Oleh :
Anastasia Wiwik Swastiwi
Pendahuluan
Kepulauan Riau memiliki peran yang unik didalam sejarah Indonesia, juga dalam sejarah dunia Melayu secara keseluruhan. Hingga sekarang ini, masyarakat pendukung kebudayaan Melayu terus melestarikan sejarah dan kebudayaannya dengan berbagai cara. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat juga membawa nilai-nilai baru yang sebagian berdampak negatif bagi kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperkuat pertahanan diri dari nilai-nilai yang bertentangan dan tidak cocok dengan keperluan masyarakat di kawasan ini. Salah satunya adalah dengan memperkokoh kebudayaan Melayu itu sendiri dan mendorongnya agar menjadi sumber rujukan bagi kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Alternatif untuk dapat dijadikan sumber rujukan masyarakat Melayu Kepulauan Riau adalah pemahaman dan kebanggaan seorang tokoh yang pada perkembangannya nanti dapat dijadikan sebagai tokoh pahlawan di daerahnya.
Seorang tokoh masyarakat yang kemudiannya dianggap sebagai pahlawan menjadi penting, karena sebagai sebuah komunitas yang sedang bertumbuh memerlukan mitos-mitos integrative. Dengan mitos intregative itu sangat mungkin memberikan sebuah harapan baru tentang masa depan yang gemilang. Mengutip Ben Anderson bahwa komunitas yang terbayang (imagine community) sangat penting dalam membangun sebuah komunitas. Bagaimana kita bisa merasa menjadi bagian dari yang lain, maka mitos-mitos integrative inilah yang diperlukan. Mitos-mitos integrative itu bisa berbentuk kepahlawanan, ataupun kebudayaan yang menjadi pengikat dari komunitas yang bersangkutan. Seperti yang diungkapkan oleh Homi K Bhabha, bahwa kesatuan dibangun melalui narasi bangsa, di mana cerita, citra, simbol dan ritual merepresentasikan makna bersama (Bhabha, 1990).
Tokoh yang dapat dijadikan panutan sebuah komunitas yang sedang bertumbuh seperti Kepulauan Riau adalah Sultan Mahmud Syah III (1761-1812). Sultan Mahmud Syah III telah membangun Lingga dan selama 25 tahun beliau telah dapat membenahi ibukota itu serta melengkapi segala fasilitasnya. Dalam situasi sulit dan selalu mendapat tekanan Belanda, beliau telah berhasil meletakkan landasan untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya. Begitu besarnya peran Sultan Mahmud Syah III itu terhadap sejarah dan perkembangan Lingga. Dengan demikian, tokoh dan peran Sultan Mahmud Syah III dapat lebih ditemukenali baik dalam tulisan ini maupun dalam pemaparan tentang Sultan Mahmud Syah III lain dalam peranannya pada aspek kehidupan lainnya.
Sultan Mahmud Syah III
Sultan Mahmud Syah III adalah adik dari Sultan Ahmad Riayat Syah. Ketika diangkat menjadi sultan tahun 1761, beliau masih berusia di bawah 9 tahun. Oleh karena itu, roda pemerintahan dengan sendirinya dikendalikan Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja. Kemudian pada tahun 1777 Daeng Kamboja digantikan oleh Raja Haji (Swastiwi, 2002 : 183-196).
Pelantikan Raja Mahmud menjadi Sultan Mahmud Syah III, digambarkan dalam Tuhfat Al Nafis dalam suasana yang sangat meriah. Karena masih terlalu kecil (9 tahun) beliau digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor Riau Pahang oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu). Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui beliau sebagai Raja Johor Riau Lingga yang harus disegani. Berikut kutipannya.
Seketika lagi maka Yang Dipertuan Muda (pun) naiklah ke istana lalu didukungnya Raja Mahmud, dibawanya turun (ke balai) lalu diribanya di atas singgahsana. (syahadan pada satu kaul orang tua-tua adalah yang menjulangnya itu satu anak baik daripada keturunan Bugis yang empat puluh, yang bernama To Kubu adanya). Setelah anak raja-raja Bugis melihat hal yang demikian itu, maka ia pun (masing-masing) memegang hulu kerisnya. Maka Yang Dipertuan Muda pun bertitah(lah), ‘Barang tahu” kiranya suku-suku (sebelah) Melayu, dan sebelah Bugis, bahawa sesungguhnya inilah Raja Johor, dengan segala takluk daerah2 yang diangkat oleh Bugis (sebagaimana mengangkat nendanya Marhum Batangan, dan ia pun demikian jua). Maka barang siapa (yang) tiada membetuli aturan ini, maka pada hari/inilah/ (dan waktu) inilah (kita) berhabis-habis.” Maka lalu(lah) ia mengunus halamangnya.
