DIALOG BUDAYA “Perkembangan Kebudayaan Lokal yang berkaitan dengan Regulasi Otonomi Khusus” Teluk Wondama, 25 Juli 2013

0
3618

Dialog Budaya di Kab. Teluk WondamaBerbicara mengenai kebudayaan mengandung banyak defenisi antara lain; norma‐norma serta aturan‐aturan yang mengatur tentang bentuk dan sifat dari relasi‐relasi yang dijalin oleh para warga masyarakat dalam suatu kebudayaan tertentu untuk saling berinteraksi dalam rangka mewujudkan kehidupan bersama mereka. Dengan perkataan lain di dalam kebudayaan terdapat norma‐norma dan aturan‐aturan tertentu yang berfungsi untuk mengatur hak dan kewajiban para warga masyarakat berdasarkan kedudukan dan peran mereka masing‐masing.
Di samping norma dan aturan‐aturan yang berfungsi dalam mengatur hubungan‐hubungan sosial antar warga suatu masyarakat terdapat pula norma‐norma dan aturan‐aturan tertentu yang mempunyai fungsi untuk mengatur hubungan mereka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber‐sumber daya alam yang ada di dalam wilayah atau teritorial yang berada di bawah kekuasaannya. Ini berbicara mengenai kearifan local masyarakat Papua khususnya yang berada di Kabupaten Teluk Wondama, yang mana pemanfaatan potensi yang ada guna menunjang pembangunan secara efisien yang tidak terlepas dengan hak-hak dasar orang Papua.
Tujuan dari suatu proses pembangunan adalah untuk merubah sesuatu dari keadaan lama menjadi baru. Proses perubahan ini menekankan pada hakekat kualitas, artinya hasil kualitas dari sesuatu perubahan itu harus lebih baik dan lebih bermutu dari keadaan sebelumnya. Terkait dengan itu pembangunan yang telah, sedang dan yang akan dilaksanakan di Tanah Papua bertujuan untuk memberikan kehidupan yang berkualitas bagi penduduknya dalam berbagai bidang kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan agama. Tujuan pembagunan di Tanah Papua seperti yang dikemukakan inilah yang merupakan amanat dari otonomi khusus.
Untuk merealisasikan tujuan pembangunan tersebut maka diperlukan suatu pendekatan yang tepat. Seperti yang disampaikan sebelumnya di atas bahwa salah satu pendekatan atau paradigma pembangunan yang dipakai diberbagai tempat, terutama di negara‐negara baru dan yang sedang berkembang pada saat sekarang, juga di Indonesia, adalah pendekatan berbasis lokal dan yang berwawasan lingkungan. Paradigma ini menawarkan pemanfaatan potensi‐potensi lokal dalam suatu proses pembangunan. Potensi‐potensi local itu bersumber dari sumber daya alam (tanah, hutan,mineral, sungai, laut, fauna) dan sumber daya manusia (kuantitas, kualitas, budaya). Potensi‐potensi lokal seperti ini harus dimanfaatkan dan didayagunakan karena akan mendatangkan hasil yang lebih baik sebab lebih cocok dengan lingkungannya, juga lebih efisien apabila dibandingkan dengan produk yang harus didatangkan dari tempat lain.
Ada dua hal yang sangat erat terkait dengan paradigma pembangunan berwawasan local:
• Pertama adalah tuntutan terhadap pemahaman yang baik dan benar tetang ketersediaan potensi‐potensi lokal yang dapat dijadikan modal dalam program‐program pembangunan itu sendiri.
