Bayangan Dara Petak dan Dara Jingga dalam Ekspedisi Sungai Batanghari

0
477
Naskah Incung pada tanduk kerbau jantan (Foto: Ali Surakhman)

Buruk li jelipung li buruk puar jelipung tumbuh, hilang lenyap padam berita, entah kemana Perpatih pergi, maka berdirilah raja yang delapan, hendak tahu jalan teliti memudik Raja Membujur, sejak dimana saya berbilang, sejak Siulak melentuk hilir, sejak Temiai yang bersiku mudik

Keratan prosa di atas adalah isi dari naskah incung, yang ditulis di atas tanduk kerbau jantan berpusa putih, pusaka itu dipegang oleh salah satu klan atau kalbu di daerah Kerinci, secara keseluruhan ia menceritakan sepasang putri Dara Petak dan Dara Jingga, dan kisah perjalanan Sang Hyang Indarjati, sampai pada kisah Sri Hyang Jayanaga, sang raja sungai, saat prosa itu diceritakan turun temurun, ia tak ubah menjadi tambo, kisah, legenda, namun saat ia ditulis  di atas benda pusaka yang disimpan ratusan tahun, maka ia menjadi bukti, data sejarah, yang merupakan kunci kunci dalam mengungkap kisah masa silam.

Sebuah peradaban tak begitu saja muncul, tentu ia ada awal bagaimana ia lahir, berkembang, jaya  hingga tenggelam, kehidupan kita pada saat ini tak lepas dari proses panjang mata rantai dari masa lalu, di masa di mana “sungai adalah jalan raya, lautan gelanggangnya”, dan saat itu sungai merupakan urat nadi peradaban antara hulu dan hilir.

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan Ekspedisi Sungai Batanghari yang merupakan bagian rangkaian kegiatan Kenduri Swarnabhumi. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya bersama untuk memajukan kebudayaan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keterhubunganan antara sungai dan peradaban, serta menjaga ekosistem sungai di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari.

“Melalui Kenduri Swarnabhumi, Kemendikbudristek bersama masyarakat dan pemerintah daerah berupaya untuk menggerakkan kesadaran harmoni sungai dan peradaban yang semakin penting untuk dirawat dengan kearifan berbasis budaya,” tutur Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Ahmad Mahendra, Selasa (12/7).

Kegiatan Ekspedisi Sungai Batanghari berlangsung pada 11 – 22 Juli 2022. Peserta dilepas oleh Ahmad Mahendra bersama Sutan Riska Tuanku Kerajaan, S.E (Bupati Dharmasraya) di titik awal Ekspedisi Sungai Batanghari pada Selasa (12/7), tepatnya di Jembatan Sungai Dareh, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat.

Ekspedisi yang mengaliri sungai Batanghari dari hulu ke hilir kita harapkan bisa memberi penguatan memori, pengetahuan dari masyarakat, dan bertanya mengapa sungai Batanghari?, dari itu secara tak langsung kita berharap masyarakat terdorong untuk mencari tahu jawabanya, walau itu tak menapik proses prosesnya, setidaknya pemerintah telah membangun tapaknya. Kita berharap dengan kegiatan ini bisa mendapatkan output, dan refleksi pada pemajuan kebudayaan.

Aliran Batanghari adalah saksi bisu kisah perjalanan peradaban, kisah dua kakak beradik Dara Petak Dara Jingga, hingga ia menjadi sebuah “Wangsa”, seperti yang ditulis leluhur di atas tanduk tanduk kerbau hingga kisah “Wangsa” di atas gading tunggal, sampai bagaimana saat ini sebuah naskah ditemukan hingga ia menjadi naskah Melayu tertua di dunia yang dititip petaruhkan di dusun kecil Tanjung Tanah, dari Seleman Tanah Undang Kerinci.

Mengungkap rahasia sejarah butuh simpul-simpul, kunci-kunci, kunci yang digunakan salah maka pintu itu tak akan terbuka, dan hanya bisa direka-reka dari luar, maka mesti dengan kunci yang pas dan tepat, dan kunci itu kadangkala “jelek, berkarat, lusuh, penuh debu dan daki” tapi siapa yang bisa menebak tuah sebuah kunci? Semoga Alam Semesta Raya selalu memberkahi kita semua, selalu direstui ruh-ruh leluhur sehingga “Kita dan kebudayaan bisa berdaulat di negerinya sendiri”.

M. Ali Surakhman (Penggiat Budaya Kota Jambi)