Syahadan setelah Datuk Bendahara (serta anak raja-raja suku-suku Melayu) melihat hal yang demikian itu, maka terbaliklah mukanya (semuanya itu, dan segala anak raja-raja Bugis memegang hulu kerisnya). Maka Datuk Bendahara pun fikir, “Jika tiada dibetulkan tentu(lah) rosak negeri (Riau) ini, tiada (apa) faedahnya. Maka ia pun bersabda katanya, “Jikalau sudah patut (ke) pada abang semua (sebelah Bugis), Raja Mahmud ini menjadi raja Johor (dengan segala takluk daerahnya maka semua pun sertalah, (kerana semuanya pun anak cucu marhum juga, semuanya patut saya semua sembah).” Maka jawab Yang Dipertuan Muda, “Jikalau sudah begitu (Orang Kaya), al hamdu Lihatlah sama-sama betul mufakat (antara kita kedua pihak,” Maka lalu disarungkannya halamangnya). Maka lalu diajak (oleh Yang Dipertuan Muda) antara kedua pihak/itu/bersama-sama menjunjung duli. Maka menjunjung dulilah kedua pihak (Melayu dan Bugis itu). Kemudian baharulah bersetia pula (sepereti setia Marhum yang Mangkat di Sungai Baru. Maka setelah selesai/lah daripada itu maka/titah baginda Yang Dipertuan Muda, “Bacalah fatiha.” Maka dibacalah oleh imam akan fatitah dan doa. Maka habislah pekerjaan itu maka kembalilah antara kedua pihak Bugis dan Melayu itu, demikianlah kisahnya konon, daripada beberapa mutawatir khabar orang yang tua-tua (yang) semasanya intiha.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 321)
Selama masa pemerintahannya, sikap Sultan Mahmud Syah III terhadap Belanda sangat tegas yaitu menolak segala bentuk paksaan dan hubungan yang tidak sederajat seperti yang tercermin dalam penolakan berlakunya perjanjian di Front Filipina (di Linggi) pada tanggal 1 Januari 1758. Perjanjian semula sebagai tanda persahabatan antara Kesultanan Riau-Lingga dengan Belanda untuk menggerogoti kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga. Melalui perjanjian itu, Belanda berusaha memperoleh hak monopoli perdagangan timah yang merupakan komoditi ekspor terpenting kerajaan. Perjanjian di Linggi inilah yang dalam perkembangannya mengakibatkan perang antara Kesultanan Riau-Lingga dengan Belanda yang lebih terkenal dengan sebutan Perang Riau (1782-1784).
Dalam taktik perlawanan menghadapi Belanda, Sultan Mahmud Syah III menggunakan dua prinsip. Pertama, menyerang terlebih dahulu. Menurutnya, hal ini adalah cara terbaik untuk pertahanan. Kedua, untuk mempertahankan diri pertempuran harus dipindahkan ke wilayah musuh.Selain konsep politiknya yang jelas menghadapi Belanda. Pada masa ini armada maritime Kesultanan Riau-Lingga sangat lengkap. Di dalam armada maritime tersebut terdapat pasukan tetap yang terorganisir. Di dalam pasukan tetap tersebut terdapat jabatan-jabatan seperti Penggawa, Panglima Perang, Panglima Dalam dan anggota pasukan. Namun demikian selain terdapat pasukan tetap terdapat pula pasukan cadangan yang terdiri dari pasukan sukarela. Mereka mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda.
Pasukan tetap dan pasukan cadangan dilengkapi oleh seperangkat sarana berupa kapal-kapal tradisional yang bernama gurab, lancang, penjajab dan bidar. Mereka juga dipersenjatai dengan meriam, istinggar, celarentta, pemburas, senapang dan lain-lain. Akan tetapi kehidupan politik seperti tersebut di atas tidak berlangsung lama. Oleh karena Perang Riau yang berakhir dengan kekalahan Kesultanan Riau-Lingga dan wafatnya Raja Haji membawa akibat perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik Kesultanan Riau-Lingga.
Setelah kekalahan angkatan perang Kesultan Johor Riau Pahang pada tahun 1784, Kesultanan Johor Riau Pahang mengikat perjanjian dengan Kompeni Belanda pada tanggal 1 November 1784. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa segala peralatan perang diserahkan kepada pihak Kompeni Belanda. Semua kubu pertahanan milik Kesultanan Johor Riau Pahang dijaga oleh Kompeni Belanda. Perjanjian Sultan Mahmud Kesultanan Johor Pahang Riau, 1 November 1784 adalah sebagai berikut.
