BUDAYA SPIRITUAL PADA MAKAM PETTAPALASE LASE’E DI KABUPATEN BARRU SULAWASI SELATAN – Abdul Hafid

0
4407

BUDAYA SPIRITUAL PADA MAKAM PETTAPALASE LASE’E

DI KABUPATEN BARRU SULAWASI SELATAN

 

Abdul Hafid

 

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin Km 7 Makassar 90221

Hafidabdul30@yahoo.com

 

Abstrak

 

Kajian ini membahas tentang budaya spiritual pada Makam Petta Palase Lase’Edi Kabupaten Barru,yang bertujuan untuk mengungkapkan perilaku dan motivasi peziarah terhadap makam tersebut, serta  syiar Islam yang dilakukan oleh Petta Palase Lase’E. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data yaitustudi pustaka, observasi dan wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat, para peziarah  dan juru kunci pembaca doa Makam Petta Palase Lase’E. Hasil kajian menunjukkan bahwa PettaPalase Lase’E adalah  raja IXdi Kerajaan Tanete (1603-1625)digelar Petta Sugi’E. Beliau adalah  tokohpenyiar agamaIslam pada Kerajaan Tanete dan kerajaan-kerajaan yang masuk dalam persekutuan Malusetasi danAjatapparang. Petta Palase Lase’E juga digelar Petta Sugi’E. Pada masaagama Islam masuk di Kerajaan Tanete  beliau yang pertama menerima dan menganutnya.Petta Palase Lase’E  gencarmelakukan syiar Islam dan sangat dikagumi oleh masyarakat. Selama menjadi raja dan mubaligh, beliau selalu memberikan tauladan dan petuah-petuah berdasarkan ajaran agama Islam dan syariatnya. Karena sangat dikagumi sehingga sampai saat ini masyarakat masih banyak yangdatang di makamnya untuk berziarah dengan berbagai tujuan dan motivasipeziarah.

 

Kata Kunci: Budaya spiritual, MakamPetta Palase Lase’E,  Penyiar Agama Islam

 

 PENDAHULUAN 

Budaya spiritual merupakan perilaku manusia, baik dilakukan secara perorangan maupun dilakukan secara bersama-sama dengan orang lain tentang keagamaan. Salah satu budaya spiritual yang banyak dilakukan di Indonesia adalah budaya berziarah atau mengunjungi makam-makam para lelehur, baik makam keluarga sendiri, maupun tokoh agama yang dianggap memiliki kelebihan dan kharisma tersendiri pada masa hidupnya. Budaya ziarah makam di Indonesia, dan khususnya Sulawesi Selatan sangat terlihat pada waktu-waktu tertentu, khususnya menjelang bulan puasa dan pasca lebaran Idul Fitri bagi kaum muslimin. Bagi para peziarah umat Islam sering mengkultuskan orang suci dan kuburannya seperti para wali, ulama, atau pemimpin.

Kenyataan yang ada dalam masyarakat, ziarah makam bukan saja sebagai adat dan budaya, tetapi ada beberapa ulama menganjurkan melakukan ziarah makam karena manusia pada umumnya dipercaya bukan hanya hidup di dunia ini, tetapi juga di alam gaib (akhirat). Anjuran sebagian besar para ulama Islam itu bertujuan agar para peziarah selalu mengingat kematian dan dengan harapan bahwa jika mereka selalu mengingat kematian, maka ibadahnya kepada Allah SWT. sebagai pencipta semakin meningkat pula. Namun ada juga kepercayaan bahwa mereka yang telah meninggal dunia tetap akan hidup di alam gaib dan dipercaya dapat menjadi perantara (wasilah) manusia untuk berkomunikasi dengan alam gaib (Tuhan). Sekalipun meninggal, mereka dipercaya bisa berkomunikasi dengan alam dunia dan menyaksikan perbuatan-perbuatan manusia. Oleh sebab itu, kuburannya menjadi tempat yang diberkati, dan karenanya berziarah ke makamnya adalah salah satu tujuan utama (http://liputanislam.com).

Dalam Islam sendiri terdapat aturan yang mesti dilakukan terhadap orang-orang yang meninggal yakni memandikannya, mengafaninya, menshalatkannya, dan menguburkannya. Keempat hal itu adalah kewajiban orang yang hidup kepada orang yang meninggal. Setelah itu, Islam menganjurkan kepada para penganutnya untuk mendoakan dan berziarah secara berkala kepada yang telah meninggal. Ini adalah komunikasi yang intensif antara yang hidup dan yang mati. Hal itu sebagai pemicu agar manusia sadar bahwa dirinya juga akan mengalami kematian sehingga harus mempersiapkan diri menghadapinya. Namun ada juga sebagian orang bahwa perilaku dan keyakinan masyarakat yang selalu melakukan ziarah makam dianggap menyimpang atau dipengaruhi oleh keyakinan primitif. Tidak jarang hal ini dianggap ekstrim, sesat, bahkan dikafirkan oleh sekelompok orang lain karena dianggap berlebihan memuja tokoh mereka. Namun hal tersebut,sampai saat ini masih sangat banyak terlihat dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan pandangan itulah yang menjadi salah satu perhatian dari kajian ini karena masih ada praktek dan aktivitas masyarakat dalam berziarah kubur. Tidak hanya memfokuskan pada ritus ziarah secara periodik yang dilakukan di sekitar makam, tetapi juga pada pengamatan aktivitas harian yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Disamping itu, tidak hanya mengamati ritus ziarahnya saja, tetapi akan mengamati fungsi kuburan tersebut bagi anggota masyarakat yang melakukan ziarah makam yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, kita akan lebih berusaha menangkap secara utuh, potensi ziarah kuburan sebagai pusat kebudayaan dan spiritualitas. Kegiatan dan aktifitas itu tidak hanya memberikan aroma mistis, tetapi juga terhadap masalah politik dan juga masalah pendidikan yang ada di sana. Maka menarik untuk dikaji makam-makam yang sering diziarahi oleh banyak orang atau masyarakat, baik masyarakat yang ada di sekitar makam tersebut maupun anggota masyarakat di luarnya. Salah satu makam tokoh syiar Islam yang menarik dikaji adalah Makam Petta Palase Lase’E karena di samping sebagai ulama, beliau juga sebagai raja Kerajaan Tanete pada masa itu.

