ARSITEKTUR TRADISIONAL ORANG KAILI

Oleh: Ricky FS. Rumagit

  1. Pengantar

Daerah Sulawesi Tengah yang didiami banyak kelompok etnik, sesungguhnya memiliki banyak bangunan tradisional sebagai peninggalan masa dahulu yang bernilai arsitektural dan sejarah budaya yang bernilai cukup tinggi (Mariani dan Zulfitriah, 1999: 1). Dapat disebutkan, bangunan Lobo dan Tambi berikut bangunan pelengkapnya Buho di Kulawi dan Lore Selatan, yang memiliki bentuk arsitektur yang sangat khas dan unik. Juga bangunan Souraja dan Baruga di Palu dan Donggala, namun dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan. Berbagai bangunan tradisional di Sulawesi Tengah yang dibangun dengan latar belakang budaya suku-suku bangsa yang telah berkembang melewati berbagai kurun waktu dapat menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan karya-karya arsitektur dengan citra kekinian namun tetap mengakar pada identitas budaya daerah.

Arsitektur tradisional merupakan suatu hasil kebudayaan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan suatu suku bangsa. Oleh sebab itu arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari pendukung kebudayaan. Dalam arsitektur tradisional tersebut terpadu wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan. Apabila wujud-wujud kebudayan tersebut itu dapat dihayati dan diamalkan oleh masyarakat pendukung kebudayaannya, maka akan melahirkan rasa cinta dan bangga terhadap ciri arsitektur tradisionalnya.

Namun, arus globalisasi di wilayah Indonesia merupakan salah satu penyebab bergesernya nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan hingga saat ini sebagian besar merupakan proses pembaharuan disegala bidang. Pembangunan yang diiringi dengan modernisasi dapat mengakibatkan adanya pergeseran nilai dalam bidang kebudayaan. Pengaruh modernisasi dewasa ini tampaknya semakin mendesak eksistensi bangunan-bangunan tradisional di Sulawesi Tengah.

Dengan demikian, arsitektur tradisional sebagai hasil suatu kebudayaan juga tidak lepas dari dampak tersebut. Pergeseran nilai budaya dalam suatu komunitas lambat laun akan merubah bentuk struktur dan fungsi dari arsitektur tradisional tersebut. Fenomena ini terjadi dalam masyarakat kita tanpa disadari, yang dapat menjurus ke arah punahnya suatu bentuk arsitektur tradisional dalam suatu komunitas. Sebagai peninggalan budaya daerah perlu adanya proteksi untuk mencegah kepunahannya.

Pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan suatu suku bangsa seperti arsitektur orang Kaili yang berada di Sulawesi Tengah terus akan berlangsung apabila tanpa adanya usaha untuk mengantisipasinya, maka warisan kebudayaan leluhur yang merupakan identitas kebudayaan daerahnya itu tidak akan terselamatkan dan tidak dapat diketahui oleh generasi yang akan datang.

 

  1. Bangunan Souraja

Jika ditanyakan pada orang Kaili, tentang apa itu Souraja, maka dengan cepat mereka menjawab adalah rumah besar. Rumah besar yang dimaksud dalam pengertian dengan semua kelebihan dan kekeramatannya. Orang Kaili menilai bahwa Souraja merupakan perlambangan rumah adat Sulawesi Tengah.

Fungsi Souraja selain sebagai pusat lembaga adat untuk tempat musyawarah, tempat untuk membicarakan dan memutuskan perkara, juga merupakan pusat dari berbagai bentuk upacara adat seperti upacara balia (upacara penyembuhan penyakit), upacara mora ego (kesenian tradisional), upacara movunja (selamatan panen),. Dengan demikian jelas bahwa Souraja juga merupakan suatu tempat yang dijadikan alat komunikasi untuk kepentingan seluruh rakyat dari segala aspek kehidupan.

Souraja merupakan milik adat kerajaan, diatur penggunaannya oleh raja (madika) dan tua-tua adat kerajaan (to tua nungata). Bangunan dibuat secara permanen dari kayu dan beratap rumbia atau seng. Bangunan ini didirikan dan diselesaikan mulai dari awal hingga selesai dengan jalan gotong royong.

