“Ina hati tuang dari lanite biru, turung dari lanite par maulia beta, beta lia ina sama putrid dewa,

Pake topi bulang muka la basinar, sinar baca haya sampe hati beta, beta tundu muka laluang kahati,

polo kaki ina dewa kahedupan, Ina hatituang, tuang hati jantong, jantonghati beta dalam kahedupan, mari beta gendong, gendong ina jua, inga ina beta punya la kalesang, beta simpang akang dalam hidop beta, Taru di balanga, balanga kahedupanSyair lagu ini adalah ungkapan pendewaan merupakan nyanyian rakyat yang sudah kuna (tidak diketahui oleh generasi sekarang)di perkirakan beredar dalam masyarakat Maluku Tengah pada Abad ke-16. Lagu ini berjudul “Ina balanga kahedupan”, penciptanya tidakdiketahui (wawancara, A.Matulessy, 28 Juli 2014).Ina/Inai adalah istilah orang Maluku, khususnya masyarakat adat di Maluku Tengah sebagai suku dan pengguna bahasa Alune dan Wemale serta melayu Ambon. Ina atau Inai adalah sapaan halus bagi seorang ibu atau seorang perempuan yang menunjukan sosok dalam pengertian terfokus atas suatu kerangka pikir yang terstruktur secara natalisembrio (kandungan kelahiran), social identitas (identitas sosial), privalaseidentitas (penghargaanidentitas) dangeografisidentitas (identitaswilayahkelahiran).

Fakta aktualitas perilaku yang melekat dalam masyarakat Maluku secara umum terhadap penghormatan seorang perempuan itu diungkapkan  dengan istilah ina hati tuang.Istilahini merupakan ungkapan tradisional yang mentradisi pada masyarakat adat Maluku TengahdanAmbon, sebagai ungkapan pendewaan terhadap seorang perempuan. Ungkapan ini menggabarkan struktur pemikiran tentang suatu perasaan penyapaan dan pendekatan moralitas sebagai masyarakat yang menghormati seorang perempuan sesuai dengan norma-norma adat dalam kebudayaan masyarakat di Maluku (Marthen. M. Pattipeilohy; 2010, Hal 2 ). Komunitas adat Maluku ,melakukan penghormatan terhadap perempuan termasuk dalam kategori sangat kuat, karena terkait dengan pendewaan perandom estiknya. Walaupun pemberlakuan sistem patrilineal yang sangat kuat, namun peranan domestic perempuan di Maluku melebihi peran laki-laki dalam kasus pembinaan generasi. Hal ini disebabkan karena kultur image tentang komunikasi batiniah seorang perempuan (ibu) memegang peranan penting antara ibu rumah tangga dengan anak-anak, ibu rumah tangga dengan kepala rumah tangga (ayah) serta dapat membangun komunikasi antara suami dan anak-anak dan semua ikatan keluarga dalam Luma Tao (keluarga besar).

Perempuan dianggap sebagai bayangan Tuhan, dimana seluruh atribut yang dimilikinya dianggap suci. Kesucian pikiran, akhlak, perilaku dan perjuangannya, memberikan gambaran bahwa sorga adalah dibawah telapak kaki ibu. Telapak kaki menuntun pengertian perjuangan menuju sorga, dan Sorga menuntun pengertian kebahagiaan atau tumpuan cita-cita dan tujuan pembangunan generasinya. Ina terbawa dalam image sosok yang didewakan dalam hakekat kehidupan dunia dan akhirat, yang memunculkan unsure kesucian akhlak dan budi pekerti dalam pencerahan hidup yang telah dilegitimasi dalam perilaku masyarakat Maluku sepanjang zaman.

Cobalah kita simak bagian syair lagu-lagu dari generasi muda Maluku dalam era modern ini, banyak mengungkapkan tentang sosok seorang Ina/ibu/mama, sebagai ungkapan hati dan perasaan yang terbawa oleh nilai dan ingatan tentang perjuangan dan pengabdiannya terhadap tata kehidupan generasi. Sebagai contoh bagian syair lagu; satu tetes aer susu mama, katong pung hidop bapuluh taong mama………., (ini menterjemahkan tentang proses pembesaran dengan air susu ibu demi kehidupan), biar pake kabaya busu-e, mama tetap beta pung mama-e………., (inimengungkapkanpengakuananakterhadappengorbanansorangina/ibu/mama), sambil mama bakarsagu, mama manyanyibuju-buju, la sampebasarbagini-e beta senglupa mama-e…………, (ini merupakan penghiburan dan perjuangan ina/ibu/mama untuk membesarkan anak), dan masih banyak lagi syair lagu yang beredar dalam masyarakat. Ina dalam konteks budaya orang Maluku Tengah juga dapat diartikan dalam fungsi berbagai wujud yang melekat dalam pengakuan dan perilaku yang diartikan sebagai bejana embrio/kandungan, bejana air, bejana tanah, bejana persekutuan dan bejana garam. Bejana-bejana ini mencerminkan wadah yang mendasari perilaku masyarakat Maluku Tengah sebagai

tumpuan pengakuan dan penghormatan kepada kaum perempuan dalam konteks seorang Ina.

