KELUAR DARI KRISIS: Daya Lentur Industri Tenun Wajo Menghadapi Krisis (1930-1998)

0
4839

Oleh Taufik Ahmad

452px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Danseressen_te_Singkang_Celebes_TMnr_10003449Aktivitas bertenun orang Wajo bukan hanya sebagai aktivitas ekonomi tetapi juga sebagai produk kebudayaan. Keduanya telah berjalan beriring mengikuti perkembangan zaman dan melampau batas-batas rezim. Keduanya juga memberikan kontribusi penting terhadap kemampuan mereka bertahan dalam masa krisis serta menunjukkan daya lentur mereka dalam menyikapi krisis. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai daya lentur penenun Wajo, respon mereka terhadap krisis dan terhadap perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam rentang sejarah krisis. Kasus tenun Wajo dari periode kolonial sampai era reformasi pada dasarnya mengalami fluktuasi turun naik produksi. Meskipun digoncang oleh badai krisis baik bersifat regional, nasional maupun internasional, ternyata daya tahan tenun sangat kuat dalam menemukan  titik keseimbangan baru di tengah badai krisis.

PENDAHULUAN

Bagi penenun Wajo, ada ungkapan “kalau tidak ada benang serat pisang pun jadi”. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa kegiatan bertenun bagi orang Wajo tidak hanya sekedar aktivitas ekonomi tetapi merupakan produk kebudayaan. Baik sebagai aktivitas ekonomi maupun sebagai produk kebudayaan keduanya telah berjalan beriring dengan perkembangan zaman. Eksistensi industry tenun Wajo telah belangsung lama melampau batas-batas rezim dan telah melewati berbagai periode krisis dalam sejarah. Dalam bentangan sejarah krisis yang panjang, mulai dari periode krisis ekonomi internasional yang dikenal dengan masa depresi 1930-an, melewati tahun 1960-an ketika ekonomi Indonesia sampai pada titik perkembangan terburuk yang ditunjukkan oleh inflasi yang luar biasa tinggi mencapai 600 persen. Kemudian diikuti dengan periode krisis ekonomi 1997/1998 atau disebut “krismon” yang memberi dampak negatif pada tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan putus sekolah di berbagai kota besar Indonesia.

Apakah benar krisis ekonomi telah melanda seluruh pelosok negeri di semua sektor, atau hanya dominasi persepsi dari pelaku ekonomi makro? Kemudian bagaimana respon ekonomi kecil yang berbasis kerakyatan dalam menghadapi krissis, bagaimana mereka dapat keluar situasi krisis? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar untuk melihat penenun Sengkang Wajo sebagai sektor ekonomi berbasis kerakyatan dalam menghadap krisis. Bagaimana penenun Sengkang Wajo mampu bertahan dari hantaman krisis? Apa yang mereka lakukan ketika diterpa krisis dari waktu ke waktu sehingga mampu eksis sampai sekarang? Adalah serangkan pertanyaan ini akan dijawab dalam artikel ini.

 

PEMBAHASAN

Depresi 1930

Pada tahun 1929, dunia dikacaukan dengan kegentingan yang berpusat pada bursa saham Wall Street, yang dikenal sebagai depresi besar (great depression) (Suyomukti, 2012) Dan, meskipun kejadian tersebut terutama menimpa perekonomian Amerika Serikat, namun gejolak tersebut mempengaruhi ritme perekonomian dunia yang melambat serta dikenal sebagai masa serba sulit (malaise). Masa-masa sulit tersebut ditandai dengan melonjaknya harga minyak, tingginya harga pangan, anjloknya kondisi fiskal negara-negara kuat, bangkrutnya perusahan-perusahaan besar serta kerugian sangat besar dari pialang di pasar modal. (Prasetyantoko, 2008: 2)

Akibatnya dalam konteks Indonesia, indikator kemakmuran yang tampak pada tahun 1920-an tidak akan bertahan lama. Harga beberapa produk Indonesia telah mengalami tren menurun dan pasar untuk ekspor gula menciut karena produksi gula bit meluas di mana-mana, terutama di Ingris dan Jepang. Namun tidak ada yang cukup siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah Oktober 1929. Ekonomi Indonesia sangat tergantung pada ekspornya, terutama produk minyak bumi dan pertanian. Pada tahun 1930, sebanyak 52 persen dari produk ini diekspor ke negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara. Krisis ekonomi ke dua didaratan ini berakibat diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia di dalam suatu kriris ekonomi yang tidak pernah sepenuhnya teratasi sebelum penaklukan Jepang pada tahun 1942. (Ricklefs, 2008: 399-400)

