Kesenian Hadrah Jawa-Tondano

Salah satu tokoh yang juga diasingkan di Minahasa adalah Raden Syarif Abdullah Assegaf atau dikenal dengan Sayid Abullah bin Umar Assegaf, seorang keturunan Arab yang berasal dari Palembang Sumatra Selatan. Selain sebagai guru ngaji, Sayid Abdullah Assegaf juga merupakan sosok yang berjiwa seni. Beliaulah yang pertama kali memperkenalkan sekaligus mengajarkan kesenian yang bernuansa Islami seperti rodat/hadrah, kasidah dan zamrah. Kapan pertama kali kesenian hadrah diajarkan tidak ada data atau informan yang mengetahuinya, namun hadrah pertama kali ditampilkan pada tahun 1959 pada acara pernikahan di Kampung Jawa. Pada acara tersebut yang tampil melantunkan syair sekitar 20 orang dan penabuh rebana 7 orang. Semuanya adalah laki-laki yang sudah tua. Syair yang dilagukan dari awal hingga akhir berasal dari Kitab Barzanji dan menggunakan bahasa Arab.

Kesenian Hadrah bukan saja dikenal dan dimiliki oleh masyarakat Kampung Jawa yang ada di Minahasa tetapi juga masyarakat kampong Jawa yang ada di Gorontalo, Bolaang Mongondow, dan Jailolo Maluku Utara. Orang Kampung Jawa berpegang teguh pada ungkapan leluhur yang berbunyi “kayu jati wes mati, tunggak jarak, wes merajak” artinya walaupun orang-orang terdahulu sudah tidak ada di dunia ini. Namun keturunannya tetap meneruskan kebudayaan dengan jalan menyebar di atas permukaan bumi ini. Kesenian ini sudah beberapa kali mewakili Sulawesi Utara mengikuti lomba baik tingkat daerah maupun nasional dan tercatat mendapat juara.