You are currently viewing PERSERIKATAN MINAHASA Oleh Dr GSSJ Ratulangi – 1917

PERSERIKATAN MINAHASA Oleh Dr GSSJ Ratulangi – 1917

Terjemahan Ben Wowor dari “Koloniaal Tijdschrift 1917” – Belanda

Artikel dari Dr. Ratulangi berikut ini  menyangkut  ceramah tuan Frits LAOH, wakil Perserikatan Minahasa  dalam Komisi “Indie Weerbaar” (Ketahanan Indonesia) yang diberikan kepada “Vereniging Ambtenaren BB” ttgl 4 Juni 1917. Pengikut ceranah F. Laoh tsb yang membaca Laporan dari Ratulamgi ini berkesan isinya agak menyimpang dari ceramah Laoh iru. Hal ini diakui Ratulangi sendiri pada  bagian pembukaan dari artikenyai dibawah ini :

Terdahulu suatu penjelasan singkat. Tuan Laoh minta kepada saya sebelum keberangkatannya ke Indonesia supaya menulis suatu rangkuman  dari ceramahnya untuk diberikan kepada pers dan diketahui umum. Hal yang sama pun telah diminta kepada saya oleh Koloniaal Tijdschrift yang saya penuhi sekrang ini.

Pembaca akan bertanya apakah saya dapat menjamin bahwa karangan saya ini benar-benar sesuai dengan ceramah utusan Perserikatan Minahasa itu. Sayang saya harus katakan disini bahwa persamaan sesuai ucapan kata-katanya dalam ceramahnya itu tidak mungkin. Selama tuan Laoh bersama saya di Belanda ini kami telah banyak bertukar pikiran. tentang masalah bangsa dan tanah air kami sehingga saya kini dapat bertanggung-jawab atas persamaan persepsi antara orang Minahasa di Belanda   dan mereka di tanah air, yang telah disuarakan tuan Laoh untuk membangun suatu cita-cita politik yang terarah untuk masa depan.

Pandangan-pandangan berikut ini adalah sesunguhnya berdasarkan kompromi  antara kami berdua.

Bukanlah maksud saya  untuk menjelaskan secara rinci tentang cita-cita kami. Pokok pembicaraan ini juga tidak dibahas dalam ceramahnya tuan F.Laoh pada rapat perserikatan para ambtenar Binnenlands Bestuur  termaksud, sekalipun  terdapat beberapa masalah yang diungkapkannya menyangkut berbagai rintangan terhadap perkembangan tenaga kerja orang Minahasa.

Karena sebentar nanti akan perlu dibahas tentang keneteralan orang Minahasa sebagai suatu factor dalam  pandangan ceramahnya, tuan Laoh sebelumnya memberikan  ringkasan sejarah  tentang sikap rakyat Minahasa sebagai motivasi bagi pendirian Perserikatan Minahasa (PM).

Sejarah perkembangan Minahasa dapat dibagikan secara jelas dalam tiga fase atau periode : (1) Masa pra-penginjilan,  (2)  masa kristianisasi dan (3) masa sedudah tahun 1900. Masa terakhir ini terkenal sebagai periode  exodus orang-orang Minahasa.

Pembagian periode ini  disebabkan oleh pengaruh besar dari Zending terhadap Minahasa. Dapat dibayangkan bagaimana keadaan Minahasa jika kita abaikan hasil karya Riedel dan Schwartz, para pionir kristianisasi di masa itu. Seorang filsauf-alam manca negara, Sydney Hickson, yang membandingkan berbagai daerah missi di muka bumi ini   menyimpulkan : “bahwa prestasi  kedua pionir ini tidak ada taranya dalam sejarah missi kristianisasi selama abad ke-19”

Tetapi kita sekarang telah mendahului urutan fakta. Tentang persoalan ini akan kita lanjutkan lagi.