Di tengah krisis ekononomi 1930, pihak Jepang semakin giat melakukan ekspansi ke pasar ke Hindia Belanda (Peter Post, 1991: 185). Inpor sarung dan kain panjang dari Jepang mengalami peningkatan yang drastis dari tahun 1930 sampai 1933 sehingga dikhawatirkan dapat mematikan industri tekstil lokal. Keadaan ini dapat mengancam indusrti tekstil lokal. Akan tetapi untuk wilayah Indoesia Timur, utamanya utamanya Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi memiliki beragam industri tekstikl tradisional yang dapat membantu memenuhi kebutuhan lokal. Khusus di Sulawesi Selatan, pengelolaan industri tekstil dari hulu ke hilir dapat bertahan di daerah ini karena ditopang pengalaman panjang dan jaringan perdagangan yang telah mengakar sejak abad ke-17 di mana orang Bugis-Makassar telah mengekspor pakaian dan sarung (tenunan) ke berbagai pulai di Nusantara.

Untuk mengurangi efek dari situasi ekonomi yang memburuk, pemerintah Belanda melakukan usaha-usaha menciptakan padat karya dengan mempekerjakan para pengangguran di berbagai proyek pembangunan. Di dalam lingkungan internal birokrasi, kencangkan ‘ikat pinggang’, berhemat dalam hal biaya birokrasi. Bagi para priyayi Jawa yang menjadi ‘ambtenaar’ Belanda dianjurkan memperkecil biaya rumah tangga dengan mengurangi pesta, pelesiran, sifat konsumtif dan yang terpenting mengurangi jumlah pembantu yang dipekerjakan di rumahtangga. (Erwiza Erman, 2012: 118)

Bagaimana halnya dengan penduduk di Sulawesi Selatan pada umumnya dan para penenun khususunya di Wajo pada periode malaise itu? Tidak berbeda nasibnya dengan daerah lain di pulau Jawa dan Sumatera atau ditempat-tempat lain di Indonesia. Banyak penduduk di Sulawesi Selatan yang terkena dampak negatif dari periode malaise tersebut, terutama mereka yang bekerja sebagai pekerja lepas di perusahaan Belanda, di Pelabuhan-pelabuhan, atau mereka yang berdagang di pasar-pasar karena daya beli masyarakat menurun. (Harry J. Benda dan Ruth Mac Vey, 1960: 100-101). Lalu lintas pelabuhan memperlihatkan gejalan penurunan, karena bangkrutnya perusahaan ekspor inpor. Indikator kemakmuran 1920-an tidak dapat bertahan semua beruba secara tiba-tiba sejak tahun 1930.

Pada masa sulit ini banyak orang Wajo pergi merantau ke Kalimantan, Sumatera dan Semenanjung Melayu. Sementara di negeri Wajo sendiri aktivitas bertenun dan pemasaran produk yang telah memperoleh bentuknya sejak lama dengan memanfaatkan jalur pelayaran dan perdagangan antara pulau juga mengalami penurunan. Sementara itu kampung-kampung tenun yang tersebar di pelosok desa di Wajo masih tetap memproduksi sarung yang berwarna-warni sebagai bagian dari tradisi mereka. Hasil wawancara dengan pengusaha sutera di Sengkang dan penenun di Tosora menjelaskan bahwa pada tahun 1930-an penenun di Torasa dan kampung-kampung tenun lainnya dengan sistem tenun walida tetap dipertahankan meskipun periode tersebut merupakan periode yang sulit. Industri rumahan ini tetap mendapat minat pembeli baik dari dalam maupun dari luar Wajo.

Rantau merupakan salah satu unsur penting dalam pemasaran produk tenun orang Wajo. Para penenun rumahan yang bersifat independen menitipkan sarung-sarung mereka untuk dijual di negeri rantau atau para perantau sendiri membutuhkan sarung Bugis untuk dibawa serta sebagai kebanggaan dan identitas mereka di negeri rantau. Sistem promosi secara kultural ini berlanjut dari generasi ke generasi sehingga hasil tenunan orang Wajo berupa sarung menjadi repsentasi dari sarung Bugis yang terkenal dan banyak diminati oleh orang di Nusantara.

Kondisi sulit pada periode malaise hanya dilalui sementara waktu. Penduduk Wajo dan tenunnya kembali mendapat ‘angin segar’dengan keluarnya peraturan mengenai pembatasan impor (Ordonansi Impor) pada tahun 1934. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pemerintah melarang impor pakaian dan benang yang berwarna. Aturan pelarangan impor ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali industri tekstil/tenun bumi putera yang sebelumnya mulai kalah bersaing dengan tekstil Jepang yang membanjiri pasar tekstil Hindia-Belanda dan dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga tekstil yang diproduksi anak negeri. (Erwiza Erman, 2012: 121). Sejak tahun 1930 sampai 1933 inpor pakaian Jepang membanjiri wilayah Hindia Belanda, sehingga pemerintah mengeluarkan aturan untuk melarang pakaian dan benang berwarna yang berasal dari Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Kebijakan larangan impor tektil Jepang memberi ruang industri tekstil lokal berkembang.

