Dalam lawatan sejarah daerah kali ini yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua di Kabupaten Teluk Wondama pada bulan Juni 2013 dengan melibatkan para siswa/I se-Kota Wasior untuk mengunjung situs-situs yang ada di Kabupten Teluk Wondama antara lain; Situs Pendaratan injil pertama oleh Penginjil dari Maluku, Makam Penginjil Yohanes Paulus Patilihu, Bukit Aitumeri yang merupakan sekolah pertama di Tanah Papua dan Batu peradaban yang merupakan tempat belajar mengajar bagi orang Papua, Gereja Tua dan Alkitab Tua di Yende yang merupakan saksi bisu sejarah peradaban di Tanah Papua.
Peserta Lawatan Sejarah Daerah yang terdiri dari 100 siswa/I se-Kota Wasior ini sangat antusias mengikuti kegiatan ini dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah ini mereka mendapat informasi baru dari beberapa Narasumber antara lain Pdt. Hanz Wanma, Bpk. John Mambor, Bpk. Eduart Juan Manauw, Bpk. Alberth Manauw dan Narasumber lokal lainnya.
KILAS SEJARAH SITUS DI TELUK WONDAMA
Nama Wasior berasal dari bahasa masyarakat yang tinggal di Pulau Yang berarti “daerah Yang mudah terbakar”, karena di daerah Wasior sendiri dulunya banyak pohon bambu, yang karena gesekan sering terjadi kebakaran, sehingga orang pulau menjulukinya daerah Yang mudah terbakar (Wasior). Penduduk asli Kota Wasior adalah Suku Wondamen, yang berada di Teluk Wondama. Sekarang Wasior menjadi sebuah Kabupaten yang disebuat Kabupaten Teluk Wondama atau dikenal dengan istilah “Sasaar Wondama” Yang artinya “Cahaya Wondama”. Istilah ini diberikan karena di kota inilah peradaban orang Papua bermula.
1. Tugu Peringatan Pertama Pendaratan Injil di Teluk Wondama
Injil Pertama kali singgah di Papua tepatnya di Mansinam pada tanggal 5 Februari 1855 dan mendarat di pulau Mansinan pada hari mingg jam 09.00 WIT oleh 2 orang hamba Tuan yaitu Ottow dan Geissler Setelah tiba di Mansinam dan kemudian mereka melaJani di daerah Kwawi, Saukorem danp pada tanggal 4 Mei 1866 Injil pertama kali tiba di Kab. Teluk Wondama disinilah Injil mulai berkembang dan tersebar di Pulau-Pulau Papua.
Yohanes Paulus Patiluhu adalah guru yang pertama membawa injil di Tanah Wondama khususnya di Kaibi bersama istri Nyora Albertina Latuheru. Beliau pertama tiba di Kaibi pada tanggal 28 Maret 1908, beliau bertugas menjadi seorang guru yang memberikan injil di Kaibi dan dipindahkan di Iriati. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penginjil istrinya pun setia mendampingi yang kita lebih kenal dengan sebutan para nyora. Nyora Albertina akhirnya meninggal dan di makan di Kaibi tepatnya berada di sebelah tugu pendaratan injil di Kaibi.
Bapak Yohanes Paulus Patiluhu mendapat julukan dari orang setempat yaitu “Sewarai Muni”. Setelah melaJani di Kaibi Bapak Yohanes Paulus Patiluhu menaJani juga di Iriati, karena medan di Papua yang begitu ekstrim beliau mengalami sakit dan akhirnya Bapak Yohanes Paulus Patiluhu meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1912 di Iriati. Makan tua ini akhirnya dibangun kembali oleh Pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan pariwisata pada tahun 2005.