Kontak pertama kita dengan orang Belanda mulai pada paroh kedua abad ke-17  Pada periode itu rakyat Minahasa yang sudah jenuh dengan hegemoni orang Spanyol  mengirim tiga  utusan kepala walak (penghulu)   ke Ternate untuk meminta intervensi  orang-orang Belanda yang berdiam disana. Setelah beberapa tahun berlalu datanglah perutusan Belanda dibawah pimpinan Simon Cos dengan sebuah armada kecil di pelabuhan Manado. Bagaimana selanjutnya persoalan mereka dengan orang Spanyol tidak kami masalahkan, namun kenyataannya pengaruh Spanyol telah dilenyapkan oleh Belanda.

Lahirlah sebuah kontrak atau perjanjian (verdrag) antara Minahasa dan Belanda yang salinannya kini terdapat di dalam arsip Kerajaan Belanda. Kebenaran salinan ini dan apakah terjemahannya sesuai dengan naskah Melayu  masih diragukan. (baca Kesteren dalam Indische Gids tahun 1891). Selainya itu menjadi masalah apakah bahasa Melayu sudah dipahami umum di pedalaman Hindia Timur Belanda dan tidak luput dari salah pengartian. Bagaimana pun juga, kontrak perjanjian  ini  (yang didalamnya diakui kepatuhan dan kesetiaan rakyat Minahasa terhadap  hegemoni VOC-Belanda disamping penyediaan tenaga kerja dan pemasokan beberapa hasil komoditi tanpa imbalannya),  tidak lama kemudian sudah diganti dengan kontrak lain yang nadanya berbeda. Dalam kontrak ini tetap diakui suatu hubungan kemiteraan (bondgenootschap) antara orang Minahasa  dengan orang Belanda. Kontrak ini menurut anggota Parlemen Belanda, de Kol, dan penulis Indische Gids di tahun 1891, tidak pernah dibatalkan dan sampai sekarang  keabsahannya masih berlaku. (Baca Kesteren dalam Indische Gids tahun 1878, 1880, 1881, 1891, 1892,, 1893 dam 1894).

Dengan demikian kini kita  telah tiba dalam  suasana yang diliputi dengan banyak kali salah-pengartian. Sebab itu kami sebelumnya  menyatakan disini bahwa  kami tidak bermaksud untuk menghebohkan suatu isu separatisme dalam hubungan kami dengan  struktur kesatuan pemerintah  Hindia-Belanda  yang ada sekarang ini. Kami mengakui sepenuhnya kedaulatan  dari pemerintah Hindia-Belanda !

Setelah pengakuan iman politik yang enteng ini kami dapat melangkah  seterusnya dengan rasa aman.

Kontrak yang disebut diatas yang saya pahami sesungguhnya masih berlaku sah dan telah diakui umum di Minahasa.. Salinan-salinan dapat diperoleh dari berbagai keluarga tua yang menyimpannya, dalam bahasa Melayu dan dalam naskah bahasa-lama Belanda  Itulah sebabnya orang Minahasa menganggap dirinya sebagai mitera dan bukan sebagai bangsa yang dikalahkan Belanda oleh sesuatu peperangan.! Perwira-perwira yang berpengalaman di Hindia-Belanda juga dapat menegaskannya.

Kami tidak berkesempatan dalam kesibukan kami di berbagai tempat untuk meneliti penerapan selama ini dari kontrak bilateral termaksud. Kami mengharap sekali ini dapat keluar dari kegelapan yang meliputi kami dalam periode ini. Dalam membahas masalah ini berupa tulisan-tulisan, banyak kali kepada orang Minahasa dilontarkan  kata-kata yang tidak menyenangkan  bilamana diperingatkan tentang keabsahan  kontrak termaksud sampai pada saat sekarang..

Mereka yang gila kekuasaan harus menyadari bahwa  perangkap atau jebakan yang tersembunyi dengan mudah mendatangkan bahaya, sedangkan jika terbuka atau terungkap bahaya dapat dihindari atau ditiadakan..

Bahwa hubungan antara orang Belanda dan orang Minahasa pada mulanya  adalah setara antara produsen dan pembeli hasil-hasil  bumi-hutan, ini  sudah cukup jelas. Juga adalah wajar jika diperlakukan politik etik aliran Barat yang pada periode berikut  memegang peranan penting dalam rangka ketatanegaraan kolonial  Belanda, demikian pun oleh Inggeris, Perancis dll, namun pada masa oleh pedagang VOC etisch politiek masih belum dikenal.