Struktur bangunan Souraja terdiri dari dua jenjang, yaitu tinggi dan rendah. Bagian yang rendah terdapat dibagian tengah dan lebih luas. Souraja berdinding dan berlantai papan. Atapnya dari rumbia atau seng. Bangunan Souraja ini mempunyai ciri khusus di mana dindingnya hanya setengah yaitu tinggi dinding kurang lebih satu setengah sampai dua meter. Dengan tinggi dinding demikian memungkinkan orang di dalamnya dapat melihat ke luar dalam keadaan duduk atau berdiri.

Bangunan Souraja memiliki arsitektur bangunan yang cukup sederhana, baik dilihat dari segi bentuknya, ukirannya, desainnya, tata ruangannya dan keadaan di dalam dan di luar ruangannya. Ukiran yang ada dalam Baruga itu sangat sederhana dan tidak mempunyai simbol tertentu, hanya sekedar seni tradisional, khususnya yang terdapat pada ruang tengah.

Pada umumnya bangunan ini didirikan secara gotong royong oleh seluruh warga masyarakat. Pembuatan dan pembangunannya dipimpin oleh seorang tukang (pande) yang dianggap memiliki keahlian khusus untuk itu. Biasanya para tukang itu dimiliki pengetahuan magis sehubungan dengan waktu pendirian serta letak bangunan.itu.

Bangunan Souraja sebagai bangunan rumah adat yang bentuk dan gaya konstruksinya tersendiri dibandingkan dengan rakyat kebanyakan. Ciri utama yang membedakan antara bangunan Souraja dengan rumah lainnya adalah bangunan Souraja hanya dibangun dengan menggunakan kayu kelas satu dan tidak semua orang boleh atau diperkenankan membangun rumah yang sejenis. Bangunan Souraja hanya diperbolehkan bagi keluarga raja dan bangsawan Kaili. Oleh sebab itu, bangunan Souraja hanya dapat ditemukan di Kota Palu yang jumlahnya hanya dua buah yang bertahan hingga kini.

Ciri utama lainnya dapat dilihat dari konstruksi bangunan Souraja itu sendiri, terdapat dua buah aula atau ruangan di bagian depan yang masing-masing namanya adalah lonta gandaria dan lonta karavana. Bentuk bangunan Souraja yang paling lengkap, sebelum sampai ke lonta gandaria dan lonta karavana terlebih dahulu melewati suatu bagian rumah yang disebut palantara.

  1. Ukuran dan Fungsinya

Ukuran panjang dan lebar Souraja tidak bersifat pasti, tetapi ditentukan dengan kesepakatan tukang (pande) yang telah ditunjuk dengan raja dan permaisurinya, khususnya pada bagian depan rumah. Setiap ukuran dan bentuk rumah di sesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan dari si pemilik rumah. Ukuran panjang meter berdasarkan dengan depa tangan raja.

Ukuran-ukuran ditentukan oleh panjang depa raja dan permaisuri, tetapi tidak menyangkut luas (panjang kali lebar). Misalnya tiang-tiang rumah,  balok-balok bagian atas rumah dan lain-lainnya, kecuali yang berhubungan  dengan ukuran luas kamar, ukuran jendela, pintu, dan sejenisnya.

Hal-hal yang diukur dengan depa ialah luas ruang palantara, gandaria, lonta karavana, kamar tidur, kamar tamu yang disebut lonta tatangana atau toda, lonta rarana, jambata, avu dan tambala. Panjang diukur dengan depa raja, sedangkan lebar dengan depa permaisuri.