• Kedua adalah tuntutan terhadap kemampuan dari para pelaku pembangunan untuk mengelola atau memanage potensi‐potensi lokal yang ada sehingga berubah menjadi sumber‐sumber yang berdaya guna bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Potensi‐potensi lokal apa yang dapat dijadikan modal pembangunan maka dibutuhkan suatu pemahaman yang benar, demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan. Paradigma pembangunan masa sekarang yang berbasis lokal didasari oleh teori pembangunan yang bernama teori pascamodernisme. Teori ini adalah merupakan teori terakhir yang dikembangkan pada tahun 1990‐an (teori‐teori pembangunan sebelumnya adalah teori modernisasi dan teori ketergantungan) menawarkan suatu pendekatan pembangunan baru yang berorientasi pada pentingnya mendengar “suara‐suara lokal” yang terkandung dalam kearifan budaya lokal sebagai strategi kunci dalam program‐program pembangunan (N. Long dan A. Long, 1992). Dalam teori ini fungsi kearifan budaya lokal yang terkandung dalam berbagai unsur budaya yang digunakan sebagai strategi beradaptasi dan berkomunikasi dengan lingkungan alam, lingkungan sosial maupun terhadap alam gaib dalam rangka mempertahankan eksisitensi hidup hendaknya dijadikan modal sosial bagi pembangunan. Bertolak dari pandangan ini maka adalah penting untuk mengidentifikasi dan mengkaji kearifan‐kearifan lokal apa yang ada dalam kebudayaan‐kebudayaan di Tanah Papua sehingga dapat dijadikan modal sosial bagi pembangunan. Kearifan lokal sebagaimana yang dimaksud dia atas terkandung dalam unsur‐unsur budaya seperti pengetahuan lokal, kesenian, bahasa dan nilai‐nilai budaya.
Namun sampai saat ini masyarakat belum mengerti dan paham secara benar tentang pembangunan dibidang kebudayaan dalam era otonomi khusus. Masyarakat hanya mengerti menjadi tuan di negeri sendiri dengan potensi yang begitu melimpah, dengan demikian banyak hal-hal yang dilupakan dan tidak diaplikasikan dalam kehidupan sosial budaya yang menunjang pembanguanan daerahnya.
Hal ini dipandang sangat penting, untuk itu Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua melaksanakan Kegiatan Dialog Budaya khususnya yang ada kaitannya akan Perkembangan Kebudayaan Lokal yang berkaitan dengan Regulasi Otonomi Khusus di Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. Pelaksanaan kegiatan pada tanggal 25 s/d 26 Juli 2013 Hotel Aitumeri’in Kab. Teluk Wondama yang di buka oleh Asisten II Kab. Teluk Wondama, dengan menghadirikan 5 Narasumber antara lain:
1. Bpk. Apolos Marisan, S.Sos (kepala BPSNT Jayapura),
2. Yusuf Imburi (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata).
3. Pdt. Hans Wamna, S.Th (Ketua Klasis GKI Kab. Teluk Wondama)
4. Daniel Mariai (Tokoh Pemuda Kab. Teluk Wondama)
5. Yulianus Torey (Ketua Lembaga Adat Kab. Teluk Wondama)
Peserta dalam kegiatan ini berjumlah 100 orang yang terdiri dari; Anggota DPRD Kab. Teluk Wondama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Lembaga Adat, Tokoh Pemuda dan Perempuan.Dengan harapan adanya suatu perubahan, baik itu kerjasama antar lembaga-lembaga kebudayaan dan pemerintah daerah, yang mengarah ke pembangunan Papua Baru

Apolos Marisan, S.Sos selaku kepala BPNB Jayapura-Papua mengatakan “Kegiatan dialog budaya ini, diharapkan terjadi kesepahaman khususnya terkait dengan eksistensi, fungsi, dan tugas Pemerintah Darerah Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat yang nantinya dapat membuka peluang untuk menjalin kerjasama antara institusi kebudayaan, terkait dengan pemikiran dan agenda kebudayaan di Prov Papua Barat serta dapat mengungkapkan berbagai potensi dan problematika kebudayaan di wilayah Prov Papua Barat Khususnya Kabupaten Wondama, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan bersama atau kerjasama sinergis antar institusi kebudayaan di wilayah Prov Papua Barat.