Ritual Ma’Badong di Tana Toraja

0
22018

Ritual Ma’Badong di Tana Toraja

 

Ma’ Badong Ritual in Tana Toraja

 

Rahayu Salam

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar

Telepon dan Faksimili: (0411) 865166

 

 

 

Abstract

 

Toraja is one of many ethnic existing in South Sulawesi known for their funeral ritual, Rambu Solo’. There are phases in the ritual, one of it is Ma’badong. Data gathering technics used in this research are observation, interview, and literature study. As for the aim of the study is: to find out types of Ma’Badong ritual in Toraja and cultural values contained within. The result of this research show that Ma’Badong is a ritual of dancing and singing without music, reciting odes about the deceased, or their mourn of the family. Ma’Badong Ritual is not only about reciting odes about the deceased, more than that, odes sung in the ritual contain cultural values that reflects the culture of the people of Toraja more widely, such as the image about spiritual values, social acceptance, and harmony within the group.

Keyword: ritual, odes, values, verse

ABSTRAK

 

Toraja merupakan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, terkenal dengan pesta pemakaman rambu solo’nya. Terdapat banyak rangkaian prosesi dalam ritual tersebut, diantaranya adalah ma’badong. Pengumpulan data menggunakanteknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pelaksanaan ritual ma’badong pada masyarakat Toraja serta nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ma’badong adalah suatu bentuk tarian dan nyanyian tanpa diiringi alat musik, mendeklamasikan syair-syair pujian mengenai orang yang telah meninggal, ataupun ratapan-ratapan kesedihan dari pihak yang ditinggal. Ritual ma’badong bukanlah sekadar deklamasi bait-bait sajak mengenai orang yang sudah meninggal, tetapi lebih dari itu, syair-syair yang dilantunkan tersebut mengandung nilai-nilai budaya yang merefleksikan kebudayaan orang Toraja secara lebih luas, misalnya gambaran mengenai nilai spiritual, status sosial, dan keharmonisan kelompok.

Kata Kunci: ritual, nyanyian, nilai, syair

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbanyak di dunia. Pulau-pulau di kepulauan Indonesia dipisahkan oleh samudra, laut, maupun selat. Namun demikian, luas wilayah lautan lebih luas bila dibandingkan dengan wilayah daratan, oleh karna itu Indonesia disebut sebagai negara maritim, namun sering pula disebut-sebut sebagai negara agraris, didukung dengan kondisi alam tropis yang memang sangat baik untuk digunakan bercocok tanam. Penduduk di kepulauan Indonesia sangat heterogen terdiri dari bermacam-macam suku, ras, agama dan masyarakat, sehingga mempengaruhi kebudayaan masing-masing.

Suku Toraja adalah salah satu dari banyaknya suku di Indonesia, yaitu di Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Toraja sangat identik dengan kepercayaan turun temurun yang dikenal dengan nama Aluk Todolo. Meskipun mayoritas suku Toraja telah menganut agama Kristen Protestan, namun masyarakat Toraja tidak serta merta melepas kepercayaan leluhurnya. Di antaranya yang sangat terkenal adalah pelaksanaan ritual rambu solo’ yang masih terus dilakukan hingga saat ini, sebuah ritual pemakaman jenazah yang dilaksanakan dengan sangat meriah dan mewah, bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah jenazah menuju ke alam roh.

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara.Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. Begitu halnya dalam ritual upacara kematian, banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan dan dipakai. Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan kematian. Salah satu tokoh antropologi yang membahas ritual adalah Victor Turner. Ia meneliti tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di AfrikaTengah. Menurut Turner, ritus-ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam. Dari penelitiannya ia dapat menggolongkan ritus ke dalam dua  Bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan.

Pertama, ritus krisis hidup. yaitu ritus-ritus yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Mengalami krisis, karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya berpusat pada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan, kontrol sosial dan sebagainya.Kedua, ritus gangguan. Pada ritus gangguan ini masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi pada para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh leluhur menganggu orang sehingga membawa nasib sial.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ritual merupakan serangkaian perbuatan keramat yang dilakukan oleh umat beragama dengan menggunakanalat-alat tertentu, tempat, dan cara-cara tertentu pula. Namun ritual mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk berdoa untuk mendapatkan suatu berkah. Ritual-ritual yang sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari adalah ritual siklus kehidupan. Yakni ritual kelahiran, ritual pernikahan dan ritual kematian. Yang mana ritual-ritual tersebut tidak bisa dilepas dari suatu masyarakat beragama yang meyakininya. Salah suatu ritual upacara yang sering dilakukan umat beragama adalah ritual untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal.

Masyarakat Toraja, sebelum melaksanakan prosesi rambu solo’, terlebih dahulu mereka akan melakukan ritual ma’badong. Ma’badong adalah suatu bentuk tarian dan nyanyian tanpa diiringi alat musik, mendeklamasikan syair-syair pujian mengenai orang yang telah meninggal, ataupun ratapan-ratapan kesedihan dari pihak yang ditinggal. Rappoport (2014) mengungkapkan bahwa hanya bangsawan-bangsawan tinggi yang berhak memperoleh cerita terbesar yang dinyanyikan. Mereka tidak saja dinyanyikan, namun riwayat hidup mereka dimadahkan. Orang-orang yang hidup harus menuturkan kisah badong, yaitu cerita tentang orang yang akan diangkat ke tingkat nenek moyang melalui pengutaran ratapan yang mengandung pujian dan pengorbanan-pengorbanan yang diberikan kepadanya. Pengangkatan ini sama dengan menjadikan seseorang sebagai orang suci di dunia Kristen.

Suatu hal yang menarik di sini untuk kita lihat, bagaimana suatu kelompok masyarakat yang telah terpengaruh oleh kepercayaan dari Eropa, namun tidak dengan begitu saja melepaskan ritual adat istiadat asli mereka. Meskipun dalam hal ini, ritual yang dimaksud tidaklah bernilai murah secara materiil, bahkan bisa dikatakan berlebihan atau suatu bentuk pemborosan. Bagaimana suatu ritual dianggap memiliki nilai yang besar di mata masyarakat, utamanya bagi mereka yang merupakan bangsawan tinggi dalam strata masyarakat Toraja, yang menganggap pelaksanaan ritual ini sebagai sebuah prestise dan menjadi salah satu wujud pengukuhan status sosial mereka secara tidak langsung, sehingga seringkali pelaksanaan ritual ini menjadi suatu keharusan untuk dilakukan meskipun pelaksananya berasal dari golongan yang kurang berdaya dalam hal ekonomi.