Muncul respon positif penenun di Wajo untuk keluar atau tidak terjebak dari krisis dan kompetisi dengan industri tekstil dari Jepang. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah mengusahakan kemajuan pertenunan di Wajo. Diberitakan oleh koran Surabajaasch Handelsblad tentang seorang pejabat dari bagian tekstil dari Departemen pertanian, tenaga Kerja dan Perdagangan, mengadakan perjalanan dinas ke Singkang dan Pare-Pare. Kira-kira dua tahun lalu bagian dari kerajinan tekstil ini juga sudah datrang ke Celebes, yaitu Dalenoord, diikuti oleh Burliegh ke Pare-pare sebagai pejabat teknis untuk bagian pengembangan industri tekstil. Maksud kedatangan mereka adalah untuk memajukan industri tekstil pribumi baik dari segi metode kerja yang lebih baik, bahan-bahan mentahnya dan memperkenalkan alat tenun moderen kepada penduduk dan yang disebut terakhir inilah tujuan utama kunjungan itu. (New Rotterdam Courant, 5 Oktober 1929)

Dari hasil kunjungan tersebut menghasilkan rencana pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan indusri pertenunan di Wajo. Pemerintah Hindia Belanda memberi kesempatan kepada 25 perempuan untuk dilatih dalam program pertenunan yang lebih modern. Tujuannya adalah untuk menciptakan penenun yang mandiri dan mampu mengembangkan industri tekstil di daerahnya. Pengusaha tenun di Sulawesi Selatan mempekerjakan penenun dengan sistim upah. Distributor Bugis memasok bahan (benang) dan membayar NLG 1 weefloon untuk setiap sarung. Dengan sistim ini penenun mendapatkan upah mingguan dengan jumlah sedikit. Untuk menenun perangkat baru (perangkat tekstil weefloon) mendapat upah 60 sen setiap sarung. Oleh karena itu program pemerintah Hindia Belanda bertujuan memajukan kemandirian penenun dan bermanfaat bagi pengembangan tekstil

Setelah terjadi malaise, penenun di Wajo tidak serta merta kehilangan pekerjaan mereka. Kemandirian dalam hal pengolahan bahan baku merupakan modal utama bagi penenun untuk dapat bertahan. Demikian pula ketersediaan pasar dalam negeri masih dapat terpenuhi karena pemerintah Belanda menerapkan kebijakan larangan menginpor tekstil dari Jepang sehingga industri tenun dalam negeri masih dapat bertahan. Ketika terjadi kelangkaan benang sutera dan benang sintetik, orang Wajo memanfaatkan benang kapas yang diproduksi dari Selayar dan Toraja. Oleh karena itu, industri tekstil dari hulu ke hilir di tingkat lokal memberi kekuatan bagi penenun untuk bertahan di tengah badai krisis.

 

Krisis 1940-60-an

Pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan mempengaruhi kondisi ekonomi pribumi. Kondisi tersebut memiliki relevansi signifikan dengan implementasi kebijakan ekonomi. Jepang memprioritaskan pada ekonomi pertanian padi. Pertanian padi menjadi amat penting bagi pendudukan Jepang, karena persediaan beras bagi tentara militernya mengalami kekuarangan akibat perang dengan sekutu. Untuk menanggulangi kekuarangan beras, maka Jepang mulai membentuk serangkaian kebijakan. Kebijakan ini telah memporak-porandakan sektor ekonomi lain, seperti industri rakyat yang bergerak dalam bidang pertenunan mengalami kelangkaan bahan baku. Sehingga masyarakat mengalami krisis pakaian.

Di tengah kondisi demikian, kehadiran penenun menjadi bagian penting dalam memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat. Akan tetapi, pada periode pendudukan Jepang kondisi perekonomian yang tidak stabil sehingga terjadi kelangkaan bahan baku tenun. Industri tenun sutera yang mengandalkan benang sutera lokal mengalami kendala kelangkaan bahan baku benang karena industri ulat sutera mandek. Tanaman murbey sebagai bahan makanan ulat setera tebengkalai. Demikian pula kapas yang selama ini diproduski di Selayar juga tidak dapat berhasil dengan baik karena program pertanian sawah Jepang dan penaman jarak di Selayar lebih diutamakan. Petani yang selama ini bergerak dalam bidang penyediaan bahan baku kain tidak dapat bekerja secara maksimal karena perekonomian diarahkan untuk kepentingan perang. Petani ulat sutera tidak dapat menghasilkan kapompong yang baik karena tanaman murbey sebagai bahan makanan ulat tidak dapat ditemukan. Sementara tanaman kapas yang dikembangkan di Selayar harus diganti dengan tanaman jarak dan padi, khusus di pulau Jampea Selayar sebagaimana diinstuksikan kebijakan Jepang menjadikan Sulawesi Selagtan sebagai sumber bahan makanan untuk kebutuhan perang.

