PENGARUH PERLUASAN WILAYAH TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI KERAJAAN GOWA 1510 – 1669

0
20987
gsgdrhdfbdfhdfhd

PENGARUH PERLUASAN WILAYAH TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI KERAJAAN GOWA 1510 – 1669

 

Aspiani Alam

SMA Negeri 1 Takalar

 

ABSTRAK

 

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan politik perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-16 dan paro pertama abad ke-17, pengaruh penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan terhadap kebijakan politik kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo dalam pada ke-17, faktor-faktor apa yang menyebabkan kemajuan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo, dan pengaruh perubahan politik kekuasaan pasca Perang Makassar (1666-1669) terhadap perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada akhir abad ke 16 perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo lebih mencirikhaskan sebagai suatu dinamika dan trend politik local di Sulawesi Selatan. Disamping itu, perluasan wilayah itu terkait dengan upaya strategis mengamankan jalur perdangan dan pelayaran. Kemudian setelah paro pertama abad ke 17, pola kebijakan perluasan wilayah didasari dengan upaya perluasan ajaran Islam. Kerajaan Gowa-Tallo berkepentingan menguasai kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan dalam rangka kepentingan ekonomi juga dimaksudkan untuk menyebarkan Islam. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pemegang kendali politik di Sulawesi Selatan, berpengaruh pula terhadap kegiatan perdagangan maritim bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan memegang kendali politik, maka Kerajaan Gowa-Tallo menguasai jalur perdagangan dan pelayaran.

 

Kata Kunci: Kerajaan Gowa-Tallo, Pelayaran dan Perdagangan

 

PENDAHULUAN

Pada masa pemerintahan Raja Tumapa’risi’ Kallonna (1510-1546), terjadi perubahan mendasar dalam pemeritahan kerajaan Gowa. Pusat pemerintahan yang sebelumnya berada di Tamalate dipindahkan ke kawasan pesisir, tepatnya di Sombaopu. Perpindahan ini tidak hanya semata sebagai upaya penataan politik dan pemerintahan, tetapi harus dipahami dalam konteks yang lebih luas terkait dengan peluang-peluang ekonomi dan eksistensi kerajaan Gowa (Poelinggomang dan Mappangara, 2004).

Upaya tersebut terkait erat dengan perkembangan ekonomi dan politik kawasan timur Nusantara terutama pada abad ke-16 dan 17, yang menjadi fokus penelitian ini. Ada dua hal penting dalam menganalisis perkembangan pasang dan surutnya dinamika abad ini, yaitu: (1) pelayaran dan perdagangan maritim dan (2) perkembangan syiar agama Islam (Reid, 1999).

Studi Anthony Reid (1999) menunjukkan bahwa perkembangan perdagangan maritim pada masa kurun niaga (1450-1680) membawa pengaruh yang besar bagi negara-negara yang berorientasi pada perdagangan maritim di Asia Tenggara, khususnya wilayah kepulauan. Produksi hasil bumi Nusantara yang menjadi komoditi andalan pada saat itu adalah rempah-rempah dari Kepulauan Maluku dan kayu cendana di pulau Timor.

Permintaan yang tinggi terhadap komoditi ini berpengaruh terhadap nilai (harga) jualnya. Itulah sebabnya, orang-orang Eropa sangat bergiat untuk mendapatkan komoditi ini dengan melakukan pelayaran samudera ke negeri penghasilnya. Berbagai cara mereka lakukan demi untuk memperoleh dan bahkan memonopoli jarigan perdagangan ini. Hal itu berdampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi Nusantara yang berkepanjangan (Reid, 1999).

Kerajaan Gowa yang berada di kawasan niaga maritim ini juga tidak lepas dari persoalan itu. Pada awalnya, Gowa banyak menuai hasil dari perdagangan rempah-rempah. Itu tidak terlepas dari kedudukannya yang strategis di jalur utama pelayaran dan perdagangan dari dan ke kawasan timur Nusantara, khususnya Kepulauan Maluku sebagai daerah penghasil komoditi andalan niaga, rempah-rempah. Hal itu didukung pula oleh kebijakan politik penguasa, yang terkenal dengan mare liberium (laut bebas), sehingga memberikan peluang yang besar bagi para saudagar lokal dan mancanegara untuk terus bergiat di dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim. (Poelinggomang dan Mappangara, 2004). Kisah sukses dan kebangkitan ini dilukiskan dengan baik oleh Anthony Reid sebagai berikut:

Kebangkitan Makassar menuju dominasi politik dan ekonomi di Indonesia bagian timur merupakan kisah sukses yang paling cepat dan spektakuler yang dihasilkan sejarah Indonesia. Dominasi ini memerlukan waktu tidak lebih dari satu abad, sejak bukti-bukti pertama adanya sebuah kerajaan penting di masa Tumapa’risi’ Kallona (1510-1546) sampai masa puncak kejayaannya pada paruh pertama abad ke-17 (Reid, 2004: 132).

 

Meskipun demikian, perdagangan maritim yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan itu membawa pula Kerajaan Gowa-Tallo pada ambang kemundurannya terutama pada bagian kedua abad ke-17. Perang Makassar (1667-1669) yang dimenangkan oleh VOC yang mendapat dukungan kerajaan Bugis-Bone pimpinan Arung Palakka bersama dengan para sekutunya telah menciutkan ruang politik Kerajaan Gowa-Tallo. Peristiwa itu juga dipandang sebagai sebuah titik balik dari perkembangan yang amat gemilang Makassar, sebagaimana dilansir oleh Reid di atas, dalam percaturan politik dan ekonomi di kawasan timur Nusantara (Andaya, 2004).

Selain itu, perkembangan syiar agama Islam di Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian timur pada umumnya merupakan bagian penting dalam memahami dinamika sosial dan ekonomi pada abad ke-17. Diterimanya agama Islam sebagai agama masyarakat dan agama kerajaan oleh Gowa-Tallo pada awal abad ke-17 membawa warna tersendiri dalam kebijakan politiknya. Perluasan wilayah dalam konteks itu berkait erat dengan misi pernyebaran agama, sehingga kadang sulit dipisahkan secara tegas antara upaya politik dan usaha agama.

