Oleh : Jhon Rivel Purba*
Sejarah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 ditandai dengan penerapan Politik Etis yang terdiri dari edukasi, emigrasi, dan irigasi. Di wilayah Bolaang Mongondow, pengaruh pemerintah kolonial Belanda semakin kuat pada periode tersebut. Perluasan kekuasaan di Bolaang Mongondow ditandai dengan penempatan kontrolir pada tahun 1901 di Bolaang Mongondow. Penempatan kontrolir diikuti dengan pembangunan pendidikan lewat pendirian sekolah-sekolah oleh misi Zending. Dalam bidang ekonomi, terjadi perluasan ekonomi lewat pembukaan perkebunan dan eksploitasi tambang logam mulia. Perluasan ekonomi ini didukung dengan pembangunan infrastruktur, saluran irigasi, dan mendatangkan pekerja dari wilayah Sangir, Minahasa, Gorontalo, Jawa, dan wilayah lainnya.
Masuknya Zending di Bolaang Mongondow tidak terlepas dari permintaan Kontrolir Anthon Cornelis Veenhuyzen, yang meminta agar dikirimkan dua orang pendeta untuk membantunya. Di sisi lain, Raja Datu Cornelis Manoppo juga meminta agar pemerintah mengirimkan guru-guru ke Bolaang Mongondow. Permintaan keduanya disetujui oleh pemerintah dengan mengirimkan seorang pendeta bernama Pendeta W. Dunnebier pada 1905. Pada 1906, Zending mengirim 30 orang guru dari Minahasa untuk membuka sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. Sekolah yang dibangun berada di 14 tempat, yaitu: di Kopandakan, Kotobangon, Mariri Lama, Mongkonai, Motoboi Besar, Moyag, Nanasi, Otam, Pasi, Pontodon, Poopo Mongondow, Poopo Nonapan, Popundayan, dan Poyowa Kecil.
Pada periode selanjutnya, pembangunan sekolah-sekolah Zending di Bolaang Mongondow mendapat dukungan dari kontrolir dan raja. Pada 1911 dibangun HIS (Hollands Inlandse School) di Kotamobagu atas persetujuan dari kontrolir dan sumbangan gedung dari raja. Lulusan HIS dapat melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Tondano atau Kweekschool (sekolah untuk menjadi guru) di Tomohon.
Selain Zending, pembukaan sekolah juga diselenggarakan oleh Serikat Islam (SI) sejak tahun 1926 di Molinow. SI Bolaang Mongondow mendirikan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah (BPPI) dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolahsekolah. Dengan demikian, terdapat dua organisasi keagamaan yang mengelola sekolah-sekolah di Bolaang Mongondow sejak tahun 1926, yaitu Zending dan BPPI. Sejak berdirinya BPPI, masyarakat Molinow tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Zending maupun pemerintah. Pada tahun 1931 BPPI mendirikan HIS untuk menampung lulusan sekolah BPPI yang ingin melanjutkan pendidikannya. Bahasa pengantar di sini adalah Bahasa Belanda sama seperti HIS di sekolah Zending. Guru-guru yang mengajar di BPPI didatangkan dari Yogyakarta karena masih kesulitan dalam menyediakan tenaga pengajar dari orang Bolaang Mongondow.
Pembukaan sekolah-sekolah baik oleh Zending maupun Sarekat Islam (SI), pada gilirannya melahirkan golongan terpelajar dan membentuk keberagaman di Bolaang Mongondow. Pada umumnya guru-guru yang didatangkan ke Bolaang Mongondow berasal dari luar (Minahasa dan Yogyakarta), sehingga kedatangan mereka membawa pengaruh (sosial, politik, dan ekonomi) khususnya dalam peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, pembukaan perkebunan dengan mendatangkan pekerja dari luar Bolaang Mongondow, menciptakan heterogenitas masyarakat.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Bolaang Mongondow memiliki potensi ekonomi khususnya dalam bidang perkebunan dan tambang mulia. Perkebunan komoditas ekspor yang utama di wilayah ini pada abad ke-20 adalah kopi dan kopra. Pada awal abad ke-20, pemerintah Kolonial Belanda mulai memperhatikan tanaman kopi setelah sebelumnya terabaikan. Pemerintah mendatangkan pekerja dari Jawa untuk perluasan tanaman kopi di Bolaang Mongondow khususnya di daerah Modayag. Kedatangan orang Jawa ke Modayag untuk merambah hutan guna menanam kopi. Perluasan tanaman kopi ini pada gilirannya meningkatkan produksi kopi Bolaang Mongondow. Kopi dari Bolaang Mongondow secara langsung bermuara ke perdagangan yang ada di Manado.
