Sejarah Pebatinan Petalangan di Langgam

0
5950

oleh:
Dedi Arman

A. Asal-Usul Orang Petalangan

Orang Petalangan juga sering disebut sebagai orang Talang yang berarti “orang bambu”. Nama ini berasal dari kebiasaan nenek-moyang mereka mengambil air sungai dengan menggunakan buluh talang, sehingga kemudian mereka disebut “Orang Talang”, dan keseluruhan`puaknya disebut “Orang Petalangan”. Walaupun orang Petalangan memakai istilah ini sebagai penunjuk diri secara khusus, mereka juga menganggap diri mereka sebagai orang Melayu, sebagai etnik Melayu asli. Sementara masyarakat Melayu pesisir menyebut mereka sebagai “Orang Darat” karena mereka bermukim jauh di daratan (pedalaman).
Sebagian ahli berpendapat bahwa Orang Petalangan merupakan “sisa-sisa” suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua, yang datang sekitar tahun 2500-1500 SM), sebagian lainnya mengatakan mereka berasal dari suku bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda, yang datang sekitar tahun 300 SM). Namun, dari kisah asal-usul atau tombo (cerita terombo) yang dimiliki oleh suku-suku Petalangan pada umumnya, disebutkan bahwa nenek-moyang mereka datang dari Johor yang disimbolkan sebagai “laut”. Dalam Bujang Tan Domang misalnya, digambarkan bahwa nenek-moyang mereka adalah bangsawan Johor yang dibesarkan oleh keluarga Kerajaan Pelalawan. Menurut kisah ini, pemimpin suku-suku Petalangan dianugerahi gelar monti ajo (menteri raja) oleh kerajaan Pelalawan, sebagai imbalan atas penyerahan tanah-tanah mereka kepada sultan. Orang Petalangan mempersembahkan hasil hutan, pemantun, penari, dan pemusik untuk pesta pernikahan dan perayaan Idul Fitri kepada kerajaan.
Orang Petalangan terbagi dalam suku-suku (matrilineal lineage group), yaitu Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan, dan Pitopang (menurut tombo Petalangan, Suku Penyabungan dan Suku Piliang diyakini berasal dari Minangkabau di Sumatera Barat).

B. Orang Petalangan dalam Kerangka Kerajaan (Siak, Kampar, dan Pelalawan)

Pada masa kerajaan Pelalawan, pebatinan kuang oso tigo puluah menerima pengakuan formal dari pemerintah, dan mendapatkan hak memiliki serta hak menggunakan 29 kawasan teritorial yang berbasis suku, Utan-tana Pebatinan Kuang Oso Tigo Puluo (Hutan-tanah Pebatinan Kurang Satu Tiga Puluh). Masing-masing wilayah diperintah oleh seorang batin (pemimpin adat), dan disebut ‘kawasan budaya’ atau ‘wilayah hutan tanah’. Hutan-tanah itu tersebar di empat wilayah kedatuan kerajaan yaitu:
1. Kedatuan Datuk Laksamana Mangku Diraja, berpusat di Pangkalan Kuras yang berpusat di Sorek Satu.
2. Kedatuan Datuk Engku Raja Lela Putera, berpusat di Langgam.
3. Kedatuan Datuk Kampar Sama Diraja, berpusat di Pangkalan Bunut.
4. Kedatuan Bandar Setia Diraja berpusat di Teluk.
Keempat kedatuan, kecuali Datuk Engku Raja Lela Putera (mantan penguasa Pelalawan-Johor terakhir), adalah orang-orang bangsawan Pelalawan-Siak. Masing-masing mereka adalah kepala dalam setiap wilayah Kedatuan, yaitu kedudukan politik di bawah Raja Pelalawan-Siak. Setiap datuk membawahi beberapa batin yang menjadi penguasa suatu hutan tanah ulayat. Kerajaan tidak berhubungan langsung dengan rakyat Petalangan, melainkan melalui batin-batin yang dibantu oleh ketiapan-ketiapan.

Kedatuan dan Perbatinan di Pelalawan

Kedatuan Batin

1. Datuk Engku Raja Lela Putra (berkedudukan di Desa Langgam, Kecamatan Langgam)

2. Datuk Kampar Samar Diraja
(berkedudukan di Desa Bunut, Kecamatan Pangkalan Bunut)

3. Datuk Laksamana Mangku Diraja
(berkedudukan di Pangkalan Pasir Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras)

4. Datuk Bandar Setia Diraja
(berkedudukan di Desa Serapung, Kecamatan Kuala Kampar)

1. Batin Tambak (Datuk Rajo Bilang Bungsu)
2. Batin Mudo Langkan
3. Batin Mudo Penarikan
4. Batin Sotul
5. Batin Pelabi
6. Batin Badaguh
7. Penghulu Besar Langgam
8. Batin Rantau Baru
9. Batin Kerinci
10. Batin Lalang
11. Antan-Antan