Adapun jang sudah dibaiki daripada Tuan Komdan Djakap Peter fan Braam jang memegang perintah angkatan peperangan kuasa daripada Estaten Djendral dari negri Welanda dengan Kompeni kepada Radja Paduka Sri Sultan Mahmud jang semajam diatas tahta keradjaan Djohor dan Pahang didalam Riau serta segala daerah ta’luqnya daripada sudah dipukul ‘alat peperangan dari itu maka orang Bugis2 pun sudah ditinggalkan segala harta bendanja lari membawaq dirinja tiada ketahuan lari2 perginja sebab daripada itu maka radja pun sudah serahkan negri Riau itu maka adalah Riau itu untungan Welanda kepada empat belas hari bulan Dzulhidjdja tarich sanat 1198 jang kita sudah dapat keuntungan daripada orang Bugis sudah lepaskan negri dengan segala bendahnja kepada enam belas hari bulan jang sekali2 tiada boleh dapat melawan lagi daripada kebetulan peperangan jang tiada patut dengan Welanda djalan jang sudah dikerdjakanja dan terbukalah dan tertinggallah sudah negri itu pun binasa dengan perang daripada itu Tuan Komdan pun tiada sekali2 berniat jang djahat kepada barang siapa ra’jat dengan kasihan dan sajang kepada radja Melaju dengan segala ra’jatnya sebab itulah maka tiada maka tiada dirusaqkan daripada itu sudah sekarang menjadi satu dari isi perkara fasal jang tersebut.
1
Fasal jang pertama maka adalah Komdan suruh orangnja mendjaga dan mengawali kuliling kubu dalam Riau atau dibikin atau dirusaqkannja mana jang baiknjah itu hendakqlah diturutkan bagi dia orang punja kesukahan
2
Fasal jang kedua adapun segala meriam dan peluru dan obat bedil dan sendjata halatan perang jang ada atau diluar atau dalam kubu itu semuanja pulang kepada Tuan Komdan jang boleh bagi dengan dia punja suka
3
Fasal jang ketiga daripada segala harta benda dan barang2 jang sudah ketinggalan daripada orang Bugis jang sudah lari itu barang siapa jang mendapat harta itu dan tiada boleh disembunjikan dan dichilafkan serah hendaq dibawaq dan serahkan kepada Tuan Komdan karananja barang-barang itu sudah untung daripada peperangan dan dimanah2pun jang ada tempat didalam negri Riau.
4
Fasal jang keempat daripada itu segala orang Melaju jang ketinggalan didalam negri Riau itu jang dia orang punja harta benda rumah tanghga dan barang2 sekalian itu boleh tinggal dan jang tiada boleh dapat kerusakan semalalamanya dan dia orang pun djangan sekali2 sembunjikan daripada barang2 Bugis itu dan lagi djika kita dapat ketahui dan tahu orang sembunjikan harta itu nanti dihukumkan dengan dia
5
Fasal jang kelima daripada itu nanti dibagikan radja jang boleh dapat dia punja hormat dan perintah dengan keradjaan dengan kesenangan kekal isti’adat selama2nja dan tinggal rumah tanggahnja serta harta bendahmja itu.
6
Fasal jang keenam daripada orang Tjina jang mau sudah tolong sama musuh kita sebab dari itulah dia pun sudah djadi kita punja musuh maka sekarang pun nanti mendjadi satu djuga didalam itu fasal boleh tinggal segala rumah tanggahnja serta dengan harta bendahnja djika habis dia orang semuanja beri terima kasih kepada Tuan Komdan dengan begitu banjaqnja berangkat dua puluh ribu”
7
Fasal jang ketudjuh adapun itu perangan dengan Kompeni dari jang tiada berpatutan jang Radja Hadji dengan segala Bugis itu sudah mendatangkan musuh dengan Kompeni daripada itu sampailah hukum sepenuh2nja diatasnja oleh angkara dan chianatan itu maka Kompeni pun sudah buat dalam alat perangan kembali kepadanja dari itu boleh pikir Kompeni pun banjaq sudah belandja jang besar sebab perangan itu nama daripada radja maka dari itu bendja semuanja djatuh sepenuh2nja diatas radja didalam itupun lebih kurang satu bagian dari itu dia orang pun boleh pikir sebab itu belandja bagaimana ada patut meski bajar daripada radja dengan menteri dan segala orang besar2 pun boleh bitjara kepada Komdan bagaimana ada jang patut boleh dapat ketentuan akan suatu perdjandjian.
