Konflik, Musyawarah, Model Pemerintahan, Nasionalisme dan Unifikasi bangsa Minahasa

IMG_8120jjjjj

Oleh : Steven Sumolang (Peneliti Antropologi, BPNB Manado)

Keunikan etnis ini diabnding dengan rata-rata etnik lain ialah Minahasa lahir dari proses unifikasi antar beberapa sub etnis yang mendiami bumi malesung dan unifikasi ini bukan bersatu dalam pola kerajaan tetapi dalam bentuk Republik atau persekutuan. Latar belakang bersatu kebanyakan dikarenakan seringnya konflik internal dan konflik eksternal. Penyelesaian konflik-konflik tersebut selalu dilakukan melalui musyawarah-musyawarah. Hal ini membuat pola pemerintahan di Minahasa berbentuk Republik, musyawarah-musyawarah adalah pengambilan keputusan tertinggi. Pada era Belanda, mereka mencatat bahwa Minahasa memiliki satu lembaga tertinggi yakni Dewan Wali Pakasaan atau oleh Belanda disebut Raad der Dorpshoofden. Dalam lembaga ini duduk para tokoh dari masing-masing pakasaan.

Masing-masing sub etnis di Minahasa selalu saling berperang. Schefold (1998:267) menjelaskan lagi, orang Minahasa dinggap amat suka berperang. Kompetisi individual sangat berarti dalam budaya mereka, sebagaimana terungkap dalam hirarkis dari perayaan-perayaan yang semakin marak dan didasarkan pada perseteruan sebagaimana juga dalam pemburuan kepala manusia (pengayauan). Beberapa ritual mengharuskan adanya korban manusia sehingga perang dengan kampung tetangga sering terjadi, belum lagi masalah batas-batas tanah. Semua dimungkinkan karena pola pemerintahan Minahasa yang tidak mengenal adanya sistem kerajaan, masing-masing kelompok memiliki pimpinan sendiri atau Tonaas yang terpilih dalam kelompok tersebut.

Musyawarah penyelesaian konflik antar kelompok sub etnis di Minahasa dan penyelesaian batas-batas tanah dilakukan dalam musyawarah tertinggi yang ada di Minahasa yakni suatu musyawarah Watu Pinawetengan sehingga muncullah nama Minahasa untuk menyebut forum musyawarah tersebut. Kemudian musyawarah pelangsung terus setiap ada persoalan yang melanda Minahasa, terutama serangan-serangan dari pihak asing seperti bangsa Mindanau, Bolaang Mongondow, dan bangsa Barat.

Perang pertama yang panjang adalah melawan penguasaan kerajaan Mongondow yang berlangsung. Awalnya Raja Damopolii dari Bolmong menikahi gadis Malesung bernama Uwe Randen, sebagai harta kawin diberikanlah daerah Lewet pada orang tua gadis sekitar tahun 1450. Sejak itu suku Tountemboan langsung menduduki atau tumani daerah tersebut. Dikemudian hari daerah ini ingin direbut kembali pada masa kekuasaan raja Loloda Mokoagow pada tahun 1692, karena itu terjadilah peperangan. Serangan pasukan Loloada Mokoagow terjadi beberapa kali. Nanti pada akhirnya mendapat balasan dari pasukan Minahasa atau yang disebut juga pasukan Mahasa dari kesatuan walak Tompaso, Kawangkoan, Rumoong dan Sonder. Ini memaksa pasukan Mongondow harus mengundurkan diri sampai wilayah Mondona (wilayah Bolmong), dalam persitiwa ini Loloda Mokoagow terkena luka dan setahun kemudian meninggal (1693). Peristiwa pengejaran pasukan Mahasa sempat dicegah Residen Jansz Herman Steijenkuiler Kepala VOC di Manado.

Tanah Lewet dan semua wilayah Minahasa Selatan masa sekarang, meski pernah masuk dalam wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, telah menjadi bagian kesatuan tanah Minahasa sebagaimana cerita peperangan diatas. Pada jaman raja Bolmong Jacobus Manoppo, putra Loloda Mokoagow, telah dibuat perjanjian dengan kepala-kepala pakasaan Minahasa tanggal 21 September 1694 dimana batas Minahasa dan Bolmong di tanjung Poigar. Nanti pada tanggal 12 Maret 1907 diadakan penetapan batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow, kolonisasi yang berlangsung terus menerus dari batas sungai Poigar, Gunung Muntoi dan Danau Modoinding telah ditetapkan menjadi milik Minahasa. Perincian batas ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda tanggal 12 September 1907 nomor 30.

Daerah Minahasa Selatan selain hasil dari pemberian hadiah dan peperangan dengan kerajaan Bolmong, orang Minahasa juga menyadari bahwa wilayah ini adalah tanah tua Tou Malesung. Berdasarkan mitos Toar Lumimuut, daerah Minahasa Selatan yang dahulunya merupakan kawasan Wulur Maatus adalah pemukiman awal mereka, sehingga perjuangan yang gigih Tou Malesung berusaha mendapatkan kembali tanah tuanya setelah sempat eksodus dari kawasan tersebut.

Ada cerita lain yang lepas dari permusuhan Minahasa dan Mongondow, bahwa kalangan kerajaan Mongondow beberapa kali menjalin hubungan perkawinan dengan orang Minahasa dan cerita lainnya bahwa pada saat Tou Malesung eksodus dari Tu’ur in Tana di kawasan Wulur Maatus, sebagaian besar menuju timur-utara dan lainnya menuju selatan, mereka yang menuju selatan membuat suku Mongondow sekarang ini. Ternyata etnis Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dikatakan sebagai dua bangsa yang bersaudara, namun dalam kelanjutan selalu bertikai terutama masalah-masalah penguasaan tanah atau wilayah.

