Marthen M. Pattipeilohy, S.Sos. Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku

Konsep katong samua orang basudara merupakan suatu kearifanblokal, pada dasarnya terlahir dari embrio budaya masyarakat di Maluku, yang memiliki spesifikasi pranata berbeda dalam istilah/bahasa, namun memiliki kesamaan dalam pengertian tatanan nilai hidup kebersamaan. Dalam kebijaksanaan kearifan lokal orang Maluku, orang basudara itu adalah katong samua (kita semua) sebagai anak negeri Maluku dari berbagai pulau, rumpun wilayah adat atau wilayah hukum adat dan bahasa di kepulauan Maluku yang kaya dan majemuk. Konsep ini mengartikan bahwa di dalam diri Orang Basudara ada katong samua yang berasal dari semua wilayah kepulauan Maluku dengan rasa empati dan solidaritasnya yang berjuta rasa.

Pertanyaan filosofis tentang siapakah orang basudara itu? selalu akan dijawab secara spontan setiap anak negeri Maluku adalah katong samua (kita semua). Lalu bagaimana konsep katong samua dengan orang-orang lain (multi etnis) yang bukan anak negeri Maluku yang telah hidup berdampingan berpuluh bahkan ratusan tahun? Pasti jawabannya adalah katong samua/kita semua. Lalu siapakah katong samua pada konsep tingkatan ini? Pasti jawabanya adalah katong samua orang Indonesia. Kemudian apakah katong samua orang Indonesia adalah orang basudara? Jawaban ini tentunya memerlukan pengakuan hati yang nasionalisme sesuai dengan falsafah bangsa kita.

Masyarakat Kota Ambon yang majemuk multi etnik dan multikultural terdiri dari berbagai budaya. Pluralisme masyarakat Kota Ambon dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang dengan kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik penghancuran bangsa.

Konflik sosial di Ambon, 1999 – 2004 (Maluku) adalah salah satu bentuk  penghancuran bangsa yang diprakasai oleh berbagai kalangan provokator, merupakan tantangan berat terhadap kerukunan bangsa yang berabad-abad telah terbina lewat fundamental budaya, dan nyaris hancur. Namun begitu hebat dan kekarnya akar budaya, sehingga membuat bangsa kembali siuman melalui aktivitas kebudayaan yang diprakasai pemerintah daerah dan pusat. Aktivitas silahturahmi digalakan, hasil perjanjian MALINO dan yang terlebihnya didominasi oleh aktivitas ritualisasi budaya lokal di semua wilayah Maluku.

Kunci silaturahmi adalah dengan cara introspeksi budaya lokal dan faham nasionalisme dalam kearifan ungkapan Katong Samua Orang Basudara. Penggunaan konsep kebudayaan yang paling dominan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193).

Sejalan dengan pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota masyarakat. Suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi, sehingga seluruh komponen masyarakat yang heterogen, multi etnis dan multikultural dapat memahami dan menikmati kondisi sosial budaya yang kemudian menghasilkan biasan ketahanan, keamanan dan perdamaian bangsa dan negara.

Suatu masyarakat disebut multikultural, majemuk, atau plural apabila para anggota-anggotanya berasal dari suku, rasdan agama yang saling berbeda yang menjadi dasar pengelompokan para anggota masyarakat. Pengelompokan sosial ini umumnya bersifat primordial, dan masing-masing mengembangkan subkultur tertentu.  Interaksi antar-kelompok lebih rendah daripada interaksi internal kelompok. Bahkan di dalam masyarakat majemuk, struktur sosial sering bersifat konsolidatif, sehingga proses menuju integrasi sosialnya terhambat.

Kota Ambon tepat disebut sebagai kota multi etnik atau multi kultural, karena penduduk yang heterogen dengan latar belakang perbedaan suku, agama dan ras. Mereka mendiami suatu areal dengan sistem pemukiman mengelompok, tetapi membaur di wilayah tertentu yang disebut kampong dalam satu kelurahan/kecamatan.  Dalam satu kelurahan terdiri dari beberapa etnis, yang kemudian mengidentitaskan diri mereka sebagai orang-orang sekampong. Dalam aktivitas kehidupan, internal kelompok merupakan dinamika sosial kampung, yang berkembang menjadi pola interaksi antar kampung, khususnya interaksi sosial dan ekonomi. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam sketsa pemukiman dan hubungan sosial kelompok-kelompok etnis di kota Ambon.

Peta Wilayah Multietnik

 

Perilakusosial yang ditonjolkan dalam kelompok-kelompok sekampong berdasar pada komunikasi basudara (bersaudara), yang terlahir dari konstruksi ingatan katong samua orang basudara. Konstruksi ini selalu memberikan peringatan untuk melakukan suatu komunikasi yang menyentuh hati, sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial.

Penanganan masyarakat multikultur yang sangat plural memerlukan ingatan dan perilaku nasionalisme dengan perekat budaya lokal, sehingga dapat menghasilkan perilaku yang suka silahturahmi dengan hati dan sikap berdamai. Sejuta rasa orang basudara perlu di ajarkan dalam batin anak-anak bangsa untuk mengahadapi masyarakat yang multikutur. Konsep sejuta rasa dalam orang basudara adalah suatu kumpulan perasaan induvidu, kelompok, komunitas, suku dan bangsa mengenai cara bertindak atau berperilaku terhadap orang lain dengan rasa persaudaraan dan kemanusiaan dalam rangka mencapai suatu suasana yang aman dan tentram. Pengertian ini tertuang dalam pepatah tua katong samua orang basudara (kita semua orang bersaudara),  potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng (satu) dipata dua, ale rasa beta rasa , mari duduk satu dulang/lesa (meja makan) katong (kita) bicara anak bangsa segala susah deng (dan) senang. (Tulisan ini sudah dimuat dalam koran KABAR TIMUR Jumat, 8 September 2017)