Selama periode kontak pertama dengan orang Belanda sampai awal abad ke-19,  hanya terdapat sedikit  perubahan dalam institusi kepemerintahannya.

Minahasa dikuasai oleh  kepala-kepala walak yang secara bergabung mewakili rakyat daerah Minahasa terhadap kekuasaan-kekuasaan asing. Adat-istiadat tidak ditekan sepanjang tidak mengganggu  keselamatan rakyat. Matahari tetap bersinar dan hasil bumi sebagai komoditi mengalir terus ke pelabuhan untuk dikapalkan. Upaya mendadak  pengkristenan penduduk pribumi oleh kaum Yesuit Spanyol segera beralih kembali ke hidup kekafiran.. Juga setelah pemerintahan sementara Inggeris dikembalikan kepada pemerintah Belanda dan bukan lagi kepada kekuasaan VOC, tidak ada perubahan berarti  bagi rakyat Minahasa.

Tetapi kedatangan Riedel dan Schwartz di tahun 1830 membuka suatu babak baru dalam  hubungan Minahasa dan Belanda, dari sifat kemiteraan tanpa campur tangan dalam urusan rumah tangga masing-masing menyebabkan terjadi pembauran hidup kedua bangsa khusus di bidang keagamaan Dari Schwartz, seorang Jerman dari kota Koningsbergen kurang diketahui tentang persiapannya  untuk tugas zending ini. Tentang Riedel hanya dapat diketahui dari biografinya ”Das Lebensbild  Riedels” oleh Bange, namun tidak terungkap kehebatan prestasi  dalam pengabdiannya sebagai missionaris. Untuk Minahasa kedua nama tokoh ini tidak dapat dipikirkan terpisah. Keduanya telah berkarya bersama-sama selama bertahun-tahun dan merupakan penggerak dalam evolusi kristianisasi bagi seluruh penduduk Minahasa  dan yang berhasil dicapai pada akhir masa hidup mereka . Kristianisasi di Minahasa adalah sangat penting karena telah membawa perubahan total dalam moralitas  dan pandangan hidup kemasyarakatan dan rumah-tangga.

Jasa dari para misionaris ini ialah bahwa mereka telah  mengubah adat-istiadat sampai pada akar-akarnya kendati sudah tertanam dalam hidup kemasyarakatan  yang  religius tetapi kini tidak dapat lagi ditolerir dan perlu berintegrasi dalam masyarakat modern ini. Bahwa cara radikalisme  telah menghapuskan beberapa elemen budaya yang sebaiknya perubahan  ditangani berhati-hati dengan memperhatikan kejiwaan rakyat, hal ini dapat dimengerti,  tetapi tidak begitu disesalkan karena nilai kerugian tidak sebanding dengan nilai keuntungannya.

Ada yang mengatakan bahwa orang Minahasa karena putus dengan masa lalu, dengan meninggalkan adat-istiadat lama, sudah menjadi bangsa yang hilang keseimbangannya. Marilah kita akui seketika bahwa hal ini benar Kami yakin bahwa sekali waktu akan timbul suatu reaksi. Beberapa kali kami katakan bahwa selama waktu berjalan ide-ide akan terpendam dalam insan bangsa; dan orang Minahasa akan menyerap unsur-unsur peradaban Kristen barat dan memanifestasikannya menurut wataknya sendiri.

Kami menunjuk pada  suatu analogi  yang telah berlaku di Asia-Timur. Disana seni-lukis Jepang menurut pakar penilai seni di tahun 1890-an sedang menuju dan meniru seni dunia Barat. Lalu kemudian berkembang  berbalik ke budaya lama dan terciptalah hasil seni lukis termashur dari para seniman Timur masa kini. Naturalisme dan perspektif dipadukan dengan subtilitas atau kehalusan pandangan obyektif dari Timur.