1. Batin Dayun ( Datuk Patih Jambuano)
2. Batin Delik
3. Batin Telayap
4. Penghulu Sungai Buluh
5. Batin Bunut
6. Batin Payung
7. Penghulu Biduando

1. Batin Batang Nilo (Datuk Monti Raja)
2. Batin Muncak Rantau
3. Batin Hitam Sungai Medang
4. Batin Putih Air Hitam
5. Batin Tuo Napu

1. Batin Panduk
2. Batin Air Suluh di Laut
3. TelukMeranti
4. Batin Tanah Air Kerumutan
Sumber: Dt. Rajo Bilang Bungsu

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, Sultan Pelalawan terakhir mengundurkan diri secara formal dan menyatakan kesultanannya berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia. Pebatinan (wilayah berbasis suku) terpecah menjadi unit administratif desa. Batin digantikan oleh kepala desa yang ditunjuk oleh pemerintah.
Menurut tradisi lisan, asal-usul orang Petalangan dari Johor yang datang menggunakan perahu, dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh) atau 29 pebatinan, yang dipimpin oleh batin.
Pelalawan dan orang Petalangan pernah berada di bawah berbagai kekuasaan politik besar, mulai dari kekuasaan kerajaan Pagaruyung (terutama di zaman pemerintahan Adityawaran 1347-1476), kerajaan Melaka (di zaman Sultan Mansyursyah 1456-1477), kerajaan Johor (kelanjutan dari Melaka sejak sekitar 1511), kerajaan Pelalawan-Siak (1789-1946), dan terakhir sekali diserahkan kepada Republik Indonesia pada tahun 1946.
Wilayah yang didiami orang Petalangan berada di bagian selatan Sungai Kampar dari Langgam di barat sampai ke Teluk Meranti di timur. Dalam salah satu cerita rakyat disebutkan bhawa wilayah Petalangan sampai ke Dayun di utara Siak. dikenal dengan sebutan wilayah Pebatinan Kuang Oso Tigo Pulou (Pebatinan 29). Wilayah Petalangan, adalah salah satu ke-Andiko-an dibawah Andiko Nan 44 yang berpusat di Muara Takus dan Mahat, di bawah naungan Pagaruyung.
Nenek moyang Pebatinan Kurang Oso Tigo Puluoh datang dari tiga wilayah dan terdiri dari tiga gelombang. Gelombang pertama datang dari Johor. Ada empat orang, yaitu Nek Ikal Bone Ikal, Nek Saripado Pandak Tangan, Nek Ayo Panjang Gigi dan Nek Demang Serail.Keempat mereka disebut nenek datang dari laut dan datang dari Johor.Gelombang dua terdiri dari Nek Bauk, Nek Mambang Kuning, Nek Kucing Congok Cincilak Padang (Nek Sompu Gaga) dan Nek Biya Basusu Tunggal.Keempat mereka disebut nenek dari darat dan datang dari Gunung Ledang.
Gelombang ketiga terdiri dari Batin Muncak Rantau tinggalnya di Hulu Sungai Sai Nilo, Pateh Jambuano tinggalnya antara Delik dan Dayun dan Rajo Bilang Bungsu tinggalnya dalam Segati Tambak. Mereka bertiga disebut nenek yang bertiga datang dari Gunung Hijau, Pagaruyung Minangkabau.

Silsilah Pemangku Gelar Datuk Rajo Bilang Bungsu, Pucuk Adat di Laras Sungai Kampar terdiri dari: Gahar Dt Rajo, Budul Dt Rajo Hamid, Dt RajoYunus Dt Rajo, A.Azis H.I Dt Rajo, Abdul Wahid Dt Rajo. Di Langgam ada dua suku besar, yaitu Domo dan Melayu. Sementara di Desa Tambak ada tiga suku, yaitu Melayu, Piliang dan Mandailing. Adat matrilineal berlaku di daerah ini.
Pebatinan Kurang Oso Tigo Puluoh terdiri atas:
1. Pebatinan Datuk Rajo Bilang Bungsu
2. Pebatinan Batin Muncak Rantau
3. Pebatinan Patih Jambuano
4. Pebatinan Kerumutan
5. Pebatinan Bunut
6. Pebatinan Panduk
7. Pebatinan Lalang
8. Pebatinan Napoh
9. Pebatinan Gendong
10. Pebatinan Sungai Medang
11. Pebatinan Sengeri
12. Pebatinan Pematan
13. Pebatinan Sialang Kawan (Monti Rajo)
14. Pebatinan Tanah Air
15. Pebatinan Putih
16. Pebatinan Payung
17. Pebatinan Badagu
18. Pebatinan Telayap
19. Pebatinan Penarikan
20. Pebatinan Delik
21. Pebatinan Dayun
22. Pebatinan Sibokol-Bokol
23. Pebatinan Gondai
24. Pebatinan Merbau
25. Pebatinan Geringging
26. Pebatinan Sungai Buloh
27. Pebatinan Kiap
28. Pebatinan Pelabi
29. Pebatinan Langkang Sekilat