2. Sekolah Peradaban di Miei (Bukit Aitumeri)
Peradaban dan pendidikan bagi orang Papua di Negeri ini mengalami perjuangan dan pengorbanan yang sangat luar biasa seiring dengan perkembangan Injil yang di bawa oleh para Zendeling dari Jerman dan Belanda dan juga guru-guru Sanger, Manado, Ambon dan Pribumi. Berlayar dari pulau Mansinam membuang Sauh di pulau Roswar, Roon dan Yerenusi. Akhirnya di kaki bukit Kamadiri dan Aitumeri, Mazarpun diletakan dengan nama Tuhan demi masa depan Injil dan pendidikan di tanah Papua dan Teluk Wondama.
Pendidikan di tanah Papua yang dimulai dari Mansinam, Teluk Wondama, Biak Numfor, Amberbaken, Raja Ampat, Sorong, Teminabuan, Fakfak, Merauke, Jayapura, Sarmi, Yapen Waropen, Paniai, hingga ke daerah-daerah pedalaman dibuka oleh para zendeling, misionaris dan guru-guru penginjil dan sekolah kebanyakan dimulai dari rumah-rumah mereka yang dikenal dengan nama sekolah rakyat, sekolah peradaban.
Pada bulan Oktober 1925 sekolah guru dipindahkan ke Aitumeri oleh tokoh pendidikan orang Papua yaitu Bapak, Izhak Samuel Kijne, sehingga selama hampir 25 tahun sekolah ini melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa Papua yang merupakan anak-anak asli Papua dari seluruh Tanah dan Negeri ini baik dalam bidang Agama maupun pemerintahan.
Bukit Aitumeri juga dikenal dengan sebutan Bukit Senja, Bukit Pendidikan, Bukit Murai dan juga Bukit Tom dan Reggi. Dimulai dari bukit ini orang Papua mulai mengenai baca tulis. Pendidikan tiba di teluk Wondama pada tanggal 25 Oktober 1925. Ketika zaman Zendeling pendidikan orang Papua didirikan tahun 1917-1962 oleh Zendeling Dereck Bernaard Starenbung, D.C.A Bout, Izhak Samuel Kijne, Jacob Bijkerk dan Jorgens Vervolog Schoololeh Bertha Egger Van Arkel.
Pada tanggal 13 Februari 1926 Sekolah ini menmatkan lulusan pertama sebanyak 6 siswa yaitu;
1. Simon Rumbrewar
2. Kostan Yeninar
3. Marice Tatengke
4. Zadrak Kubuari
5. Benyamin Urus
6. Indey
Setelah 6 siswa pertama yang tamat dari sekolah di Aitumeri mulailah diikuti oleh generasi-generasi berikutnya dan selama dari tahun 1925 s/d 1942 sekolah di Aitumeri telah menghasilkan lulusan sebanyak 700 siswa. Selama 50 tahun setelah injil masuk di Papua, baru 2 orang putra Papua yang berhasil sekolah di luar Papua yaitu; Petrus Kafiar dan Timotius Mawene, mereka berdua yang pertama kali sekolah di Depok Jawa Barat.
Kemudian setelah tahun 1942-1945 sekolah norma school di Aitumeri ditutup karena terjadi perang dunia ke-2. Kemudian normal school dipindahkan ke Jayapura di Dok 2. Bapak Izhak Samuel Keijne ke Malang Jawa Timur, pada tahun 1947 beliau di tangkap bersama istrinya oleh tentara Jepang. Di dalam penjara bapak Izhak Samuel Keijne menulis sebuah buku yang berjudul “Kota Emas”
Sekolah di Bukit Aitumeri terdapat 7 bangunan yang merupakan peninggalan peradaban sejarah orang Papua yaitu; 1 banguan sekolah, 2 rumah guru, 1 dapur umum, dan 3 Asrama siswa. Dalam menjalankan proses belajar berpola asrama ini sekolah ini memiliki beberapa bagian yang mengajarkan siswa/i untuk lebih bermandiri, bidang-bidang ini dikenal dengan sebutan dinas yang terdiri antara lain: Dinas Perumahan, Dinas Kesehatan, Dinas Olahraga, Dinas Kebersian dan pertamanan, dan dinas yang mengurusi makanan.
