kekeluargaan Tionghoa dan sebagainya. Hasilnya, timbul persepsi yang sama mengenai pentingnya hidup damai yang dibangun atas dasar toleransi. Aksi simpatik yang sering dilakukan oleh para pemeluk beda agama adalah saling menjaga keamanan dan kelancaran sekaligus membagikan bunga pada saat ibadah Natal di gereja dan pelaksanaan Sholat Ied ketika Idul Fitri. Pemandangan indah tersebut telah berlangsung sejak lama, sebelum konsep tentang multikulturalisme hangat dibicarakan di Indonesia dan kerusuhan yang membawa isu agama pecah di Indonesia. Terlebih, yang paling emosional, terjadi antara tahun 1998-2002, dimana konflik di Kalimantan dan Maluku sementara membara dan banyak warga dari daerah konflik tersebut yang mengungsi di Manado serta melaksanakan ibadah hari raya keagamaannya masing-masing di Kota Manado.

 

  1. Nilai Budaya Demokrasi

Jauh sebelum Indonesia merdeka dan menjalankan sistem demokrasi modern dalam pemerintahannya. Minahasa telah membangun fondasi demokrasi yang kokoh. Hal ini, nampak dari tidak adanya raja dalam pemerintahan lokal masyarakat Minahasa masa lampau. Tiap kelompok masyarakat, dipimpin oleh “kepala walak” yang merupakan perpanjangan lidah dari warganya. Dalam pengambilan keputusan strategis, seperti pembagian wilayah, para kepala walak melaksanakan musyawarah yang merupakan model demokrasi  ideal dan paling dihargai oleh masyarakat Minahasa. Bahkan, bangunan fondasi tersebut telah ada ketika Minahasaan Raad (Dewan Rakyat Minahasa) menjadi dewan rakyat pertama di Indonesia yang akhirnya merupakan cikal bakal Volks Raad (DPR Indonesia jaman Hindia Belanda). Maknanya dalam kehidupan antar umat beragama di kota Manado adalah sebagai alat akomodasi antar masyarakat terhadap kebutuhan untuk bebas berekspresi sesuai agama yang dianutnya, tanpa merasa tersisih dari kelompok masyarakat dominan. Dengan begitu, warga “pendatang” akan merasa nyaman, sebab diapresiasi dan dihargai. Apalagi, kebutuhan akan kedamaian yang didasari semangat toleransi menjadi tersalurkan dan tidak perlu dengan proses homogenisasi dari kebudayaan mayoritas pada minoritas. Karena, melalui proses demokrasi yang sehat perbedaan justru dimaklumkan untuk hidup dan dipahami sebagai keselarasan serta kebijaksanan dalam bermasyarakat.

 

  1. Nilai Budaya Anti Diskriminasi

Pada tatanan sosial masyarakat Minahasa, diskriminasi, apapun bentuknya adalah haram. Sejak masa lalu, perempuan mendapat tempat, peran dan peluang yang sama dengan laki-laki[18]. Begitu juga halnya tiap kelompok etnis berbeda latar belakang budaya yang ada. Masyarakat Manado tidak terlalu memperhitungkan masalah mayoritas-minoritas agama. Orang asli serta pendatang mendapatkan posisi dan peluang yang sama untuk berkembang dan berekspresi. Bukti sahihnya, walikota baru-baru ini Hi. Abdi Wijaya Buchari adalah “pendatang” dan beragama bukan mayoritas (Islam). Pada masa lalu, ketika  perempuan masih tabu memimpin daerah di Indonesia, Manado sudah memiliki Walikota perempuan, yaitu Ny. Tien Waworuntu (1950-1953). Sama halnya ketika, Letkol. Hi. Rauf Mo’o yang mewakili etnis minoritas Gorontalo sebagai kaum pendatang mampu memimpin kota Manado dengan baik, bahkan menghibahkan tanah pemerintah untuk menjadi sekretariat GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Cabang Manado. Beliau sama halnya dengan bapak Supeno, BA yang memimpin Manado ketika Islam secara kuantitas di Manado belum berkembang sepesat saat ini. Intinya, keterbukaan yang menimbulkan pengakuan terhadap perbedaan, dengan sendirinya akan terimbangi oleh pengakuan terhadap kualitas hidup tiap manusia bukan karena identitas primordial yang alami melekat, namun, oleh usaha dan kerja keras. Sehingga, keterbukaan berekspresi menjadi salah satu pintu gerbang utama dalam membangun kerukunan.