Pada tahun 1876 misi Zending menarik diri dari Minahasa  dan umatnya beralih ke bawah pimpinan Indische Kerk. Pada tahun-tahun terakhir masa Zending  terjadi suatu persaingan antara Zending dan Pemerintah  dalam mendirikan sekolah-sekolah. Akibatnya pendidikan rakyat di Minahasa secara kualitatif dan kuantitatif  tercatat tertinggi di Hindia Belanda.

Kata orang hal ini membawa akibat-akibat buruk karena Minahasa kebanjiran tenaga manusia  intelek. Kami  mengingatkan disini bahwa suatu pendidikan dasar belum dapat menandakan atau disamakan dengan “kesarjanaan”. Kita juga akan membantah bahwa suatu pendidikan dasar tidak dibutuhkan  oleh rakyat.    Minahasa tidak lagi menjadi hanya suatu karia unggul yang terisolasi dari Zending, tetapi rakyatnya sudah menyebar luas dalam perlintasan dunia. Kita cukup melihat situs geografik dari peta nusantara ini  disamping hubungan pelayaran kapal dalam  lalu-lintas laut dengan pelabuhan-pelabuhan di manca negara.

Ada keberatan lain, bahwa pendidikan itu mahal. Kita dapat berdiskusi tentang tema keberatan ini sebentar lagi.

Diatas segala-galanya kami kemukakan dahulu bahwa serangan terhadap pendidikan dan pengajaran di Minahasa, di mata kami, hanya bermaksud untuk mengalihkan perhatian kepada  soal-soal  sampingan.

Ada pihak (Belanda) yang mempersalahkan pendidikan sebagai penyebab ekonomi yang tidak sehat di Minahasa : masing-masing  ingin saja menjadi klerk dan  meninggalkan   statusnya sebagai petani

Marilah  sebelum kita  membahas pandangan keanak-anakan ini melihat kenyataan berapa orang Minahasa  yang pada sekarang ini menjadi “klerk-klerk kecil”. Jika kita tetapkan jumlah 500 orang, anggaplah ini sudah cukup banyak. Dibanding dengan jumlah ini terdapat 8000 serdadu Minahasa dan 2000 agen  polisi yang menurut pimpinan Perserikatan Minahasa bertugas di luar daerah Minahasa. Disamping ini perlu diketahui bahwa di seluruh nusantara ini tersebar 3000 orang Minahasa yang bekerja sebagai pekerja dan mandor. Ini merupakan suatu alasan yang serius bahwa 13.000 sumber daya manusia dari jumlah penduduk Minahasa sebesar k.l. 250.000 jiwa, telah meninggalkan  daerah ini  menjadi tenaga kerja. Cita-cita “ingin menjadi klerk”  yang ditengarai orang kepada suku Minahasa ini  telah menyatakan kepicikan pandangan mereka, sekalipun benar ada beberapa yang merasa  terpanggil untuk menjadi klerk atau jurutulis kantor. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setelah beroleh pendidikan sekolah dasar, mental rakyat mendadak berobah menjadi benci bertani. Harus diingat bahwa pada mulanya para pendekar dulu yang bertugas  sebagai pengajar agama, guru sekolah rakyat dan pegawai rendah pemerintah, melakukan tugasnya  sambil bertani, karena   gaji mereka itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang sedang berkembang maju.

Tetapi sebaiknya kita mencari alasan yang sebenarnya yaitu pada situasi sosial didalam mana rakyat Minahasa hidup pada masa itu. Kami yakin  jika diadakan suatu angket untuk mengetahui motif-motif mana sebenarnya yang telah  menyebabkan banyak  rakyat   Minahasa meninggalkan daerah kampung halamannya, akan ternyata bahwa  sebagian terbesar alasan adalah dorongan untuk  luput dari kewajiban tugas negara dan kampung (herendienst dan sawang pinontol).

Disini kita telah tiba pada suatu masalah yang urgen bagi Minahasa yang tak dapat dihindari (conditio sine qua non).

