Monumen Perang Dunia ke II terletak di Kampung Paray/Anggraidi Distrik Biak Kota. Letak monument ini berada di pinggir pantai yang sering dikunjungi sebagai tempat rekreasi di kota Biak. Akses ke lokasi ini cukup mudah dan dapat di tempuh dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh 15 menit dari pusat kota Biak ke arah timur. Dipilihnya Parai sebagai lokasi Monumen tentu dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Arsitektur Monumen Perang Dunia Ke-II di Parai ini dirancang oleh Hiroshi Ogawa. Monumnen ini terlihat unik karena banyak simbol yang dimunculkan pada bagian-bagian kawasan monumen dan bentuk bangunannya. Dalam kawasan Monumen Perang Dunia Ke II secara garis besar terdiri dari beberapa bagian seperti pada bagian utama berupa tembok yang dibuat sedikit melengkung terlihat tulisan “MONUMEN PERANG DUNIA KE II” dalam tiga bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang, pada bagian depan terdapat delapan batu besar dengan bentuk dan ukuran bervariasi yang letaknya di atas semacam Altar dengan menghadap potongan patok beton yang tersusun rapih melambangkan para prajurit tentara Jepang sedangkan delapan batu besar tersebut melambangkan delapan Jenderal Jepang yang gugur di medan perang antara lain ;
- Jenderal Kirohito
- Jenderal Yakoyama
- Konodera
- Sumakikatrada
- Yukiyama
- Shoukiyaka
- Selanjutnya belum di dapat
Pada bagian kanan terdapat bangunan berbentuk lekukan menyerupai cangkang keong yang melambangkan mulut goa dan sudut pada ke dua ujungnya berbentuk Alfa dan Omega. Bangunan ini terkesan melindungi 3 set meja marmer lengkap dengan 16 balok marmer sebagai tempat duduk, salah satu di antara ke tiga meja tersebut berbentuk telapak kaki kiri sebagai simbol yang melambangkan pendaratan tentara Jepang pertama di Pulau Biak. Pada bagian depannya berbaris secara simetris dan teratur dua belas balok marmer, serasa mengawal kita menuju pada bagian utama “Monumen Perang Dunia Ke II” dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang. Pada bagian kiri atas dari tugu utama terdapat tiga prasasti dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang yang bertuliskan “MONUMEN PERANG DUNIA KE II. MONUMEN UNTUK MENGINGATKAN UMAT MANUSIA TENTANG KEKEJAMAN PERANG DENGAN SEGALA AKIBATNYA AGAR TIDAK TERULANG LAGI” sedang pada bagian samping dari tugu utama terdapat sebuah lorong berkelok yang didalamnya kita temui sisa perlengkapan dari para serdadu Jepang, foto-foto dan sisa-sisa tulang yang diletakkan dalam kotak-kotak besi. Untuk memasukinya anda harus melewati pintu kecil yang tidak setiap waktu terbuka. Dulunya lorong kecil tersebut adalah gua alam, yang berfungsi sebagai tempat persembunyian tentara Jepang saat diserang oleh tentara sekutu. Pintu keluar dan pintu masuk pada lorong ini menuju ke goa Sumberker. Pada bagian depan pintu melambangkan bendera Jepang (Hinomaru). Pada lorong ini tiap tahun ada keluarga dari serdadu yang datang untuk melakukan sembahyang mengenang keluarga mereka yang gugur.
Sejak dibangun sampai saat ini sesuai dengan kesepakatan kerjasama, jumlah tulang belulang yang sudah diserahkan ke pemerintah Jepang sebanyak 3500. Tiap tahunnya pasti ada yang datang sampai 3 kali dan setiap tahun ada tulang belulang yang diserahkan ke pemerintah Jepang semenjak 1994. Banyak benda peninggalan berupa panser-panser yang dulunya dapat kita temui namun saat ini tidak ditemukan lagi karena sudah dijual sebagai besi tua (bestu) termasuk pesawat Dakota Duapura. Monumen ini dibangun pada 24 Juli 1992 dan diresmikan pada hari kamis tanggal 24 April 1994 oleh Gubernur Drs. Jakob Pattipi dan Parliamentary Vice Minister of Health and Welfare serta Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of Japan. Untuk mengenang serdadu Jepang yang telah gugur di medan perang, maka sesuai harapan Kementerian dan Kesejahteraan Jepang di bangun sebuah Monumen Perang Dunia Ke-II berdasarkan “Memorandum of Agreement” anatara Pemerintah Jepang dan Pemerintah Republik Indonesia.