8
Fasal jang kedelapan daripada radja dengan segala pegawai dengan mentri bagaimana ada jang patut boleh perdjanjian kepada Komdan dan lagi daripada itu segala orang jang tiada lari tertinggal didalam rumah tanggahnja karana tiada diterbakar dengan harta bendahnja pun tiada dirampas maka patut segala mereka itu bajar bagai ‘adat peperangan kita tiada disebut nanti Komdan boleh bitjara dengan radja dan serupa ini dibuat tiga putju’ ada dalamnja bahasa Wilanda dan bahasa Melaju dalam jang tiga putju’ ini seputju’ dikirimkan ke Betawai dan seputjju’ di tinggalkan dalam Malaka dan seputju’ diberikan kepada Radja Djohor dan Pahang termaktub surat ketentuan ini didalam kapal perang namanya Utrek kepada dua hari bulan Nopember tahun sanat 1784 jang berlabuh dilabuan Riau”.
(ARNAS, 1970 : 4)
Sultan Mahmud Syah III kemudian juga mengikat kontrak dengan Kompeni Belanda pada tanggal 10 November 1784. Secara umum, perjanjian antara Sultan Mahmud Syah III dengan Kompeni Belanda adalah terkait dengan perdagangan di wilayah Kesultanan Johor Riau Pahang.
Peranannya Dalam Bidang Ekonomi
Sementara itu, penataan dalam bidang ekonomi yang telah dilakukan sejak tahun 1722 mencapai kemajuan yang pesat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III dengan Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Pada masa ini, Kesultanan Johor Riau Pahang merupakan sebuah kerajaan merdeka yang dapat bersikap terbuka pada perdagangan dunia karena sandaran ekonominya terletak pada sektor perdagangan. Pelabuhan kesultanan ini sangat terbuka untuk segala bangsa bahkan menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan transito antara Timur dan Barat karena letaknya yang strategis di jalur dagang Selat Malaka. Bandar-bandarnya menerima tiap-tiap pedagang yang datang dari mana saja. Oleh karena itu pada masa ini Kesultanan Johor Riau Pahang tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Sejak tahun 1722, komoditi perdagangan di Kesultanan Johor Riau Pahang berupa rempah-rempah, barang pecah belah, gambir , beras, gula, garam, dammar, kemenyan, pinang, rotan, dan lain-lain. Kemajuan dalam bidang ekonomi pada masa ini ditulis dalam kitab Tuhfat Al-Nafis yang digambarkan sebagai berikut:
“bertambah-tambah ramainya negeri Riau serta makmurnya, dan orangpun banyaklah yang kaya-kaya dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis dan beberapa pula kapal dan kici dan wangkang-wangkang berpuluh-puluh buah berlabuh di dalam negeri dan pulang pergi berniaga di Riau”
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 24)
“Shahadan kata sahibu’l-hikayat pada masa inilah negeri Riau itu ramai serta ma’amornya, dan segala dagang pun banyaklah dating dari negeri Jawa, dan kapal dari Benggala membawa apium dan lain-lain dagangan, dan segala perahu dagang di kuala Riau pun penohlah daripada kapal, dan kici dan selob, dan santi, dan wangkang, dan tob Siam. Dan apalagi di dalam sungai Riau; segala perahu-perahu rantau berchucok ikatlah bersambong dan berpendarat, demikianlah halnya (…) Maka tatkala itu banyaklah orang-orang negeri kaya-kaya, kelengkapan perang banyak yang sedia. Maka hal inilah dibahasakan oleh orang tua-tua; ‘baik (keadaan di Riau pada masa itu).
Kemudian pada masa Yang Dipertuan Muda Daing Kambuja, rosak pula sebentar, kemudian baik pula semula hingga Yang Dipertuan Muda Raja Haji, makin ramailah. Ada-lah masa Raja Haji itu Yang Dipertuan Muda bertambah-tambah pula ramainya kira-kira tujoh tahun, masok kedelapannya. Shahadan apabila mengkatlah Yang Dipertuan Muda Raja Haji itu Riau pun rosaklah. Demikianlah halnya lagi akan dating kesahnya di dalam siaran ini, adanya”.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 97)
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III, perekonomian yang sudah tertata semakin membaik. Digambarkan dalam Tuhfat Al Nafis, banyak saudagar kaya yang tinggal di Riau. Pada umumnya mereka adalah saudagar Cina dan Bugis. Saudagar Cina membawa barang dagangan berupa mangkuk, piring dan pinggan . Sedangkan Saudagar Cina membawa barang dagangan berupa kain. Selain saudagar, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III juga banyak berdatangan Syed dari Arab, yang berdampak tempat-tempat seperti masjid dan surau sering didatangi oleh para saudagar Cina, Bugis dan para Syed.