Pada masaPetta Palase Lase’E (1603-1625) berkuasa sebagai raja Tanete, di Sulawesi Selatan lagi gencar-gencarnya proses Islamisasi.Demikian juga di kerajaannya menjadi salah satu target dari kerajaan penganjur syiar Islam, yaitu Kerajaan Gowa. Pra proses Islamisasi di Kerajaan Tanete terjadi pada periode pemerintahan Petta Palase Lase’E (1603-1625) sebabagi Raja IX dari Kerajaan Tanete (Longi, 2001: 55). Raja ini dikenal juga dengan gelaran Petta SugiE, yang kemungkinan besar karena raja ini dianggap yang paling kaya diantara raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Tanete.  Pada masa kekuasaan Petta Palase Lase’E ini, Kerajaan Tanete mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan itu dicapai berkat kerja keras dalam memajukan kegiatan perdagangan dan pemasaran produksi komoditas rakyatnya. Pada periode pemerintahannya itu diberitakan banyak pedagang datang dari berbagai kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan untuk berdagang dan ada pula diantaranya yang menetap, antara lain dari Kerajaan Bone, Wajo, Belawa, Sidenreng, Buki, Luwu dan Mandar.

Periode sebelum Petta Palase Lase’E naik tahta menjadi raja telah menetap sejumlah pedagang dari luar Sulawesi Selatan, antara lain pedagang Jawa, Portugis, Minangkabau dan Johor (Melayu). Para pedagang itu diberi perlindungan dan diawasi oleh raja serta pembesar kerajaan untuk memberikan pelayanan keamanan dan kenyamanan. Sementara urusan kegiatan perdagangan berada dalam kewenangan pabbicara yang mengorganisasikan kegiatan syahbandar.Sistem pelayanan dari Kerajaan Tanete terhadap para pedagang yang berlabuh di pelabuhan perdagangan Pancana pada masa itu sebagai salah satu daya tarik tersendiri. Sehingga gambaran kehadiran pedagang asing itu memberikan indikasi bahwa jauh sebelum Islam menjadi agama kerajaan pada masa itu, telah menetap sejumlah pedagang muslim, khususnya pedagang yang berasal dari Minangkabau dan Johor yang telah datang dan menetap pada akhir abad XVI.

Pada sisi lain di Kerajaan Gowa pada masa itu, juga telah dihuni pula sejumlah pedagang muslim, seperti dari Johor, Pahang, Patani, Banjar dan Ternate. Perlindungan dan pengawasan kepada mereka menumbuhkan rasa simpati dan toleransi. Bahkan Raja Kerajaan Gowa I Manggorai Daeng Mamenta Karaeng Bontolangkasa (1565-1590) yang lebih dikenal dengan gelar Tunijallo mendirikan masjid di Mangalekana untuk pedagang muslim tersebut. Meskipun di Tanete tidak diperoleh keterangan tentang perlakuan terhadap pedagang muslim untuk mendirikan masjid. Namun demikian, perlindungan itu mengindikasikan bahwa Kerajaan Tanete telah mengenal Islam pada waktu itu, dan itulah sebabnya Petta Palase Lase’E menjadi seorang muslim setelah mendapat pengislaman dari Kerajaan Gowa.

Bukti keseriusan raja ini pada agama Islam, ia mempersunting puteri Kerajaan Johor yang melarikan diri dari kerajaannya dan menetap di Pancana. Puteri raja Johor ini mengenal banyak para mubaligh di tanah Melayu sebagai salah satu sebab kedatangan orang Melayu yang beragama Islam di Tanate. Hal ini tidak saja menunjukkan bahwa Petta Palase Lase’E telah menaruh perhatian pada kehidupan orang muslim di kerajaannya. Akan tetapi juga menaruh simpati dan tolenransi terhadap pedagang muslim pada kerajaannya. Walaupun demikian pada masa ini dihampir semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Kerajaan Tanete pada khususnya telah mengenal sistem kepercayaan tradisional.

Seiring dengan itu, sesungguhnya kepercayaan tradisional juga mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (Dewata SeuwaE) yang menguasai dunia atas (toporekesso, atau boting langi), dunia tengah (lino), dunia bawah (todang anging atau paratiwi), dan hari kemudian (ri maje). Disamping itu dipercaya juga pada kekuatan abstrak yang disebut SemangaE yang dapat membantu atau mencelakakan kehidupan manusia bila dikehendakinya. Dalam kaitan dengan kepercayaan pada kekuatan abstrak itulah manusia selalu berusaha mengaitkan tertib sosial dengan tertib alam. Jika manusia melakukan pelanggaran maka alam akan menghukum masyarakatnya, atau akan mendatangkan malapetaka. Sebaliknya, jika manusia tidak melakukan pelanggaran dan berperilaku jujur (lempu), keteguhan (getting), kepatutan (assitimajang), kerja keras (reso) dan menjaga tertib sosial (siri) adil, maka alam pasti menganugerahkan keberhasilan dalam segala kegiatan, baik usaha pertanian, peternakan dan perikanan (Poelinggomang,2005:48).

Kepercayaan tradisional mengacu kepada spesifikasi ritual dengan menyajikan sesajen (mappatudang panganro dan mappepulu) dan diikuti doa dan harapan sesuai dengan jenis ritual. Mereka percaya bahwa jika mereka senantiasa memelihara hubungan dengan DewataSeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa)  dan SumangaE (kekuatan abstrak) maka akan memperoleh keselamatan dan keberuntungan dalam kehidupan, baik di dunia sini (ri linoE) maupun di dunia sana atau ri maje (Poelinggomang,2005:49-52).

Bersamaan dengan itu, dimasa pemerintahan Petta Palase Lase’E gencar terjadi proses islamisasi di Sulawesi Selatan, khususnya di Kerajaan Gowa. Tetapi apa yang dialami oleh Kerajaan Gowa ini juga diintroduksikan dan diserukan kepada kerajaan-kerajaan lain yang ada di wilayah ini termasuk di Kerajaan Tanete. Kondisi-kondisi ini yang terjadi pada masa itu, sehingga kita sebut masa transisi antara sistem kepercayaan tradisional yang ada dengan proses islamisasi yang telah mulai terbangun kuat. Agama Islam di Kerajaan Gowa pada masa itu telah abrab diberbagai polosok pesisiran di kota pelabuhan pada kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Petta Palase Lase’E pada masa kekuasaannya, beliau sangat gencar melakukan syiar Islam sampai akhir hayatnya. Beliau sebagai salah satu raja sekaligus sebagai mubaligh yang sangat dikagumi oleh rakyatnya, maupun masyarakat pada umumnya yang mengenal beliau. Setelah pada saat beliau meninggal, makamnya sering dikunjungi oleh banyak orang dengan berbagai tujuan.