Walaupun raja dan permaisuri telah mempersiapkan ukuran depanya masing-masing, tetapi menurut tukang kayu (pande) tidak sesuai dengan firasatnya/intuisinya, maka mungkin akan dikurangi atau ditambah dari depanya masing-masing. Dalam hubungan itulah besar kecilnya bangunan Souraja banyak ditentukan oleh tukang kayu berdasarkan lokasi dan sifat tanah yang telah diuji sebelumnya. Tiang rumah Souraja akan bermacam-macam jumlahnya, tergantung besar kecilnya bangunan. Jika ukurannya besar, maka tiangnya akan ditambah dalam jumlah genap, yakni 4 atau 8 atau 12 dan terbesar 16. Ukuran terkecil selalu dengan jumlah tiang 16 buah dan yang terbesar sebanyak 32 buah. Setiap ukuran besar atau kecil, jumlah tiang berderet kesamping (lebar rumah) selalu sama yakni 4 buah. Hanya jumlah tiang berderet  muka belakang (panjang rumah) yang selalu bertambah menurut yang dikehendaki ukurannya.

Ukuran luas saja yang dapat berubah-ubah, sedangkan tinggi tiang-tiangnya (berarti juga tinggi rumah) tidak sebebas dengan perubahan luas bangunan. Panjang tiang utama (wumbu) dan tiang-tiang lain yang sejajar dengannya, biasanya 9 meter dengan pembagian ukuran ; satu meter tertanam di tanah, dua meter dari tanah ke lantai, tiga meter dari lantai ke loteng dan tiga meter lagi ke bubungan.

Sedangkan tiang-tiang lain yang sebatas dengan loteng, masing-masing setinggi lima meter dari tanah. Kecuali tinggi lantai pelataran (palantara) akan lebih rendah dari lantai rumah, kira-kira satu siku atau kurang lebih 45 cm ke tanah.

 

  1. Bagian-Bagian Bangunan

Souraja sebagai rumah adat dan rumah tinggal orang Kaili dipengaruhi dan ditentukan oleh stratifikasi sosialnya. Dengan melihat bentuk rumahnya sudah bisa ditentukan dari tingkatan mana pemilik rumah tersebut, yaitu dari golongan bangsawan (raja). Secara garis besar bagian-bagian bangunan,yaitu :

  1. Atap

Bentuk atap bangunan Souraja lahir dari bentuk dasar segitiga. Bentuk dasar tersebut  dalam kaitan pandangan kosmis masyarakat orang Kaili tentang adanya dua relasi pokok manusia dan supernatural. Keterkaitan antara dua relasi tersebut, yaitu relasi vertikal dan relasi horisontal, digambarkan dalam pola hubungan segitiga atau bentuk piramida.

  1. Lantai dan Dinding

Lantai dan dinding umumnya dengan papan yang terbuat dari kayu-kayu ulin, bayam atau kapur, sedangkan untuk balok-balok kasau, gelagar, kusen-kusen dan balok penampang dinding umumnya menggunakan kayu bayam atau kapur.

Penampang atap berbentuk segitiga yang terbuat dari atap rumbia, sirap, papan atau seng. Bagian depan dan belakang penampang atau ditutup dengan sebilah papan lebar yang dihias dengan elemen-elemen indah, dicat warna-warni yang biasa disebut Panapiri. Di atas panapiri pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota atau Bangko yang berukir. Dan pada umumnya menggunakan bentuk pelana bersusun dengan sudut kemiringan 300.

 

  1. Ragam Hias

Tiang-tiang depan dari rumah gandaria akan dibentuk dan diukir  dalam tiga bagian dari lantai ke batas loteng, yakni sebagian ke bawah dan ke atas bentuk membulat segi empat, sedangkan bagian antaranya berbentuk bulat segi delapan.

Raga-ragam hias atau ornamen yang terdapat pada bangunan tradisional Souraja, antara lain :

  • Pada tangga naik terdapat tiang pegangan di sisi kiri dan kanan dengan ornamen bulat yang memanjang dan pipih berwarna hijau dan putih.

Namun dari beberapa bangunan tradisional Souraja  yang terdapat di Kota Palu terdapat persamaan-persaman yang mendasar baik dari segi ragam hias maupun dari pewarnaan ragam hias serta fungsi-fungsi ruangan. Tetapi disamping persamaan terdapat juga beberapa perbedaaan warna yang mungkin diubah oleh pewaris dengan ukuran-ukuran rumah dan ruangan yang baru.