Akibat kondisi tersebut bagi para penenun di Wajo tidak dapat beraktivitas sebagaimana biasanya karena orientasi pemerintah Jepang adalah pertanian padi untuk bahan makanan kebutuhan pemerintah Jepang sehingga tidak memperhatikan keberlanjutan industri tekstil. Seorang pengusaha sutera dari Sengkang menggambarkan bahwa karena kelangkaan bahan baku sehingga orang tuanya menggunakan bekas kaus kaki tentara Jepang yang telah dibuang diurai kembali kemudian ditenun untuk dijadikan pakaian. Demikian pula sebagian penenun menggunakan serat pohon pisang untuk ditenun. Pada periode ini hampir tidak dapat ditemukan produk sarung sutera sebagaimana ditemukan pada periode sebelumnya. Akan tetapi aktivitas bertenun masih dapat berjalan melambat dengan penggunakan sumber daya alam yang tersedia. (M. Ridwan, wawancara, 29 Oktober, 2012)

Pemerintah Jepang kemudian menyadari pentingnya pakaian yang semakin langkah sehingga Jepang mencona menerapkan tanaman kapas kembali. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya pasokan pakaian dan menjadi sangat langka. Dalam hasil penelitian Najira Amsi (2008) bahwa kapas adalah salah satu barang yang paling langka selama pendudukan Jepang. olehnya itu, segera setelah Jepang menguasai Sulawesi Selatan, mereka menyadari dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Dengan perkiraan bahwa cadangan yang ada hanya untuk mencukupi konsumen untuk waktu yang relative singkat. Apalagi situasi perang, menjadi indikasi mandeknya pasokan bahan sandang tersebut untuk didatangkan dari Jepang. Olehnya itu Jepang mengembangkan produksi kapas lokal yang berskala besar namun tidak dapat berkembang dengan baik karena kebutuhan beras jauh lebih diprioritaskan.

Periode Perang Dunia ke II dan masa pendudukan militer Jepang memang berakibat fatal bagi petenun di Wajo. Kelangkaan bahan baku adalah penyebab utama sehingga nyaris tidak dapat melanjutkan aktivitas bertenun. Peternakan ulat lokal terhenti, sementara benang inpor tidak dapat terbeli oleh penenun, bukan hanya karena harga yang melambung juga karena kelangkaan di pasar. Para penenun independen tidak dapat memproduksi kain untuk dijual bahkan bahan pakaian bagi mereka sendiri begitu sulit untuk didapat. Pada periode ini karung goni dan karoro adalah jenis pakaian masyarakat lapisan bawah. Ketika penenun tidak dapat berktivitas maka para pedatang sarung pun kehilangan pekerjaan mereka. Pada periode ini oleh beberapa penenun menyebutkan titik paling distrorisif dari pertenunan di Wajo.

Ketika tahun-tahun terakhir masa pendudukan Jepang, penduduk Sulawesi Selatan termasuk di Wajo mencoba mengatasi krisis bahan mentah untuk tenunnya dengan menanam kapas di halaman rumah-rumah penduduk. Ini bukanlah fenomena baru. Sebab para penenun di Sulawersi Selatan, telah mampu memproses benang dari kapas yang ditanam penduduk, terutama di daerah sekitar Selayar dan Toraja. Pengetahuan tersebut kemudian diadopsi oleh orang Wajo untuk digunakan kembali ketika mereka menghadapi kesulitan terutama pada masa krisis politik dan krisis bahan mentah. Penduduk Wajo memanfaatkan potensi alam sekitarnya untuk dijadikan bahan pewarna. Misalnya, tanaman indigo, kopi, danu mangga, tanah, kesumba, kunyit, dan buah manggis diproses untuk menjadi zat pewarna kain. Mereka tidak saja mengandalkan kapas yang ditanam oleh penduduk di sekitar Selayar dan Toraja, tetapi menanam sendiri kapas di halaman rumah mereka masing-masing. Cara demikian telah banyak membantu penenun dan membuktikan daya tahan dan elastisitas industri tenun dalam badai krisis politik dan krisis ekonomi.