Dalam pergaulan hidupnya, masyarakat adat Petalangan menduduki sebuah wilayah yang masing-masing pebatinan memiliki wilayah tersendiri.Wilayah tersebut biasa disebut ulayat. Dalam kebiasaan adat dikenal pengaturan tentang pemanfaatan yang berkaitan dengan lingkungan tersebut.

C. Sejarah Langgam

Langgam sudah ada sejak 400 tahun yang lalu dahulunya Ranah Tanjung Bunga. Perkiraan tersebut menurut sejarah Kerajaan Aceh dimasa sultan Aceh Iskandar Muda Mahkota Alam yang dikenal juga dengan nama Dharma Wangsa berkuasa sekitar tahun 1607 – 1636. Dimasa pemerintahannya pernah melakukan penyerangan ke Kerajaan Gasib dan ke daerah Kampar. Pada masa itu di daerah Kampar berkuasa tiga orang besar yang bernama: 1) Datuk Unggas Bomban berkuasa di Ranah Tanjung Bunga yang sekarang bernama Langgam); 2) Sultan Betampin berkuasa di Tambak – Segati; 3) Cik Jebuh berkuasa di Bunut (sekarang bernama Pangkalan Bunut).
Ada beberapa periode penamaan kampung yang kini bernama Langgam. Ada empat nama sebelumnya, yakni Ranah Macam Pandak, Bukit Bendara Bungsu, Apung Peminggir Laut, Ranah Tanjung Bunga dan terakhir baru bernama Langgam. Soal asal usul nama kampung (toponimi) Langgam ini ada dalam cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Langgam.
Langgam dulunya hamparan lautan yang terbentang luas. Para pedagang dari Minangkabau dan Muaratakus membawa barang dagangan mereka ke Malaka dan Singapura. Begitu pula sebaliknya para pedagang Malaka dan Singapura membawa barang dagangan mereka ke dua daerah itu. Menurut cerita orang tua-tua, konon laut yang dilewati para pedagang itu bernama Laut Embun Jatuh. Saat pedagang itu berlayar, mereka dihadang kabut tebal yang menutupi semua permukaan air laut. Pedagang tak bisa berlayar dan keajaiban datang. Ada gumpulan embun yang menyelimuti seluruh hamparan lautan pelahan-lahan secara ajaib masuk ke dalam air laut. Barulah para pedagang tersebut dapat kembali melanjutkan perjalanan untuki membawa barang dagangannya ke negeri yang dituju. Dari kejadian ini makanya diberi nama Laut Embun Jatuh.
Nama Ranah Tanjung Bunga juga memiliki arti. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya.Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum. Tak hanya berdasarkan kondisi alam, penamaan juga ada cerita rakyatnya. Pada suatu hari, tersebutlah Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya yang tercinta yang bernama Si Omeh Munah dari Koto Candi, yaitu masih keturunan dari daerah Minangkabau ingin berlayarlah ke Malaka untuk sesuatu keperluan yang sangat penting. Setelah berminggu-minggu melakukan perjalanan, tibalah mereka di suatu kawasan yaitu wilayah yang dulunya bernama Laut Embun Jatuh.
Begitu Dondang mereka akan melintas wilayah tersebut, Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya Si Omeh Munah tiba-tiba terkesima bagaikan terkena sihir begitu akan melintas daerah yang dulunya ditutupi embun, kini mereka menyaksikan dari kejauhan suatu pemandangan yang sangat memukau dan menakjubkan. Mereka tidak lagi menyaksikan embun melainkan sebuah pulau yang berada di tengah lautan. Dalam penglihatan mereka, pulau itu tidak ubahnya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar. Tanpa mereka sadari, Dondang (sejenis perahu yang terbuat dari sebatang kayu yang besar) yang membawa mereka berlayar kian mendekat melintasi kawasan pulau itu. Sepasang suami istri yang berada di dalam Dondang makin terpikat akan keindahan panorama alam di sekitar mereka. Akhirnya, istri Sang Datuk mengajak suaminya singgah sebentar untuk beristirahat karena memang mereka telah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, berminggu-minggu lamanya mereka berlayar tanpa melihat tanah tepi .Ajakan istrinya itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan oleh Sang Datuk untuk menyatakan persetujuan.Dengan tidak berpikir panjang Datuk Bandaharo Kayo langsung mengarahkan haluan Dondangnya menuju pulau yang dimaksud.Begitu Dondang sudah merapat, Sang Datuk menambatkan Dondangnya pada sebatang kayu yang ada di tepi tebing pulau.