Sultan Mahmud Syah III bahkan berhasil membangun kawasan perairan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional. Sebagai konsekuensinya, Kesultanan Riau-Lingga menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting dan menentukan di Asia Tenggara pada masa itu. Selain kejayaan dalam bidang perdagangan, pemasukan khas kerajaan diperoleh dari pertama, hasil cukai pemasukan dan pengeluaran barang-barang untuk ekspor dan impor. Kedua, cukai penimbunan barang-barang dan bahan-bahan di pelabuhan. Akan tetapi penarikan cukai tersebut tidak memberatkan rakyat dan menindas rakyat. Selanjutnya, dana-dana tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan gedung seperti balai pertemuan, surau-surau sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan Islam, armada perdagangan dan sebagainya. Selain itu, ibukota kerajaan yang terdapat di Pulau Biram Dewa dengan istananya yang dikenal sebagai Istana Kota Piring dapat diperindah dengan hiasan porselin dari Cina dan dihiasi akar bahar yang dicampur dengan tembaga. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menggambarkan pernyataan tersebut.
Syahadan kata sahib al-hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji (menjadi Yang Dipertuan Muda) itu, mangkin ramai (dan bertambah ramainya negeri) Riau, serta (dengan ) makmurnya serta (dengan) orang-orang (yang didalam) Riau (itu banyaklah yang) kaya-kaya, (sperti Syed Husain Aidid adalah ia diam di Sungai Timun cukup dengan gedungnya serta dengan perahu-perahu tiang sambungnya pulang pergi ke tanah Jawa berniaga, dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis dan beberapa pula kapal dan keci dan wangkang kepala-kepala merah dan kepala hijau, berpuluh-pulh buah//demikian lagi kapal dan keci demikian juga banyaknya//yang berlabuh di dalam negeri Riau ((dan pulang pergi berniaga di dalam negeri Riau itu)) apalagi perahu-perahu Bugis dan (perahu-perahu_ Jawa dan tob Siam berates-ratuslah yang berlabuh di dalam negeri Riau itu, istimewalah perahu-perahu rantau ((jangan dikataa lagi)) bercucuk ikanlah daripada kuala hingga sampai ke Kampung Cina. Syahadan (maka) baginda Yang Dipertuan Besar serta Yang Dipertuan Muda (serta raja-raja Bugis dan Melayu) pun banyaklah mendapat hasil-hasil dan cukai-cukai (dan antara-antaranya Cina Wangkang itu dan tob Siam seperti segala mangkuk pinggan dan piring yang halus-halus dan yang kasar-kasar beberapa gedung. Apalagi seperti kain perbuatan Cina seperti dewangga dan kimka dan belakang parang dan sitin beratus-ratus gulung dapatnya di dalam setahun angin. Dan segala tuan-tuan syed pun banyaklah datang dari tanah Arab apalagi lebai Jawa hingga penuh tempatlah di rumah wakaf dan masijd dan segenap surau orang besar-besar dan orang kaya-kaya itu. Apalagi malam Jumaat berkumpullah ke dalam semuanya maulud nabi.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 386)
Perekonomian Kesultanan Riau Johor Pahang yang mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud III, diimbangi dengan kehidupan berkesenian seperti joget dan wayang. Bahkan Yang Dipertuan Muda pun digambarkan menaiki perahu bersama dengan rombongan kumpulan joget berlayar dari Pulau Bayan, Terkulai dan Senggarang.
Maka selesai daripada maulud member sedekah, ada yang kena jekketun, ada yang dapat ringgit, ada yang dapat rupiah. Dan lainnya daripada Jumaat itu beberapa pula permainan yang bermain seperti joget dan wayang. Dan beberapa pula penjajab perang yang sudah sedia di pelabuhan serta cukup (dengan) ubat pelurunya serta (dengan ) panglima-panglimanya (dua) tuga puluh turun (dua) tiga puluh naik ke darat. (Adapun segala meriamnya pun digantunglah apabila datang sesuatu hajat baginya maka didekatkannya sahajalah penjajab-penjajab itu. Maka diturunkannya meriamnya, Dan Yang Dipertuan Muda pun selalulah bermain-main dan berkayuh-kayuh serta bergonggong dan biduan bersama-sama, iaitu ke Pulau Bayan ((dan)) ke Terkulai dan bersiran ke Senggarang dan lainnya adanya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 386)
Kesultanan Johor Riau Pahang digambarkan sebagai sebuah negeri yang aman dan makmur. Sandang pangan sangat murah. Pedagang pun selalu untung bila berniaga di Riau. Gambir sebagai komoditi utama masa itu, digambarkan dapat dibeli dengan harga murah di Riau yang kemudian dapat dijual lagi ke Jawa dengan harga berlipat ganda. Berikut kuiptan dalam Tuhfat Al Nafis.