Walaupun perkembangan zaman yang sangat pesat dalam segala aspek kehidupan, akan tetapi masih banyak masyarakat Saulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Barru pada khususnya,  yang berpegang pada adat kebiasaan dan mentalitas para leluhur mereka. Ada kepercayaan untuk pergi berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti ke makam-makam para leluhur atau ke tempat-tempat tertentu (keramat) dan mempunyai petuah, atau dianggap mempunyai nilai historis. Disadari bahwa selain dunia fana ini, ada suatu alam dunia yang tidak tampak olehnya, dan berada  diluar batas akal manusia. Dunia yang dimaksudkan itu, adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib. Kontjaraningrat(1991:295) menyebutkan bahwa unsur terpenting dari religi adalah adanya kepercayaan manusia tentang sesuatu kekuatan gaib di luar dari kekuatan manusia. Oleh karena itu, manausia melakukan berbagai macam aktivitas untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan kekuatan gaib tersebut.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan yang didasarkan pada pemahaman dan penjelasan berdasarkan deskriptif. Deskriptif yang dimaksud di sini adalah pendekatan yang mengacu pada pandangan kualitatif dengan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik pengamatan yang dilakukan secara langsung di lapangan baik terhadap berbagai aktivitas, dan perilaku  masyarakat yang melakukan  peziarah di makam Petta Palase Lase’E, maupun terhadap kondisi wilayah penelitian dan hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Juga penelitian ini mempergunakan metode wawancara dalam pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam kepada sejumlah informan. Sedangkan data sekunder diperoleh diberbagai perpustakaan dan kantor pemerintah daerah Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, ada yang berupa arsip, berupa buku, majalah, tulisan-tulisan dan sumber tertulis lainnya yang relevan dengan permasalahan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN.

Islamisasi di Tanete

Pada abad XVI dianggap sebagai abad bahari di Sulawesi Selatan karena pada abad ini banyak orang Sulawesi Selatan melakukan pelayaran. Seiring dengan itu, maka lalu lintas dan aktifitas perdagangan yang terjalin antara berbagai pulau dan bangsa seperti Arab, India dan Cina semakin gencar (Rasdiyanah Amir, 1982:27-28).Bahkan beberapa catatan menyebutkan bahwa orang Melayu yang beragama Islam di Makassar sudah ada sejak abad XVI, termasuk keterangan dan catatan yang menyebutkan bahwa Islam masuk di Gowa sejak tahun 1540. Sehingga tidak heran jika banyak diantara warga masyarakat Sulawesi Selatan yang telah menganut agama Islam secara perseorangan sebelum agama itu dijadikan agama resmi kerajaan.

Perkembangan dan proses islamisasi di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Tanete pada khususnya tidak terlepas dari semangat sufisme yang berpengaruh dari Gowa. Peranan Kerajaan Gowa dalam proses islamisasi yang mengintroduksikan kepada kerajaan lain pada awal abad XVII tidak bisa dipungkiri lagi. Proses islamisasi ini pulalah yang memperuncing pergolakan politik antar kerajaan di Sulawesi Selatan (Sartono Kartodirdjo, 1988,: 89-90). Dengan demikian, maka proses Islamisasi di Kerajaan Tanete juga terkait dengan rancangan pemerintah Kerajaan Gowa yang menempatkan kerajaannya menjadi pusat syiar Islam di Sulawesi Selatan. Syiar Islam dilaksanakan oleh para mubaligh Islam dari Minangkabau melalui Aceh, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal Dato Ibadah yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung yang lebih dikenal dengan nama Dato Patimang, dan Abdul Jawad Khatib Bungsu yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Tiro (Edward L. Poelinggomang, dkk, 2004: 45). Tiga mubaligh ini pada awalnya mengunjungi Kerajaan Luwu dan memuslimkan raja dan rakyat kerajaan itu. Setelah itu mulai menyiarkan ke kerajaan lain termasuk Kerajaan Gowa. Mubaligh yang menyiarkan Islam dan memusliminkan raja dan rakyat kerajaan ini adalah Abdul Makmur Khatib Tunggal Dato Ibadah. Ketika itu yang menjadi raja di Kerajaan Gowa adalah I Mangangarangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung (1593-1639) dan mangkubumi kerajaan adalah I Malingkang Daeng Manyonri, dan setelah menjadi muslim masing-masing mendapat gelar, secara berurutan Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah Awalul Islam. Mereka dimuslimkan pada tanggal 22 September 1605.

Setelah pengabsahan dan pengesyahan kedudukan kerajaan menjadi Kerajaan Islam, maka langkah selanjutnya adalah bergiat menyiarkan Islam kepada kerajaan-kerajaan sekutu lainnya. Rencana itu dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sebelumnya dengan kerajaan-kerajaan sekutu lainnya seperti Bone, Wajo, Soppeng, Kerajaan Tanete, dan kerajaan lainnya, bahwa  barang siapa saja yang menemukan jalan yang lebih baik harus memberitahukan penguasa kerajaan lainnya yang ikut terlibat dalam perjanjian ini. Hal itu menjadi dasar penguasa Kerajaan Gowa memandang wajib menyerukan kepada kerajaan sekutunya untuk menerima ajaran Islam yang dipandang sebagai ajaran yang mulia, baik dan benar.

Bersamaan denganmaraknya perdagangan di Tanete dan sistem kepercayaan tradisional serta gencarnya proses islamisasi yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa memberikan warna baru dalam proses sejarah Kerajaan Tanete. Hal ini disebabkan karena dalam kondisi tersebut, datang utusan dari Kerajaan Gowa menyampaikan pesan untuk raja Tanete agar datang ke Sombaopu Kerajaan Gowa, yang dalam lontara Tanete, dinyatakan bahwa: “setelah lima tahun lamanya Petta Palase Lase’E memerintah di Kerajaan Tanete, datanglah seruan raja Gowa kepada raja Tanete untuk datang ke Kerajaan Gowa guna menerima Islam. Ketika itu orang Makassar telah dinyatakan masuk Islam. Setelah agama Islam diterima dengan baik oleh Petta Palase Lase’E, maka kembalilah beliau menyampaikan atau menyeruhkan kepada rakyatnya, dan juga termasuk raja Nepo” (Edward L. Poelinggomang, dkk, 2004: 50).