Kondisi yang sama juga ditemukan pada masa revolusi, khususnya ketika kondisi ekonomi semakin tidak menentu. Hubungan Sulawesi dan Jawa yang terputus, dan telah berdampak pula pada semakin susah barang-barang kebutuhan pokok yang sebelum perang diimpor dari Jawa. Kondisi ini semakin susah ketika Belanda kembali menguasai Sulawesi dan seterusnya pada tahun 1949 dan menjadikan Sulawesi sebagai negara boneka (NIT). Belanda menguasai wilayah Republik mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan sandang pangan. Harga kebutuhan pokok naik berlipat ganda, karena menjadi langka. Karena itu, di berbagai daerah, Belanda mencoba untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan menggalakkan potensi ekonomi di daerah-daerah yang dikuasainya. Sementara itu dalam bidang industri tekstil tidak dapat beroperasi dengan baik karena maraknya demontrasi dan pemogokan buruh sehingga produksi semakin menurun.

Setelah Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, hubungan ekonomi dengan Jawa kembali terjalin. Pada periode ini penenun Wajo mulai mengadopsi teknologi alat tenun bukan mesin (ATBM) dari Jawa. Industri tekstil Wajo kembali memperlihatkan gairahnya. Teknologi baru adalah upaya menjawab kebutuhan kain di wilayah Indonesia Timur, terutama, Sulawesi Tenggara, Tengah dan Kalimantan yang merupakan pasar bagi penenun Wajo sejak periode kolonial.

Setelah ATBM mulai diterapkan di Wajo dan gairah pertenunan menemukan momentum justru tidak bertahan lama karena situasi keamanan regional di Sulawesi Selatan terguncang oleh gerakan DI/TII dan Permesta sehingga sektor pemasaran mengalami kendala. Sektor ekonomi dikuasai oleh militer karena diberlakukan situasi darurat militer (SOB) sementara di dareah pedalaman gerakan DI/TII Kahar Muzakkar memonoli perdagangan. Memang kebutuhan akan pakaian dirasa mendesak, tetapi situasi keamanan yang mengakibatkan pemasaran produk tenun Wajo tersendat.

Pemasaran produk tenun mengalami hambatan ketika pecah gerakan DI/TII pada tahun 1952 dan Permestas pada tahun 1957, sehingga produksi terpaksa melambat bahkan sebagian besar berhenti selama dua tahun. Ketika pecah pemberontakan, aktivitas ekonomi rakyat nyaris lumpuh, petani tidak dapat berocock tanam dengan baik harus mengungi ke tempat yang aman. Demikian halnya dengan penenun harus meninggalkan kampung halaman dalam waktu yang tidak tentu karena menghindari dampak negatif dari konfllik antara TNI dengan pihak DI/TII dan Permesta. Para penduduk dari pedalaman mengungsi ke Makassar dalam jumlah yang besar (Dias Pradadimara, 2004). Dari para pengunsi tersebut sebagian dari mereka adalah penenun dari pendalaman. Dan mereka meninggalkan alat tenun untuk beberapa waktu menunggu situasi kemanan kembali normal. Sebagian juga menetap di Makassar dan menjadi pedagang kain ketika situasi kembali normal. Pasar-pasar tradisional seperti; pasar butung, terong, adalah menjadi tempat orang-orang Wajo menjual bahan pakaian.

Masa ini merantau kembali memperlihatkan tingkat intensitas yang tinggi. Di daerah rantau, orang-orang Wajo memperkenalkan teknik bertenun, seperti di Donggala dan Samarinda. Ditemukan teknik tenun di daerah ini menggunakan teknik orang Wajo dengan istilah dan tradisi bertenun yang mirip dengan Wajo. Dalam tradisi lisan orang Donggala menyebutkan bahwa kedatangan orang Wajo yang membawa teknologi pertenunan.

Periode 1960-an perekonomian di Sulawesi Selatan merosot karena penyulundupan secara besar-besaran. Bagaimana halnya dengan tenun di Wajo? Pada masa krisis tersebut, tenun Wajo yang memproduksi sarung diuntungkan dengan merosotnya produksi sarung di pulau Jawa, akibat banyaknya pemogokan karena semakin kuatnya serikat sekerja di bawah pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1960-an hampir setiap rumah tangga di Tosora, Sengkang dan Sabbangparu memiliki alat pertenunan wallida (Gedongan) dan bola-bola (ATBM). Bahkan pada tahun 1965 teknologi pertenunan sutera mengalami peningkatan signifikan. Berawal ketika seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan “Ranreng Tua” Wajo yaitu Datu Hj. Muddariyah Petta Balla’sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai Silk) dalam skala besar. Ia juga mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo. Penenun Wajo menemukan momentum kebangkita baru dengan memproduksi kembali kain sutera berkualtas tinggi.

