BPNB Sulut – Amatan peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Utara wilayah Sulutenggo terhadap tradisi melaut Nelayan Bajo di Pulau Nain Kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, dibuatkan dalam sebuah buku yang layak untuk dibaca. Mengisahkan perilaku masyarakat nelayan Bajo yang dikenal dunia internasional sebagai suku pengembara laut satu-satuanya yang masih berjalan tradisinya di dunia. Meski suku bajo tersebar luas di seluruh kepulauan nusantara, peneliti Steven Sumolang mengangkat nelayan Bajo di Pulau Nain Sulawesi Utara, utamanya mengenai perubahan yang terjadi saat ini.
Persediaan sumber daya alam mulai terbatas, permintaan kebutuhan rumah tangga yang tinggi, dan menggeliatnya usaha rakyat. Telah memacu perubahan teknologi tangkapan menuju modernisasi, walaupun faktor tradisi dan kepercayaan berupaya menahan laju perubahan tersebut. Sebuah strategi adaptasi masyarakat nelayan Bajo di Pulau Nain, dalam mengatasi situasi penghidupan mereka. Meski demikian, tetap saja pola konsumtif yang cukup memicu akar persoalan panjang masyarakat, yakni sebuah kemiskinan yang “absolut”, bagi mereka disadari sebagai “lingkaran setan”.
Fenomena menarik saat intervensi pemerintah dalam modernisasi nelayan Nain serta upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak berlangsung dengan sukses seperti Koperasi, bantuan kelompok Nelayan. Justru usaha-usaha yang eksis pada nelayan Bajo Nain adalah usaha pribadi seperti usaha pangkalan, dengan mengandalkan modal sendiri ataupun pinjaman Bank. Indikasi ketidaksuksesan program-program tersebut, karena pelaksana program tidak melakukan upaya pemberdayaan, pendampingan melekat, dan pengawasan, indikasi penyimpangan, tidak tepat sasaran. Mestinya keluaran yang diharapkan dari program-program tersebut, boleh diserap oleh warga nelayan, dengan memahami kebiasaan dan kearifan masyarakat.
Kearifan lokal dalam hal tradisi melaut (na kalaot) masyarakat etnik Bajo yang tinggal di Pulau Nain ini adalah Modal sosial yang luar biasa. Keterampilan dalam menangkap ikan, menyelam, mengendalikan perahu, memahami alam laut, pengetahuan akan kosmologi, bisa menerawang cuaca dan iklim. Lebih dari itu mereka memahami laut sebagai rumah dan ladangnya, serta berkeyakinan akan adanya penguasa laut (mbo malaot) yang bisa mendatangkan keberkahan atau bencana, karena itu alam laut tidak bisa sembarangan diamanfaatkan olehnya, sehingga dampak yang terjadi akan membuat alam laut tetap lestari.
Perubahan tradisi melaut nelayan Bajo di Nain lebih kepada perubahan yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, sehingga dapat menjadi rujukan pada pengembangan teknologi nelayan yang berkelanjutan, tetap eksisnya kearifan lokal dan diharapkan program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat nelayan tetap memperhatikan hal-hal ini.
Buku hasil riset lapangan ini dapat dijadikan rekomendasi dalam pembangunan kemaritiman Indonesia, yang sementara menjadikannya sebagai visi utama lantaran bangsa Indonesia sebagaian besarnya adalah lautan. Namun pembangunan tidak bisa hanya melihat dari aspek materialnya saja, akan tetapi pembangunan harus melihat aspek manusianya, sebagai subjek pembangunan. Jika tidak demikian, pembangunan bergerak dengan cepat, akan tetapi hasilnya tidak berhasil guna, malah potensi mengalami kegagalan.***(Pen)