Perang Pengislaman atau Mussu Selleng yang dikobarkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan pada periode ini. Negeri-negeri Bugis, terutama yang mengorganisir diri dalam persekutuan Tellu PoccoE (Bone, Soppeng, dan Wajo) dengan tegas menentang upaya politik Kerajaan Gowa-Tallo yang bertopengkan agama Islam. Karena itu, mereka melakukan perlawanan keras tehadap segala upaya oleh Kerajaan Gowa-Tallo, meski akhirnya satu demi satu berhasil ditaklukan lewat kekuatan militer pada dasawarsa pertama dan kedua abad ke-17 (Patunru, 1993).

Berkaitan dengan itu, adalah menarik kesimpulan dari karya studi Sewang (2005) mengenai Islamisasi Kerajaan Gowa-Tallo. Menurutnya, misi Kerajaan Gowa-Tallo tidak boleh dipahami semata sebagai upaya murni perluasan syiar Islam, tetapi itu terkait erat dengan kepetingan ekonomi kerajaannya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa daerah-daerah yang menjadi sasaran penyiaran Islam dan hendak ditaklukan merupakan penghasil komiditi niaga yang diperdagangkan di bandar Sombaopu.

Beberapa studi yang telah dilakukan dalam kaitan itu umumnya menempatkan konteks Islamisasi dan perdagangan maritim secara terpisah dengan kepentingan perluasan wilayah Kerajaan Gowa-Tallo. Karya Daeng Patunru tentang sejarah Gowa-Tallo, sejarah Wajo, dan sejarah Bone tidak banyak memberikan suatu analisis yang komprehensif ihwal mengenai percaturan ekonomi dan politik terutama pada abad ke-16 dan abad ke-17. Demikian pula karya Mattulada (1982) tentang Sulawesi Selatan lebih merupakan sebuah narasi singkat dari sebuah sejarah panjang daerah ini yang penuh dengan kemelut politik dan kekuasaan pada abad ini. Namun demikian, dengan baik Mattulada menunjukkan adanya berbagai kemelut politik di negeri-negeri Bugis dan Makassar pada akhir abad ke-15 dan dalam abad ke-16. Buah dari kemelut tersebut kemudian menampilkan dua kerajaan besar yang berpengaruh di kedua negeri, yakni kerajaan Bone (Bugis) dan Gowa-Tallo (Makassar). Kebangkitan dua kerajaan itu, dipandang sebagai momen penting dalam perjalanan sejarah Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian Leonard Y. Andaya (2004) tentang sejarah Sulawesi Selatan pada abad ke-17 secara khusus menyoroti sosok seorang Bugis, yang fenomenal, yakni Arung Palakka. Dalam banyak hal, Andaya cenderung menempatkannya sebagai tokoh kunci dari percaturan politik daerah ini di abad itu. Narasi sejarah yang diketengahkannya lebih dominan kepada rangkaian kemelut yang berpengaruh besar bagi lahirnya peristiwa besar yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) dan perubahan sosial yang besar pasca peristiwa ini yakni gelombang migrasi besar ke luar Sulawesi Selatan. Semua itu, menurut Andaya, merupakan warisan Arung Palakka yang sangat penting untuk dipahami dalam perkembangan sejarah Sulawesi Selatan.

Selain karya tersebut di atas, terdapat sejumlah studi yang berkaitan dengan fokus dan temporal penelitian ini (lebih lanjut diuraikan pada Tinjauan Pustaka), namun kebanyakan belum memperlihatkan keterkaitan yang erat antara kebijakan politik perluasan wilayah kekuasaan dengan kepentingan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16 dan abad ke-17. Atas  dasar itulah penelitian ini dirancang untuk mengkaji lebih jauh keterkaitan antara kedua faktor tersebut (politik dan ekonomi) yang acapkali dilihat secara terpisah oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Artikel ini akan menjelaskan tentang pengaruh perluasan wilayah terhadap perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo pada 1510-1669. Untuk mengurai persoalan tersebut, ada empat pertanyaan penting yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu pertama,Bagaimana kebijakan politik perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-16 dan paro pertama abad ke-17? Kedua, bagaimana pengaruh penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan terhadap kebijakan politik kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo dalam pada ke-17? ketiga, Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemajuan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo? Dan keempat, bagaimana pengaruh perubahan politik kekuasaan pasca Perang Makassar (1666-1669) terhadap perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo?

  1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian sejarah, yang mencoba mengkonstruksi kembali kejadian masa lalu pada masa sekarang melalui metode kerja yang sistematis dari ilmu sejarah. Metode kerja yang dimaksud dalam pemikiran Garaghan (1957) adalah seperangkat asas dan kaidah sistematis yang diubah untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya dengan kritis, dan menyajikan suatu sistem hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis (dalam Alfian, 1992: 411). Gootschalk (1985: 32) memahaminya sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

Secara sistematis metode penelitian sejarah meliputi: (1) pengumpulan sumber (heuristik), verifikasi sumber (kritik eksternal dan internal), penafsiran (interpretasi), dan penyajian hasil penelitian (historiografi).

 

PEMBAHASAN

 

  1. Politik perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo

Mengapa Kerajaan Gowa-Tallo melakukan perluasan wilayah kekuasaan di Sulawesi Selatan? Apa akibat dari perluasan kekuasaan itu dalam konteks kepentingan ekonomi dan strategis keamanan untuk selanjutnya menempatkan Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang hegomini di Sulawesi Selatan? Kedua pertanyaan ini menjadi dasar bagi penulis untuk menelusuri sejauhmana perluasan kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Bagian ini menguraikan berbagai aspek perluasan kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu langkah untuk memahami genelogi kemajuan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke 16 dan 17.