Jika kita melihat dan membandingkan dengan sektor ekonomi berskala besar pada tahun 1960-an ini, maka di bawah kondisi ekonomi Indonesia yang terus menerus memburuk, tenun Wajo semakin mencari celah-celah yang menguntungkan. Celah baru diperoleh dengan memanfaatkan program Berdikari pemerintah Orde Lama untuk pembangunan industri kecil dengan tujuan menggantikan posisi barang-barang impor. Dengan program ini, pemerintah mengharapkan Indonesia dapat berdiri sendiri menikmati produksi negaranya sendiri. Inilah suatu kebijakan ekonomi pemerintah Orde Lama yang mirip dengan gerakan Swadesi Mahatma Gandhi di India. Kendatipun demikian, tidak ditemukan data secara detil tentang bantuan pemerintah kepada penenun di Wajo.

 

Krisis 1990an

Industri tenun Wajo sebenarnya telah mengalami krisis sejak tahun 1980-an karena kelangkaan bahan baku. Sementara pemerintaha lebih memprioritaskan industri tekstil yang berkala besar. Para penenun dan pengusaha sutera kehilangan bahan baku di pasaran. Sebagian besar petani murbey mulai beralih ke tanaman bernilai ekspor sehingga bahan baku sutera pun semakin menjadi langkah. Sementara untuk mengimpor bahan baku luar, para penenun harus mengeluarkan biaya lebih besar sehingga produksi semakin menurun. (M. Ridwan, wawancara, 29 Oktober, 2012) Kemaudian memasuki tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi yang menghantam Asia Tenggara merupakan puncak krisis yang dihadapi para penenun di Wajo.

Pada tahun 1997 industri tenun Wajo nyaris lumpuh total karena kehilangan bahan baku. Pada masa lalu ketika terjadi kelangkaan bahan baku di pasaran, para penenun masih bisa berhara dari benang lokal yang diproduksi petani di Wajo dan sekitarnya. Akan tetapi setelah krisis ekonomi 1997 kelangkaan bahan baku tidak dapat diatasi. Kebijakan pemerintah yang mementikan impor bahan baku benang pada tahun 1980-an menjadikan sektor pertenunan kehilangan bahan baku pada saat krisis. Benang impor tak terbeli oleh penenun karena hargang melambung tinggi.

Problem yang dihadapi para perajin, terutama kurangnya pasokan bahan baku yang berkualitas dan sulitnya pemasaran produk tenun. Dua hal itulah yang paling membuat para perajin tidak dapat meningkatkan produksinya. Kondisi yang sama dialami perajin tenun asal Wajo. Industri tenun Wajo yang tersebar di beberapa tempat, seperti kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Tempe, Kecamatan Majauleng, Pammana dan lain sebagainya ibarat mobil yang berjalan terseok-seok karena kekurangan bahan bakar. Seorang pengusaha tenun mengutarakan bahwa selama ini industri tenun Wajo yang telah menjadi bagian adat sekaligus menjadi mata pencarian masyarakat menghadapi berbagai persoalan dan kendala utama adalah persoalan bahan baku.

Para penenun akhirnya memilih menggunakan benang sintetis yang dikenal dengan istilah benang impor. Padahal, harganya jauh lebih mahal ketimbang benang lokal. Sebagai gambaran, satu kilogram benang lokal hanya Rp 250.000, sedangkan benang sintetis impor kini mencapai Rp 400.000 per kg. M. Ridwan pemilik usaha tenun sutra di Sempange, Sengkang, menyatakan bahwa persoalan bahan baku menjadi problem yang belum terpecahkan sampai hari ini. Akibat pasokan bahan baku lokal yang terbatas, ditambah kualitasnya yang tidak bagus, para perajin terpaksa bergantung pada bahan baku impor, terutama dari China. Selain benang, para perajin juga terpaksa menggunakan pewarna impor. Selembar sarung setidaknya membutuhkan seperempat kilogram benang dengan masa pengerjaan sepekan hingga 10 hari. Sementara peternakan ulat sutera di Kabupaten Wajo hanya mampu menyediakan 10 persen dari total kebutuhan bahan baku. Oleh karena itu para penenun Wajo sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku dari Enrekang, Toraja dan Soppeng sebagai penghasil benang sutera di Sulawesi Selatan. Kendatipun demikian, wilayah-wilayah ini tidak sepenuhnya mampu menyediakan bahan baku sehingga bahan baku dari Jawa dan luar negeri, terutama Cina dan India mutlak sangat diperlukan.

Produk tenun gedokan biasanya tidak memiliki jalur pemasaran yang jelas. Mereka umumnya hanya menitipkan hasil tenunan kepada pedagang kain yang ada di pasar. Bahkan, tidak jarang para perajin bekerja pada pemilik modal dengan upah yang rendah. Satu lembar sarung biasanya kami jual Rp 30.000 sampai Rp 40.000 ke pedagang kain di pasar. Namun, biasanya oleh para pedagang dijual lebih dari Rp 100.000 per lembar, tergantung motif dan coraknya. Dalam satu bulan, para perajin tenun gedokan rata-rata hanya bisa menghasilkan tiga sarung.