Penerapan heren-dienst dan kampong-dienst  ini berarti bagi semua pria Minahasa  yang dikenakan wajib kerja bakti ini tiap tahun harus korbankan 40 sampai 55 hari. Dalam perhitungan ini kita  mengambil jumlah terendah dan aman, yaitu 35 hari dari angka yang kami terima dari para kepala distrik. Ini berarti bahwa pajak tahunan per orang  dengan upah f 0.60 x 35 hari berjumlah f 21.- Disatukan dengan pajak tahunan pribadi yang ditetapkan, maka dapat dibayangkan betapa banyak tenaga dan uang yang dikuras dari seorang SDM Minahasa setiap tahun karena kewajiban herendienst dan dinas kampung (pinontol) ini. Apalagi kalau waktu-waktu ini  kena pada masa tenaga petani ini sangat dibutuhkan  di kebunnya.

Sebagian besar dari emigran Minahasa disebabkan karena tekanan herendienst ini dan kesulitan  hidup. Mereka tertarik menjadi tentara atau polisi dengan jaminan pensiun atau ada pula yang bekerja  pada perusahan swasta  sebagai karyawan atau mandor di tanah asing untuk kemudian  di hari tua baru kembali di Minahasa karena telah bebas dari wajib kerja negeri itu. Suatu kategori lain yang keluar daerah terdiri dari  mereka yang terhitung tingkat berada dari kalangan petani, pedagang dan pegawai negeri, karena wajib kerja negeri itu tidak dapat ditebus. Apalagi tugas negeri ini terdiri dari  pekerjaan pembuatan jalan seperti pemecahan batu dan pemindahan lalu pengangkutan tanah atau pasir. Mereka boleh saja  dituduh hanya ingin pekerjaan halus saja atau malu  melakukan pekerjaan kasar, tetapi bagi kami alasan eksodus  demikian ini adalah wajar dan bukan suatu politik burung untah    untuk menutupi alasan tuduhan yang ditengarai itu.

Cara terakhir supaya bebas dari wajib kerja negeri itu ialah golongan muda yang dituduh berupaya  menjadi jurutulis atau klerk kecil pada instansi pemerintah setempat  sekalipun  harus melalui masa magang yang lama, mula-mula tanpa gaji,  kemudian dengan menerima upah yang sangat rendah untuk pada akhirnya memperoleh topi-pet berlingkaran perak tanda kesabaran dan kesetiaannya.

Kedua kategori tentang kaum emigran dan penduduk yang menetap ini, praktis tidak memberi arti dalam  membentuk suatu dasar kekuatan ekonomi nasional..

Tentang herendienst dan pinontol ini kami simpulkan  sebagai berikut:

Pertama : Kedua sistem penugasan paksaan ini  telah  menghambat  perkembangan ekonomi rakyat yang bebas dan teratur, belum dihitung nilai uang atas prestasi kerja tersebut yang hilang itu.

Kedua: Karena institusi ini tidak popular maka SDM rakyat yang seharusnya dikerahkan untuk meningkatkan posisi finansialnya, terpaksa mencari pelarian untuk keluar daerahnya atau mengejar posisi setempat yang tidak produktif-ekonomis.

Ketiga: Karenanya ribuan rakyat melemahkan potensi kesukuan dari  penduduk  Minahasa.

Demikianlah tentang makna institusi herendienst  atau wajib negeri tersebut. Kami melihat bahwa orang Minahasa di tanah-airnya sendiri hidup tertekan sedangkan eksodus keluar daerahnya lebih menguntungkan  cara hidupnya.. Ini adalah suatu kenyataan!  Dibalik itu orang Minahasa karena kecerdasannya  (yang tak dapat disangkal pada umumnya  melebihi suku-suku lain di Hindia-Belanda) menjadi SDM yang disukai  sebagai tenaga kerja. Di perkebunan dan di lapangan industri di Sulawesi dan Kalimantan orang Minahasa bukan lagi dianggap suku asing. Juga di Jawa dan Sumatera mereka dapat tembus dan menyatu dengan rakyat.  Lapangan kerja bagi pemuda Minahasa terbuka dalam ketenteraan dan kepolisian Hindia-Belanda. Sifat-sifat dan jiwa kemiliteran orang Minahasa dan Ambon cukup terkenal. Tetapi pihak lawan terhadap suku Minahasa dan Ambon  sering tidak  memperhitungkan  kesan-kesan dan penilaian positif yang diakui para perwira Belanda tentang  jiwa kemiliteran dari  kedua suku ini..