((syahadan)) demikianlah di dalam beberapa tahun bersuka-sukaan ((kerana)) negeri (pun) aman lagi makmur, makan-makanan pun murah dan segala orang-orang berniaga pun banyak untung (seperti gambir dibeli dua jekketun didalam Riau dijual ((ditanah Jawa berganda-ganda untungnya sampai dijual)) delapan jekketun sepikul, terkadang sampai sepuluh jekketun. Dan beras Jawa dapat tiga rupiah Benggal sepikul. Dan apalagi makanan yang lainnya seperti gula batu dan gula pasir dan bawang dan lainnya daripada makan makanan sebab itulah menjadi makmur negeri.
Demikian lagi sutera berharga lima suku sekati dan embalau harga tiga rial sepikul dan kain sutera tenun Siantan harga lapan ringgit sehelai, dan seluar harga lima rial sehelai, demikian yang tersebut kaul siarah Haji Podi. Dan beras Siam sepuluh ringgit sekoyan. Syahadan tersebut didalam tawarikh Tok Ngah adalah banyaknya orang didalam sungai negeri Riau iaitu Sembilan laksa. Kata setengah kaul lima laksa orang Melayu yang kecil besarnya jantan betina, dan luar rakyat di laut-laut ((dan)) empat laksan Bugis jati, serta peranakan kecil besar jantan betina lapan ribu ribu Bugis di Sungai Timun, dan dua ribu di Pulau Biram Dewa dan Pangkalan Rama dan di Sungai Baru dan lain-lainnya tempat dan enam ratus anak raja-raja delapan puluh orang kaya-kaya dan saudagar-saudagar Bugis dan tuan-tuan dan lain Cina-Cina dan Keling-Keling. Syahadan adalah jenis-jenis makan-makanan semuanya murah di dalam negeri Riau melainkan jenis-jenis daripada kain cita-cita Eropah dan skhlat dan kain putih dan kain antelas dan sapu tangan batik dan kain batik iaitu khabar orang terlalu mahalnya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 387)
Kehidupan masyarakat Kesultanan Johor Riau Pahang yang aman dan makmur mulai terganggu saat kedatangan Kompeni Belanda yang berlabuh di Pulau Bayan. Berikut Kutipan dalam Tuhfat Al Nafis.
Syahadan (kata sahib al-hokayat) adalah permulaan sebab kegeruhan negeri Riau itu** (dan sebab kerosakannya), maka iaitu atas dua kaul. Sebermula adalah kaul yang pertama yang aku dapat didalam syejarah (dan siarah pihak Siak dan) Selangor sebab yang zahirnya (serta) aku periksa (khabar-khabar yang menceterakan oleh orang tua-tua yang semasanya dan yang mengiringi akan dia). Iaitu adalah Yang Dipertuan Muda Raja Haji ada perjanjian konon dengan kompeni Holanda, musuh (kompeni) Holanda musuh Raja Hajji. Adapaun jika ada pekerjaan tangkap-menangkap rampas-merampas musuh-nya itu ada bahagian/nya/
Di dalam itu (antara keduanya jika Raja Haji pun pekerjaan konon). Kemudian datanglah satu kapal musuh Holanda itu masuk ke dalam Riau berlabuh di Pulau Bayan.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 399)
Setelah kedatangan Kompeni Belanda, banyak saudagar Cina terutama yang mengalami kerugian. Demikian juga dengan perdagangan beras dari Jawa dan Bali terpaksa dihentikan karena engalami kerugian. Bahkan tidak hanya beras, tetapi juga komoditas perdagangan gambir, agar-agar dan gamat.terhenti. Negeri yang dulu aman dan makmur, setelah kedatangan Kompeni Belanda mengalami kemerosotan ekonomi. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.