Peta politik jazirah Sulawesi Selatan pada abad XVI menunjukkan kehidupan yang teroganisir secara internal pada kesatuan-kesatuan kerajaan seperti Wajo, Soppeng, Gowa-Tallo, Tallo, Bone, Tanete dan lain-lain. Menurut tradisi yang ada bahwa mereka dalam perkembangannya terikat oleh hubungan geneologis sebagai wujud kehidupan kekeluargaan. Kehidupan kekeluargaan antar kerajaan ini, dalam perkembangan kemudian, mengalami distorsi sehubungan dengan perluasan pengaruh kekuasaan yang dilakukan oleh Kerajaan Makassar pada masa pemerintahan Tumaparissi Kalonna dan kemudian dilanjutkan dengan penggantinya yaitu Tunipalangga Ulaweng.

Kerajaan Gowa-Tallo pada awal perkembangannya hanya terdiri atas sembilan unit kerajaan politik, yaitu: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kali. Kemudian dibawah pemerintahan Tumaparisi Kallonna dan diperkuat unit Tallo. Dalam menjalankan ekspansi awal, Gowa-Tallo dapat menaklukkan Siang, kemudian dibawah pemerintahan Tunipallangga (1546-1565) di taklukkan Bone dan kerajaan- kerajaan yang berbatasan dengan Bone, termasuk Suppa, Wajo, dan Sawitto. Perang penaklukkan yang dilakukan oleh dua raja itu pada abad ke-16 mendorong kerajaan-kerajaan yang telah terjalin hubungan kekerabatan bergiat membentuk persekutuan atau konfederasi. Terbentuklah persekutuan TellumpocoE, persekutuan tiga kerajaan yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo, persekutuan Ajatapareng yang meliputi kerajaan: Sidenreng, Rappang, Suppa, Sawito,dan Alita, dan persekutuan Malusetasi yang mencakup kerajaan: Soreang, Bacokiki, Bajo, Palanro, dan Nepo.

Namun perkembangan politik setelah Perang Makassar (1666-1667, 1668-1669) mendorong kerajaan ini bergiat membangun konfederasi dengan kerajaan-kerajaan lain untuk saling membantu bila terjadi ancaman dari luar dan memperarat hubungan bilateral antar kerajaan-kerajaan itu. Konfederasi yang di bangun itu dikenal dengan sebutan “Limampanua”,karena terdiri dari lima kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan itu adalah kerajaan: Tanete, Lamuru, (Bone), Barru, Sigeri, dan Labakang.

Terdapat beberapa alasan mengapa dibentuk persekutuan itu. Pertama, kerajaan-kerajaan itu memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan lainnya. Kedua, ketika VOC menang dalam Perang Makassar, kondisi politik ditata berdasarkan pada kebijaksanaan adu domba, dengan strategik membagi kerajaan-kerajaan sekutu di Sulawesi selatan dalam dua kelompok politik yaitu kelompok Bugis yang meliputi: Bone, Soppeng, dan negeri-negeri Turatea (Binamu, Bangkala, dan Laikang)dibawah raja Bone (sekutu tertua), dan kelompok Makassar yang meliputi semua kerajaan yang tidak tergolong dalam kelompok Bugis. Ketiga, wilayah Tenete dan kerajaan-kerajaan lainnya itu berdekatan dengan daerah VOC (Kompeni) pada Provinsi Bagian Utara (Noorder Provinsie) yang meliputi : Maros dan Pangkajene.

Keempat, pada periode sebelum dan Perang Makassar, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya berada pada posisi yang ambigu dalam menghadapi Bone dan Gowa-Tallo. Konfederasi ini juga dimaksud untuk menunjukkan sikap netral; itulah sebabnya dijalin dengan kerajaan yang dekat dengan Bone dan kerajaan yang dekat dengan Kerajaan Gowa-Tallo.

Antara kedudukan kerajaan Kembar Gowa-Tallo selaku pusat kekuasaan politik dan peranan Makassar sebagai pusat perdagangan ada saling ketergantungan; perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Gowa-Tallo memungkinkan perkembangan perdagangan di Makassar, dan sebaliknya perdagangan internasional yang tertarik ke sana membawa banyak kekayaan. Kedudukannya sebagai pelabuhan transito atau enterepot sangat tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Halmahera, dan Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lain yang dibutuhkan untuk bekal pelayaran, maka dari itu politik ekspansi Gowa-Tallo-Tallo dan perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat ditentukan oleh kedua faktor tersebut. Karena rempah-rempah sangat vital bagi Makassar maka setiap usaha menguasai daerah penghasil bahan-bahan itu mengancam kepentingannya, sehingga tidak dapat dielakkan adanya konflik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada satu pihak dan VOC, seperti; kekuasaan Gowa-Tallo mengancam kepentingan VOC yang sedang berusaha keras memonopoli perdagangan rempah-rempah, maka suatu rempah-rempah konfrontasi tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu hubungan Malaka dan Makassar merupakan garis hidup perdagangan Makassar, suatu pukulan terhadap Malaka akan sangat melemahkan kedudukan pelabuhan itu.

Faktor intern Sulawesi yang telah terintegrasikan dibawah hegemoni Gowa-Tallo-Tallo ternyata akan turut menentukan kesudahan konfrontasi Makassar dengan VOC, lain karena di Kerajaan Bone ada unsur-unsur yang tak kunjung padam melakukan oposisi terhadap dominasi Gowa-Tallo-Tallo itu, Rivalitas kuno antara Gowa-Tallo dan Bone akhirnya mengakibatkan kemerosotan Makassar dan dengan demikian jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo-Tallo.

Politik dengan sistem terbuka itu berdasarkan teori “laut bebas” (mare liberum”. Teori ini dianut raja-raja Gowa-Tallo dan sesuai dengan status politik Gowa-Tallo-Tallo serta pelabuhan Makassar pada masa itu. Dengan kekuasaan politik yang ada pada Gowa-Tallo kebebasan berdagang di wilayahnya lebih menguntungkan daripada merugikan. Lagi pula pedagang-pedagang asing mendapat jaminan bagi usaha mereka sehingga perdagangan internasional dapat menghidupi Makassar dengan segala keuntungan daripadanya.