 

Pembahasan

Konsep Nilai dan Nilai Budaya

Berbeda halnya dengan sesuatu yang numerik, nilai bersifat relatif dan abstrak, tidak dapat dihitung secara matematis, namun dapat dijadikan dasar dalam suatu pengambilan keputusan. Dikatakan relatif karena suatu nilai yang disepakati bersama oleh sebuah kelompok sebagai hal yang benar, dapat berbeda kondisinya jika dihadapkan kepada kelompok lain. Setiap orang atau sekelompok orang memegang tatanan nilainya masing-masing. Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.Baier dalam Mulyana (2004) mengatakan nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga“ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Sedangkan, Spranger (1914) menyatakannilai sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam pandangan Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, namun Spranger mengakui akan kekuatan individual yang dikenal dengan istilah roh subjektif. Sementara itu, kekuatan nilai-nilai kebudayaan merupakan roh objektif. Kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai kebudayaan hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. Penerimaan nilai oleh manusia tidak dilakukan secara pasif melainkan secara kreatif dan aktif. Dalam proses  manusia menerima nilai ini terjadi hubungan dialektis antara roh objektif dengan roh subjektif. Artinya, roh objekif akan berkembang jika didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh objektif akan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai. Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.

Sejalan dengan pengertian nilai yang dikemukakan di atas, kita kemudian dapat memberikan definisi nilai-nilai budaya sebagai suatu tatanannilai yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat atau lingkup organisasi, yang kemudian mengakar dan menjadi suatu kebiasaan atau berwujud sebagai sebuah kepercayaan (belief), yang terkadang disampaikan dalam simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.Nilai-nilai budaya tercermin dalam bentuk simbol-simbol, slogan, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok suatu lingkungan organisasi atau kelompok masyarakat. Suatu tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai tingkat paling tinggi yang sifatnya abstrak dalam adat istiadat masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena nilai-nilai budaya berada dalam tataran konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, yang sifatnya mengikat setiap anggota masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.

Menurut Koentjaraningrat (1987) nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara–cara, alat–alat, dan tujuan–tujuan pembuatan yang tersedia. Langmann dalam Azis (2004) menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan suatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda dari alam di sekitarnya yang diolah dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai tertentu. Nilai itu bermacam-macam, misalnya nilai kegunaan, ekonomi, sosial, dan atau keindahan. Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Spranger dalam Mulyana (2004) menjelaskan ada enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Keenam nilai tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Nilai teoretik, melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal. Oleh karena itu nilai erat dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah dan pembuktian ilmiah. Komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah para filosof dan ilmuwan.
  2. Nilai ekonomis, terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah harga dari suatu barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Oleh karena pertimbangan nilai ini relatif pragmatis, Spranger melihat bahwa dalam kehidupan manusia seringkali terjadi konflik antara kebutuhan nilai ekonomis ini dengan nilai lainnya. Kelompok manusia yang tertarik nilai ini adalah para pengusaha dan ekonom.
  3. Nilai estetik, menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai estetik berbeda dengan nilai teoretik. Nilai estetik lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif, sedangkan nilai teroretik lebih melibatkan penilaian obyektif yang diambil dari kesimpulan atas sejumlah fakta kehidupan. Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model.
  4. Nilai sosial, merupakan nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang individualistik dengan yang altruistik. Sikap yang tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, serta perasaan simpati dan empati merupakan kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Nilai sosial ini banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia.
  5. Nilai politik, nilai tertinggi dalam hal ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh pada diri seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang kurang tertarik pada nilai ini. Dilihat dari kadar kepemilikannya nilai politik memang menjadi tujuan utama orang-orang tertentu seperti para politisi dan penguasa.
  6. Nilai agama, secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan, antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan, antara ucapan dengan tindakan, antara i’tikad dengan perbuatan. Spranger melihat bahwa pada sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam, atau orang-orang sholeh.

 

Gambaran Kehidupan Masyarakat Toraja

Toraja adalah salah satu etnis di daerah Sulawesi Selatan yang kehidupan masyarakatnya sarat dengan ritual-ritual adat warisan leluhur yang masih dilaksanakan hingga sekarang. Salah satu yang sangat terkenal di antaranya adalah upacara adat kematian yang dinamakan Rambu Solo’. Sesuai dengan namanya, upacara ini diadakan ketika lewat waktu tengah hari, yaitu pada saat matahari condong ke arah barat. Ritus persembahannya pun ditempatkan di sebelah barat tongkonan (rumah adat Toraja). ‘Rambu solo’ adalah pesta adat kematian orang Toraja yang dimaksudkan untuk menghantarkan orang mati ke tempat peristirahatannya yang dikenal dengan nama puya atau alam arwah. Orang Toraja mempercayai akan adanya alam setelah dunia ini, yaitu tempat bersatunya roh mereka yang meninggal dengan leluhur mereka yang lain. Mereka juga percaya bahwa untuk sampai di alam roh, orang mati memerlukan kendaraan. Adanya hewan kurban yang begitu banyak sertaerong atau wadah jenazah orang Toraja yang berbentuk seperti perahu atau kerbau, menjadi simbolisasi akan hal ini.

Jenazah orang meninggal biasanya disimpan di dalam rumah, menunggu hingga waktu diadakannya pesta adat rambu solo’. Agar jenazah yang disimpan tersebut tidak menimbulkan bau dan membusuk maka diberikan pengawet. Pemberian pengawet ini dapat dilakukan dengan cara tradisional yaitu dimulai dengan memandikan jenazah dengan rendaman daun-daunan, lalu menyapukan seluruh badannya dengan air teh pekat dan jenis daun tertentu. Cara yang paling gampang adalah dengan menyuntikkan formalin dan cara inilah yang banyak dilakukan saat sekarang. Bagi jenazah yang telah disuntik formalin dengan kadar yang tidak memadai, bau yang tidak sedap akan tetap tercium di dalam rumah yang bersangkutan.