Demikianlah lagi di dalam negeri Riau selama-lama Kompeni Holanda membuka pekerjaan perang dengan Raja Riau, maka beberapa kerugian daripada keuntungan orang-orang yang berniaga, dan saudagar-saudagar di dalam negeri Siam dan Cina dan Koci sebab kerana segala mereka itu membawa ((dagangan)) ke sebelah ((tanah)) Johor juga yang kebanyakan. Dan demikian lagi beras dari Jawa dan Bali semuanya dibawa ke pihak Riau dan Johor juga berpalu sama dagangan gambir dan lainnya, demikian lagi wangkang-wangkang Cina berpalu dagangannya dengan dagangan orang kulit hitam seperti tiang wangkang dan agar-agar dan gamat lainnya daripada dagangan wangkang. Apakala sudah Kompeni Holanda mebuat perang itu semuanya itu terhentilah pekerjaan beberapa kerugian atas orang yang mencari kehidupan. Apalagi orang yang berlayar-layar sepanjang laut didalam kesusahan ketakutan di dalam berterik beruntun dengan kapal perang dan penjajab terkadang hilang dengan nyawa. Maka adalah pekerjaan yang tersebut itu nyatalah hendak merosakkan dunia yang Allah Taala suruh hidupku dunia ini dengan jalan yang adil dan makmurnya. Syahadan demikian dakwa segala mereka itu konon kepada gubernur Melaka.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 428)
Melihat situasi negeri yang memburuk, Sultan Mahmud Syah III mengambil keputusan memindahkan ibukota Kesultanan Johor Riau Pahang ke Lingga. Keputusan itu sudah dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Raja Indera Bongsu dan Datuk Bendahara. Perpindahan Sultan Mahmud Syah III ke Lingga didampingi oleh Raja Indra Bongsu. Sedangkan Bendahara mengungsi ke Pahang, Sebagian penduduk lainnya ke Trengganu. Sedangkan penduduk yang menetap di Riau adalah orang-orang Cina yang berkebun gambir dan lada. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.
Kemudian maka musyawarahlah baginda dengan Raja Indera Bongsu dan Datuk Bendahara sekalian (maka) ((titah baginda)) “Tiada(lah) terhemat (duduk) di dalam negeri Riau sebab Holanda-Holanda itu tentu datang semula ia melanggar Riau ((padahal didalam negeri) kekuatannya sudah tiada lagi. Jikalau begitu baik kita pindah ke Lingga. Maka sembah segala orang besar(besarnya), “Mana-mana titah sahaja(lah) (adanya). Syahadan baginda pun (bersiaplah beberapa kelengkapan) berangkat (berlayar) ke Lingga bersama(sama) Raja Indra Bongsu serta segala orang Melayu/peranakan Bugis kira-kira lebih dua ratus buah perahu (yang di dalam Riau itu besar kecil yang) mengiringkan baginda (berangkat) pindah ke Lingga itu. Syahadan adapun suku-suku (Melayu/pihak Datuk) Bendahara (itu) berlayarlah (ia) ke Pahang kira-kira tengah dua ratus perahu-perahu (besatr kecil dan setengah suku-suku ke Trengganu.
Maka berpecahlah segala anak-anak raja dan orang baik-baik dan orang/kaya-kaya dan orang/kebanyakan membawa dirinya amsing-masing haluannya, dan tiadalah (yang tinggal) lagi di dalam (negeri) Riau melainkan Cina-Cina yang didalam hutan sahaja yang tinggal yang mengambil kuli(kuli) kepada orang-orang Melayu dan kepada (orang-orang) Bugis yang berkebun-kebun gambir dan lada hitam.
Adapun Cina-Cina menjadi kuli-kulinya itu demikialah mula-mulanya sebab kerana itul;ah banyak Cina-Cina yang tinggal tiada pindah kesana ke mari. Syahdan rosaklah negeri Riau.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 432)
Pada awal perpindahan Sultan Mahmud Syah III ke Lingga, suasana negeri tidak menentu. Penduduk Kesultanan Johor Riau Pahang sudah bertebaran ke Trenggantu, Pahang dan Kelantan. Mata pencaharian mereka pun tak menentu. Bahkan ada yang menjadi perampok untuk menyambung hidup. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut
Alkisah maka tersebut(lah) perkataan ((Baginda)) Sultan Mahmud. Apabila baginda (itu) sudah tetap di dalam negri/Lingga maka tiap-tiap hari di dalam kesusahan juga, kerana segala anak raja Melayu dan Bugis sudah bertaburan ke sana ke mari. (Ada yang ke Trengganu, ada yang ke Pahang, ada yang ke Kelantan, ada yang berbuat tempat di Selat Bulang) mencari rezweinya pun tiada berketentuan, melainkan kebanyakan merompak jugalah yang/betul yang/boleh lekas mendapat rezeki. Maka di dalam hal itu (maka) baginda pun (hendak) berangkat ke Trengganu (akan) hendak minta/tolong/bicarakan kepada Yang Dipertuan Trangganu memperbaikkan negeri Johor dan Riau yang sudah dirosakkan oleh Kompeni Holanda (itu) pada zahirnya. Dan pada batinnya semuanya fitnah itu daripada Yang Dipertuan Terengganu juga datangnya seperti (yang telah) tersebut pada perang Linggi dan perang Riau.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 434)