Kemudian pada bagian lain lagi, perang antara Minahasa dan Bolaang Mongondow bukan hanya memperluas wilayah Minahasa dari sungai Ranoiapo melebar ke sungai Poigar. Peristiwa tersebut memunculkan istilah Minahasa atau persekutuan. S.Coolsma dalam laporannya mengenai kegiatan Zending di Hindia Belanda bagian timur menyatakan “Kepala-kepala dari beberapa suku bersatu dan mengusir orang-orang Bolaang keluar dari tanah itu. Sejak waktu itu muncul ama Mahasa atau Minahasa (persekutuan).”

Perang besar melawan bangsa Eropa yang dikenang dalam sejarah yakni pertama, perang melawan Portugis dan Spanyol yang melibatkan Pakasaan Tombulu kemudian dibantu rakyat Minahasa lainnya dari Pakasaan Tonsea, Tondano dan Tountemboan. Penyebab perang ini adalah perlakuan tentara Spanyol yang sewenang-wenang kepada orang pribumi hingga beberapa perang terjadi, tahun 1643 terjadi perang di desa Kali menyebabkan 40 orang Spanyol dan para pengikutnya dari Pilipina telah terbunuh. Pada suatu waktu mereka bermasalah dengan pimpinan pakasaan Tombulu terjadilah perang besar. Sebagaimana ditulis saksi perang tersebut, Pater Juan Yranzo yang lolos dalam peristiwan itu, ia menulis perang ini sampai pada puncaknya tanggal 10 Agustus 1644 dimana 10.000 serdadu Minahasa serentak menyerang para serdadu Spanyol. Penyerangan dilakukan pada garnisun pos serdadu Spanyol di seluruh Minahasa seperti Pos Tanawangko, Tomohon, Kawangkoan, Amurang, Bentenan, Tondano, Kema, Airmadidi, Likupang dan Wenang-Manado. Korban banyak berjatuhan dipihak Spanyol, yang pada akhirnya membuat mereka menarik diri dari tanah Minahasa, pindah ke Pulau Siau dan di Pilipina.

Perang besar kedua yakni perang Tondano, perang melawan Belanda berlangsung tahun 1808-1809. Perang Tondano diakibatkan pengingkaran perjanjian persabatan antar Minahasa dengan Belanda, dimana Belanda sudah mulai menjadikan Minahasa sebagai tanah jajahan yang harus tunduk mutlak pada pemerintah colonial Belanda. Reaksi keras diprakasai Pakasaan Tondano, kemudian diikuti pakasaan lainnya di seluruh tanah Minahasa melalui beberapa kali musyawarah Minahasa. Pada akhirnya perang dikobarkan, selama setahun pasukan Minahasa belum dapat dikalahkan malahan Residen C.C. Prediger terkena tembakan pasukan Minahasa yang dipimpin para tokohnya seperti Lontoh Kamasi, Tewu, Matulandi, Lumingkewas dan Mamahit. Serangan terakhir dari berbagai arah kepada pertahanan terakhir Minahasa di Minawanua dilakukan pada tanggal 5 Agustus 1809. Belanda membumihanguskan benteng moraya, inilah perang modern pertama di Indonesia dimana pihak Belanda mendapat perlawanan dari penduduk Minahasa dengan senjata api meriam dan senapan.

Serangan-serangan ini menimbulkan kerjasama antar kelompok melalui musyawarah watu pinawetengan dan beberrapa musyawarah lainnya lagi untuk menghalau kepentingan asing  pada bumi malesung. Ini lagi yang menciptakan proses unifikasi Minahasa menjadi sebuah etnis bangsa. Pada lain pihak Belanda memanfaatkan penduduk pribumi untuk dijadikan tentara mereka dalam pasukan Marsose dan KNIL. Tercatat serdadu Belanda asal Minahasa adalah paling banyak dalam jumlahnya. Mereka terlibat dalam perang Aceh, Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Jawa, dan sebagainya.

Namun demikian perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia, orang Minahasa tidak ketinggalan mengambil bagian, seperti adanya lascar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan Brigade XVII. Lascar-laskar ini sebagian besar adalah warga Minahasa di Pulau Jawa sebagai pasukan terbesar dalam tubuh lascar Indonesia yang berasal dari luar Pulau Jawa dalam rangka membela kemerdekaan Indonesia. Di tanah Minahasa sendiri sangat dikenal peristiwa perebutan Merah Putih tanggal 14 Februari 1946, peristiwa ini menyebabkan kepemimpinan Belanda diambil alih dalam beberapa waktu oleh Tou Minahasa.

Tokoh-tokoh penting dalam perlawanan fisik melawan penjajah dari Tou Malesung seperti Daan Mogot (Direktur Akademi Militer Pertama), Rober Wolter Mongisidi (pemimpin perlawanan di Makasar), AE Kawilarang (pemimpin TNI/TRI, AG. Lembong, E Langkay, Joop Warouw, Ventje Sumual, HV Worang, dll.

Selain perlawanan fisik yang dilakukan Tou Minahasa, perlawanan melalui pergerakan politik dilakukan tokoh-tokoh dari daerah Minahasa ini. Para pahlawan bangsa dalam pergerakan nasional Indonesia dan tokoh pejuang politik nasional tercatat nama-nama seperti Sam Ratulangi (anggota BPUPKI, Gubernur Sulawesi, Penggerak Nasionalisme Indonesia Timur), AA Maramis (Anggota PPKI, Menteri Keuangan Pertama), Arnold Mononutu (Pendiri Perhimpunan Indonesia, Menteri Penerangan Pertama).