Pelaksanaan upacara ‘rambu solo’menandakan telah sempurnanya proses kematian seseorang beretnis Toraja. Bagi mereka yang telah meninggal namun keluarganya belum melaksanakan ritual adat ‘rambu solo’ maka si mati belum dapat dikatakan meninggal, hanya dianggap sakit saja dan tetap disajikan hidangan sebagaimana biasanya. Berlangsungnya upacara inisangatlah bergantung pada kemampuan finansial dari keluarga si mati, karena biaya yang akan dikeluarkan dalam melakukan pesta memang sangatlah besar, terutama saat persiapan hewan kerbau dan babi yang akan dikurbankan. Rangkaian kegiatan dalam pesta adat kematian ini diantaranya adalah mappalao (mengarak jenazah), mappasilagatedong (adu kerbau), ma’sambanganongan (barisan tamu), ma’randina (tarian menyambut tamu), umbating (meratap), ma’pairu (menjamu tamu dengan minuman), dan ma’papangan (menyambut tamu). Pesta adat dapat berlangsung selama beberapa hari dan selama hari-hari tersebut dilakukan pula sebuah ritual yang berbentuk kesenian yaitu ma’badong.

Ma’badong adalah puisi yang dinyanyikan secara beramai-ramai tanpa iringan musik dan bertujuan untuk menghibur keluarga si mati. Lirik dari nyanyian tersebut berupa syair-syair yang menceritakan perihalsi mati, baik perilakunya semasa hidupnya, kedudukkannya dalam keluarga apakahyang bersangkutansebagaianak, bapak, atau ibu, dan lain sebagainya. Lirik ini dapat pula berkisah mengenai kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Semua lirik  diucapkan dalam bahasa Toraja, dan dinyanyikan secara halus sehingga kalimat yang disampaikan seringkali tidak ditangkap secara utuh. Nyanyian ma’badong dapat membangkitkan kenangan akan si mati sehingga membuat merekabersedih.

Ritual ma’badong telah dilakukan sejak dahulu, meski tidak diketahui secara pasti kapan awal mula pelaksanaannya. Jika kita mendasarkan data pada mulai dilaksanakannyasistem penguburan oleh orang Toraja, berarti kita sedang membicarakan Toraja sebagai sebuah masyarakat adat yang telah ada sejak masa neolitik. Masa ini merupakan saat dimana tradisi megalitik mulai berkembang, yaitu penggunaan batu-batu besar sebagai peralatan utama dalam beraktivitas sehari-hari dan dalam melakukan ritual-ritual pemujaan arwah. Hal ini dibuktikan dengan beragam penemuan-penemuan arkeologis di daerah Toraja seperti menhir, penggunaan wadah jenazah, dan juga liang (penguburan jenazah di dalam gua).

Berkembangnya agama Kristen di Toraja dimulai pada seabad yang lalu, tepatnya tahun 1913, yang diperkenalkan oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A. A. van de Lostrect. Kemampuannya dalam mensosialisasikan agama mayoritas di Eropa ini, menyebabkan banyak orang Toraja yang dulunya menganut kepercayaan leluhur yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo bersedia mengganti kepercayaannya dengan agama Kristen Protestan. Batong (2000) menjelaskan bahwa Suku Toraja dikenal mempunyai kebiasaan potong kepala, membunuh, tukang sihir, dan adanya perbudakan. Kabar yang menyeramkan membuat para penginjil berusaha semaksimal mungkin bisa diterima penduduk setempat seperti mendirikan sekolah dengan menanamkan ajaran agama Kristen. Akan tetapi, meskipun agama baru ini telah menjadi agama mayoritas di daerah Toraja, tidak serta merta mampu mengubah dan menggeser pandangan hidup masyarakat Toraja yang begitu lekat dengan kepercayaan leluhurnya. Agama-agama baru yang berkembang di daerah ini tetap berjalan berdampingan dengan kepercayaan Aluk Todolo. Oleh karenanya ritual-ritual adat yang merupakan sisa dari kepercayaan masa lalu orang Toraja tetap bertahan dan masih dapat kita saksikan hingga saat sekarang. Salah satunya adalah ritual ma’badong yang masih tetap dilaksanakan meskipun orang Toraja yang telah meninggal akan dikubur secara Kristiani, termasuk keluarganya yang masih hidup telah memeluk agama Kristen.

Bagi masyarakat perkotaan, melakukan ritual ma’badong dirasakan cukup sulit sehingga jarang kita temui. Masyarakat Toraja yang tinggal di tengah kota merasa takut untuk melaksanakan ritual ini, terutama kepada golongan fundamentalis yang tidak memiliki kepekaan dan tingkat toleransi yang tinggi ditakutkan dapat merusak pelaksanaan ritual adat mereka. Namun bagi mereka yang tinggal di wilayah pinggiran kota masih sering melakukannya, meskipun tidak diikuti upacara rambu solo’, karena pelaksanaannya haruslah di kampung halaman saja yaitu di Toraja, ritual ma’badong tetap dilakukan. Dengan berbekal halaman rumah yang cukup sempit atau menggunakan bagian jalan raya, ritual ini tetap dapat berlangsung khidmat dan sakral.

 

Prosesi Ma’badong

Sebelum diputuskan akan melakukan ma’badong biasanya dimulai dengan rembug keluarga.Dalam rembug keluarga dibahas mengenai prosesi pesta yang akan dilakukan termasuk menyusun agenda pemilihan penyanyi yang akan melakukan ritual ma’badong. Bagi mereka yang kurang mampu atau golongan ekonomi lemah, peserta ma’badong berasal dari kalangan kerabat dekat mereka dan siapa saja yang bersedia berpartisipasi. Berbeda halnya dengan mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih atau golongan kaya dapat mendatangkan penyanyi ma’badong dari kampung-kampung lain.Pada rembug keluarga akan diputuskan misalnya penyanyi badong dari kampung A akan bernyanyi pada hari pertama, atau yang berasal dari kampung B bernyanyi di hari kedua, dan seterusnya.