Kalau kita memperhatikan pernyataan di atas, maka dapat kita pahami bahwa proses islamisasi di Kerajaan Tanete dilakukan melalui penguasa atau raja Tanete sendiri. Namun terkadang ada yang meragukan proses islamisasi lewat penguasa karena terkait dengan introduksinisasi yang menjurus pada peningkatan secara kuantitatif dan bukan kualitatif (Amiruddin Raja, 1993: 3-7). Walaupun demikian, dalam kenyataannya proses islamisasi di kerajaan ini sangat pesat dan bahkan kerajaan ini menjadi pusat syiar Islam. Masuknya Petta Palase Lase’E sebagai penganut dan penganjur Islam sejak memenuhi panggilang Kerajaan Gowa pada tahun 1608. Petta Palase Lase’E menerima Islam dengan kepercayaan dan keyakinan yang mendalam pada agama Islam yang telah tumbuh dan akrab pada dirinya lewat pedagang-pedagang Melayu yang menetap di kerajaannya.

Proses islamisasi yang dilakukan oleh Petta Palase Lase’E di Tallo didahului dengan acara penyunatan kepada beliau dan pengucapan “dua kalimat sahadat”. Kemudian dilanjutkan dengan pemahaman dan pendalaman tentang ajaran agama Islam. Oleh Sebab itu beliau menetap beberapa lama di Kerajaan Gowa untuk mempelajari ajaran agama, agar memiliki pengetahuan dan pemahaman untuk kelak disyiarkan kepada rakyatnya dan kerajaan lainnya. Setelah itu baru kembali ke negerinya dan menyiarkan ajaran agama Islam dan mengajar rakyatnya untuk menganut agama baru itu, yaitu agama yang menjamin ketentraman dan kesejahteraan kehidupan umatnya di dunia dan di akhirat. Dalam kegiatan syiar Islam itu raja mengangkat seorang ulama, yaitu Daeng Mattepu menjadi guru agamanya, dan sekaligus menjadi wakilnya dalam melakukan syiar Islam.

Proses Islamisasi di Kerajaan Tanete berlangsung dengan tertib dan damai karena dilandasi dengan sistem sosial budaya dan hubungan yang baik antara para pedagang yang beragama Islam. Hal itu berkaitan dengan metode penyiaran yang tidak memaksa rakyat serta merta meninggalkan tatanan kulturalnya, tetapi dengan sikap persuasif mendorong mereka untuk mempelajari dan memahami ajaran agama. Itulah sebabnya dalam dua tahun kegiatan syiar Islam, Kerajaan Tanete telah menerima Islam dan dinyatakan sebagai agama resmi Kerajaan Tanete  pada tahun 1610. Jadi proses islamisasi yang terjadi di Tanete juga dipermudah dengan kondisi yang ada, bahwa kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tidak mendapat resistensi yang berarti, yang hal itu disebabkan karena sistem kepercayaan pra-Islam yang animistic-monoteistik yang menyakini adanya penguasa tunggal sebagai sang Pencipta dan prakondisi inilah yang mempermudah masuknya Islam (Suriadi Mappangara, dkk, 2004: 139).

Masuknya Islam di Tanete memberi warna baru dalam tradisi politik pemerintahan karena kerajaan-kerajaan dan para pedagang menumbuhkan hubungan baik diantara mereka. Para pedagang muslim dan penguasa muslim senantiasa bersedia memberikan bantuan, baik penguasa di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa, maupun penguasa dari kerajaan dimana para pedagang muslim yang mengunjungi atau menetap di kerajaan ini. Itulah sebabnya kegiatan perdagangan berkembang pesat, karena pedagang muslim diterima dalam sistem pengembangan perdagangan dan syiar Islam. Juga melapangkan jaringan hubungan niaga dengan kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Nusantara ini. Dan sudah menjadi tradisi umum dan sekaligus melegitimasi kultusnisasi seorang raja bahwa raja adalah perwakilan Dewata dalam melaksanakan kekuasaan di bumi. Karena itu raja tampil menjadi pusat kultus masyarakat, baik pada periode sebelum Islam menjadi agama kerajaan maupun sesudahnya. Dalam hubungan itulah setiap pemegang kendali politik senantiasa berusaha berbuat yang terbaik bagi rakyatnya. Patut diakui bahwa penerimaan Islam itu juga telah membuka peluang bagi para penganjur Islam untuk hadir ditengah masyarakat dan bergiat mengajarkan ajaran Islam.

Syiar Islam Petta Palese Lase’E

Syiar Islam merupakan proses pengembangan dan penyebarluasan ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Namun kegiatan ini tidak muda dilakukan jika didasarkan pada situasi zamannya. Proses-proses itu mewarnai Sulawesi Selatan sepanjang abad XVII. Makanya proses Syiar Islam dimaknai sebagai sebuah proses historik yang diperankan oleh manusia penganutnya, atau sebuah gerak sejarah yang bertolak dari wahyu, dan wahyu itu melahirkan tradisi. Sementara tradisi bagaikan sebuah pohon yang akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi, dan darinya tumbuh batang cabang-cabang sepanjang zaman (Seyyed Hossein Nasr, 1994: 3). Maka dengan demikian proses islamisiasi bukanlah persoalan yang mudah tetapi juga bukan persoalan yang sulit. Demikian juga masalah tempat-tempat syiar Islam di Sulawesi Selatan bukanlah perkara muda karena diterima tidaknya tempat itu sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Begitu juga ketika Kerajaan Tanete ditunjuk sebagai tempat syiar Islam karena telah melalui pertimbangan.