Proses intergrasi dengan hegemoni Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan tidak mengurang ekonomi kerajaan masing-masing, jangankan menghapus eksistensinya. Hal itu dimungkinkan oleh adat yang dijunjung tinggi oleh semua pihak serta membentuk konsensus di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Satu sumber konflik yang ada tidak lain adalah ambisi Gowa-Tallo memegang hegemoni di wilayah tersebut, terutama Bonelah yang melakukan perlawanan terus-menerus. Serangan Gowa-Tallo terhadap Bone dengan bantuan Wajo dan Soppeng 1643 adalah ledakan konflik yang latent yang berasal dari rivalitas yang melembaga itu. Pada akhir pertikaian itu Tobala Arung Tanete Riawang diangkat mejadi pemimpin Bone Jennang, sedang Karaeng Sumanna dari Gowa-Tallo menjadi raja muda. (Andaya, 1981: 41)

Pada tahun 1644  timbullah perlawanan lagi di Bone terhadap pengaruh Gowa-Tallo, yang dipimpin oleh La Ma’daremmeng. Segera Bone mengerahkan bala tentaranya dan minta bantuan Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo, dan Datu Luwu. Ekspedisi dipimpin oleh Genrana. Pemimpin-pemimpin Bone dapat ditangkap dan dibawa ke Gowa-Tallo, antara lain La Tenriaji Toesenrina, Arung Kung, dan Daeng Pabila. Tobala bersikap tak memihak sehingga tetap menduduki jabatannya. Bone diberi status “budak” dari Gowa-Tallo. Oleh Gowa-Tallo, Luwu, dan Wajo diadakan Perjanjian Topaceddo, dalam bahasa Bugis disebut Singkeru Patole. Para tawanan perang kemudian dibagi antara ketiga kerajaan itu (Andaya, 1981: 42). Selanjutnya selama kira-kira dua puluh tahun penguasa di Bone ditunjuk oleh karaeng Gowa-Tallo, bukannya seorang warga wangsa Bone, tetapi seorang Kali. Banyak pula rakyat Bone dikerahkan untuk kerja bakti di Wajo tanpa mendapat imbalan.(Andaya, 1981: 42)

Ekspansi Gowa-Tallo-Tallo berhasil meletakkan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian mengintegrasikan wilayah itu menjadi kesatuan politik, namun hubungan konflik antara Gowa-Tallo dan Bone membawa ketegangan politik terus-menerus sehingga Pax Sulawesiana dibawa pemerintahan Karaeng Matoaya dan Sultan Aluddin tidak dapat direalisasikan secara penuh. Di samping perkembangan ekonomi yang pesat, pemberontakan-pemberontakan sebagai ledakan semangat menentang yang latent menganggu kestabilan Kerajaan Gowa-Tallo-Tallo dalam bidang keamanan dan ekonomi.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo ke kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan memperkuat kedudukan Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang hegemoni kekuasaan. Akan tetapi titik balik dari upaya Kerajaan Gowa-Tallo melakukan perluasan wilayah kekuasaan justru mendorong munculnya persekutuan dalam berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.

  1. Islam dan kebijakan politik kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo

Penyiaran agama Islam di Sulawesi Selatan membawa perubahan besar di semua lapangan kehidupan. Selain perubahan secara ideologi dan pandangan hidup, juga perubahan pada struktur kerajaan. Penerapan syariat Islam dalam system pemerintahan menggeser peran-peran kepercayaan sebelumnya secara bertahap. Demikian pula masuknya Islam di Sulawesi Selatan memberi dampak pada intensitas hubungan-hubungan antara kerajaan diwarnai semangat keagamaan, selain mempererat juga dalam beberapa kasus justru semakin memberburuk hubungan kerajaan bahkan mengakibatkan perang. Seperti perang antara kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa-Tallo.

Demikian pula masuknya Islam juga semakin mematangkan posisi Kerajaan Gowa-Tallo dalam menyebarkan kekuasaannya. Alasan keagamaan nampaknya menjadi penting yang digunakan oleh Kerajaan Gowa-Tallo untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Semangat jihad menyebarkan ajaran Islam tentunya beriringan dengan upaya membangun kekuatan ekonomi dan  politik. Dalam konteks ini penulis melihat bahwa perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo setelah kedatangan Islam semakin memperlihatkan progres yang meningkat.

Berdasarkan perjanjian yang telah diikrarkan bersama itu, Kerajaan Gowa-Tallo mengajak raja-raja lain supaya menempuh pula jalan yang lebih baik itu, yakni memeluk Islam. Seruan Sultan Gowa-Tallo itu segera mendapatkan sambutan dari beberapa raja kerajaan kecil, sehingga penyiaran agama Islam di daerah raja-raja itu diterima secara damai dan sukarela. Akan tetapi kerajan Bone sebagai salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan justru menolak masuknya ajaran Islam. Dengan demikian, bagi Kerajaan Gowa-Tallo, Kerajaan Bone telah melanggar kesepatan bahwa barang siapa yang mendapat berita kebaikan maka hendak disampaikan kepada saudaranya. Perjanjian ini meliputi tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Luwu, Gowa-Tallo dan Bone.

Langkah Kerajaan Gowa-Tallo selanjutnya menyerang Kerajaan Bone dengan alasan menyebarkan berita kabaikan yaitu kedatangan ajaran Islam. Terlepas dari maksud dan tujuan Kerajaan Gowa-Tallo melakukan serangan ke kerajaan Bone, yang jelas, Kerajaan Gowa-Tallo telah menggunakan Islam sebagai dasar penguasaan dan perluasan wilayah kekuasaan. Kemudian pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menaklutkan kerajaan Bone dan Islam kemudian diterima sebagai agama Islam resmi kerajaan Bone. Dengan taklutnya kerajaan Bone, maka sebagian besar kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan dibawah panji-panji Islam atas dominasi Kerajaan Gowa-Tallo. Dalam konteks ini dapat dikatakan kedatangan Islam telah menguntungkan Kerajaan Gowa-Tallo secara politik.