  • Bagian pembatas ruang gandaria yang disetting dengan tiang rumah serta palantara terdapat hiasan-hiasan atau ornamen berbentuk bulatan, belah ketupat, bunga, daun, dan sulur-suluran lainnya. Ragam hiasnya berwarna putih dan tiang-tiang pembatas berupa bingkai berwarna hijau.
  • Bagian atas plafon antara ruang gandarian dan palantara terdapat ragam hias atau ornamen berbentuk mata tombak yang berlubang berbentuk bulat dan segi tiga yang dirangkai melengkung. Ornamennya berwarna putih dan balok tempat menggantung hiasan berwarna hijau.
  • Bagian atas pintu terdapat motif hias berupa kaligrafi yang dikombinasi dengan sulur-suluran dan berwarna coklat dan bingkai warna hijau, sedangkan pintu terdiri dari dua bagian dan setiap bagian pintu berbentuk sisir dan segi empat timbul. Pintu bagian dalam berwarna putih dan bingkainya berwarna hijau.
  • Bagian luar jendela rumah, khususnya pada ventilasi atasnya terdapat ragam hias berbentuk sulur-suluran berupa tangkai bunga lengkap dengan daun dan bunga. Selain itu, bingkai jendela depan rumah di bagian ujung atasnya terdapat ornamen berbentuk mata tombak dan jendela yang berada disamping tidak bermotif. Bagian dalam jendela berwarna putih dan bingkainya berwarna coklat untuk jendela depan dan jendela samping berwarna hijau.
  • Bagian dalam jendela samping rumah terdapat ragam hias berupa kaligrafi yang dikombinasi dengan sulur-suluran dan berwarna putih. Motif kaligrafi ini dimaksudkan bahwa penghuni kamar dan rumah mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
  • Pembatas atas antara induk rumah dan dapur terdapat ornamen memanjang berupa ragam hias sulur-suluran atau bulatan-bulatan dan berwarna hijau dan coklat.
  1. Penutup

Bangunan arsitektur tradisional Souraja yang dimiliki oleh umunya para bangsawan dan orang kaya pada masyarakat Kaili merupakan tinggalan kebudayaan masa lalu yang amat tinggi nilai kultural dan historisnya.  Hal ini terwujud lewat pembangunan rumah ini, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya yang merupakan perwujudan dari sikap dan tingkah laku masyarakat Kaili yang bersahaja dan menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam hidup serta juga kepatuhan terhadap status sosial.

Selama proses pembangunan, baik untuk bangunan tradisional Souraja dilaksanakan dengan cara bekerja sama atau bergotong royong serta tolong menolong antara pemilik rumah, tukang kayu (pande), para pembantu tukang, kaum kerabat, tetangga, dan anggota masyarakat lainnya. Pengerahan tenaga yang cukup banyak diatur oleh kepala kampung atau pemimpin desa.

Namun, khusus untuk bangunan Souraja pembangunannya lebih ketat dan syarat dengan berbagai nuansa magis tidak terlepas dari instruksi dan petunjuk dari raja atau permaisuri dengan melibatkan paranormal. Hal ini dilakukan sebab Souraja merupakan cerminan dan representasi dari status sosial dan pelegitimasian dari kekuasaan.

Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan rumah tradisional senantiasa didahului dengan upacara-upacara adat untuk memohon keselamatan lahir dan batin kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip hubungan antara manusia dan Pencipta sudah dilakukan sejak zaman dahulu hingga kini pada orang Kaili.