Kami perlu mengemukakan beberapa angka statistik ketentaraan menurut Laporan Kerajaan dibawah huruf A. Pertama-tama tentang anggota tentara dibawah pangkat perwira yang dipecat tidak dengan hormat atau yang diturunkan pangkatnya  menurut prosentasi (%).

Tahun        1908   1909   1910   1911   1912   1913   1914

Eropa         4.25      4.72    5.26     5.08     5.66    5.88    6.20

Jawa dll      1.50      1.31    1.46     1.37     1.96    3.72    4.25

Manado/Ambon :

0.20      0.27    0.52     0.68      0.47     0.42    0.30

Jelas disini cukup menonjol jiwa positif kemiliteran dari  Menadonees-& Ambonees soldaat.

Sedangkan yang diturunkan pangkatnya dibandingkan dengan militer Eropa/Belamda :

1908 s/d 1910     Minahasa/Ambon   =  1 orang

Eropa/Belanda       = 75 orang

1911 s/d  1913    Minahasa/Ambon   =   3 orang

Eropa/Belanda       = 63 orang

1914                    Minahasa/Ambon   =  1 orang

Eropa/Belanda      =  30 orang

Dari angka kriminalitas militer kita berpindah dan melihat perbandingannya  dalam statistik tentang prestasi mereka masing-masing bangsa dalam dinas ketentaraan KNIL dari tahun 1910 sampai tahun 1914, sebelum Perang Dunia I, dalam catatan angka penganugerahan tanda jasa.:

  1. =   pernyataan dengan penuh hormat

II   =   tanda-tanda jasa keberanian dan kesetiaan

(e = mas, p = perak, t = tembaga)

III   =   bintang kehormatan ( juga e, p dan t)

IV   =  Wilemsorde Militer kelas-IV (-III bagi Minahasa !)

 

Dari tahun 1910  s/d  1914  dianugerahkan kepada tentara  :

I                II                III                IV

Eropa/Belanda      46               –           6 e, 14 p, 3 t         26

Minahasa/Ambon   52          3 p, 23 t            2 t                  7

Jawa, Sunda dll.    18                3 t          1 p. 3 t                2

Ternyata bahwa selama periode tersebut tentara yang  mendapat bintang jasa dalam ekspedisi operasi di lapangan :

Eropa 49,  Minahasa/Ambon 35 dan Jawa dll. 10 bintang  Cukup bukti bahwa tentara Minahasa dan Ambon benar-benar berprestasi dalam tugas mereka sehingga membantah tuduhan: “sekadar menjadi tempat pelarian”. Letkol Mercus dalam suatu rapat yang membahas ilmu perang berkata: “Di seluruh Hindia Belanda tidak ada suatu suku seperti bangsa Swiss yang memiliki jiwa dan sifat-sifat kemiliteran, kecuali suku Minahasa”. Tetapi di pihak lain, suku ini tidak diberi kesempatan kenaikan pangkat  lebih dari pangkat bintara, begitu pun gaji mereka lebih rendah dari mitranya sepangkat dari bangsa Eropa/Belanda.

“Disinilah kita tiba pada tujuan organisasi Perserikatan Minahasa Hal ini berulang-ulang kali diserukan dalam pertemuan-pertemuan umum PM, sebagaimana diuraikan dalam sebuah artikel dibawah judul: “Minahasa dan  Gerakan Indonesia” (De Minahassers en de Indische Beweging)  Lama-kelamaan  semangat kebangsaan mulai muncul dan mendominasi dalam gerakan Perserikatan Minahasa. Perbedaan substansi dengan perserikatan sejenis  di Jawa bukan terletak pada tujuannya, tetapi lebih pada cara dan waktu untuk mencapai tujuan itu .Tujuan PM seperti juga SI adalah supaya berkuasa penuh dalam partisipasi membahas dan menentukan kepentingan bangsa pribumi Indonesia”.

(Dr. GSSJ  Ratulangi)