Jalur Rempah Dan Tinggalan Budaya Di Raja Ampat

0
1178

Tinggalan Budaya di Raja Ampat merupakan potensi simpul Jalur Rempah (JR). Ketika orang menyebut Raja Ampat, maka yang terlintas adalah keeksotisan akan keindahan alamnya. Raja Ampat merupakan daerah kepulauan dengan landskap gugusan pulau-pulau yang dikelilingi keindahan pantainya yang mempesona. Tersebar kurang lebih 600 pulau, 4 diantaranya pulau besar yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool di bagian paling selatan berbatasan dengan pulau Seram (Provinsi Maluku).

          Bila kita amati  letak  geografis kepulauan Raja Ampat, kawasan kepulauan ini berada pada posisi yang boleh dikatakan pintu keluar dan masuknya pelayaran ke pantai utara tanah Papua dan kawasan teluk Cendrawasih (Gelvinkbay) begitu juga sebaliknya. Terbukti sampai saat ini pembauran kelompok kelompok suku di Raja Ampat yangsangat beragam. Bisa dikatakan kawasan Raja Ampat menjadi salah satu bukti sejarah peradaban di tanah Papua.

Fakta Raja Ampat  adalah  satu titik bukti peradaban bisa terlihat dengan sejarah masuknya Islam dan Kristen di Tanah Papua di masa lampau. Hal ini tidak bisa mengesampingkan peran dari pemimpin-pemimpin tradisional di kawasan ini. Tak di pungkiri pembauran budaya sangat terlihat di kawasan ini, di mana budaya Papua di satu sisi dan pada sisi yang lain  budaya dari arah barat nusantara seperti Seram  (Maluku), Tidore dan Ternate (Maluku Utara) dan suku bangsa lainnya seperti Bugis, Makassar dan juga budaya Arab dan Portugis. Bahkan jauh ke belakang lagi dapat dijumpai  lukisan lukisan dinding dibatu cadas yang merupakan bukti  tinggaan terkait sebaran manusia yang dapat ditemui di pulau Waigeo dan Misool  terutama di pulau Misool yang cukup banyak tersebar tidak pada satu titik dibagian selatan pulau Misool. Dan apa yang dikemukakan di atas menjadi identitas ciri khas sebagai anak negeri Raja Ampat.

Lukisan Cadas di Misool Raja Ampat

          Jalur Rempah (JR) adalah program Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan,Kebudayaan, Riset dan Teknologi.  Mengutip penjelasan Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan yang menyampaikan fokus program ini menitik beratkan pada rekontruksi Jalur Rempah untuk mendukung penetapannya sebagai warisan dunia (World Heritage). Hal tersebut disampaikan dalam Taklimat Media Program Tahun 2021 yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (11/1).

         Jalur Rempah bukan hanya sebatas rekonstruksi tetapi punya nilai terutama pada titik-titik lintasannya saat ini. Berbicara Jalur Rempah tentu bukan hanya berkaitan dengan rempah saja akan tetapi berkaitan pula dengan sejarah persebaran atau migrasi manusia sebagai pemilik budaya pada kurun waktu tertentu. Terkait titik lintasan Ternate – Tidore- Banda Naira tentu tidak dapat dilepaskan dengan Raja Ampat.

Beberapa bukti tinggalan budaya dapat kita temui seperti :

1.Organisasi Sosial

Seperti yang melekat pada nama kawasan ini Raja Ampat. Dalam kajian Antropologi Dr.JR. Mansoben dalam teorinya terkait sistem politik tradisional di Irian Jaya (tanah Papua) memetakan Raja Ampat dengan tipe sistem politik tradisional kerajaan. Hal ini sebagai dampak dari pengaruh kesultanan Tidore yang dulunya mengklaim Papua sebagai wilayahnya dengan memberi gelar-gelar kehormatan bagi pemimpin-pemimpin di kawasan Raja Ampat, semenanjung Onin (Fak-Fak) bahkan sampai di pantai utara tanah Papua. Sampai saat ini dapat kita temui gelar-gelar tersebut masih di pakai sebagai Marga seperti Kapitan Laut, Sanadi/Sangaji, Mayor, Dimara, Rejauw, Korano dll.

2.Kesenian

Suling Tambur, Umum masyarakat di Papua mengenal Raja Ampat selain keindahan eksotis alamnya juga ada kesenian Suling Tambur yang dapat selalu kita jumpai di Raja Ampat dari kampung sampai ke kota. Dari sejarahnya, sebenarnya musik suling tambur bukanlah budaya asli masyarakat di Raja Ampat. Musik suling tambur masuk ke Raja Ampat seiring dengan masuknya guru-guru zending (pengajar guru Kristen) pada masa itu. Musik suling tambur di bawah oleh guru-guru injil dari Sangihe Talaud (Sulawesi Utara) yang pada awalnya sebagai musik pengiring saat ibadah dan perayaan hari-hari keagamaan Nasrani. Sekarang ini suling tambur bukan hanya sebagai musik pengiring tetapi sudah sebagai hiburan bahkan Pemerintah Daerah Raja Ampat setiap tahun selalu menyelenggarakan  festival suling Tambur.

Suling Tambur Raja Ampat

Hadarat/Hadrah, Kehadiran hadarat di kawasan ini terutama pada masyarakat Raja Ampat pemeluk Islam sudah menjadi keharusan saat melaksanakan upacara pernikahan saat mengantar pengantin, mengantar khatib baru setelah shalat Ied dan juga saat menjemput tamu. Seperti kita ketahui dalam hadarat dengan iringan pukulan tifa dilantunkan salam atau shalawat kepada junjungan Rasulullah SAW dan ini sebagi bentuk lebih mendekatkan dan mengingatkan kepada sang pencipta Allah SWT.

Selain dua unsur budaya dan mata budaya seni sebagai bukti pembauran budaya di kawasn ini,  masih banyak lagi  mata budaya yang lain salah satunya tari Lalayon yang telah di tetapkan sebagai WBTB dari Maluku Utara, Bambu gila dan masih banyak yang lainnya. Suling Tambur sendiri tahun 2022 ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) nasional dari Raja Ampat Papua Barat.

        Tinggalan budaya Raja Ampat adalah bukti sebagai potensi JR di Raja Ampat dan  bukti simpul pengikat yang dapat dikembangkan melalui kajian yang lebih mendalam. (Ar.Macap-BPK Wilayah XXII Papua)