Sang Datuk menyampaikan keinginannya kepada istrinya.Keinginannya adalah mengajak istrinya untuk menetap di pulau yang baru sehari mereka tempati untuk melepaskan lelah. Rupanya apa yang telah disampaikan Sang Datuk, juga sudah terpikir oleh Si Omeh Munah. Ajakan Sang Datuk langsung disambut baik oleh sang istrinya. Mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Malaka dan mulai saat itu mereka sepakat dan memutuskan untuk menetap di pulau itu sampai akhir hayat hidunya. Konon mereka itulah manusia pertama penghuni daratan baru itu.
Datuk Bandaharo Kayo mulailah menebang kayu untuk membangun sebuah pondok untuk tempat tinggal mereka berdua.Pondok itu harus secepatnya diselesaikan.Karena istrinya pada waktu itu sedang hamil tua, mengandung anak mereka yang pertama.Setelah bangunan pondok selesai, Sang Datuk kelihatan secara diam-diam sedang memikirkan sesuatu. Dan hal itu terbaca pula oleh sang istri, lantas Omeh Munah menanyakan kepada Datuk apa gerangan yang sedang ia pikirkan.
Datuk menjelaskan kepada istrinya bahwa yang sedang ia pikirkan adalah nama yang baik untuk daerah yang sedang mereka huni. Istrinya mengusulkan bahwa pemberian nama daerah yang mereka tempati itu disesuaikan dengan keadaan alamnya. Datuk mengajak Si Omeh Munah pergi ketengah laut untuk melihat pemukiman mereka yang baru itu.Begitu tiba ditengah laut, Datuk Bandaharo Kayo pun menagjak istrinya mengamati keadaan pulau itu kembali dari tengah laut.Setelah puas melihat dengan seksama ke tepi pantai pulau, wajah Datuk Bandaharo Kayo sangat puas dan menggambarkan keceriaan yang tidak pernah ada sebelumnya seperti hari itu. Datuk langsung menawarkan kepada Si Omeh Munah, Bagaimana kalau kita beri nama dengan Ranah Tanjung Bunga.
Datuk Bandaharo pun menjelaskan kepada Si Omeh Munah dengan lancar makna Ranah Tanjung Bunga.Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya.Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum.
Seiring dengan perjalanan waktu, Datuk Bandaharo Kayo beserta istrinya semakin tua juga.Hal itu sangat disadari oleh mereka maka Datuk mengutarakan kepada istrinya bahwa mereka tidak mungkin tetap tinggal di pemukiman yang mereka tempati selama ini.Apalagi pisik mereka sudah mulai melemah, semuanya itu dapat mereka rasakan bahwapisik mereka tidak lagi bisa menahan terpaan angin laut. Akhirnya Sang Datuk beserta anak-anak dan istrinya sepakat untuk pindah ke darat dan jauh dari pantai.
Datuk Bandaharo Kayo beserta keluarganya pun pindah ke daratan yang lebih tinggi.Di situ mereka anak-beranak mulai membuka hutan untuk membuat pemukiman yang baru. Begitu pemukiman itu selesai Sang Datuk memberi nama Pematang Macang Pandak kemudian Pematang Macang Pandak berubah namanya Pematang Cubodak Ampo.Dinamakan Pematang Cubodak Ampo, di pematang itu tumbuh pohon cubodak (pohon nangka), ampo (hampa) tidak memiliki isi. Memang sampai penulis membuat tulisan ini, masih ditemukan pohon nangka yang berbuah tetapi hampa di pematang tersebut.Beliau membangun tempat yang baru itu bagimana layaknya sebuah kampung yang ada di Koto Candi.