Selain penentuan hari ma’badong, bagi mereka yang ‘mampu’ dapat menyediakan pakaian seragam bagi para penyanyi. Pada pakaian seragam tersebut dapat ditambahkan desain tulisan atau sablon yang akan menerangkan daerah asal dari grup penyanyi, dengan begitu mereka dapat dikenal oleh masyarakat luas sehingga nantinya dapat disewa lagi bagi yang membutuhkan jasa mereka dalam pesta adat kematian. Pakaian seragam ini bukanlah suatu keharusan, tujuannya hanya agar enak dipandang saja, jadi lebih kepada nilai estetikannya. Sedangkan bagi mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah tidaklah menyediakan pakaian seragam, pakaian disesuaikan oleh keinginan dari orang yang akan menyanyi saja. Pakaian yang dikenakan dapat berupa kaos oblong dengan bawahan sarung toraja. Warna hitam adalah warna yang umum dipakai dalam ritual ini, namun pada dasarnya semua warna lain selain merah dapat pula dikenakan oleh penyanyi ma’badong. Warna hitam menjadi simbolisasi dari kematian atau kegelapan sebagai bagian akhir dari perjalanan kehidupan manusia di muka bumi. Terdapat ketentuan bahwa pakaian yang dikenakan tidak boleh berwarna merah, karena warna merah bagi masyarakat etnis Toraja merupakan warna yang dihormati dan menjadi lambang kehidupan, menggambarkan warna darah manusia. Dalam hal ini,akan kontras pemaknaan yang diberikan pada warna merah tersebut jika dikenakan pada pesta adat kematian, termasuk ritual ma’badong yang terangkai di dalamnya.

Setelah semuanya ditentukan, maka dilakukanlah ritual ma’badong. Ma’badong dapat dilakukan pada siang hari maupun malam hari, akan tetapi banyak orang yang lebih menyenangi melakukan ma’badong pada malam hari karena menganggap suasananya lebih hening sehingga lagu yang dinyanyikan terasa begitu syahdu.Jumlah penyanyi dalam ritual kesenian ma’badong ini adalah minimal 20 orang dan sebanyak-banyaknya. Dalam sebuah grup atau kelompok bernyanyi ma’badong, ada yang dipilih untuk menjadi komando atau pemimpin suara yaitu seseorang yang dianggap memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa Toraja dan menguasai sastra Toraja. Sebelum memulai, pemimpin kelompok bernyanyi ini akan berbicara dengan pihak keluarga si mati, dan membicarakan perihal posisi si mati dalam keluarganya, sifat-sifatnya, dan beberapa hal mengenai kenangan tentang si mati. Pembicaraan tersebutlah yang menjadi dasar rangkaian kalimat-kalimat atau bait lirik ma’badong. Jadi lirik dalam ma’badong itu bersandar pada pikiran pemimpin kelompok mengenai situasi yang sedang berlangsung, tidak dengan teks tertulis yang sudah jadi. Jika terjadi kesalahan dalam ungkapan yang dikeluarkan oleh pemimpin kelompok, maka pihak keluarga yang punya hajatan dapat menegur yang bersangkutan.

Pertama-tama para penyanyi akan membentuk sebuah lingkaran yaitu dengan cara mengaitkan jari kelingking masing-masing kepada penyanyi yang ada di samping kiri dan kanannya. Pemimpin grup ini dapat bergabung dalam lingkaran dan dapat pula berdiri di tengah-tengah lingkaran. Setelah membentuk lingkaran, pemimpin kelompok akan memberikan kata-kata pengantar atau pembukaan yang diucapkan dalam bahasa daerah yang menjelaskan sedikit tentang si mati dan keluarganya. Setelah itu, pemimpin kelompok memberikan dua baris kalimat yang selanjutnya akan dinyanyikan oleh grup ma’badong. Cara bernyanyinya berbeda dengan lagu-lagu populer yang sering kita dengar sekarang, dengan banyak menyandarkan irama pada turun naiknya suara huruf vokal dari bait lagu yang diperdengarkan. Contohnya dapat kita lihat pada bait lirik berikut:

Lirik                            : inde indo liu mamase

liu kaboroq

Terjemahan                  :inilah ibu yang sangat pengasih

Juga sangat penyayang

Cara menyanyikan      :

 

e…e…e…ee….i…i…ii…ind…de..ee…e…ee….i…i…i…innn….nnn…

ndd…o..o….oo….oo….lii….ii…iii…..u….u….uu….uu…ma…ma……

 

ma…..ma…..maa…..maaa….se….e…ee….ee

li…i….iii….ii….u…u….uu…u…ka….a….aa…bo….booo….ro….ro…

 

oo….ooq

 

Setiap bagian lirik dinyanyikan sekali saja. Setelah bagian lirik yang pertama dinyanyikan, kemudian dilanjutkan dengan lirik bagian kedua. Kalimat-kalimat dalam bait bagian kedua diucapkan oleh pemimpin kelompok pada bagian akhir lagu pertama. Jika kalimat berikutnya belum dirangkaikan oleh pemimpin kelompok, maka penyanyi ma’badong tetap melagukan huruf-huruf vokal seperti e…e…ee…ee….eee…., hal ini dilakukan supaya irama lagu yang dinyanyikan tidaklah terputus hingga akhirnya kalimat atau bait berikutnya diucapkan. Di penghujung irama bait lirik pertama, penyanyi menurunkan nada suaranya agar lirik berikutnya yang diucapkan oleh pemimpin kelompok dapat ditangkap oleh semua penyanyi. Semua penyanyi memasang telinganya baik-baik untuk bisa mendengarkan dengan jelas apa yang dikatakan oleh pemimpin kelompok, dan selanjutnya menyanyikan kalimat yang didengarkan tersebut dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah yang terus berlangsung hingga selesainya ritual ma’badong. Nyanyian ma’badong akan terdengar sangat halus, dengan alunan nada yang turun naik dan kalimat yang diucapkan tidaklah terdengar secara langsung seperti saat kita sedang berbicara, namun perlahan-lahan dari satu suku kata ke suku kata lainnya. Liriknya bercerita tentang si mati, juga mengenai nasib keluarga yang ditinggalkan. Suasana sakral akan sangat terasa saat ritual ini dilakukan. Bagi mereka yang menyanyikannya dengan sangat baik dapat membuat keluarga dari si mati akan terkenang kembali, menangis sekencang-kencangnya dan meratapi kepergiannya atau umbating.