Perluasan tanaman kelapa secara besar-besaran di Bolaang Mongondow dilakukan pada akhir abad ke-19, seiring dengan melambungnya harga kopra di pasaran dunia. Di Bolaang Mongondow, terdapat 28 konsesi perkebunan termasuk 27 konsesi penanaman kelapa. Para pengusaha perkebunan kelapa membuat kontrak dengan pemerintah kolonial dan penguasa pribumi agar memberikan ijin kepada mereka untuk melakukan aktivitas ekonominya. Dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, didatangkanlah tenaga kerja dari daerah Sangir, Gorontalo, dan Minahasa. Kopra dari pedalaman Bolaang Mongondow diangkut ke Pelabuhan Bolaang, untuk menunggu pengangkutan berikutnya. Sebagian kopra dibawa ke Pelabuhan Manado karena Pelabuhan Bolaang tidak memadai untuk persinggahan kapal KPM. Peningkatan hasil kopra di Bolaang Mongondow tidak terlepas dari usaha intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman kelapa.
Bolaang Mongondow juga dikenal sebagai penghasil logam mulia. Sebelum Belanda mengambil perhatian terhadap pertambangan emas di Bolaang Mongondow, sudah banyak ditemukan pertambangan yang diusahakan rakyat. Penambangan emas rakyat dilakukan dengan peralatan sederhana seperti Pan, Sluige Box, dan meja goyang (wilfley table). Aktivitas pemisahan emas dilakukan dengan bantuan aliran sungai. Seiring dengan meningkatnya jumlah penambang membuat pemerintah Belanda mulai memperhatikan tambang-tambang emas, dengan mengirimkan ahli geologi, Ir. Koperberg. Dari hasil penelitian Koperberg tahun 1904, pemerintah Belanda mengirim maskapai pertambangannya ke wilayah yang dianggap banyak mengandung emas.
Sejak 1917, perusahaan eksplorasi dan eksploitasi Bolaäng Mongondou tidak hanya memperoleh emas tetapi juga perak. Hasil perusahaan eksplorasi dan eksploitasi Bolaäng Mongondou bersifat fluktuatif, tetapi mengalami penurunan yang drastis sejak tahun 1926, dan mengalami pailit pada tahun 1931. Di sisi lain, wilayah pertambangan yang ditinggalkan Belanda, dimanfaatkan oleh pertambangan rakyat.
ditandai dengan penerapan Politik Etis yang terdiri dari edukasi, emigrasi, dan irigasi. Di wilayah Bolaang Mongondow, pengaruh pemerintah kolonial Belanda semakin kuat pada periode tersebut. Perluasan kekuasaan di Bolaang Mongondow ditandai dengan penempatan kontrolir pada tahun 1901 di Bolaang Mongondow. Penempatan kontrolir diikuti dengan pembangunan pendidikan lewat pendirian sekolah-sekolah oleh misi Zending. Dalam bidang ekonomi, terjadi perluasan ekonomi lewat pembukaan perkebunan dan eksploitasi tambang logam mulia. Perluasan ekonomi ini didukung dengan pembangunan infrastruktur, saluran irigasi, dan mendatangkan pekerja dari wilayah Sangir, Minahasa, Gorontalo, Jawa, dan wilayah lainnya.
Masuknya Zending di Bolaang Mongondow tidak terlepas dari permintaan Kontrolir Anthon Cornelis Veenhuyzen, yang meminta agar dikirimkan dua orang pendeta untuk membantunya. Di sisi lain, Raja Datu Cornelis Manoppo juga meminta agar pemerintah mengirimkan guru-guru ke Bolaang Mongondow. Permintaan keduanya disetujui oleh pemerintah dengan mengirimkan seorang pendeta bernama Pendeta W. Dunnebier pada 1905. Pada 1906, Zending mengirim 30 orang guru dari Minahasa untuk membuka sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. Sekolah yang dibangun berada di 14 tempat, yaitu: di Kopandakan, Kotobangon, Mariri Lama, Mongkonai, Motoboi Besar, Moyag, Nanasi, Otam, Pasi, Pontodon, Poopo Mongondow, Poopo Nonapan, Popundayan, dan Poyowa Kecil.
Pada periode selanjutnya, pembangunan sekolah-sekolah Zending di Bolaang Mongondow mendapat dukungan dari kontrolir dan raja. Pada 1911 dibangun HIS (Hollands Inlandse School) di Kotamobagu atas persetujuan dari kontrolir dan sumbangan gedung dari raja. Lulusan HIS dapat melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Tondano atau Kweekschool (sekolah untuk menjadi guru) di Tomohon.