Dari tahun ke tahun Ranah Tanjung Bunga penduduknya kian bertambah.Tanahnya semakin bertambah luas pula.Begitu pula halnya dengan Ungge Bomban menjadi pemuda dewasa yang matang.Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perputaran waktu. Ungge Bombanmemutuskan untuk pergi merantau ke Taluk Kuantan.
Ungge Bomban mengutarakan maksudnya itu kepada saudara-saudara wanitanya.Mereka tidak bisa menahan kehendak saudara lelaki mereka satu-satunya.Walupun mereka merasa keberatan akhirnya mereka harus merelakannya.Keesokan harinya Ungge Bomban pun berangkat dengan perbekalan seadanya lalu meninggalkan saudaranya dan tanah kelahirannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, dalam sejarah Langgam ditemukan pula semacam syair yang berbunyi, “ Ranah Tanjung Bunga Serangkai dengan Taluk Kuantan”. Dan kemudian disebut dengan Bakal Mantara artinya Jalan Raya.Bakal Mantara inilah yang disebut tanah serangkai dalam syair di atas.
Seiring dengan perjalanan waktu, Ranah Tanjung Bunga kian berkembang, begitu pula penduduknya terus bertambah.Kegiatan perdagangan terus semakin ramai kerena memang letaknya yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan. Pedagang dari berbagai daerah pun banyak berdatangan ke sana. Suatu kebiasaan, bahwa pedagang telah habis barang dagangannya terjual, mereka beristirahat dan menambatkan jung (perahu berdayung dua) milik mereka di bawah sebatang kayu yang besar. Berbuah lebat yang tumbuh di pinggir laut. Pohon tersebut diberi nama pohon Langgam.
Dinamakan pohon Langgam demikian sejarahnya.Pohon itu mirip dengan pohon embacang, begitu pula bentuk dan ukuran daunnya sangat mirip.Akan tetapi, buahnya menurut penutur mirip dengan mangga golek. Buahnya tidak terlalu manis namun lezat rasanya dan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Pada mulanya, nama pohon tersebut tidak diketahui. Buahnya sangat lebat, apabila sudah masak buahnya mudah jatuh.Setiap pagi dan sore anak-anak bahkan orang tua terutama kaum ibu suka mencarinya.Buah tersebut sangat lembut apabila sudah masak. Jika dipegang, akantertinggal bekas jari-jemari para pemegangnya. Bekas-bekas jari itu dalam bahasa Langgam disebut lenggam.Dalam bahasa Indonesia disebut bekamatau lekam.
Di bawah pohon itulah antara pedagang yang satu dan rekan-rekannya yang lain sering mengadakan perjanjian dagang. Kelaziman tersebut sudah mentradisi dikalangan pedagang-pedagang.Apabila mereka mengadakan suatu perjanjian untuk keperluan atau maksud-maksud tertentu, atau hanya sekedar minta ditunggu untuk bersama-sama pulang, mereka mengatakan tunggu di Langgam. Dari tradisi itulah nama Ranah Tanjung Bunga berubah menjadi Langgam sekarang. Orang banyak lebih mengenal sebutan Langgam dari pada Ranah Tanjung Bunga.
Keterkaitan Ranah Tanjung Bunga sebelum bernama Langgam diyakini masyarakat karena kondisi alam yang di daerah tersebut.Kondisi tanah di Langgam pada umum bergelombang dan dulunya diyakini daerah Langgam dari lautan yang membeku. Rumah-rumah penduduk umum berada di pinggiran sungai.Hingga sekarang rata-rata penduduk Langgam hidup sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melalui Pangkalan Kerinci, jika dibandingkan dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melewati Langgam, lebih dekat melalui Langgam yaitu 95 kilometer. Sampai sekarang dalam susunan msyarakat adat daerah Langgam ada kepala suku yang bergelar Datuk Bandagho (Datuk Bandaharo). Sungai Langgam juga mengalami pasang surut karena Langgam memang tidak jauh dari laut.