Berdasarkan argumen di atas, maka dapat dikatakan bahwa proses Islamisasi di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan berkaitan dengan proses islamisasi yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Makassar. Hubungan kerajaan Makassar dengan kerajaan lain memperlihatkan suatu hubungan keluarga dekat sehingga kerajaan lain juga melakukan syiar Islam di wilayahnya masing. Ini terlihat pada semua kerajaan-kerajaan yang telah menjadikan Islam sebagai agama kerajaan memasukkan unsur-unsur Islam dalam hukum pemerintahan.

Untuk mempertahankan hegemoni, Kerajaan Gowa-Tallo melakukan hubungan dengan kerajaan lain dengan menggunakan Islam sebagai simbol yang mempersatukan. Seruan kepada kerajaan-kerajan sekutu untuk menerima mubalik menyiarkan ajaran Islam dan memusliminkan mereka mendapat tanggapan yang berbeda. Kerajaan-kerajan yang bergabung dalam “persekutuan tiga Kerajaan” (TellumpoccoE), yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo, menolak seruan atau ajakan untuk menerima Islam. Sehingga dalam perkembangannya terjadi perang dengan apa yang disebut “perang pengIslaman” (bundu kasallanga atau musu asellenge) (Poelinggomang, 2004: 46). Sejumlah kerajaan sekutu lainnya menerima seruan atau ajakan untuk menerima dan menjadi penganut Islam. Penerimaan mereka itu pada satu sisi didasarkan pada kenyataan yang mereka ketahui dari kehidupan pedagang Islam yang telah menetap di negeri mereka yang memberikan pemahaman kepada mereka dan kesadaran bahwa Islam adalah agama yang mulia dan benar. Pada sisi lain penerimaan Islam menjadi agama kerajaan oleh Kerajaan Makassar lebih meyakinkan mereka akan kesadaran mereka itu, sehingga bersedia dan berusaha mempelajari kehidupan keagamaan itu dan turut berdakwa.

Kerajaan Gowa-Tallo mengalami kemajuan pesat. Kemajuan itu dicapai berkat kerja keras dalam memajukan kegiatan perdagangan dan pemasaran produksi rakyatnya, disamping karena Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pemegang kendali ekonomi dan politik di Sulawesi Selatan. Pada periode itu dinyatakan datang lagi banyak pedangang dari berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan untuk berdagang dan ada pula diantaranya menetap, antara lain dari kerajaan Bone, Wajo, Belawa, Sidenreng, Buki, Luwu, dan Mandar. Pada periode sebelum ia menjadi raja (abad ke-16) telah menetap sejumlah pedangang dari luar Sulawesi Selatan, antara lain pedangang: Jawa, Portugis, Minangkabau, dan Johor (Melayu). Pada pedangang itu dilindungi dan diawasi oleh raja dan pembesar kerajaan, sementara urusan kegiatan perdagangan berada dalam kewenangan pabiccara yang mengorganisasikan kegiatan syahbandar.

Dibalik dari perkembangan Islam di kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Selatan beriring pula kemajuan Kerajaan Gowa-Tallo dalam bidang ekonomi. Ini disebabkan karena semakin kuat pengaruh Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan sehingga dapat mengontrol kegiatan ekonomi, letak strategis Kerajaan Gowa-Tallo sebagai kerajaan maritim serta kedatangan Islam memudahkan pedadang-pedagang Islam berhubungan dengan pihak Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang kendali politik Sulawesi Selatan abad ke 16, baru mengalami perubahan setelah terjadi perang Makassar yang mengakibatkan jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo dalam kendali kekuatan asing.

 

  1. Perubahan politik kekuasaan pasca Perang Makassar (1666-1669)

Pasca perang berdampak perubahan peta politik di Sulawesi Selatan, secara umum dan juga pada posisi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Tanete. SecaraUmum, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan telah terpetakan dalam dua kelompok politik, yaitu kelompok Makassar dan kelompok Bugis. Selain itu Kerajaan Makassar yang sebelumnya memiliki supremasi kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan mengalami kemunduran yang sangat berarti. Kedudukannya kini diambil alih oleh Kerajaan Bone atas dukungan Kompeni. Tampilnya Arung Palakka menjadi tokoh sentral dalam percaturan politik itu memberikan peluang bagi Tanete tidak hanya menjadi keluarga Kerajaan Makassar tetapi juga menjadi keluarga Kerajaan Bone yang dipandang berkedudukan setara. Hal ini tampak dalam pernyataan Arung Palakka :

“ yang saya katakan kepada kamu Arung Tanete, baik engkau di tanah Bugis maupun di Makassar ada piutangmu, maka tagihlah mereka semua. Namun utangmu kepadaku saya anggap sudah lunas semuanya. Kalau ada barang konsinyasi milikilah sendiri, sebab ada tiga kampung (negeri, pen) yang saya anggap sebagai Toangke (orang angke- orang yang paling berjasa dan berharga) bagiku: 1) Soppeng, sebab saya telah membawa serta emasnya, 2) orang Palakka sebab mereka yang menemani saya menyebrang ke Jakarta, dan 3) Orang tanete, sebab ia membelaku saat saya sedang diburu Karaengnge ri Gowa-Tallo. Engkau juga telah dianggap sebagai senak famili oleh Karaeng Gowa-Tallo, sebab engkaulah yang telah menghadang orang Sawito. Demikian pula engkau dianggap sebagai famili oleh Arummpone, sebab engkau mengasihaniku. sehingga dengan demikian, maka kedudukanmu sama baik di Gowa-Tallo maupun di Bone” (Gising, 2002).