Hubungan Kerajaan Tanete dengan Kerajaan Gowa sebagai penganjur agama Islam sejak Dato GollaE telah lama tertanam pada abad XVI. Saat itu hubungan antara kedua kerajaan sepakat dan berusaha menyiarkan agama Islam. Kemudian mengajak raja Nepo untuk menerima dan menganut agama Islam pula. Pilihannya pada Kerajaan Nepo berkaitan dengan kedudukan Kerajaan Nepo dalam jaringannya terhadap kerajaan lain. Kerajaan Nepo adalah kerajaan yang memiliki supremasi dan pengaruh sosial-kultural serta kekuasaan terhadap kelompok konfederasi Malusetasi, dan kelompok konfederasi Ajatapparang. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam kelompok Malusetasi adalah Soreang, Bacokiki, Bojo, Palanro, dan Nepo. Sementara kelompok konfederasi Ajatapparang meliputi Sidenreng, Rappang, Suppa, Sawitto dan Alitta. Dua kelompok konfederasi tersebut dalam perkembangannya kemudian menjalin hubungan politik untuk saling membantu. Pada sisi lain penguasa Nepo memiliki jalinan kekeluargaan pula dengan Tanete dan Soppeng. Sementara penguasa Makassar mengembangkan tugas kepada raja Tanete untuk menawarkan kepada Arung Nepo agar juga diserukan untuk menerima dan menganut agama Islam.

Jaringan hubungan sosial-budaya yang menjadi dasar bagi Petta Palase LaseEmemilih untuk pertama-tama mengajak Arung Nepo menerima dan menganut agama Islam. Sebagai kerajaan yang memiliki hubungan kekerabatan inilah yang menjadi pertimbangannya bahwa jika kerajaan itu telah menerima Islam menjadi agama kerajaan maka dapat mempermuda syiar Islam ke kerajaan-kerajaan lain yang bernaung dalam konfederasi Malusetasi dan Ajatapparang. Supremasi Kerajaan Nepo terhadap kedua konfederasi kerajaan tersebut sangat besar karena kerajaan-kerajaan itu memiliki pertalian kekeluargaan (hubungan kekerabatan).

Tugas syiar Islam yang diemban oleh raja Kerajaan Tanete, dimana Petta Palase Lase’E kepada Kerajaan Nepo dibantu oleh mubaligh yang bernama Daeng Mattepu. Usaha syiar Islam itu diterima dengan baik oleh Arung Nepo dan menyatakan bersedia menjadi muslim. Sejak itu tugas selanjutnya diembankan kepada Daeng Mattepu untuk mengajarkan syahadat dan ajaran Islam lainnya kepada rakyat Nepo. Model pengajarannya lasim disebut sistem dakwah islamiyah, yaitu suatu model pengajaran yang dilaksanakan secara umum dengan berpodoman pada syariat Islam. Dalam masyarakat Tanete, ulama pendakwah model ini disebut “guru lahiriah” (panrita lahereng). Penyebutan ini berawal ketika muncul dan berkembang aliran tarekat, khususnya tarekat sattariyah dan ulama penganjurnya disebut “guru bathiniah” (panrita bathen).

Petta Palase Lase’E dianggap berhasil sebagai penyiar Islam  setelah Nepo menerima Islam dan menjadikannya agama kerajaan. Kerajaan-kerajaan lain yang berada dalam naungan dan supremasinya juga bersedia menerima Islam. Keberhasilan Petta Palase Lase’Edalam pelaksanaan syiar Islam itu memberikan keuntungan kepada Kerajaan Gowa yang bertekad menyiarkan Islam.Proses islamisasi di Sulawesi Selatan khususnya abad XVII dikenal ada dua kerajaan yang menjadi pioner syiar Islam, yaitu Kerajaan Gowa dan kerajaan Tanete. Kerajaan Gowa yang pertama menganjurkan proses islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan Kerajaan Tanete tampil menjadi pendukung dan pelaksana islamisasi di kerajaan-kerajaan yang tergolong dalam persekutuan Malusetasi dan Ajatapparang.

Kenyataan itu berdampak pula dua kerajaan itu tampil menjadi pusat studi Islam. Pusat studi Islam di Kerajaan Gowa berpusat di Tallo. Pusat studi ini dikunjungi oleh utusan kerajaan dari kelompok Tellu PoccoE dan kerajaan-kerajaan yang berada  dibagian selatan, seperti Bulo-Bulo. Lamatti dan Bantaeng, sementara kerajaan-kerajaan dari persekutuan Malusetasi dan Ajatapparang lebih memilih Tanete sebagai tempat memperdalam pengetahuan Islam. Pusat studi dan syiar Islam di dua kerajaan ini menunjukkan betapa besarnya perhatian kedua kerajaan ini dalam mengembangkan agama Islam. Walaupun penerimaan Islam itu belum diikuti dengan pelaksanaan syariat Islam secara murni dan konsisten. Itulah sebabnya tidak serta merta dirubah tradisi lama, karena terdapat pandangan dalam kehidupan kultural bahwa “sesuatu yang telah lurus jangan diluruskan lagi”. Pengaturan ini tampak pula dalam pesan raja Tanete, Petta Palase Lase’E kepada rakyatnya “sandarkan dirimu pada adat wahai kalian, dan tetaplah berpegang teguh pada Islam, agar Allah SWT. Senantiasa memberikan berkat kepadamu. Ikutilah ajaran Muhammad S.A.W dengan mendirikan  syariat Islam dan carilah secara sungguh-sungguh sesuatu pemahaman teguh kepada Allah SWT”

Budaya Ziarah MakamPetta Pale Lase’E

Budaya ziarah ke makam di Sulawesi Selatan bukanlah kebiasaan yang baru muncul tetapi sudah ada sejak lampau, dan bukan juga hanya terjadi di Sulawesi Selatan tetapi di seluruh Indonesia. Cuma dalam pelaksanaannya pada setiap daerah di Indonesia terkadang berbeda-beda karena memiliki tujuan dan motivasi yang berbeda-beda pula. Sehingga kebiasaan mengziarahi makam ke salah satu tokoh agama merupakan salah satu bentuk penghargaan dan salah satu wujud pendekatan diri kepada yang Maha Pencipta. Makanya banyak persepsi dan pendapat tentang makam itu sendiri. Bagi kebanyakan masyarakat menyebutkan bahwa makam merupakan tempat yang dianggap suci sehingga pantas dihormati.Dari sisi tokoh yang meninggal, makam sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang atau keluarga yang telah meninggal. Sehingga keberadaan makam seorang tokoh tertentu menimbulkan daya tarik sendiri bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi. Kunjungan ke makam pada dasarnya merupakan tradisi nenek moyang kita pada masa lampau, khususnya makam seorang tokoh agama, tokoh sejarah, tokoh mitos, namun adajuga melakukan ziarah makam karena tujuan wisata rohani.