Di wilayah Langgam terdapat desa Tambak. Di desa ini tinggal pucuk adat Petalangan yaitu Datuk Rajo Bilang Bungsu. Ada tiga suku yang ada di Tambak, yakni Melayu, Mandailing dan Piliang. Penamaan nama Tambak berasal dari cerita Bujang Selamat yang berlayar dari Johor. Saat di kapal dilihatnya ada pulau yang seperti timbul tenggelam. Saat sampai di darat dan kampung itu memang sering tenggelam karena banjir. Dalam mengatasi kondisi kampung yang sering banjir, diambil inisiatif untuk membendung atau membuat tambak agar air dari sungai dan laut tak membanjiri kampung.
Ada beberapa periode penamaan kampung yang kini bernama Langgam. Ada empat nama sebelumnya, yakni Ranah Macam Pandak, Bukit Bendara Bungsu, Apung Peminggir Laut, Ranah Tanjung Bunga dan terakhir baru bernama Langgam. Soal asal usul nama kampung (toponimi) Langgam ini ada dalam cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Langgam.
Langgam dulunya hamparan lautan yang terbentang luas. Laut yang menjadi tempat berlalu lintas para pedagang dari Minangkabau dan Muaratakus membawa barang dagangan mereka ke Malaka dan Singapura. Begitu pula sebaliknya para pedagang Malaka dan Singapura membawa barang dagangan mereka ke dua daerah itu. Menurut cerita orang tua-tua, konon laut yang dilewati para pedagang itu bernama Laut Embun Jatuh. Saat pedagang itu berlayar, mereka dihadang kabut tebal yang menutupi semua permukaan air laut. Pedagang tak bisa berlayar dan keajaiban datang. Ada kumpulan embun yang menyelimuti seluruh hamparan lautan pelahan-lahan secara ajaib masuk ke dalam air laut. Barulah para pedagang tersebut dapat kembali melanjutkan perjalanan untuki membawa barang dagangannya ke negeri yang dituju. Dari kejadian ini makanya diberi nama Laut Embun Jatuh.
Nama Ranah Tanjung Bunga juga memiliki arti. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya. Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum. Pada suatu hari, tersebutlah Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya yang tercinta yang bernama Si Omeh Munah dari Koto Candi, yaitu masih keturunan dari daerah Minang Kabau ingin berlayarlah ke Malaka untuk sesuatu keperluan yang sangat penting. Setelah berminggu-minggu melakukan perjalanan, tibalah mereka di suatu kawasan yaitu wilayah yang dulunya bernama “Laut Embun Jatuh”.
Begitu Dondang mereka akan melintas wilayah tersebut, Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya Si Omeh Munah tiba-tiba terkesima bagaikan terkena sihir begitu akan melintas daerah yang dulunya ditutupi embun, kini mereka menyaksikan dari kejauhan suatu pemandangan yang sangat memukau dan menakjubkan. Mereka tidak lagi menyaksikan embun melainkan sebuah pulau yang berada di tengah lautan. Dalam penglihatan mereka, pulau itu tidak ubahnya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar. Apalagi si raja siang di pagi yang cerah itu telah menampakkan dirinya dan menebarkan cahayanya yang hangat bersahabat, seakan menyapa dan memberikan sambutan kepada Sang Datuk dan istrinya. Seumur hidupnya, Datuk Badaharo Kayo dan istrinya belum pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya. Datuk Bandaharo Kayo dan Si Omeh Munah berdecak kagum begitu melihat keelokan pulau ciptaan Yang Maha Kuasa di tenga lautan.
Tanpa mereka sadari, Dondang (sejenis perahu yang terbuat dari sebatang kayu yang besar) yang membawa mereka berlayar kian mendekat melintasi kawasan pulau itu. Sepasang suami istri yang berada di dalam Dondang makin terpikat akan keindahan panorama alam di sekitar mereka. Akhirnya, istri Sang Datuk mengajak suaminya singgah sebentar untuk beristirahat. Karena memang mereka telah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, berminggu-minggu lamanya mereka berlayar tanpa melihat tanah tepi. Ajakan istrinya itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan oleh Sang Datuk untuk menyatakan persetujuan. Dengan tidak berpikir panjang Datuk Bandaharo Kayo langsung mengarahkan haluan Dondangnya menuju pulau yang dimaksud. Begitu Dondang sudah merapat, Sang Datuk menambatkan Dondangnya pada sebatang kayu yang ada di tepi tebing pulau.
Begitu Dondang sudah ditambatkan, suami istri itu pun naiklah ke daratan. Mereka sangat bersyukur karena ternyata pulau yang mereka singgahi tidak hanya ditumbuhi oleh pohon-pohon melainkan juga pulau itu banyak terdapat berbagai jenis buah-buahan. Yang ketika itu sedang berbuah lebat dan juga sudah ada yang masak. Mereka asyik mengitari pesisir pantai pulau, tanpa terasa kiranya Sang Datuk dan istrinya telah mengitari pulau itu hamper tiga jam lamanya. Akhirnya Datuk Bandaharo mengajak Si Omeh Munah untuk kembali ke Dondang.