Ina sebagai bejana embrio/kandungan, adalah pangkal dari pengertian kesucian suatu kehidupan. Hal ini menunjukan fungsi dari embrio sebagai wadah tempat pembuahan/pembentuk manusia selama 9 (sembilan) bulan. Ada keterkaitan secara biologis yaitu alat sex/sel ovum/vagina sebagai landasan natalis, yang bersentuhan dan berinteraksi dengan alat sex penis sebagai awal terbentuknya manusia. Sehingga bagian tubuh perempuan ini merupakan sesuatu yang sakral dan di dewakan setiap manusia di Maluku. Kenyataan ini memunculkan norma atau tata-krama pergaulan kaum perempuan dalam menyikapi keadaan alat dan fungsi kewanitaannya ketika ia dewasa. Norma-norma yang dibentuk sebagai pengaturan perilaku pergaulan, seperti membatasi pergaulan bebas yang negatif, berpakaian sesuai dengan tata krama (tidak menonjolkan bagian-bagian yang erotis), memiliki ruang tidur terpisah ketika dewasa dan telah kawin/menikah, dan lain-lain sebagainya.

Ina sebagai bejana air, adalah ungkapan tentang air kehidupan, sebagai penyejuk jiwa anak dan keluarganya. Image dari wadah ini memberikan pengertian tentang fungsi ina/ibu untuk menanggung persoalan yang dihadapi anak dan suami, sebagai tempat curahan hati dalam kebijakan sebagai penyejuk, ketenangan, kenyamanan dan ketentraman hati. Fungsi inilah yang memunculkan image ina/perempun sebagai wadah curahan hati.

Ina sebagai bejana tanah, diterjemahkan sebagai tempat/tanah kelahiran. Bagi orang Maluku Tengah istilah ini dikaitkan dengan pulau Seram. Pengakuan masyarakat adat menganggap bahwa pulau Seram merupakan tempat/tanah asal usul datuk-datuk/leluhur mereka. Hal ini berkaitan dengan sebutan Nusa Ina pulau ibu atau tempat kelahiran/tempat asal, karena Nunusaku di pulau Seram (mitos penduduk pulau Seram) sebagai legitimasi image tentang pusatpersebaranmasyarakat Maluku Tengah (kelompok PataSiwa dan PataLima).

Ina sebagai bejana persekutuan, adalah wadah persekutuan/perserikatan yang diterjemahkan sebagai kumpulan orang basudara. Image tentang wadah ini tertuang dalam hukum adat Maluku Tengah yaitu Gandong. Fungsi gandong dalam pengertian Keluarga, yang menunjukan hubungan antara anak-anak sekandung (famili/keluarga bati/keluarga luas) sampai pada negeri-negeri sekandung (negeri segandong). Segandong menunjukan persekutuan yang lahir dari kandungan satu ibu. Wadah ini juga menjadi wajangan (disamakan arti) bagi terbentuknya hukum adat ikatan pela, walaupun dalam pengertian, persekutuan antar dua negeri atau lebih yang tidak terikat dengan hubungan se kandung/kandungan (geneoligis), namun image masyarakat tentang persekutuan ini berakar dari pengakuan rasa bersaudara. Karena diantara negeri-negeri persekutuan pela ada ikatan emosional segandong diantara negeri-negeri yang berpela, sehingga menjadi katong samua basudara dalam bejana persekutuan hidup sebagai anak-anak Nunusaku di pulau Seram (Nusa Ina).

Ina sebagai bejana garam, diterjemahkan sebagai wadah pelengkap utama kehidupan. Bagi orang Maluku Tengah, bejana garam yang di wujudkan sebagai tempat garam merupakan pelengkap utama dalam penyajian lesa/meja makan keluarga. Garam  sebagai penyedap rasa diidentikan sebagai rasa cinta dan penghormatan serta kesucian meja makan sebagai lambang persekutuan keluarga. Segala susah dan senang, segala kekurangan dan kelebihan itulah yang dinikmati di meja makan, sebagai berkah yang menghidupkan persekutuan dengan bumbu garam rasa cinta dan rasa sayang diantara anggota keluarga. Yang disuguhkan oleh ina sebagai penata kasih sayang diantara anak-anak dan suaminya serta seluruh kerabat keluarga. Dewa cinta adalah ina yang menjelma sebagai garam di meja makan, pelengkap rasa dan kasih sayang. Hidup tanpa ina/ibu bagaikan mesin waktu yang terputus aliran listrik, kehilangan kasih sayang dan belaian kelembutan. (Tulisan ini telah diterbitkan di Kabar Timur, Sabtu, 09 September 2017)

Ditulis oleh M.M. Pattipeilohy, S.Sos. Peneliti BPNB Maluku