Selain Zending, pembukaan sekolah juga diselenggarakan oleh Serikat Islam (SI) sejak tahun 1926 di Molinow. SI Bolaang Mongondow mendirikan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah (BPPI) dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolahsekolah. Dengan demikian, terdapat dua organisasi keagamaan yang mengelola sekolah-sekolah di Bolaang Mongondow sejak tahun 1926, yaitu Zending dan BPPI. Sejak berdirinya BPPI, masyarakat Molinow tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Zending maupun pemerintah. Pada tahun 1931 BPPI mendirikan HIS untuk menampung lulusan sekolah BPPI yang ingin melanjutkan pendidikannya. Bahasa pengantar di sini adalah Bahasa Belanda sama seperti HIS di sekolah Zending. Guru-guru yang mengajar di BPPI didatangkan dari Yogyakarta karena masih kesulitan dalam menyediakan tenaga pengajar dari orang Bolaang Mongondow.
Pembukaan sekolah-sekolah baik oleh Zending maupun Sarekat Islam (SI), pada gilirannya melahirkan golongan terpelajar dan membentuk keberagaman di Bolaang Mongondow. Pada umumnya guru-guru yang didatangkan ke Bolaang Mongondow berasal dari luar (Minahasa dan Yogyakarta), sehingga kedatangan mereka membawa pengaruh (sosial, politik, dan ekonomi) khususnya dalam peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, pembukaan perkebunan dengan mendatangkan pekerja dari luar Bolaang Mongondow, menciptakan heterogenitas masyarakat.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Bolaang Mongondow memiliki potensi ekonomi khususnya dalam bidang perkebunan dan tambang mulia. Perkebunan komoditas ekspor yang utama di wilayah ini pada abad ke-20 adalah kopi dan kopra. Pada awal abad ke-20, pemerintah Kolonial Belanda mulai memperhatikan tanaman kopi setelah sebelumnya terabaikan. Pemerintah mendatangkan pekerja dari Jawa untuk perluasan tanaman kopi di Bolaang Mongondow khususnya di daerah Modayag. Kedatangan orang Jawa ke Modayag untuk merambah hutan guna menanam kopi. Perluasan tanaman kopi ini pada gilirannya meningkatkan produksi kopi Bolaang Mongondow. Kopi dari Bolaang Mongondow secara langsung bermuara ke perdagangan yang ada di Manado.
Perluasan tanaman kelapa secara besar-besaran di Bolaang Mongondow dilakukan pada akhir abad ke-19, seiring dengan melambungnya harga kopra di pasaran dunia. Di Bolaang Mongondow, terdapat 28 konsesi perkebunan termasuk 27 konsesi penanaman kelapa. Para pengusaha perkebunan kelapa membuat kontrak dengan pemerintah kolonial dan penguasa pribumi agar memberikan ijin kepada mereka untuk melakukan aktivitas ekonominya. Dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, didatangkanlah tenaga kerja dari daerah Sangir, Gorontalo, dan Minahasa. Kopra dari pedalaman Bolaang Mongondow diangkut ke Pelabuhan Bolaang, untuk menunggu pengangkutan berikutnya. Sebagian kopra dibawa ke Pelabuhan Manado karena Pelabuhan Bolaang tidak memadai untuk persinggahan kapal KPM. Peningkatan hasil kopra di Bolaang Mongondow tidak terlepas dari usaha intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman kelapa.
Bolaang Mongondow juga dikenal sebagai penghasil logam mulia. Sebelum Belanda mengambil perhatian terhadap pertambangan emas di Bolaang Mongondow, sudah banyak ditemukan pertambangan yang diusahakan rakyat. Penambangan emas rakyat dilakukan dengan peralatan sederhana seperti Pan, Sluige Box, dan meja goyang (wilfley table). Aktivitas pemisahan emas dilakukan dengan bantuan aliran sungai. Seiring dengan meningkatnya jumlah penambang membuat pemerintah Belanda mulai memperhatikan tambang-tambang emas, dengan mengirimkan ahli geologi, Ir. Koperberg. Dari hasil penelitian Koperberg tahun 1904, pemerintah Belanda mengirim maskapai pertambangannya ke wilayah yang dianggap banyak mengandung emas.
Sejak 1917, perusahaan eksplorasi dan eksploitasi Bolaäng Mongondou tidak hanya memperoleh emas tetapi juga perak. Hasil perusahaan eksplorasi dan eksploitasi Bolaäng Mongondou bersifat fluktuatif, tetapi mengalami penurunan yang drastis sejak tahun 1926, dan mengalami pailit pada tahun 1931. Di sisi lain, wilayah pertambangan yang ditinggalkan Belanda, dimanfaatkan oleh pertambangan rakyat.
*Penulis, Peneliti Sejarah BPNB Sulut Kemdikbud