Nyanyian dalam ritual ma’badong ini disebut dengan kadongbadong. Liriknya diucapkan dalam bahasa Toraja, dengan menggunakan tata bahasa daerah atau sastra yang juga berkaitan langsung dengan kasta seseorang dalam masyarakat. Taangdilintin (2009) mengungkapkan bahwa masyarakat Toraja pada zaman dahulu mengenal empat pelapisan tana’ atau kasta, yaitu:

  1. Tana’ bulaan (bangsawan tinggi)
  2. Tana’ bassi (bangsawan menengah)
  3. Tana’karurung (orang merdeka)
  4. Tana’kua-kua (hamba sahaya)

Bagi mereka yang merupakan masyarakat biasa, maka dipergunakan bahasa daerah yang umum dipakai dalam aktivitas sehari-hari. Sedangkan jika si mati berasal dari kalangan bangsawan atau tana’ bulaan, maka lirik lagu yang dipergunakan merupakan suatu bentuk sastra tinggi. Oleh karena itulah seorang pemimpin kelompok bernyanyi ma’badong harus benar-benar tahu tentang seluk beluk kesusasteraan Toraja, tidak boleh asal dalam merangkaikan kalimat nyanyian ma’badong. Sastrawan dalam masyarakat Toraja sendiri dikenal dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:

  1. Tominaabaka atau goratongkon yaitu orang yang ahli sastra nasehat.
  2. Tominaaburake yaitu ahli sastra religious.
  3. Tominaasando adalah ahli sastra religius dan estetis.
  4. Tominaa yaitu ahli bicara yang mengandalkan pada hafalan kata-kata sastra.
  5. Ranggakada yaitu orang yang ahli membuat alasan dan kata-kata yang menarik.

Bentuk melingkar dalam ma’badong disebut dengan issung. Issung diartikan sebagai lesung, jadi lingkaran tersebut dianggap memiliki kemiripan dengan bulat lesung bagian atas. Dalam ritual ma’badong, lingkaran penyanyi dapat berjumlah lebih dari satu. Satu lingkaran dikenal dengan nama sangissung dan dua lingkaran disebut duangissung. Jika ritual dilakukan lebih dari satu kelompok lingkaran, maka tiap kelompok akan memiliki pemimpin grupnya sendiri-sendiri, sehingga syair-syair yang dilagukan bisa jadi berbeda antar kelompok. Meskipun begitu, nyanyian yang berasal dari kelompok yang berbeda tersebut tidaklah saling mengganggu dan tumpang tindih, tetap enak didengar, hal ini disebabkan nyanyian dalam ma’badong cenderung menonjolkan penggunaan lantunan huruf vokal yang lebih banyak diperdengarkan sepanjang lagu sehingga irama yang ditangkap tetap terasa sejalan dan serasi. Penyanyi dapat membentuk lingkaran di lapangan, jalan raya, atau halaman rumah jika dirasa cukup luas. Jika pekarangan rumah dari keluar si mati dianggap kecil, sedangkan tidak ada tempat lain yang dirasaleluasa, maka lingkaran tersebut diusahakan lebih merapat dan lebih kecil. Gerakan dalam ma’badong dilakukan dengan cara mengayun-ayunkan tangan ke arah dada. Kepala digerakkan ke depan dan ke belakang, juga bahu yang digerakkan ke atas dan ke bawah. Semua gerakan ini dilakukan secara bersamaan dengan rekan-rekan lainnya sambil terus bernyanyi. Langkah kakipun ikut disamakan, diayunkan ke depan secara bergantian, sambil bergeser ke kanan dan ke kiri satu satu langkah, hal ini dilakukan berulang-ulang kali. Jadi lingkaran yang dibuat tersebut tidaklah stagnan pada suatu tempat, namun bergerak secara perlahan-lahan hingga akhirnya penyanyi ma’badong akan berada pada tempat semula atau bergerak berputar namun tidak bertukar posisi.Lingkaran kadangkala dipersempit, dilakukan dengan berjalan maju mundur dengan badan yang ikut pula digoyangkan. Gerakan melingkar yang dilakukan ini mirip dengan tari lulo di Sulawesi Tenggara, hanya saja tari lulo dimainkan dalam gerakan yang cepat dan energik, berbeda dengan ma’badong yang dilakukan secara lebih lambat dan pelan.

Untuk mengakhiri ritual ma’badong, sebelum membubarkan diri para penyanyi ma’badong biasanya melakukan nondo pua (lompatan besar) yaitu dengan melakukan lompatan-lompatan ke kiri dan ke kanan. Ritual kesenian ma’badong ini dapat dilakukan semalam suntuk, tergantung kemauan dan kemampuan dari penyanyi. Ma’badong dilaksanakan sebelum seorang yang meninggal diantarkan ke tempat pemakaman. Tidak ada batasan tempat maupun lamanya pelaksanaan. Siapapun dapat menyanyi dan ikut berpartisipasi dalam ritual ma’badong, baik itu pria maupun perempuan. Akan tetapi untuk ritual yang dilakukan hingga tengah malam, pada umumnya penyanyi ma’badong adalah kaum pria, dikarenakan mereka lebih kuat menahan kantuk dan tidak terlalu repot dengan urusan rumah tangga.

Ritual ini dilakukan dengan penuh semangat, sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan pada si mati, oleh karenanya meskipun dilakukan selama berjam-jam, tidak ada penyanyi yang mengeluh karena kelelahan. Bagi mereka yang ingin keluar dari lingkaran dapat langsung meninggalkan lingkaran tersebut secara perlahan-lahan dengan melepaskan kaitan jari kelingkingnya. Kaitan yang terputus itu akan segera disambung dengan kaitan kelingking penyanyi yang ada disamping kiri dan kanannya, sehingga lingkaran menjadi utuh kembali. Demikian pula bagi mereka yang ingin masuk ke dalam lingkaran, dapat langsung masuk dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada penyanyi yang ada di sebelahnya. Sebuah ritual ma’badong yang berlangsung lama biasanya diberi jeda sejenak untuk beristirahat. Pada waktu beristirahat, para penyanyi akan disuguhkan makanan dan minuman untuk disantap bersama. Setelah itu, mereka dapat melanjutkan ritual bernyanyi ini hingga selesai. Setelah ritual selesai dilaksanakan, para penyanyi dapat diberi imbalan sesuai kemampuan keuangan. Untuk mereka yang keluarganya termasuk golongan kaya yang menyewa penyanyi ma’badong dari luar kampung, biasanya memberi bayaran dalam bentuk hewan yaitu babi. Hewan tersebut akan dijual oleh kelompok bernyanyi kemudian uang hasil penjualannya dibagikan kepada para penyanyi.

Ritual ini adalah ungkapan rasa kehilangan yang mendalam yang dialami oleh keluarga. Banyaknya orang yang ikut berpartisipasi dalam ritual ma’badong dapat menunjukkan bahwa si mati adalah sosok yang disukai dan dicintai oleh banyak orang dan hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga. Misalnya seorang remaja yang telah meninggal dan banyak teman-temannya yang ikut berpartisipasi menyanyi ma’badong untuk dirinya, dapat menimbulkan rasa haru bagi orang tua si mati dan menjadi bukti pada mereka bahwa anaknya yang meninggal tersebut telah bergaul dengan sangat baik dalam lingkungannya, ikatan persaudaraan di antara mereka tetap terjalin dengan kuat meskipun anaknya telah meninggal, dan derita kehilangan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh keluarganya saja tetapi juga oleh teman-temannya.

Ma’badong dapat dibedakan dalam tiga kategori yang didasarkan pada usia dari orang yang meninggal, yaitu:

  1. Badong pia, yaitu badong yang ditujukan kepada seorang anak kecil yang telah meninggal, menceritakan kesedihan keluarga yang ditinggal terutama kedua orang tuanya karena anak mereka berada di dunia ini dalam waktu yang begitu singkat.
  2. Badong tomangura, jika yang meninggal adalah seorang anak muda yang masih remaja, menceritakan kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan, termasuk saudara-saudaranya yang ikut merasa kehilangan orang yang telah menemani mereka selama ini.
  3. Badong tomatua, ditujukan untuk orang dewasa yang telah meninggal, atau orang yang sudah tua. Berbeda dengan badong pia, badong tomatua banyak menceritakan kesedihan dan kesusahan yang dialami oleh pihak keluarga terutama anak-anak, karena telah kehilangan orang tua yang selama ini membimbing mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga mereka kini menjadi yatim atau piatu.

Contoh badong pia:

Inde pia tang madosa

Maningi manna naissang

Saeko untampa saki

Untannun dallo rioki

 

Artinya:

Engkau anak tak berdosa

Hanya tahu bermain saja

Engkau datang hanya sekejap

Pembawa ratap ibu bapakmu

 

Contoh badong tomatua:

Uai nata kilambiq

Indete bamba ma’dusen

Lako ambe’ takamali’

Teto marapo ongi’na

Artinya:

Kami sisa tinggal air mata

Di tempat yang duka ini

Pada bapak yang kita rindukan

Sekarang hidupnya telah berakhir

 

Badong dapat dikatakan sebagai nyanyian duka keluarga karena terjadinya peristiwa kematian yang menimpa satu rumpun keluarga, tidak hanya menjadi derita yang dirasakan oleh keluarga inti semata. Ketika pesta adat dilaksanakan, seluruh keluarga akan ikut berpartisipasi secara sukarela dengan memberi bantuan dan sumbangan baik pikiran, tenaga, maupun materi. Bagi mereka yang mendapatkan bantuan tersebut, akan menjadikannya sebagai utang budi yang wajib dibalas.

 

Nilai-Nilai Budaya dalam Ritual Ma’badong

Nilai-nilai budaya merupakan tatanan nilai yang melekat dalam suatu masyarakat dan menjadi pedoman bagi suatu kelompok organisasi atau masyarakat. Terdapat beberapa nilai budaya yang terkandung dalam ritual ma’badong ini yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Spriritualisme

Agama ataupun kepercayaan yang lain dalam suatu lingkungan masyarakat, dapat menjadi pedoman ataupun sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial dan budaya. Agama erat kaitannya dengan sistem keyakinan (belief) dan tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan pengalaman seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Spranger bahwa nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Agama mengatur kehidupan suatu kelompok masyarakat, menjadi sumber kebenaran mutlak bagi penganutnya, dan menjadi kontrol sosial dalam masyarakat yang mengendalikan tindakan masing-masing individu dalam hubungannya dengan Tuhannya, masyarakat, dan alam sekitar. Dalam KBBI, spiritualisme diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian: ia menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu gaib, seperti mistik; kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal; danspiritisme. Spiritualisme adalah suatu konsep yang menegaskan tentang peghormatan dan kebaktian diri kepada roh atau Tuhan dalam pandangan agama.

Agama merupakan sesuatu yang sifatnya hakiki, didasari pada kepercayaan akan adanya Tuhan sebagai sumber penciptaan alam semesta, menguasai seluruh sendi kehidupan manusia, diyakini dan dianut oleh sebagian besar manusia, dan diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual persembahan. Demikian pula halnya dalam kepercayaan masyarakat Toraja, bahwa Tuhan adalah pemberi kehidupan, keselamatan, keberkahan, kebaikan, pun penderitaan dan kesengsaraan semua ada di tanganNya. Manusia diwajibkan untuk taat dan bersandar sepenuhnya pada segala ketentuan yang telah digariskanNya. Kepercayaan keagamaan tersebut memiliki kekuatan, hal ini tergambar dalam lirik-lirik badong, misalnya yang terdapat dalam lirik berikut:

O ambe’ masokan

Malemi naturu’ gaun

Na empa-empa salebu’

Na parri-parri urannallo

 

Terjemahannya:

 

O bapak yang baik budi

Engkau ke sana diliputi awan

Dihantar oleh kabut

Bersama hujan yang rintik-rintik

 

Sande dalam Yasil (1999/2000) mengungkapkan penjelasan mengenai lirik di atas, bahwa badong ini menggambarkan kepergian roh si mati (yang diliputi awan, diantar oleh kabut dan hujan rintik-rintik). “Engkau ke sana” diartikan engkau manusia ke dunia lain, dunia setelah dunia yang kita tinggali sekarang. Kepercayaan adanya dunia abadi, dunia di sana, dunia akhirat tidak bisa dipisahkan dari agama atau kepercayaan. Dunia di sana atau akhirat dengan segala ketentuannya diyakini kebenarannya bagi penganut agama manapun. Demikian pula kata dosa yang terdapat dalam badong pia  yang dicontohkan di atas, karena konsep dosa hanya dikenal dalam dunia agama. Selain itu, badong seringpula menampilkan lirik yang berisi kata-kata penghargaan terhadap dewa-dewa dan roh nenek moyang, dan kedudukan keluarga serta rumah adat seperti yang terlihat dalam kutipan terjemahan badong berikut.

 

Di atas yang diratakan Tuhan

Dataran kepunyaan dewa

Tempat pertemuan mereka

Perpijakan para leluhurnya

Landasan para Sanghyang

Memindahkan rumah adatnya

Menggoyang rumpun keluarganya

Kepada nenek yang mahamulia

Leluhur saja saktinya

 

  1. Status Sosial

Ritual ma’badong tidak hanya merupakan suatu kewajiban menyangkut kepercayaan terhadap roh orang yang sudah meninggal, tapi lebih luas dari itu, ritual ini menggambarkan tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakatnya. Dalam kepercayaan tradisional aluk todolo, masyarakat Toraja mengenal adanya pembagian masyarakat beberapa kelas-kelas yang disebut dengan tana’, yang dijelaskan sebagai berikut:

  1. Tana’ Bulaan, adalah bangsawan tinggi yang dipercayakan sebagai pemimpin adat.
  2. Tana’ bassi, adalah bangsawan menengah yang dapat bertugas sebagai pembantu pemerintahan adat.
  3. Tana’ Karurung, adalah golongan masyarakat kebanyakan yang merdeka.
  4. Tana’ Kua-kua adalah golongan masyarakat yang berasal dari lapisan hamba sahaya.

Dalam pelaksanaan ritual rambu solo’ misalnya, dimana stratifikasi sosial seseorang yang meninggal diperlihatkan dalam jumlah hewan yang dikurbankan serta besarnya pesta diadakan. Semakin banyak hewan yang disembelih untuk pelaksanaan pesta ini menunjukkan tingginya kelas yang dimilikinya. Sama halnya pada pelaksanaan ma’badong. Syair-syair yang dilantunkan juga didasarkan pada kelas sosial seseorang yang meninggal. Bagi mereka yang menjadi pemimpin kelompok bernyanyi dalam ma’badong, sebelumnya memang harus sudah mengenal stratifikasi sosial si mati, sehingga lirik-lirik yang disampaikan dapat digambarkan dengan baik dan sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat. Rappoport (2014) menjelaskan bahwa sebagaimana halnya dengan pengurbanan hewan secara besar-besaran, tuturan pun ikut berpengaruh dalam pesta-pesta yang paling besar untuk membantu orang mempertahankan atau mengangkat statusnya. Status dipertahankan melalui pernyataan sejumlah besar syair, dalam bentuk sajak atau bukan sajak, dinyanyikan atau tidak dinyanyikan. Seperti nyanyian, sajak-sajak ini diatur dalam dua kategori: syair-syair untuk para bangsawan yang telah meninggal dan syair-syair untuk bangsawan yang masih hidup. Bangsawan “yang sempurna” ialah orang yang telah melakukan perjalanan ritualnya, orang yang telah melakukan semua tingkatan ritus. Hanya pada saat itulah orang mengatakan: “Siapa yang dapat dibandingkan dengannya? Siapa yang sederajat dengannya?” (Minda oya la susinna? La sipalin padaonna?). Hal ini dapat kita lihat dalam lirik badong berikut.


Kendekmo lolo rangka’na

Langngan lu pa’tarunona

Bendan tumonglona uru

Umbalumbunna barana’

Kumonglena dae-dae

Dipobarana’ kalando

Dipolamba’ paonganan

Te laan tangngana tondok

Disanga burake mulanna

Iamo nasiosso’i

Nasiturun turunanni

Minda ia la susinna

La tipalin padaona

Keden to tumanan bua’

Lako matallo matampu’

Ilaan tangngana tondok

Laomo ditulunganni

Diapun ta’kulu-kulu

Naiklah hasil kerja jarinya

Semakin meningkat hasil jemarinya

Berdiri menjulang pohon urunya

Tumbuh rimbun pohon beringinnya

Perlindungan pohon-pohon beringin

Dijadikan pohon beringin tinggi

Dijadikan pohon dedaun lebar pelindung di tengah negeri

Dinamai burake pada mulanya

Itulah yang dituruntemurunkan

Secara turun temurun

Siapakah yang menyamainya?

Yang seimbang ketinggiannya?

Kalau ada yang berpestabua’

Ke arah timur dan barat

Di tengah negeri

Pergi untuk ditolong

Dikelilingi tanpa kecuali

 

 

Azis (2004) mengemukakan bahwa simbol adalah tanda yang diwujudkan sebagai bentuk visual bagi sesuatu makna tertentu, yang abstrak yang bersifat komunikatif bagi masyarakat tertentu, namun tidak bagi masyarakat lainnya. Penggambaran tentang keagungan seseorang dilukiskan dalam bentuk lirik-lirik hiperbola seperti di atas, dianalogikan sebagai pohon beringin yang rimbun dan melindungi siapa saja yang bernaung di bawahnya, sekaligus melindungi negerinya. Melindungi di sini dapat diartikan sebagai seseorang yang memberi manfaat positif, atau orang yang menjadi pengayom masyarakat. Dalam lirik tersebut juga dikemukakan bahwa orang yang bersangkutan dinamai burake pada mulanya. Burake dalam Glosarium Sulawesi Selatan diartikan sebagai singgasana atau tempat bertahta. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan dapat berarti orang yang memiliki kekuasaan tertentu. Pada baris 12, disebutkan pula bahwa tidak ada yang mampu mengimbangi kedudukan sosialnya dalam masyarakat. Ketika dia mengadakan pesta bua’ (pesta syukuran besar-besaran yang diadakan di bagian utara Tongkonan), semua orang akan turut serta membantunya, sehingga apa yang dilaksanakannya mendapatkan hasil yang lebih, juga meningkatkan status sosialnya. Dari beberapa penggalan bait di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dia yang diceritakan dalam lirik tersebut berasal dari golongan bangsawan tinggi.

  1. Keharmonisan Kelompok

Masyarakat Toraja adalah golongan masyarakat yang terkenal kental dengan ikatan kekerabatan yang tinggi. Bagi mereka yang akan mengadakan pesta, seluruh pihak keluarga akan ikut turun tangan membantu satu sama lain. Bagi mereka yang pernah mendapat bantuan dari salah satu pihak keluarganya, maka menjadi kewajibannya untuk membalas budi pihak keluarga yang telah membantunya. Utang budi tersebut bahkan berlaku hingga ke anak-anaknya. Sifat kebersamaan inilah yang hingga saat ini masih terus dijaga oleh masyarakat Toraja. Batong (2001) menjelaskan bahwa kehadiran dalam upacara kematian merupakan suatu tanda persekutuan yang sangat berharga tidak bisa diganti oleh apapun. Kalaupun seseorang akan mengembalikan utang babi atau kerbau, pantang bagi mereka untuk mengirimnya, harus yang bersangkutan langsung datang, tidak diwakili. Ketidakhadiran seseorang bisa dianggap penghinaan atau paling tidak mengganggu persekutuan. Hal ini juga terlihat dalam pelaksanaan ritual ma’badong, dimana keikutsertaan seseorang dalam kelompok bernyanyi ini menjadi bukti kepedulian mereka terhadap si mati dan keluarganya. Rappoport (2014) juga menjelaskan bagaimana kelompok bernyanyi bersama ini berarti menunjukkan diri sebagai sebuah kelompok, menunjukkan kesatuan dan tindakan bersama yang ditujukan kepada para dewa, nenek moyang, atau orang yang meninggal. Pengungkapan kelompok merupakan dasar penyajian bersama-sama. Keberhasilan sebuah pesta terletak pada pengungkapan yang benar, yaitu pengaturan kelompok-kelompok penyanyi dengan benar. Seperti dalam sebuah demonstrasi politik, setiap anggota kelompok penyanyi merasa dirinya kuat, bersatu, setia kawan, gembira, dan berkuasa. Pesta-pesta Toraja mengubah pribadi-pribadi yang terpisah itu menjadi kelompok-kelompok yang hadir melalui tindakan kolektif. Mereka merasa termasuk dalam kelompok-kelompok yang kurang lebih luas, sesuai dengan polimusik yang mengambil tempat selama ritus.

Ma’badong merupakan suatu ritual yang dilakukan secara berkelompok. Bernyanyi bersama dalam ma’badong dapat menjadi wadah dalam mempertahankan jalinan kebersamaan yang telah ada dan dibangun selama ini. Kebersamaan yang diperlihatkan tersebut, merefleksikan gambaran suatu kelompok masyarakat yang harmonis, minim konflik, dan penuh semangat kekeluargaan yang tinggi. Meskipun, saat sekarang telah ada pihak penyedia jasa kelompok bernyanyi badong, namun hal itu tidak menghilangkan makna kebersamaan yang terjalin dalam pelaksanaan ritual ma’badong. Kehadiran seorang kerabat untuk ikut berpartisipasi dalam ma’badong, jugamerupakan bentuk penghormatan terakhir mereka kepada orang yang meninggal, menunjukkan rasa duka cita yang mendalam, serta menjadi bukti kuatnya ikatan persahabatan seseorang dengan si mati.  Hal ini dapat menimbulkan rasa haru pada pihak keluarga si mati dan menganggap bahwa banyak orang yang juga merasakan kehilangan yang sama atas kepergian si mati.

 

Penutup

Ma’badong adalah suatu bentuk tarian dan nyanyian tanpa diiringi alat musik, mendeklamasikan syair-syair pujian mengenai orang yang telah meninggal, ataupun ratapan-ratapan kesedihan dari pihak yang ditinggal.Badong dapat dikatakan sebagai nyanyian duka keluarga karena terjadinya peristiwa kematian yang menimpa satu rumpun keluarga, tidak hanya menjadi derita yang dirasakan oleh keluarga inti semata. Ketika pesta adat dilaksanakan, seluruh keluarga akan ikut berpartisipasi secara sukarela dengan memberi bantuan dan sumbangan baik pikiran, tenaga, maupun materi. Bagi mereka yang mendapatkan bantuan tersebut, akan menjadikannya sebagai utang budi yang wajib dibalas.

Niilai-nilai budaya yang terkandung dalam ritual ma’badong ini diantaranya spriritualisme, status sosial, dan keharmonisan kelompok. Masyarakat Toraja percaya akan adanya Tuhan sebagai pemberi kehidupan, keselamatan, keberkahan, kebaikan, pun penderitaan dan kesengsaraan semua ada di tanganNya. Manusia diwajibkan untuk taat dan bersandar sepenuhnya pada segala ketentuan yang telah digariskanNya. Kepercayaan keagamaan tersebut dengan jelas tergambar dalam lirik-lirik badong. Selain itu, ritual ma’badong tidak hanya merupakan suatu kewajiban menyangkut kepercayaan terhadap roh orang yang sudah meninggal, tapi lebih luas dari itu, melalui lantunan lirik-lirik dalam ritual ini, kita dapat dengan jelas mengetahui tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakatnya. Ma’badong merupakan suatu ritual yang dilakukan secara berkelompok, tidak dapat dilakukan secara perorangan. Bernyanyi bersama dalam ma’badong dapat menjadi wadah dalam mempertahankan jalinan kebersamaan yang telah ada dan dibangun selama ini.

 

REFERENSI:

Azis Said, Abdul. 2004. Simbolisme Unsur Visula Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Moderen. Ombak. Yogyakarta.

Batong, Hermin. 2000. Sejarah Daerah Tingkat II Tana Toraja. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Ujung Pandang.

Batong, Hermin. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Toraja. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Ujung Pandang.

Koentjaraningrat.1987.Sejarah Teori Antropologi. UI Press. Jakarta.

Lisungan, Joni. 2014. Tongkonan dan Singgi’ di Sillanan Tana Toraja (Naskah Penelitian). Balai Pelestarian Nilai Budaya. Makassar.

Mappangara, Suriadi. 2007. Glosarium Sulawesi Selatan. BPSNT. Makassar.

Marpaung, Happy dan Herman Bahar. 2000. Pengantar Pariwisata. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisonal Sulawesi Selatan. Lamacca Press. Makassar.

Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Pelly, Usman. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Dikti. Jakarta.

Petrus, Simon. 2012. Tari Tradisional Pa’gellu’ di Kelurahan Tagari Kecamatan Tallung Lipu Kabupaten Toraja Utara. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Makassar.

Rappoport, Dana. 2014. Nyanyian Tana Diperciki Tiga Darah Musik Ritual Toraja dari Pulau Sulawesi: Bunga Rampai Toraja. Penerbit KPG. Jakarta.

Rappoport, Dana. 2014. Nyanyian Tana Diperciki Tiga Darah Musik Ritual Toraja dari Pulau Sulawesi: Penceritaan Etnografi. Penerbit KPG. Jakarta.

Spranger, Eduard. 1914. Types of Man.

Tangdilintin, L. T. 2006. Toraja Sebuah Penggalian Sejarah dan Budaya. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisioanal. Ujung Pandang.

Yasil, Suradi. 1999/2000. Nilai-Nilai Budaya yang Terkandung dalam Londe dan Badong Toraja. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Ujung Pandang.