Hasil wawancara dengan seorang pengusaha tenun bahwa pada pertengahan dekade 1980-1990, dari kolong rumahnya dia mampu memproduksi 300 lembar kain per bulan. Tetapi, usaha itu terus merosot dan kini maksimal hanya 100 lembar per bulan. Artinya, hanya warga yang memiliki modal besar yang mampu bertahan. Perajin bermodal kecil sudah gulung tikar. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan industri rakyat, termasuk kain tenun, sulit berkembang. Padahal, jika industri rakyat tenun dikelola secara profesional, bukan tidak mungkin industri tenun dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat.

Menghadapi hantaman krisis ekonomi, beberapa pengusaha tenun terpaksa menghentikan kegiatan pertenunan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Beberapa penenun di sekitar danau Tempe Sengkang memilih merantau untuk mencarai pekerjaan lain. Sebagian dari mereka beralih ke perkebunan cacao. Rantau menjadi salah satu alternatif dari krisis ekonomi tahun 1997 kendatipun sebagian besar dari mereka pada akhirnya kembali bertenun.

Pengalaman berbeda yang dialami oleh Kurnia ketika terjadi krisis ekonomi. Sebagai pengusaha sutera yang diwariskan keluarga secara turun temurun, Kurnia merespon krisis ekonomi dengan mencoba melakukan penghematan dan bertahan atas krisis ekonomi. Mempelajari dengan seksama aspek-aspek yang dikembangkan setelah krisis sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dari segi produksi dan pemasaran terjadi penurunan drastis tetapi menurut Kurnia bahwa sutera memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Keyakinan bahwa setelah krisis akan terdapat periode pemulihan yang dapat menguntungkan.

Untuk menemukan celah dari krisis ekonomi, Kurnia kemudian mendatangkan pekerja dari Jawa untuk menciptakan tenun batik. Konteks ini memperlihatkan terjadi diversifikasi produk dari sarung sutera menjadi kain sutera batik, sutera untuk bahan pakaian, tas, dan lain sebagainya. Demikian pula beragam variasi motif yang bermunculan untuk mencoba menarik selera pasar yang lesu. Melihat perkembangan tersebut, Kurnia mengembangkan usahanya dan membuka cabang di Jawa sehingga tidak lagi mendatangkan pekerja batik dari Jawa. Hal ini dapat memotong jalur distribusi sehingga dapat menekan kost distribusi.

Nampaknya penenun Sengkang telah menemukan formulasi tersendiri untuk mengatasi krisis ekonomi. Penciptaan motif-motif baru dengan produk yang beragam disesuiakan dengan perkembangan pasar. Pengeloaan organisasi usaha sutera ke arah yang lebih profesional dan menetapkan standar-standar kerja yang profesional. Produk utama yang dihasilkan tenun kain polos dan tenun kain ikat kemudian diproses lebih lanjut ke bebagai motif (finishing silk fabrics) seperti produk garmen, fashion sutera, dan berbagai macam aksesoris. Kemudian kain tenun putih polos diproses kembali menjadi sutera batik atau dengan kerajinan lainnya untuk kebutuhan upacara pernikahan berupa bajo bodo atau pakaian seragam pernikahan. Upaya membuat ragam produk ini dimaksudkan untuk menarik minat pembeli yang lebih variatif.

Persoalan yang kemudian mengemuka ketika para penenun telah melewati krisis tahap demi tahap terdapat perpecahan internal di antara pengusaha tenun sutera itu sendiri. Persaingan yang tidak sehat di antara pengusaha sutera mengakibatkan terjadinya ketidastabilan harga sehingga memicu hubungan-hubungan yang kurang harmonis di antara pengusaha sutera. Demikian pula upaya monopoli pasar bahan baku dan produk tenun dari pengusaha yang lebih besar mengakibatkan beberapa pengusaha kecil harus jatuh bangun mempertahankan usaha pertenunannya. Para spekulan harga memainkan peran membuat harga produk tenun tidak stabil. Kondisi ini diperparah ketika pemerintah daerah tidak melakukan kontrol terhadap harga sutera.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka dibentuklah asosiasi sutera di Sulawesi Selatan. Asosiasi ini diharapkan dapat menjembatani berbagai kepentingan, mengatur etika pasar sutera dan meningkatkan segala aspek yang berkaitan dengan persuteraan. Salah satu sasaran dari asosiasi persuteraan adalah mengembangkan usaha persuteraan dari hulu ke hilir. Industri hulu meliputi kegiatan mulai dari produksi telur untuk sutera sampai kokon pintal dan kokon akhir (kokon dobel). Para pelaku industri hulu ini adalah para petani sutera, perusahaan swasta, pemerintahan melalui Perhutani. Kemudian industri hilir meliputi kegiatan pertenunan, industri kerajinan hasil jadi dengan bahan sutera lain dan benang bedah dan industri pengelolah waste.