Parai saat ini dengan pantainya dan monument Perang dunia ke- II merupakan salah satu objek wisata dan daya tarik wisata “sejarah” dari antara ke 29 objek dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Biak Numfor.
Awal pendudukan Jepang di Biak pada 1942, pasukan Jepang berhasil mendaratkan tak kurang dari 10.400 orang serdadunya. Pada periode berikutnya, hembusan angin peperangan memang semakin memihak tentara Sekutu yang dibuktikan dengan rentetan kesuksesan mereka memukul pasukan Jepang di beberapa front Pasifik. Namun seperti halnya di tempat lain, tentara Sekutu memang terbilang cukup kerepotan untuk mengalahkan pasukan Dai Nippon di Biak yang terkenal pantang menyerah dan tak takut mati. Sampai pada akhirnya goa pertahanan terakhir Kolonel Kuzume Naoyuki berhasil disulap menjadi neraka oleh pasukan Sekutu, setelah menghujaninya dengan peluru, granat, minyak, dan lebih dari 850 pon TNT. Ketika kami memasuki goa-goa itu, aroma mayat terpanggang yang menyengat datang menyambut kami; rupanya peluru, granat, gasoline, dan TNT telah melakukan tugasnya dengan baik, kata salah seorang veteran punggawa Sekutu, Letnan Jenderal Robert L Eichelberger, dalam buku Jungle Road to Tokyo.
Anggraidi (Parai) dulunya merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan Jepang di Papua antara tahun 1919 – 1945 yang kemudian dipindahkan ke Bosnik pada 1945. Pada bulan April 1942, pecah Perang Dunia II yang juga sampai ke Irian Jaya termasuk Biak. Sejarah mencatat bahwa di kampung Parai dan sekitarnya sebagai saksi bisu dalam keganasan Perang Pasifik antara sekutu dan Jepang. Goa-goa alam dan tebing ditempat itu sangatlah ideal sebagai basis pertahanan dan tempat persembunyian sejumlah tentara Jepang di bawa komando Kolenel Kuzume dari infantry 222.
Setelah sekutu memborbadir Jayapura (sekitar Danau Sentani) dan melumpuhkan benteng pertahanan tentara Jepang di Sarmi (Wakde), maka pada tanggal 14 Juni 1944 jam 18.00 waktu setempat, Jenderal Walter Krueger bersama Jenderal Eichelbel mengadakan konfrensi dan mengutus Jenderal Walter Kruiger sebagai Komandan Angkatan Darat ke-VI untuk mengatur penyerangan ke Pulau Biak. Bosnik sebagai lokasi pendaratan awal oleh infantry 162 dan menyusul infantry 163 pada tanggal 27 Mei 1944 dilanjutkan dengan infantry 186 yang langsung menjalankan control tempur lewat darat menuju Parai.
Pada tanggal 18 Juni 1944 infantri 34 Marinir dan Batalion Artileri ke 163 yang berkedudukan di Wakde (sarmi) tiba di Biak (Parai) di bawah pimpinan Jenderal Fuller yang pada saat tiba kontak infantry tentang daerah persembunyian tentara Jepang dengan devisi 41 yang pada saat itu sudah berada di lokasi (Parai dan sekitarnya). Pada tanggal 26 Juni 1944 daerah sekitar Parai sampai dengan kampung Sorido dikuasai oleh tentara sekutu. Dengan demikian pada tanggal 27 Juni dilaporkan kepada Jenderal Eichelbelger bahwa keadaan disekitar Parai dan Kota Biak sudah aman dan pada tanggal 28 Juni Jenderal Eichelbelger berangkat dari Biak menuju Hollandia (Jayapura)
Dikutip dari :
- History of Biak Operation
- Bloody Biak Chapter
- Biak Landing and Seizure of Mokmer Drome.