Si Omeh Munah mulai menjerang air dan menanak nasi. Sementara menunggu nasi masak, Sang Datuk asyik menikmati lezatnya buah yang ranum yang dipetiknya dalam perjalanan tadi. Tak lama kemudian Si Omeh Munah lalu menyuguhkan the panas kepada suaminya. Setelah itu Si Oemh Munah lalu mengambil sapu, kemudian ia membersihkan lantai Dondang lalu membentangkan sehelai tikar. Lantas kemudian menghidangkan makan siang.
Begitu nasi dan lauk sudah terhidang, Si Omeh Munah dan suaminya mulai bersantap siang. Mereka pun makan dengan lahapnya karena memang sedari tadi rasa laparnya melilit perut mereka. Begitu selesai makan Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya naik kedarat kemudian kedua insan itu duduk menyandar pada sebatang kayu besar yang telah mereka bersihkan sebelumnya. Mereka sama-sama berdiam diri karena kekenyangan dan juga kelelahan. Akhirnya keduanya diserang rasa kantuk yang teramat sangat dan mereka pun tertidur dengan lelap.
Subuh-subuh kedua suami istri itu sudah bangun mereka shalat subuh berjamaah bersama. Selesai shalat subuh, Si Omeh Munah sudah menyiapkan sarapan pagi. Sambil menikmati sarapan pagi, Sang Datuk menyampaikan keinginannya kepada istrinya. Keinginannya adalah mengajak istrinya untuk menetap di pulau yang baru sehari mereka tampati untuk melepaskan lelah. Rupanya apa yang telah disampaikan Sang Datuk, juga sudah terpikir oleh Si Omeh Munah.
Ajakan Sang Datuk langsung disambut baik oleh sang istrinya. Mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Malaka dan mulai saat itu mereka sepakat dan memutuskan untuk menetap di pulau itu sampai akhir hayat hidunya. Konon mereka itulah manusia pertama penghuni daratan baru itu. Datuk Bandaharo Kayo mulailah menebang kayu untuk membangun sebuah pondok untuk tempat tinggal mereka berdua. Pondok itu harus secepatnya diselesaikan. Karena istrinya pada waktu itu sedang hamil tua, mengandung anak mereka yang pertama. Setelah bangunan pondok selesai, Sang Datuk kelihatan secara diam-diam sedang memikirkan sesuatu. Dan hal itu terbaca pula oleh sang istri, lantas Omeh Munah menanyakan kepada Datuk apa gerangan yang sedang ia pikirkan.
Datuk menjelaskan kepada istrinya bahwa yang sedang ia pikirkan adalah nama yang baik untuk daerah yang sedang mereka huni. Istrinya mengusulkan bahwa pemberian nama daerah yang mereka tempati itu disesuaikan dengan keadaan alamnya. Datuk mengajak Si Omeh Munah pergi ketengah laut untuk melihat pemukiman mereka yang baru itu. Begitu tiba ditengah laut, Datuk Bandaharo Kayo pun menagjak istrinya mengamati keadaan pulau itu kembali dari tengah laut. Setelah puas melihat dengan seksama ke tepi pantai pulau, wajah Datuk Bandaharo Kayo sangat puas dan menggambarkan keceriaan yang tidak pernah ada sebelumnya seperti hari itu. Datuk langsung menawarkan kepada Si Omeh Munah, Bagaimana kalau kita beri nama dengan Ranah Tanjung Bunga.
Datuk Bandaharo pun menjelaskan kepada Si Omeh Munah dengan lancar makna Ranah Tanjung Bunga. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya. Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum.
Seiring dengan perjalanan waktu, Datuk Bandaharo Kayo beserta istrinya semakin tua juga. Hal itu sangat disadari oleh mereka maka Datuk mengutarakan kepada istrinya bahwa mereka tidak mungkin tetap tinggal di pemukiman yang mereka tempati selama ini. Apalagi pisik mereka sudah mulai melemah, semuanya itu dapat mereka rasakan bahwapisik mereka tidak lagi bisa menahan terpaan angin laut. Akhirnya Sang Datuk beserta anak-anak dan istrinya sepakat untuk pindah ke darat dan jauh dari pantai.
Datuk Bandaharo Kayo beserta keluarganya pun pindah ke daratan yang lebih tinggi. Di situ mereka anak-beranak mulai membuka hutan untuk membuat pemukiman yang baru. Begitu pemukiman itu selesai Sang Datuk memberi nama Pematang Macang Pandak kemudian Pematang Macang Pandak berubah namanya Pematang Cubodak Ampo. Dinamakan Pematang Cubodak Ampo, di pematang itu tumbuh pohon cubodak (pohon nangka), ampo (hampa) tidak memiliki isi. Memang sampai penulis membuat tulisan ini, masih ditemukan pohon nangka yang berbuah tetapi hampa di pematang tersebut. Beliau membangun tempat yang baru itu bagimana layaknya sebuah kampung yang ada di Koto Candi.