Secara bertahap namun pasti, industri pertenunan Wajo mulai bangki lagi. Kegiatan pengembangan persuteraan di Kabupaten Wajo dapat ditemui disemua Kecamatan yang ada namun khusus dalam pengembangan persuteraan alam dan produksi benang sutera terkonsentrasi di Kecamatan Sabbangparu dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Pammana, Kecamatan Tempe, Kecamatan Bola, Kecamatan Gilireng, dan Kecamatan Majauleng. Sedangkang sentra industri penenunan sutera terdapat di Kecamatan Tanasitolo dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Tempe, Kecamatan Majauleng, dan Kecamatan Pammana.

 

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi badai krisis sejak Depresi ekonomi dunia 1930an, nampaknya tenun Wajo mampu bertahan. Ketahanan itu disebabkan karena usaha tenun lebih sebagai usaha ekonomi dan kultural pada waktu bersamaan. Bahkan pada masa-masa ini tenun mengalami lonjakan permintaan karena adanya pembatasan impor tekstil yang dikeluarkan pemerintah. Ketahanan penenun Wajo juga disebabkan karena strategi mereka menciptakan bahan baku yang bersumber dari lingkungan mereka. Periode 1940-an adalah periode paling sulit bagi penenun Wajo, terutama setelah pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang lebih menggalakkan pertanian yang bahan pangan dan kepentingan industri perang sehingga petani sutera tidak berjalan dan terjadi kelangkaan bahan baku.

Periode 1960an dan 1970an adalah periode memburuknya ekonomi Indonesia dengan tingkat inflasi mencapai 600 persen, tetapi sekali lagi, tenun Wajo justru menampakkan kekuatannya. Bahkan pada tahun 1950-an ATBM masuk di Wajo dan pada tahun 1965 teknologi tenun sutera Thailand masuk diperkenalkan di Wajo. Meskipun mengalami fluktuasi yang silih berganti baik tenun sarung dan tenun polos sutera, kedua tenun ini telah membantu perekonomian masyarakat Wajo pada masa-masa sulit. Kerjasama dengan para perantau Wajo baik di beberapa kota Indonesia hampir selalu berfungsi mengeluarkan para penenun Wajo waktu krisis. Perantau ini sangat berperan dalam memasarkan produksi tenun Wajo. Dari seluruh krisis ekonomi 1930an, 1960an dan 1990an, yang paling berbahaya adalah krisis yang diciptakan oleh pengusaha tenun Wajo sendiri yang menjadi spekulan harga sehingga produk tenun Wajo tidak stabil. Keadaan ini dapat mematikan industri berkala kecil.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Arsip

Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah PropinsiSulawesi Selatan Pusat Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin dan Tokyo University of Foreign Studies (STUFS). Lembaran Deskripsi dan Transkripsi Kaset Sejarah Lisan Jepang Sulawesi Selatan.

New Rotterdam Courant, tanggal 5 Oktober 1929

Wawancara dan Diskusi

  1. Ridwan, Wawancara tanggal 29 Oktober 2012 di Sengkang

Kurnia Syam, wawancara tanggal 28 Oktober, 26 November 2012 di Sengkang

Barlian, wawancara 27 Oktober 2012 di Tosora Kabupaten Wajo

Buku dan Artikel

Amsi Najirah, 2008 “Kebijakan Ekonomi Pertanian Padi Periode Pendudukan Jepang Di Sulawesi Selatan (1924-1945” tesis Program Studi Antroplogi Pascasarjana Unhas

Asba, Rasyid. (peny). 2006. Katalog Sejarah Lisan Jepang di Sulawesi Selatan. Pusat Kajan Multikultural dan Pengembangan Regional, Divisi Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin.

Benda, Harry J. and Ruth Mac Vey. 1960. The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: key documents. Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Department of Asian Studies, Cornell University.

Erman, Erwiza, dkk, 2012. Tenun Silungkang Dalam Badai Krisis, Jakarta, Verbum

Post, Peter, 1991 Japanese Bedrijvigheid in Indonesie. 1986–1942: Struturele Elementen Van Japan’s voor Oorlogse Economische Expansie in Zuidoost Azie, Amsterdam: Centrale Iluis Drukkerij Vrije Universiteit,

Pradadimara, Dias, 2004, Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar, Draf Pertama., Juli. The 1st International Conference on Urban History, Surabaya, August, 23rd-25th.

Prasetantiko, 2008, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, Jakarta: Kompas

Ricklefs, M.C. 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jaka