Ziarah atau berkunjung ke makam pada dasarnya merupakan salah satu rangkaian kegiatan religius manusia.Hal tersebut sejalan yang dikemukakan oleh Ismail (2013:170), bahwa ziarah kubur merupakan tradisi keagamaan yang tetap hidup di tengah umat Islam, termasuk Indonesia. Sekalipun ada sebagian golongan yang mencela dan menghujat habis-habisan ritual tersebut dan berusaha menghilangkannya, namun kegiatan ziarah makin ramai dilakukan oleh umat Islam yang rela melakukan perjalanan panjang demi menziarahi tokoh-tokoh tertentu yang dianggap penting bagi mereka, terutama tokoh-tokoh yang memiliki keutamaan tertentu seperti : tokoh agama (ulama), wali maupun tokoh-tokoh sejarah yang telah memiliki pengaruh kuat di suatu daerah.

Pada perkembangannya, makam-makam tersebut banyak dikunjungi wisatawan baik masyarakat setempat maupun masyarakat di luarnya. Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Berbagai maksud, tujuan maupunmotivasi yang selalu menyertai para peziarah makam.Ada juga melakukan ziarah makamkarena dipengaruhi olehkepercayaan nenek moyangnya.Apa lagi pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dianggap keramat, seperti makamnya, petilasan, maupun benda-benda peninggalan lainnya. Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh-tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu pula.Jika makam yang dikunjungi memiliki kisah keunggulan atau keistimewaan pada tokoh yang dimakamkan maka akanmerupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk berziarah. Misalnya dengan mengunjungi atau berziarah ke makam tokoh yang berpangkat tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula.

Oleh karena itu, para peziarah yang merasa memiliki kedudukan yang lebih rendah   dari pada seorang wali, maka akan terpanggil dengan sendirinya mendatangi makamnya dengan harapan bisa memperoleh berkah dari keistimewaan yang dimiliki wali atau tokoh agama tersebut, dalam hal ini MakamPetta Palase-lase’E. Dari berkah yang diperoleh masing-masing peziarah ditafsirkan sesuai latar belakang sosial kebudayaan mereka. Adapun motivasi lainnya yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Barru atau masyarakat pendukungnya bahwa seseorang yang banyak jasanya selama hidup atau manusia yang banyak manfaaatnya bagi manusia lainnya, maka ia akan memiliki semacam “karomah,”atau orang sering menyebutnya keramat. Bahkan lebih ekstrim lagi sebagian masyarakat Barru atau masyarakat pendukungnya beranggapan bahwa orang tersebut setelah meninggal masih dapat bermanfaat bagi orang lain. Dalam kondisi yang demikian ini, maka orang tersebut dapat menjadi “wasilah” atau perantara kepada Allah S.W.T

Kebiasaan mengunjungi makam sebenarnya merupakan pengaruh dari kebiasaan leluhur dengan tujuan melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang.Ada kepercayaan bagi masyarakat bahwa kebiasaan berziarah akan semakin memperdalam pemahaman kita pada agama yang dianut. Sehingga jika yang dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan sebagainya, maka para peziarah dapat ditulari dengan kelebihan tersebut. Selain itu, para peziarah berharap agar apa yang diusahakannya dapat terwujud jika berdoa di tempat-tempat yang disucikan seperti makam yang memiliki kharisma.

Perkembangan zaman, biasanya pula diikuti perkembangan pemahaman manusia, misalnya tentang ziarah makam. Bahkan dengan perkembangan tersebut, muncul berbagai maksud, tujuan, motivasi maupun daya tarik dari aktivitas ziarah makam. Dari sisi peziarah makam, ziarah makam juga sebagai ungkapan doa bagi arwah leluhur secara umum. Misalnya ziarah makam yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat mempunyai maksud untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya secara bersama-sama menziarahi makam leluhurnya dan jika lelehur itu memiliki kharisma dan kelebihan pada masa hidupnya, maka biasanya bukan hanya dari keluarganya yang datang berziarah. Bahkan terkadang makam tersebut didatangi oleh keluarga lain dari berbagai daerah. Juga terkadang diadakan kerja bakti membersihkan makam dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun tanpa harus melibatkan keluarga almarhum.

Makam Petta Palase Lase’E yang ada di Kabupaten Barrumemiliki kharisma dan kelebihan.Budaya dan tradisi ziarah makamdi Sulawesi Selatan dan bahkan di Indonesia pada umumnya sering dilakukan menjelan bulan Puasa atau Ramadan, atau sebaliknya sering dilakukan setelah Idul Fitri. Makanya sering terlihat, bahwa bukan hanya keluarga yang dekat pada makam, tetapi juga bagi mereka yang berada jauh dari makam tersebut selalu menempatkan diri untuk dapat bersama-sama mengunjungi makam keluarga mereka. Pada waktu ziarah tidak lupa mereka juga membawa bunga untuk ditaburkan ke pusaran makam.Setiap keluarga biasanya mengajak serta anggota keluarga supaya mereka mengetahui dan mengenal para leluhur yang telah dimakamkan di situ. Salah satu tokoh mubaligh Islam yang sering di ziarahi makamnya di Tanaete Barru sampai sekarang yang bukan hanya keluarganya adalah Makam Petta Palese Lase’E.

Petta Palase Lase’Esemasa hidupnya adalah seorang raja yang sangat dihormati dan disegani. Beliau juga adalah seorang tokoh syiar  agama Islam di kerajaannya dan kerajaan-kerajaan tetangganya pada masa itu. Beliau juga merupakan mubaligh besar yang tersohor dan dikagumi oleh masyarakat Tanete dan sekitarnya. Makanya setelah beliau meninggal, makamnyapun dianggap keramat dan kerapkali diziarahi oleh orang banyak dan bahkan menjadi bagian dari ritus keagamaan. Hingga saat ini, ia masih saja dikagumi oleh masyarakat Tanete Barru,sehingga sampai sekarang ini Makam Petta Palase Lase’E ini masih sering didatangi oleh orang-orang tertentu yang sarat dengan berbagai motivasi. Bahkan ada mitos yang dipercayai oleh masyarakat bahwa makamnya dianggap sebagai tempat yang dapat merubah nasib seseorang menjadi lebih baik, setelah mengunjungi makam tersebut dan berdoa di sana.

Keberadaan makam ini selalu ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah, dan hal inimerupakan pertanda bahwa sosok beliau selalu dihormati dan dianggap keramat oleh sebagian masyarakat.Sebagai seorang ulama besar yang hidup di zamannya senantiasa disakralkan sebagai suatu perantara dalam doa-doa yang dipanjatkan dari sebagian masyarakat. Untuk itulah mereka menjadikan makam ini sebagai salah satu perantara (wasilah) untuk memohon doa-doa kepada yang Maha Kuasa, agar dalam kehidupannya senantiasa mengalami kesuksesan dan kebahagian, seperti kemudahan dalam rezki, jabatan, kesembuhan dari penyakit, jodoh dan lain-lain.

Makam raja Tanete IX Petta Palase’-LaseE atau raja To SogiE terletak di Laponcing Desa Lalabata Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Lokasi tersebut pada masa kerajaan terdapat pula istana raja Tanete VIII. Bentuk makam raja Tanete ini memiliki persamaan dengan makam-makam raja Kerajaan Gowa pasca masuk agama Islam menjadi agama resmi kerajaan. Pada masa pemerintahannya agama Islam mulai masuk di Kerajaan Tanete secara resmi, walaupun sebelumnya telah masuk agama Islam dan dianut secara perseorangan. Selain makam raja Tanete IX ini, terdapat pula beberapa makam kuno lainya, dan beberapa makam tersebut diduga merupakan makam bangsawan Tanete lainnya.

Tidak jauh dari kompleks Makam Petta Palase’Lase’Ejuga terdapat masjid tua Lailatul Qaderi, merupakan masjid tertua di Tanete sekaligus merupakan masjid tertua di Kabupaten Barru. Di sebelah masjid tua Lailatul Qaderi terdapat makam Pajung Tenri Leleang, We Tenri Leleang merupakan datu di Luwu sekaligus Arung di Tanete. Saat ini, situs tersebut merupakan salah satu objek wisata budaya/sejarah yang terletak di Desa Lalabata Kecamatan Tanete Rilau sekitar 25 km ke arah selatan ibukota Kabupaten Barru. Sementara kondisi Makam Petta Palase Lase’E hingga kini masih terawat dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari penjagaan serta perawatan yang dilakukan oleh juru kunci bersama dengan petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

 

 

Foto.1 Makam Petta Palase Lase’e

Sumber: Dokumen Sahajuddin

 

Selain makam raja tanete ke-IX, terdapat pula beberapa makam kuno lainya, beberapa makam tersebut diduga merupaan makam bangsawan tanete lainnya.

Foto. 2. Kompleks Makam Petta Palase Lase’E

Sumber: Dokumen Sahajuddin

 

Kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar makam Petta Palase Lase’E memiliki pemahaman yang berbeda terhadap keberadaan makam yang dianggap keramat ini masyarakat yang hidup sebagai petani ataupun buru petani,  pemahaman mereka terhadap hal-hal yang gaib dan dikeramatkann masih menjadi sesuatu yang disakralkan. Berbeda dengan merekayang berprofesi sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, mahasiswa dan sebagainya yang telah memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, cenderung tidak mensakralkan keberadaan makam tua ini.

mereka terhadap Dilihat dari segi kepercayaan yang dianutnya, masyarakat sekitar makam merupakan penganut agama Islam yang taat

 

 

berdasarkan ukuran setempat, apa lagi di sekitarnya terdapat masjid sebagai tempat ibadah yang berada tidak jauh dari kompleks Makam Petta Palase Lase’E..Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa makam Petta Palase Lase’Eini termasuk bangunan cagar budaya yang keberadaannya dilindungi oleh undang-undang di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, sehingga tidak diperbolehkan untuk melakukan perubahan pada kondisi dan bangunan makam. Secara operasional,makam ini dikelolah oleh beberapa pihak yang terkait, di antaranya pemerintah Kabupaten Barru melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Barru dan bekerja sama dengan Balai Pelestarian  Cagar Budaya Makassar.

Makam Petta Palase Lase’Eadalah salah satu tempat  yangdikeramatkan  sering dikunjungi  masyarakat dari berbagai daerah, baik sekedar untuk berziarah maupun untuk maksud dan tujuan tertentu, bahkan ada yang melakukan ritual. Adapun bentuk ritual mereka yang sering dilakukan hampir sama dengan ritual pada makam-makam keramat lainnya, yakni peziarah yang datang berkunjung ke makam dengan membawa berbagai kelengkapan ritual berupa bunga tabur, lilin dan lain-lain. Proses ritual yang dilakukan di tempat makam itu, yaitu terlebih dahulu mengucapkan salam ketika memasuki area makam, lalu melakukan ritual sesuai dengan tujuan dan keinginannya.

Sebelum menabur bunga, terlebih dahulu membakar lilin dan menyiramkan minyak bau di atas makam, lalu si pemohon duduk bersila dan didampingi oleh guru baca  yaitupembaca doa. Selanjutnya, si pemohon menyampaikan maksud dan tujuan kepada si pembaca doa, kemudian pembaca doa ini diiringi dengan kepulan asap pedupaan, sehingga aroma di ruang makam itu terasa sakral dan mistik. Setelah pembacaan doa selesai lalu peziarah memberi sedekah kepada si pembaca doa itu berupa uang yang jumlahnya sesuai dengan keikhlasan si pengunjung. Walaupun sebenarnya ada sebagian peziarah yang langsung melakukan pembacaan doa, akan tetapi tetap mereka memberi imbalan jasa kepada guru baca sebagai passidakkah (sedekah) atau memasukkan uang ke dalam kota amal yang telah disediakan di dalam ruang makam tersebut. Namun pada Makam Petta Palase Lase’Eini, jika diperhatikan pada setiap harinya tidak begitu banyak yang melakukan ritual-ritual dengan penuh sesajian.