Dari tahun ke tahun Ranah Tanjung Bunga penduduknya kian bertambah. Tanahnya semakin bertambah luas pula. Begitu pula halnya dengan Ungge Bomban menjadi pemuda dewasa yang matang. Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perputaran waktu. Ungge Bomban memutuskan untuk pergi merantau ke Taluk Kuantan.
Ungge Bomban mengutarakan maksudnya itu kepada saudara-saudara wanitanya. Mereka tidak bisa menahan kehendak saudara lelaki mereka satu-satunya. Walupun mereka merasa keberatan akhirnya mereka harus merelakannya. Keesokan harinya Ungge Bomban pun berangkat dengan perbekalan seadanya lalu meninggalkan saudaranya dan tanah kelahirannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, dalam sejarah Langgam ditemukan pula semacam syair yang berbunyi, “ Ranah Tanjung Bunga Serangkai dengan Taluk Kuantan”. Dan kemudian disebut dengan Bakal Mantara artinya Jalan Raya. Bakal Mantara inilah yang disebut tanah serangkai dalam syair di atas.
Seiring dengan perjalanan waktu, Ranah Tanjung Bunga kian berkembang, begitu pula penduduknya terus bertambah. Kegiatan perdagangan terus semakin ramai kerena memang letaknya yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan. Pedagang dari berbagai daerah pun banyak berdatangan ke sana. Suatu kebiasaan, bahwa pedagang telah habis barang dagangannya terjual, mereka beristirahat dan menambatkan jung (perahu berdayung dua) milik mereka di bawah sebatang kayu yang besar. Berbuah lebat yang tumbuh di pinggir laut. Pohon tersebut diberi nama pohon Langgam.
Dinamakan pohon Langgam demikian sejarahnya. Pohon itu mirip dengan pohon embacang, begitu pula bentuk dan ukuran daunnya sangat mirip. Akan tetapi, buahnya menurut penutur mirip dengan mangga golek. Buahnya tidak terlalu manis namun lezat rasanya dan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Pada mulanya, nama pohon tersebut tidak diketahui. Buahnya sangat lebat, apabila sudah masak buahnya mudah jatuh. Setiap pagi dan sore anak-anak bahkan orang tua terutama kaum ibu suka mencarinya. Buah tersebut sangat lembut apabila sudah masak. Jika dipegang, akan tertinggal bekas jari-jemari para pemegangnya. Bekas-bekas jari itu dalam bahasa Langgam disebut lenggam. Dalam bahasa Indonesia disebut bekamatau lekam.
Di bawah pohon itulah antara pedagang yang satu dan rekan-rekannya yang lain sering mengadakan perjanjian dagang. Kelaziman tersebut sudah mentradisi dikalangan pedagang-pedagang. Apabila mereka mengadakan suatu perjanjian untuk keperluan atau maksud-maksud tertentu, atau hanya sekedar minta ditunggu untuk bersama-sama pulang, mereka mengatakan tunggu di Langgam. Dari tradisi itulah nama Ranah Tanjung Bunga berubah menjadi Langgam sekarang. Orang banyak lebih mengenal sebutan Langgam dari pada Ranah Tanjung Bunga.
Keterkaitan Ranah Tanjung Bunga sebelum bernama Langgam diyakini masyarakat karena kondisi alam yang di daerah tersebut. Kondisi tanah di Langgam pada umum bergelombang dan dulunya diyakini daerah Langgam dari lautan yang membeku. Rumah-rumah penduduk umum berada di pinggiran sungai. Hingga sekarang rata-rata penduduk Langgam hidup sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melalui Pangkalan Kerinci, jika dibandingkan dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melewati Langgam, lebih dekat melalui Langgam yaitu 95 km. Sampai sekarang dalam susunan masyarakat adat daerah Langgam ada kepala suku yang bergelar Datuk Bandagho (Datuk Bandaharo). Sungai Langgam juga mengalami pasang surut karena Langgam memang tidak jauh dari laut.
Batas-batas wilayah Datuk Rajo Bilang Bungsu di Kecamatan Langgam, yaitu:
Sebelah timur berbatasan dengan tanah Raja Banda Ruhum
Sebelah selatan berbatasan dengan tanah Datuk Maharaja Besar
Sebelah utara berbatasan dengan tanah Batin Muncak Rantau
Sebelah barat berbatasan dengan tanah Datuk Besar Gunung Sahilan

Di Langgam terdapat tiga suku, yakni Melayu, Domo Pangkalan dan Domo Sebuang Parit. Sementara di Desa Tambak ada Suku Melayu, Mandailing dan Piliang. Abdul Wahid Datuk Rajo Bilang Bungsu selaku pucuk adat Kecamatan Langgam memiliki catatan keturunan Datuk Rajo Bilang Bungsu. Ada lima nama yang Datuk Rajo Bilang Bungsu sebelum dirinya yang masih diingatnya. Ada nama Gahar, Budul, Hamid, Yunus, A Aziz H.I. Usai A Azis jabatan Datuk Rajo Bilang Bungsu baru dijabatnya. Nama-nama yang pernah menjabat Panglima Besar Langgam ada Sembilan, yaitu H Abdusamad, Adun, Duasun, Ampi, Jamaat, Uyub K, Momad, Hamri dan Bakhtiar.
(Dedi Arman, Staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri).