Perang Sosoh Pedekik Diangkat Jadi Kisah Film

0
3018
Proses shooting Perang Sosoh di Desa Pedekik, Bengkalis. (foto:detakindonesia.co.id)

Sebuah desa bernama Pedekik di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau pernah menjadi saksi biksu pertempuran secara langsung (Perang Sosoh) antara Pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) dibantu masyarakat melawan pasukan Belanda. Perang Sosoh terjadi 9 Januari 1949 yang mengakibatkan banyak korban jatuh dikedua belah pihak.

Perang Sosok yang begitu heroik di Pedekik ini diangkat jadi kisah film yang dibuat oleh pemuda Pedekik. Pembuatan film disutradarai seniman yang berasal dari Bengkalis yaitu Musrial Mustafa. Para pemuda setempat juga sangat bersemangat dalam menjalani peran mereka didalam pembuatan film perang sosoh ini. Selain itu juga para tokoh masyarakat beserta instansi pemerintah setempat sangat mendukung dalam proses pembuatan film ini.

Meski dalam pembuatan film perang sosoh ini masih jauh dari kesempurnaan, masyarakat setempat berharap dengan pembuatan film perang sosoh ini bisa menjadi evaluasi bagi kami kedepannya, dimana sumber-sumber lain serta beberapa nama yang hilang bisa kita temukan kembali, sehingga dalam pembuatan film perang sosoh yang akan datang menjadi film perang sosoh yang utuh.

Musrial Mustafa menjelaskan, skenario dalam pembuatan sebuah film apalagi film sejarah sangat perlu data-data yang lengkap yang bersumber dari para tokoh pejuang ataupun keluarga pejuang. Catatan-catatan tentang perang sosoh ini sangat susah kita dapati, sehingga saya dalam menulis skenario film ini terhenti-henti sejenak, untuk memikirkan benang merah dari sejarah perang sosoh di Desa Pedekik ini. “Harapannya melalui film ini, generasi muda Desa Pedekik dan Bengkalis umumnya mengetahui daerahnya pernah menjadi saksi sejarah. Adanya pertempuran yang dahsyat melawan Belanda,”kata Musrial.

Mengenal Perang Sosoh

Dalam sebuah pertempuran yang sengit, pada 30 Desember 1948 Kota Bengkalis jatuh ke tangan pasukan Belanda. Setelah kabar tentang jatuhnya Kota Bengkalis ini sampai ke Selatbaru termasuk berita upaya TRI untuk merebut Bengkalis kembali setelah berundur dan berkubu di Pedekik, pasukan Fisabilillah yang terdiri dari masyarakat Selatbaru dan sekitarnya segera bersiap diri untuk membantu TRI.

Pasukan Sabilillah dibentuk atas inisiatif Ali Dasuki, penghulu Selatbaru saat itu. Untuk melatih pasukan tersebut didatangkan seorang pelatih silat dari Batu Pahat (Malaysia) yang bernama Sudarman atau dikenal dengan panggilan Kalifah Darman. Ketika mendapat kabar bahwa Bengkalis telah di serang Belanda dan pasukan TRI berundur ke Pedekik, Penghulu Ali Dasuki memerintahkan pasukan Sabilillah untuk segera ke Pedekik guna membantu pasukan TRI yang berlindung di sana.

Dengan pakaian serba hitam dan memakai ikat kepala dari setagen merah, pada hari Jumat tanggal 7 Januari 1949 setelah sholat Jumat, pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh Sudarman bergerak menuju ke Pedekik melalui Bantan Tua. Pasukan Sabilillah singgah di Mesjid Dusun Pasiran (saat ini Mesjid Hubbuttaqwa, Desa Pasiran), Desa Bantan Tua untuk menunaikan sholat Ashar. Ketika di Bantan Tua, kekuatan pasukan rakyat ini bertambah dengan bergabungnya beberapa orang masyarakat penduduk Bantan Tua yang dipimpin oleh Kyai Saleh atau lebih dikenal dengan panggilan Imam Bulqin. Perjalanan dilanjutkan melewati Taman Sari melalui hutan rimba dengan berjalan kaki hingga ke Wonosari Timur. Setelah mendapat kabar bahwa pasukan telah berundur dan membuat kubu di Pedekik, rombongan segera menyusul untuk bergabung di Pedekik.

Pasukan Sabilillah melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke Pedekik dan berkubu di Mesjid Pedekik (Mesjid Sabilillah saat ini) bergabung bersama masyarakat Pedekik yang terlebih dahulu menyusun kekuatan bersama dengan pasukan TRI dibawah pimpinan Letnan Dua Masnur dan Letnan Dua Soebrantas. Di Mesjid Fisabilillah ini dirancang rencana untuk merebut Kota Bengkalis dari tangan pasukan Belanda.

Pada awalnya pasukan TRI dan Sabilillah dibagi tiga dengan pasukan Letnan Dua Masnur di kanan jalan dan pasukan Letnan Dua Soebrantas di kiri jalan, sedangkan pasukan Sabilillah berada di belakang kedua pasukan TRI tersebut. Namun rencana ini ditolak oleh Kalifah Darman karena ia menginginkan pasukan Sabilillah yang berada di depan untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya usulan ini dapat diterima dan segera persiapan penyerangan dilakukan dengan pasukan Sabilillah di depan dan diikuti oleh pasukan TRI di kiri dan kanan jalan.

Pada 9 Januari 1949, setelah sholat Maghrib terjadi tembak menembak antara petugas jaga TRI dengan patroli Belanda di simpang Pedekik-Kelapapati. Gugur satu orang prajurit TRI. Mendapat laporan tentang peristiwa ini, segera diambil keputusan untuk menyerang patroli Belanda ini dan memulai penyerangan ke Kota Bengkalis. Namun belum jauh bergerak pasukan TRI bersama pasukan Sabilillah bertembung dengan patroli Belanda di sebuah kebun ubi milik masyarakat Pedekik. Pertempuran tak terelakan. Terjadi tembak menembak dan karena posisi kedua pasukan sangat dekat, pertempuran jarak dekat terjadi. Saling serang dan darahpun tertumpah. Pasukan Belanda dengan bayonet terhunus, pasukan TRI bersama rakyat dengan parang ditangan bertempur hebat dalam pekat malam.

Mendapat perlawanan sengit dari pasukan TRI bersama pasukan Sabilillah, pasukan Belanda mundur kembali ke Kota Bengkalis. Setelah pasukan Belanda mundur, ditemukan 3 mayat tentara Belanda yang tergeletak di lokasi pertempuran. Dari pihak TRI dan pasukan rakyat gugur 7 orang yakni: Sudarman, Diran, Sogimin, Mesran, Muniran dari pasukan Sabilillah dan 2 (dua) orang lainnya dari TRI. Mereka dikebumikan di Pedekik dan kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan di Jalan Pahlawan yang selanjutnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kesuma Ksatria di Jalan Pramuka.

Adapun nama-nama anggota pasukan Sabilillah dari Selatbaru tersebut adalah: Adam, Amat Danom, Buang, Bugimin, Jamaludin, Dukut, Entel, Geping, Zaini, Zunaidi, M. Ihsan, Murtado, Nawawi, Syafei, Kaderi, Kadimun, Lajim, Mulyo, Marjo, Ngiso, Ngali, Paimin, Paijan (1), Paijan (2), Rahmad, Ridwan, Romsah, Samin, Saderi, Seran, Seni Kateng, Saman, Tukijan, Talib, Wagimin, Mesran, Muniran, Diran, Sudarman, dan Sogimin.

Setelah peristiwa Pedekik, pasukan Sabilillah kembali ke Selatbaru. Sebagian menggunakan kereta balak. Kereta balak ini melalui rel yang membentang dari pelabuhan kilang kayu milik Goh Soei Tjaw (sebelah Pasar Terubuk saat ini) di Kelapapati hingga ke pedalaman Wonosari sampai ke Bantan Tua.

Mengetahui bahwa pasukan TRI dan Sabilillah berundur ke Selatbaru, pasukan Belanda mengejar dan mengintimidasi masyarakat agar menunjukkan tempat persembunyian TRI dan pasukan Sabilillah tersebut. Untuk memudahkan pengejaran, Belanda mendirikan pos militer di Desa Bantan Tua, tepatnya di Simpang Mama saat ini. Melihat situasi yang tidak aman, TRI bersama pasukan Sabilillah kemudian mengungsi ke Bantan Air hingga Kelemantan. Dari Kelemantan pasukan TRI berundur ke Pulau Sumatera melalui Tanjung Layang.**