Kutipan ini juga menunjukkan pandangan politik Arung Palakka untuk menempatkan kerajaan-kerajaan lokal sebagai kerajaan-kerajaan keluarga. Meskipun Kerajaan Gowa-Tallo yang tampil dalam persekutuan Gowa-Tallo-Tello yang menghantarnya dalam Perang Makassar, namun tidak diinginkan untuk memisahkan Kerajaan Tanete dari Kerajaan Gowa-Tallo. Bahkan menempatkannya sebagai satu kelurga bersama Kerajaan Bone. Sikap ini adalah gambaran kultural masyarakat Sulawesi Selatan yang tidak pernah membenci pada kerajaan ataupun orang karena kesalahan atau pelanggarannya. Yang dibenci adalah perlaku yang salah atau pelanggarannya. Itulah sebabnya jika seseorang dengan jujur mengaku kesalahan dan pelangaran yang dilakukan, mereka pasti menerimanya dengan penuh haru, dan punahlah sekat kebencian dan amarah.

Arung Palakka juga mengambil kebijakan untuk mendekatkan hubungan kekeluargaan antara kerajaan-kerajaan dengan metode perkawinan politik. Untuk itu ia menikahkan saudara perempuannya yang tertua, We Mappolobombang, dengan La PakkokoE Arung Timurung pada tahun 1672. Dari perkawinan itu diharapkan kelak melahirkan seorang putera yang kelak mewarisi takta Kerajaan Bone. Pada tahun berikutnya (1673), ia menikahkan pula saudara perempuannya yang menjadi Datu Mario Riwawo dengan La Mapajanji Daeng Matayang, raja Tanete. Dari perkawinan itu diharapkan diharapkan kelak menjadi raja Tanete. Pada sisi lain melalui pernikahan ini sesungguhnya Arung Palakka telah menempatkan posisi strata penguasa Tanete setara dengan strata keluarga Istana Bone. Dalam tatanan kultural masyarakat Sulawesi Selatan, seorang puteri (anak perempuan) pantang mempersunting pria dari strata sosial yang lebih rendah, sementara seorang pria boleh mempersunting gadis dari strata yang lebih rendah. Seorang puteri bangsawan yang menikah dengan pria dari derajat strata yang lebih rendah mendapat hukuman pembuangan. Oleh karena itu dari perkawinan ini sesungguhnya status kebangsawanan keluarga istana kerajaan Tanete telah dipandang setara dengan status kebangsawanan kerajaan Bone.

Dari perkawinan ke dua ini, diperoleh seorang puteri, yang bernama La Patteke Tana Daeng Tanissangnga anting-anting, yang dalam kehidupan budaya lokal disebut upacara matteddo. Hajatan ini dihadiri sejumlah besar penguasa dari kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, antara lain : raja-raja dari persekutuan TalumpoccoE (Bone, Soppeng, Wajo), Pitu Babanna BinanggaE (tujuh kerajaan Mandar dari pesisir), Turatea (Binamu, Bangkala, dan Laikang), pedagang-pedagang Jawa dan Melayu di Tanete. Setelah pemasangan anting-anting, pamannya Arung Palakka menyatakan menganugerakan takta kerajaan Pattiro. Ayahnya menyatakan menganugerakan takta Kerajaan Tanete, dan ibunya menyatakan menganugerakan takta Kerajaan Mario Riwawo. Sehubungan dengan penganugerahan wilayah kekuasaan itu, ia pu diberi gelar “Arung TelloE Salassana” (raja yang memiliki tiga istana). Istana di Patiro yang bangunannya paling tinggi, istana di Mario ri Wawo yang paling indah, dan istana di Tanete yang paling besar.

Berdasarkan perjanjian Bungaya, daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan VOC pada waktu Perang Makassar dinyatakan berada dibawah kekuasaannya. Dengan demikian kerajaan Makassar kehilangan sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, daerah yang pernah mengakui dan berada dibawah kekuasaannya. Disamping itu beberapa konfederasi yang sebelum Perang Makassar tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Makassar dinyatakan kembali berdiri sendiri, bebas dan berdaulat, tetapi berkedudukan sebagai kerajaan pinjaman dari kerajaan Bone, seperti konfederasi Bangkala, Binamu dan Laikang (29). Kerajaan Gowa-Tallo hanya kehilangan sebagian kecil wilayah intinya, yaitu daerah sekitar Makassar yang terletak pada pesisir barat jazirah Selatan Pulau Sulawesi.

Jika diperhatikan pengaturan wilayah berdasarkan perjanjian Bungaya, maka jelas bahwa wilayah yang dinyatakan berada dibawah kekuasaan VOC adalah daerah-daerah yang mengelilingi wilayah kerajaan Makassar dan sebagai pagar batas kerajaan itu. Pada bagian timur terdapat daerah kekuasaan Komponi yang disebut Distrik-distrik Bagian –Timur (Ooster D—ist-ricten) da-n Bulukumba dan Bonthain, pada bagian barat dibatasi (hal.37) oleh wilayah Makassar, pada bagian utara dibatasi oleh wilayah Distrik-Distrik Bagian Utara (Noorder Districten) dan pada bagian selatan dibatasi oleh wilayah Distrik-Distrik Bagian Selatan (Zuider Districten). Pengaruh demikian ini jelas bertujuan untuk dapat menciptakan benteng penghalang bagi usaha kegiatan Kerajaan Makassar di bidang pelayaran dan perdagangan maritime dan usaha perluasan pengaruh kekuasaan.

Kerajaan Gowa-Tallo ditempatkan sebagai kerajaan sekutu, sedangkan daerah-daerah yang dinyatakan berada di bawah kekuasaan Komponi merupakan daerah kekuasaan langsung. Walaupun demikian pada kenyataannya daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan langsung itu tetap berada di bawah kekuasaan penguasa-penguasa setempat. Pengaruh langsung dari Komponi hanya terwujud dalam daerah Makassar, yang merupakan Bandar niaga  pada waktu itu. Hal ini mungkin disebabkan Komponi hanya bertujuan menguasai kegiatan pelayaran perdagangan maritime.

Daerah-daerah yang dinyatakan sebagai daerah kekuasan langsung hanya sekedar mendapatkan pengakuan keunggulan.  Itulah sebabnya keterlibatannya dalam pelaksanaan keuasaan  tidak pernah terlaksana di daerah-daerah yang dinyatakan sebagai daerah kekuasaannya berdasarkan perjanjian. Campur tangan mereka hanya dalam hal pergantian raja-raja atau penguasa. Campur tangan dalam urusan inilah yang sering merupakan sebab munculnya sikap perlawanan penguasa local. Hal ini pula didorong oleh kenyataan bahwa campur tangan itu lebih banyak dilakukan terhadap kerajaan yang dinyatakan sebagai kerajaan sekutu daripada daerah yang dikuasai langsung, khusus Kerajaan Gowa-Tallo dan Tallo. Setiap calon harus bersedia menerima dan menandatangani  perjanjian Bungaya yang(hal.37) berarti bukti tetap dan bersedia mengikuti aturan-aturan yang telah dicapai, yang dicantumkan dalam perjanjian itu.

Campur tangan Komponi terhadap pelaksanaan kekuasaan dan pemerintahan tidak pernah terlaksana. Hubungan kekuasaan hanya terjadi antara penguasa setempat dan pejabat Komponi yang berada di Makassar. Pelaksanaan kekuasaan dan pemerintahan pada kenyataannya tetap berada dibawah penguasa setempat dan dilakukan sesuai dengan kebiasaan setempat. Struktur politik setempat tidak pernah tersentuh perubahan dengan kehadiran Komponi yang berdasarkan perjanjian dinyatakan sebagai pemegang kekuasaan di daerah yang berada di bawah kekuasaan langsung. Masa kekuasaan Komponi ini berlangsung lama, yaitu berawal dicapainya Perjanjian Bungaya (1669) hingga akhir abad XVIII (Desember 1799), hanya dibuktikan oleh perjanjian sehingga dapat dikatakan masa “masa perjanjian kekuasaan.

Kerajaan-kerajaan yang tidak tergolong dalam dua kategori di atas masuk pada kategori ketiga yang disebut dengan “Kerajaan Sekutu” (bondgenootschappelijke landen). Kerajaan-kerajaan itu, berdasarkan perjanjian Bungaya (1667) dinyatakan berkedudukan sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat tetapi harus menempatkan penguasa Belanda sebagai “Pelindung dan Perantara”. Hal ini yang menimbulkan perbedaan pendapat tentang kedudukan kerajaan-kerajaan Sekutu antara penguasa lokal dan pemerintah Hindia Belanda. Bagi penguasa lokal, pernyataan kerajaan yang merdeka dan berdaulat menunjukkan pengakuan dari pihak pemerintah Hindia Belanda terhadap kedudukan kerajaan-kerajaan dalam derajat kesetaraan status. Sementara pihak Pemerintah Hindia Belanda menempatkan dirinya sebagai protector terhadap kerajaan-kerajaan Sekutu karena kedudukannya sebagai pelindung dan perantara diakui oleh penguasa lokal. Itulah sebabnya campur tangan pihak pemerintahan dalam hubungan antar kerajaan, pemilihan dan pengangkatan penguasa baru, sering dipandang usaha untuk menganeksasi sehingga menimbulkan konflik. Kerajaan-kerajaan yang tetap berstatus kerajaan sekutu hingga awal abad XX, antara lain kerajaan : Gowa-Tallo, Soppeng, Luwu, Barru, Toraja, kerajaan-kerajaan di Mandar, kerajaan-kerajaan kelompok Ajatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawito, Alita, dan Suppa), Bacokiki, SanroBone, dan Buton. Surat Gubernur Jenderal van Heutzs itu menunjukkan bahwa kebijakan politik pasifikasi itu dilaksanakan dengan paksaan untuk mengambil alih kedudukan pemerintahan dan melenyapkan kedudukan kekuasaan pemerintah lokal. Itulah sebabnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan tindakan militer.

Melemahnya posisi Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang hegemoni setelah perjanjian Bungaya mengakibatkan menurunnya pula aspek ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah perang Makassar, kerajaan Bone menjadi suatu kerajaan yang memegang kendali politik di Sulawesi Selatan, sementara pada kegiatan ekonomi dikendalikan oleh VOC. Sejak itu lah keruntuhan kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo yang pernah memegang kendali politik dan perdangan maritim. Dalam konteks ini dapat di katakana bahwa sejak perang Makassar berakhir dan ditandangani perjanjian Bungaya mengakibatkan runtuhnya kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo dan bangkitnya kekuatan baru yaitu kerajaan Bone sebagai pemegang kendali politik dan VOC sebagai pemegang kendali perdangan di Nusantara.

 

KESIMPULAN

Terdapat pola Kebijakan politik perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-16 dan paro pertama abad ke-17. Pada akhir abad ke 16 perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo lebih mencirikhaskan sebagai suatu dinamika dan trend politik local di Sulawesi Selatan. Disamping itu, perluasan wilayah itu terkait dengan upaya strategis mengamankan jalur perdangan dan pelayaran. Kemudian setelah paro pertama abad ke 17, pola kebijakan perluasan wilayah didasari dengan upaya perluasan ajaran Islam. Kerajaan Gowa-Tallo berkepentingan menguasai kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan dalam rangka kepentingan ekonomi juga dimaksudkan untuk menyebarkan Islam.

Setelah Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pemegang kendali politik di Sulawesi Selatan, maka member pengaruh pula terhadap kegiatan perdagangan maritim bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan memegang kendali politik, maka Kerajaan Gowa-Tallo menguasai jalur perdagangan dan pelayaran, meminimalkan terjadinya perompakan agar para pedagang memperoleh kepastian keamanan dalam pelakukan aktivitas perdagangan. Perang Makassar (1666-1669) mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah perang Makassar, Kerajaan Gowa-Tallo diharuskan membayar denda sebagai pihak yang kalah perang, kemudian Kerajaan Gowa-Tallo diharuskan menandatangani perjanjian Bungaya yang mengakibatkan jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah itu, kendali politik tidak lagi dipegang oleh Kerajaan Gowa-Tallo tetapi dipegang oleh kerajaan Bone. Kemudian kendali perekonomian, perdangan dan pelayaran dipegang oleh VOC. Dalam konteks ini mengakibatkan Kerajaan Gowa-Tallo tidak lagi pemegang otoritas ekonomi dan politik sehingga semakin memundurkan perekonomian Kerajaan Gowa-Tallo.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Sumber Arsip

Afgaande  Engelsche Brieven Koleksi ANRI  Bundel Makassar no. 265/1

Afgaande  Engelsche Brieven Koleksi ANRI  Bundel Makassar no. 265/2

Afgaande  Engelsche Brieven Koleksi ANRI  Bundel Makassar no. 266/1

Afgaande  Engelsche Brieven Koleksi ANRI  Bundel Makassar no. 267/1

Collik Pujie.1883. Geschiedenis van Tanete.  G.K. Niemen, s. Gravenhage.

Ikhtisar keadaan Politik  Hindia Belanda tahun  1839-1848. Jakarta 1973 Martinus Nijhoff, Leiden.

J.A. Bakkers Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1848, jilid I Kerajaan Tanete pada tahun 1880.

Tijdschrift Bestuur Geografi  van Tenete 1914.

Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan: Makassar, Arsip Barru

 

Sumber Arsip Lainnya: KITLV, Leiden, arsip Or (Oriental) dan ARA, Den Haag, arsip MvO (memorie van Overgave) adalah koleksi foto kopi dari Edward L. Poelinggomang.

 

  1. Buku dan Artikel

Andaya, Leonard Y. 1981. The Haritage of Arung Palakka. A History of South Sulawesi (celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff, VKI No. 91.

Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok dkk). Makassar: Ininnawa.

Basrah Gising, Basra. 2002. Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: Sama Jaya Makassar.

Cense, A.A. 1972. Beberapa catatan mengenai penulisan sejarah Bugis, Jakarta: Bhratara.

Effendy, Muslim A.R., 2005. Jaringan Perdagangan Keramik Makassar Abad XVI-XVII. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.

Gising, Basrah, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: Makassar: Sama Jaya, 2002.

Harun Kadir, ddk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan, 1945-1950. Ujung Pandang: Laporan Penelitian, 1984.

Ilham, Muhammad. 2001. Islam dan Perubahan Sosial di Gowa-Tallo Abad XVII (Studi Tentang Perkembangan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial Budaya). Thesis Magister. Program pascasarjana Universitas Negeri Makassar

Mappangara, Suriadi, 1996. Kerajaan Bone Abad XIX (Konflik Kerajaan Bone-Belanda, 1816-1869), Yogyakarta: Tesis Universitas Gadjah Mada.

Mattulada, 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Mattulada, H.A., Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press, 1998.

Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti Baru

Muhammad Sabik, “Gerakan Pemuda Tanete di Barru. Potret Revolusi Pemuda di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Skripsi Fakultas sastra Unhas, 2000.

Mukhlis Paeni, dkk. Batara Gowa-Tallo. Gerakan Mesianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.

Muklis & K. Robinson Tapak-tapak Waktu, Makassar: Inninnawa, 2006.

Musa, H. Abd. Gaffar.,  dkk, Iyanae Paoda Adaengngi Attoriolongnge ri Tanete, Jakarta: Departemen P & K, 1990

Nana Amriana Eka Putri, “Barru: Sampai dengan Terbentuknya Daerah Tingkat II Kabupaten Barru, Ujung Pandang: Skripsi Fakultas Sastra Unhas, 2000.

Niemann, G.K. Geschiedenis van Tanete, Leiden: s-Grafenhage, Martinus Nijhoff 1883. hlm. 112-118.

Noorduyn, 1972. Islamisasi Makassar. Jakarta: Bharata.

Patunru, Abdulrrazak Daeng et al (tim peny.). 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004. Bingkisan Patunru. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar: Pusat Kajian Indonesia Timur bekerjasana dengan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Patunru, Abdurrazak Daeng.,  Sejarah Gowa-Tallo,  Makassar: YKSS, 1983

Patunru, Abdurrazaq, 1993. Sejarah Gowa-Tallo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Patunru, Abdurrazaq, 2004. Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Kajian Indonesia Timur bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Patunru, Abdurrazaq. 1964. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Patunru, Andurrazak Daeng, dkk. 1989. Sejarah Bone, Ujung Pandang: YKSS

Pelras, Christian. 2004. Manusia Bugis (Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu at all). Jakarta: Nalar – Forum Jakarta-Paris.

Poelinggomang, Edward L dan Suriadi Mapopangara, ed. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1, Makassar Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Edward L.  2002. Makassar Abad XIX. Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Poelinggomang, Edward L.  Perlawanan Rakyat Gowa-Tallo terhadap Pendudukan Belanda tahun 1905,  Yogyakarta: Skripsi Universitas Gadjah Mada, 1980.

Poelinggomang, Edward L. 1991. “Beberapa catatan tentang Historiografi Sulawesi Selatan”, dalam: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Seminar Sejarah Nasional IV: Sub Tema Historiografi, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Poelinggomang, Edward L. 1991. “Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar Pada Abad XIX”. Disertasi Doktor. Vrije Universiteit Amsterdam.

Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Kajian tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan, Makassar 1906-1942 Yogyakarta: Ombak.

Poelinggomang, Edward L. dan Suriadi Mappangara (ed), 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Balitbangda Propinsi Sulawesi Selatan

Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004. LP3ES: Jakarta

Reid, Anthony. 1999. dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh Sori Siregar dkk). Jakarta: LP3ES.

Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Moderd Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sagimun, M.D., 1964. Perang Sulawesi Selatan. Jakarta: Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional.

Walinono, Hasan, “Beberapa Catatan Sekitar Perjanjian antara We Tenriole dengan Pemerintah Hindia Belanda”, dalam: Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977

Yunus, R. Hamzah, Naskah-Naskah Kuno Riau, Tiau: Pustaka Riau, 2001.

Zainal Abidin Farid, Andi “Paradigma Penggalangan Persatuan Rakyat Sulawesi Selatan untuk Mengusir VOC dari Makassar pada Abd ke-18”, Ujung Pandang: Makalah Seminar Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan menentang Penjajahan Asing, 1988