 

  1. Nilai Budaya Silaturahmi

Budaya ini menjadi salah satu perekat kerukunan hidup dalam perbedaan. Tiap orang merasa dihormati dan diakui keberadaanya sebagai manusia. Selain itu, kebiasaan yang menjadi budaya ini, mematahkan eksklusifitas religius. Tidak hanya berlaku untuk hari besar keagamaan, kebiasaan saling mengunjungi Nampak juga dalam kegiatan adat seperti Imlek, Goan Siau, Tulude, hari raya Ba’do Ketupat, Pengucapan Syukur dan lain–lain. Gambaran betapa pentingnya komunikasi harus dijalankan dalam kerjasama dan silaturahmi, menunjukkan betapa indahnya hidup rukun dalam kedamaian yang didasari toleransi.

 

Kesimpulan

Masyarakat di Kota Manado, sekalipun heterogen dan dalam segi jumlah didominasi oleh yang beragama Kristen sejauh ini telah berhasil mengembangkan suatu model interaksi dan relasi antar umat beragama secara setara, toleran serta tidak eksklusif. Dalam hal ini, nilai-nilai budaya yang mendasari adalah falsafah hidup sitou timou tumou tou dan torang samua basudara, nilai budaya mapalus (kerjasama), nilai budaya demokrasi, nilai budaya anti diskriminasi dan nilai budaya silaturahmi.

Lewat lima nilai budaya tersebut masyarakat kota Manado yang beragam religi, membangun dan menguatkan dirinya sebagai kota berwajah ramah dalam hal kebebasan antar umat beragama. Interaksi sehat tersebut justru muncul dari kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup rukun dan damai.

 

Kepustakaan

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama, di dalam Jurnal Wali Songo,  Vol. XVII, Nomor 2 (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Nopember 2009) hlm. 1-33

Badan Pusat Statistik Kota Manado, Manado Dalam Angka 2004 (Manado: 2004)

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995)

Djakaria, Salmin, “Sekelumit Tentang Kampung Jawa Tondano”, di dalam Alex John Ulaen dan Nasrun Sandiah (Ed), Niyaku Toudano Maulud Tumenggung Sis dan Orang Jaton (Manado: Kerjasama BKSNT dan Laboratorium Antropologi Fisip Unsrat, 2003) hlm. 11-24  

Djamal, Murni, Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini (Jakarta : INIS dan PBB UIN Syarif Hidayatullah 2003) Kata Pengantar

Henley, David, M.J.C. Schouten dan Alex J. Ulaen, “Preserving The Peace in Post New Order Minahasa”, di dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Eds.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Soeharto-Indonesia (Leiden: KITLV, 2007) hlm. 308-326  

Kray, Karen P., Operasi Lilin dan Ketupat: Conflict Prevention In North Sulawesi Indonesia, MA Thesis (Ohio: The Faculty of International Studies of Ohio University, 2006)

Koentjaraningarat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002)

Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, di dalam Kajian Bulanan Edisi 10 (Jakarta: Februari 2008)

Nordholt, Henk Schulte, Kriminalitas Modernitas dan Identitas Dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Paassen, Y.V., “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara”, di dalam Koentjaraningrat (Peny.), Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan (Jakarta: LP3ES, 1982) hlm. 371-387

Pratiknjo, Maria Heny, “Kedudukan Wanita Manado dalam Masyarakat”. Materi pada Diseminasi Modul Pendidikan Karakter dan Pekerti Bangsa (Manado, 30 Juli–2 Agustus 2007)

Swazey, Kelly A., “From The City of Brotherly Love: Observation on Christian-Muslim Relations in North Sulawesi”, di dalam Journal of Asian Studies, Volume 7, Issue 2, Special Edition: Islam in Southeast Asia (Manoa, University of Hawai’I, Musim Semi 2007) hlm. 47-51

Tumenggung Sis, Maulud, ”Tradisi Ba’do Ketupat Masyarakat Jaton di Sulawesi Utara”, di dalam Alex John Ulaen dan Nasrun Sandiah (Ed), Niyaku Toudano Maulud Tumenggung Sis dan Orang Jaton (Manado: Kerjasama BKSNT dan Laboratorium Antropologi Fisip Unsrat, 2003) hlm. 63-72

Warsilah, Henny dan Riwanto Tirtosudarmo, “Potensi Sosial Budaya dan Ekonomi Daerah Penelitian (Studi Kasus Dua Kota di Indonesia Bagian TImur: Manado-Sulut dan Denpasar-Bali)” (LIPI: tt) hlm. 33-61

Weichart, Gabrielle, “We Are All Brother and Sisters: Community, Competion and Church in Minahasa” (Department of Social and Cultural Anthropology: University of Vienna, tt)

 

Sumber lain (Surat Kabar):

Kompas, 7 Februari 2011

Kompas, 9 Februari 2011

Kompas, 26 September 2011

Kompas, 30 September 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Peneliti pada Yayasan MarIn-CRC (Maritime Indigenous Research Center) Manado

[2] Murni Djamal, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Jakarta : INIS dan PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2003)  Kata Pengantar : hlm. xi.

[3] Dalam hal ini Zuhairi Mizrawi mewakili suara Solidaritas Bhineka Tunggal Ika

[4] Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas Modernitas dan Identitas Dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 1

[5] Kelly A. Swazey, “From The City of Brotherly Love: Observation on Christian-Muslim Relations in North Sulawesi”, di dalam Journal of Asian Studies, Volume 7, Issue 2, Special Edition: Islam in Southeast Asia (Manoa, University of Hawai’I, Musim Semi 2007, hlm. 47-51) hlm. 47.

[6] Nilai budaya yang dimaksud disini adalah sebagai dalam Koentjaraningarat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 11

[7] Y.V. Paassen, MSC, “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara”, di dalam Koentjaraningrat (Peny.), Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan (Jakarta: LP3ES, 1982) hlm. 371-387

[8] Kelly A. Swazey, Op. Cit.

[9] Gabrielle Weichart, “We Are All Brother and Sisters: Community, Competion and Church in Minahasa” (Department of Social and Cultural Anthropology: University of Vienna, tt)

[10] Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo, “Potensi Sosial Budaya dan Ekonomi Daerah Penelitian (Studi Kasus Dua Kota di Indonesia Bagian TImur: Manado-Sulut dan Denpasar-Bali)” (LIPI: tt) hlm. 33-61

[11] Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, di dalam Kajian Bulanan Edisi 10 (Jakarta: Februari 2008)

[12] Karen P. Kray, Operasi Lilin dan Ketupat: Conflict Prevention In North Sulawesi Indonesia, MA Thesis (Ohio: The Faculty of International Studies of Ohio University, 2006)

[13]  David Henley, M.J.C. Schouten dan Alex J. Ulaen, “Preserving The Peace in Post New Order Minahasa”, di dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Eds.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Soeharto-Indonesia (Leiden: KITLV, 2007) hlm. 308-326  

[14] BPS Manado, Manado Dalam Angka 2004 (Manado: 2004) hlm. 110

[15] Wawancara dengan “S”, pegawai BPS Manado, 27 Mei 2008.

[16] Perhatikan Salmin Djakaria. “Sekelumit Tentang Kampung Jawa Tondano”. Dalam Alex John Ulaen dan Nasrun Sandiah (Ed), Niyaku Toudano Maulud Tumenggung Sis dan Orang Jaton (Manado: Kerjasama BKSNT dan Laboratorium Antropologi Fisip Unsrat, 2003) hlm. 13-14.  

[17] Maulud Tumenggung Sis. ”Tradisi Ba’do Ketupat Masyarakat Jaton di Sulawesi Utara”, di dalam Alex John Ulaen dan Nasrun Sandiah (Ed). Op. Cit., hlm. 64.  

[18] Perhatikan Maria Heny Pratiknjo. “Kedudukan Wanita Manado dalam Masyarakat”. Materi pada Diseminasi Modul Pendidikan Karakter dan Pekerti Bangsa, Manado 30 Juli – 2 Agustus 2007, hlm. 2-10.