Peziarah mengetahui bahwa wibawa dan derajat Petta Palase Lase’E sebagai penyebar agama Islam yang sangat disegani dan dikagumi, sehingga ritual-ritual yang bertententangan dengan syariat Islam tidak dilakukan oleh sebagian peziarah. Namun peziarah tetap percaya bahwa beliau memiliki keistimewaan, sebagai manusia yang mendapat karunia dari  Allah swt,sehingga melalui arwahnya dapat memberi wasilah kepada siapa yang mendoakannya.  Peziarah yang datang mengunjungi tempat keramat, termasuk yang datang ke Makam Petta Palase Lase’E, pada umumnya dilandasi dengan niat atau tujuan yang berbeda-beda. Tergantung  niat dan tujuan tersebut membuat motivasi peziarah menjadi beragam, tergantung apa yang akan diminta dari kepentingan masing-masing.Sebagian peziarah percaya bahwa dengan berdoa dan memohon ke makam Petta Palase Lase’E  akan memberi syafaat, misalnya mereka ingin mempunyai anak, jodoh, rezeki, jabatan dan lain sebagainya, akan dikabulkan. Bagi peziarah yang datang mengunjungi tempat keramat, termasuk yang datang ke Makam Petta Palase Lase’E, pada umumnya dilandasi dengan niat atau tujuan yang berbeda-beda. Adanya niat dan tujuan tersebut membuat motivasi peziarah menjadi beragam, tergantung apa yang akan diminta dari kepentingan masing-masing.

Bagi masyarakat pendukungnya, telah menganggap bahwa makam ini merupakan tempat yang dikeramatkan dan tentunya pula mempunyai pantangan-pantangan yang mesti dihindari selama pelaksanaan ritual di tempat tersebut, agar apa yang diharapkan, dihajatkan dapat mereka terkabul, seperti larangan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya mengejek atau menyepelekan tentang keberadaan makam tersebut dan harus tetap bersikap rendah diri serta bersikap sopan santum selama pelaksanaan ritual berlangsung. Tempat makam ini merupakan pula tempat yang suci, sehingga selalu menyesuaikan diri untuk lebih khusyuk pada saat melakukan ritual.

 

PENUTUP

Makam Petta Palase Lase’E yang terletak di Laponcing Desa Lalabata Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru masih sering didatangi oleh para peziarah dan wisatawan. Kedatangan para peziarah ke Makam Petta Palase Lase’E tersebut karena didorong oleh beberapa alasan, diantaranya karena makam Petta Palase Lase’Emerupakan tempat yang mempunyai arti nilai sejarah dan budaya, bahkan ada yang mempercayai dapat memberikan harapan hidup yang lebih baik,yakni mencari keselamatan jasmani maupun rohani,dan dianggap pula  sebagai tempat yang sakral dan dapat dijadikan tempat untuk melakukan tafakur. Di samping itu, ada juga peziarah hanya karena tujuan wisata, namun kegiatan ziarah makam itu memiliki dampak dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi pariwisata dan nilai-nilai spritual.

Banyaknya peziarah yang datang Makam Petta Palase Lase’E bukan karena tanpa alasan,akan tetapi tokoh ini memiliki kharisma dan kelebihan spritual dan juga sebagai pembesar Kerajaan Tanete pada waktu itu. Peziarah itu juga mengindikasikan bahwa Petta Palase Lase’E patut dijadikan suritauladan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sehingga beliau sangat dikagumi dan disenangi oleh banyak orang, apa lagi pada masa kekuasaannya, beliau ikut secara aktif dalam proses syiar Islam atau islamisasi di kerajaaannya dan kerajaan yang tergabung dalam konfederasi Malusetasi dan konfederasi Ajatapparang serta kerajaan-kerajaan lainnya. Singkatnya proses islamisasi di kerajaannya tentu tidak terlepas dari peranannya sebagai raja yang mampu meyakinkan rakyatnya.

Walaupun demikian, proses islamisasi di daerah ini tetap didukung oleh beberapa faktor, terutama faktor para mubaligh yang membantu Petta Palase Lase’E. Di samping itu, proses islamisasi yang terjadi di Tanete terkait dengan kondisi dan letak geografis kerajaan ini pada abad XVI dan abad XVII sebagai kerajaan maritim. Dengan posisi seperti itu menyebabkan para pedagang, baik pedagang yang ada di wilayah Sulawesi Selatan maupun pedagang dari Jawa, Melayu (Johor) Ternate serta bangsa-bangsa lain. Diantara para pedagang itu adalah pemeluk agama Islam yang taat dan bahkan seorang mubaligh yang selalu melakukan ritual-ritual keagamaan di Pancana Tanete. Kegiatan-kegiatan itu banyak disaksikan oleh masyarakat Tanete. Sehingga agama Islam adalah agama yang sudah familer dan akrab di Tanete pada akhir abad XVI. Kondisi ini sebagai dasar pemahaman awal rakyat Tanete tentang agama Islam. Dan itulah sebabnya ketika diintroduksikan ke Kerajaan Tanete, Petta Palase Lase’E menyambutnya dengan baik dan bahkan kerajaannya menjadi pionis syiar Islam yang sangat berhasil pada masa itu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin Raja, 1993, Raja, Pedagang, Tradisi Dan Ulama Dalam Sejarah Perkembangan Islam Di Sulawesi Selatan. Makassar, (makalah Masyarakat Sejarawan Indonesia)

Edward L.Poelinggomang, dkk, 2004, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I, Makassar: Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) propinsi Sulawesi Selatan

Edward L. Poelinggomang, 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hingga Kabupaten Barru. Barru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Kabupaten Barru

Rasdiyanah Amir, 1982, Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indonesia (Selayang Pandang Tentang Beberapa Aspek), Ujungpandang, IAIN Alauddin

Sartono Kartodirdjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium jilid I. Jakarta: Gramedia

Seyyed Hossein Nasr, 1994, Islam Tradisi Di Tengah Kencah Dunia Modern, Bandung: Pustaka

Suriadi Mappangara, Irwan Abbas, 2004, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan

Syarif Longi, (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete). Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Barru

Koentjaraningrat,    1991. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Diam Rakyat

———————–,  1997.  Pengantar Antropologi (Pokok-Pokok et – nografi II). Jakarta: PT. Rineka

Hasil unduhan antara lain:

  1. http://liputanislam.com/kajian-islam/telaah/ziarah-kubur-ritus-budaya-sekaligus-agama-3/
  2. http://www.kompasiana.com/e.hariansah/makam-raja-tanete-ke-ix-petta-pallase-lase-e_54f711fca3331101258b46ff
  3. http://bungawardani.blogspot.co.id/2012/10/ziarah-kubur-adat-jawa.html
  4. http://padepokanpustakasalaf.blogspot.co.id/2013/03/tradisi-ziarah-kubur_9.html
  5. http://mattappa.blogspot.co.id/2013/06/komplek-makam-raja-tanete-petta.html. Di unduh pada hari kamis 05 September 2017