Arsitektur tradisional orang Kaili saat ini mengalami stagnasi dengan munculnya berbagai pengaruh kebudayaan dari daerah lain. Pengaruh ini dapat dilihat dari segi pemanfaatan teknologi, penerapan sistem ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pengaruh ini dapat merubah bentuk arsitektur tradisional atau bahkan dapat menghilangkan identitas keaslian apabila mengganti dengan arsitektur modern. Hal ini terlihat dengan penggunaan bahan-bahan yang dianggap lebih praktis dan lebih kuat, seperti bahan bangunan dari semen, batu bata, besi beton, seng, paku, dan berbagai alat lainnya. Bahan-bahan ini dapat diperoleh dengan mudah jika kita memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Hanya masyarakat yang tidak mampu yang memanfaatkan bahan-bahan dengan tehnologi yang sederhana yang diperoleh secara turun-temurun.

Pengaruh perkembangan sistem perekonomian dalam masyarakat Kaili yang semakin pesat, maka tingkat kemakmuran mulai meningkat secara global, maka orang-orang mulai tidak merasa puas lagi memiliki rumah-rumah berbentuk tradisional dengan kondisi yang sederhana. Oleh karena itu, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk membangun rumah dengan gaya arsitektur modern dan terkesan mewah, sehingga juga berdampak pada pelegitimasian status sosial dalam masyarakat.

Pengaruh perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan orang Kaili, yang akhirnya mempengaruhi perubahan arsitektur tradisional. Pengetahuan makin maju akan mempengaruhi masyarakat dalam menentukan struktur dan bentuk bangunan rumahnya, yang disesuaikan dengan pola hidup modern serta memperhatikan syarat-syarat yang dianggap indah dari segi tata lingkungan serta memenuhi syarat kesehatan rumah maupun lingkungannya.

Arsitektur tradisional yang tercermin dalam bangunan Souraja  merupakan salah satu aset kebudayaan daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang saat ini mendekati kepunahan. Oleh karena itu, usaha-usaha pelestarian harus dilakukan, sebab tinggalan budaya ini merupakan ciri khas dan identitas orang Kaili yang kemungkinan akan hilang eksistensinya sekaligus musnah dengan data-data yang dimiliki. Untuk itu, perlu upaya pencegahan kepunahannya melalui revitalisasi dan inventarisasi kebudayaan dengan melakukan pendataan, penelitian, rekonstruksi, dan bila perlu melakukan renovasi pada sisa bangunan yang ada. Tentunya usaha revitalisasi dan inventarisasi kebudayaan daerah harus dilakukan oleh pemerintah dan berbagai instansi terkait serta didukung oleh kesadaran sejarah dan apresiasi yang positif dari berbagai elemen masyarakat lainnya.

 

KEPUSTAKAAN

  1. Ahda Muliati, “Kajian Spasial danArsitektur Pemukiman Etnik Kaili di Kota Madya Palu”, Laporan Penelitian, 1997.
  2. Albert C. Kruyt, Membangun Perumahan di Sulawesi Tengah, Panitia Pembangunan Rumah Adat Daerah Sulawesi Tengah, Palu, 1973.
  3. Deddy Halim, Psikologi Arsitektur; Pengantar Kajian Lintas Disiplin, Jakarta, Grasindo, 2005.
  4. Depdikbud, Album Arsitektur Tradisional, Proyek Pembinaan Media Kebudayaan, 1991.
  5. Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah, Jakarta, 1985.
  6. Depdikbud, Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili, Palu, Sulawesi Tengah, 1991.
  7. Eko Bidihardjo, Prof. Ir. MSc, Jati Diri Arsitektur Indonesia, Alumni Bandung, 1991.
  8. Kaudern Walter, Structures and Settlements in Central Celebes, 1983.
  9. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi, Aksara Baru, Jakarta, 1985.
  10. Kanwil Depdikbud, Souraja, Arsitektur Tradisional di Tanah Kaili, Proyek Pelita, Sulawesi Tengah, 1979.
  11. Mariani dan Zulfitriah Masiming, Tipologi Arsitektur Tradisional Sulawesi Tengah, Penerapannya Pada Arsitektur Masa Kini, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako, 1999.
  12. Maryono Irawan, Pencerminan Nilai Budaya Dalam Arsitektur di Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1985.
  13. Mariani Z. Masiming, Tipologi Arsitektur Tradisional Sulawesi Tengah, Fatek UNTAD, 1999.
  14. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982.