3. Batu Peradaban
Dibukit Aitumeri ini tersimpan berjuta kenangan diantaranya Batu inspirasi dan batu peradaban. Diatas bukit Aitumeri terdapat Batu yang sangat besar, batu ini digunakan Bapak Izhak Samuel Keijne untuk bergumul mendoakan pelaJanan di Tanah Papua dan juga menciptakan lagu-lagu rohani dan mazmur yang sekarang digunakan oleh umat Kristen di Tanah Papua dalam beribadah. Batu ini dikenal dengan sebuatan batu inspirasi oleh masyarakat Papua.
Batu Peradaban adalah tumpukan batu dimana sebagai sarana para Zendeling melakukan proses belajar mengajar. Bapak Izhak Samuel Keijne mengajar para muridnya dan diatas batu ini juga para siswa melatih ketrerampilan dirinya baik itu bagaimana belajar, memimpin doa dan bagaimana menjadi dirijen dengan lagu-lagu yang diciptakan oleh Bapak Izhak Samuel Keijne.
Pemerintah daerah telah membangun sebuah bangunan yang mempunyai jumlah tonggak tiang sebanyak 6 tiang Yang melambangkan ke-6 murid yang pertama lulus dari sekolah Aitumeri. Bukit Aitumeri juga dikenal dengan sebutan Bukit Tom dan Reggi karena hubungan pertemanan antara istri dari bapak Izhak Samuel Keijne (Reggi) yang berteman dengan murid yang merupakan salah satu anak didik yang mereka sayangi yaitu Tom Wospatrick.
Batu Peradaban merupakan salah satu situs sejarah yang paling dikenal di Teluk Wondama. Batu Peradaban Yang diletakan oleh Pdt. I.S. Kijne dengan pesannya: “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. Pesan religius Kijne selaku Bapak Peradaban orang Papua ini memiliki makna bahwa orang Papua akan tampil sebagai pemimpin di atas tanahnya sendiri.
4. Gereja Tua dan Alkitab Tua di Yende.
Di Pulau Jende-Roon terdapat berbagai peninggalan bersejarah sebagai saksi bisu pekabaran dan peradaban di Tanah Papua. Antara lain Situs Gereja Tua Isna Jendi dan peninggalan Alkitab Tua yang merupakan bukti pelayanan di Pulau jende-Roon. Sedikit ulasan sejarah di pulau Jende-Roon tentang perjalanan panjang pekabaran Injil dan peradaban orang Papua.
Zendeling Gottlieb Lodewijck Bink dan Jan Van Balen Tiba di Jende-Roon pada tanggal 2 April 1884 – tanggal 20 Januari 1889 Jan Van Balen berpindah ke bukit Kamadiri di Windesi mereka hanya bekerja di Jende, Windesi, Anday, Doreh, Kwawi dan Mansinam, sehingga untuk mengunjungi Teluk Wondama sangatlah susah sebab orang Wondama terkenal sangat jahat, lagi pula keadaan kampung-kampung sekitar Teluk Wondama belum aman sebab perang hongi, perampasan budak, balas dendam. Setelah itu di ikuti oleh Zendeling lainnya seperti Dereck Bernaard Starrenburg pada tanggal 14 Maret 1908.
Pada tanggal 28 Desember 1908 pertobatan secara besar-besaran di pulau Roon sehingga menyebabkan tanah Papua boleh aman dan pelayanan injil dapat berjalan dengan baik di Tanah Papua. Pada waktu ini terjadi perang suku di Tanah Papua antara suku dari Biak dan Yapen, Manokwari, Raja Ampat dll.
Sebagai menurut sejarah dulunya pulau Roon di sebut benteng iblis atau tahta iblis sekarang menjadi pulau yang diberkati Tuhan pulau terang (Isna). Pekebaran injil mulai berkembang di Pulau Roon. Lewat G.L Bink, Vanderrost dan guru A.B Apituley dan Deefwai dan anak-anak dari kampung Jende sendiri. Pertobatan ini terjadi karena kematian dari pada seorang pembantu dari Starwot pada waktu itu yang membawa pembantu ini adalah Zendeling G.L Bink seorang Yang berasal dari suku Karoon, yang bernama Johan Ariks dan dijadikan anak tebusan. Pada saat itu terjadi perang suku antara Marga Ayemseba dan Marga Rumadas sehingga 2 orang marga Ayemseba di bunuh oleh marga Rumadas sehingga Yohan Ariks di angkat menjadi anak tebusan dan mengganti marga menjadi Yohan Ayemseba atau sering di panggil Jan Ayemseba. Jan Ariks Ayemseba bermimpi bahwa ia melihat tangga emas turun dari langit ke tempat mereka bertempat tinggal ini merupakan awal perkembangan injil di tanah Papua.
Gereja Insa Jendi di Jendi mengalami beberapa kali perombakan. Gereja di bangun 1891-1892, dan 1910 seorang guru dari Maluku Corneles Rumkaer membangun gereja yang ke-2 dan gereja di pakai sampai rusak pada tahun 1921 Pdt. Bernat Akwan membangun gereja lagi. Gereja ini sudah tidak digunakan lagi karena sudah di bangun gereja Insa Jendi yang baru.
Di dalam bangunan gereja terdapat ruangan khusus dinama masyarakat setempat menyimpan peninggalan-peninggalan para Zendeling berupa tempat perjamuan, peralatan makan, dan lainnya. Bukan hanya itu saja di dalam ruangan yang berukuran 3×4 itu terdapat bongkahan batu yang disamping kiri kanan terdapat dua pilar menurut informasi dari para pengurus gereja dan juga masyarakat setempat batu ini digunakan oleh Zendeling G.L Bink apabila hendak melakukan perjalanan penginjilan maka beliau harus berdoa diatas batu ini. PelaJanan Yang dilakukan meliputi Biak, Serui, Fakfak, Sorong, Raja Ampat hingga ke Jayapura tidak salah Pdt. G.L Bink mendapat julukan Rasul Tanah Papua. Selain itu terdapat Alkitab tua terbitan tahun 1898 yang merupakan salah satu bukti sejarah yang masih tetap di jaga dan disimpan di Gereja Isna Jendi. Alkitab Tua digunakan oleh para zendeling dalam melakukan pelayanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 14 Agustus tahun 1916 Zendeling Dereck Bernaard Starrenburg menyerahkan Alkitab ini kepada Jemaat Isna Jendi, dan Ia pun meninggalkan Yende karena terjadi banjir dan pindah ke Windesi kemudian Wondama dan mendirikan Klasis di Wondama.
Di Jende juga terdapat beberapa makam Zendeling dan para penginjil dari ambon maupun penduduk setempat yang merupakan murid-murid dari Zendeling yang membantu pelayanan pekabaran Injil. Makan-makan ini terdapat di sebuah bangunan rumsram yang terbuat dari beton yang di depan bangunan itu terdapat 2 Panglima Besar di Pulau Roon Dari Marga Ayemseba dan Rumadas Yang bermana Raisori dan Sibarai.
Namun sayangnya tempat bersejarah ini belum di rawat dengan baik dan belum ada Juru Pelihara sehingga di harapkan oleh Penduduk setempat ada perhatian pemerintah lebih lanjut di daerah tersebur sebagaimana, bukan hanya di pulau Jende-Roon tetapi masih banyak lagi tempat bersejarah lagi seperti di Pulau Syabes ada makan istri dari zendeling Rudolf Beyer, Windesi ada sekolah dan Rumah para Zendeling antara lain Zendeling Van der Rust dan Adrian van balen, Wondama- pulau Yerenusi di Ambumi, Raisie, Kaibi dan Kubiari, Wasior dan Miei.