Sultan Mahmud Syah III, kembali berusaha memperbaiki perekonomian yang mengalami kemerosotan tajam dengan membangun Lingga menjadi sebuah kota lengkap dengan istana dan kota paritnya. Lucas Partanda Koestoro (t.t) menyebutkan bahwa tinggalan yang terdapat di Daik mengindikasikan adanya pembagian lokasi pemukiman seperti istana, pejabat istana, masyarakat biasa dan asing. Istana ditempatkan terpisah dari perkampungan masyarakat lainnya, istana terletak di Damnah yang lokasinya di sebelah barat kota kerajaan, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Kampung para pedagang atau pendatang lainnya umumnya terletak di tepi Sungai Daik yang berada di sebelah timur kota kerajaan, karena sungai berperan sebagai sarana transportasi pedagang yang membawa barang-barang dagangan. Pemukiman bagi pejabat maupun masyarakat biasa tersebar di antara kedua tempat tersebut. Pemukiman para pejabat terletak di tempat sesuai dengan profesi masing-masing, seperti misalnya rumah bagi pejabat pabean yang berada di Pabean sekarang ataupun rumah keturunan Abdul Rahman yang berpangkat Letnan di kerajaan terletak di Kampung Cina, berdekatan dengan pintu keluar masuk kerajaan. Letnan Abdul Rahman tersebut kemungkinan adalah komandan pasukan penjaga di kerajaan yang mengawasi pintu masuk ke kerajaan Lingga melalui Sungai Daik. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang memperkuat pernyataan tersebut.
Syahadan kata sahib al hikayat adalah pekerjaan rompak merompak itu mana-mana (wangkang) dagang yang hendak masuk ke neegri Lingga tiadalah dirompaknya (konon). Syahadan duduklah baginda di dalam negeri Lingga membuat istana di hulu serta (dengan) kota paritnya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 448)
Di tengah keterpurukan ekonomi, Sultan Mahmud Syah III berusaha membangun kembali jaringan perdagangan yang sudah terbentuk. Salah satunya perdagangan beras dari Jawa. Sedangkan perkebunan gambir tetap dijalankan oleh orang-orang Cina. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.
Syahadan (kata sahib al-hikayat) apabila kompeni Holanda mendengar khabar/orang-orangCina itu (telah difikirkannya), maka tiadalah diusirnya segala orang Melayu (yang lari-lari) itu, dan Piter Jakub pun baliklah ke Melaka ditinggalkannya satu fetus serta satu kapal (perang serta beberapa jaga-jaga) bersama-sama. ((Maka)) diperbuatnyalah loji di Tanjungpinang itu (itu) dan Cina-Cina itu pun disuruhnyalah mengerjakan, kebun-kebun gambir (orang) Melayu yang tinggal(tinggal) itu dan perahu-perahu Jawa pun disuruhnyalah datang berniaga membawa beras ke dalam Riau berpalu-palu dengan gambir-gambir). Akan tetapi berapa-berapa kesusahan atas segala orang yang berniaga karena perompak sepergti anak hayam umpamanya/daripada kebanyakan. Maka tiada berhenti Kompeni Holanda payar memayar keruhlah lautan itu. Syahadan adapun Kompeni Inggris juga membawakan, ubat bedil dan meriam dan senapang berjual beli didalam negeri Melayu berpalu dengan dagangan negeri(negeri) Melayu, demikianlah halnya sehari-hari ((adanya)).
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 434)
Selain komoditas beras dan gambir seperti tersebut di atas, perdagangan timah, apiun, ubat bedil, peluru dan meriam senapang kembali mewarnai perekonomian Kesultanan Johor Riau Pahang. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.
Adalah kata riwayat orang tua-tua ada konon satu orang putih kapitan kapal sahabat Yang Dipertuan Muda itu, memang/memang/pada masa di Linggi Yang Dipertuan Muda berniaga-niaga timah-timah dengan dia, jadi bersahabatlah tolong-menolong dengan Yang Dipertuan Muda itu pada pekerjaan berniaga-niaga itu. Maka apabila Yang Dipertuan Muda sudah pulang ke Riau semula, maka datanglah ia mendapatkan Yang Dipertuan itu ke Riau padahal kapalnya itu ada membawa apiun beribu-ribu peti. Maka tatkala ia berlayar ke China, maka ditinggalkankannya setengah kepadaYang Dipertuan Muda minta jualkan di dalam Riau. Nanti apabila ia balik dari negeri China, jika habis laku diambil wangnya, dan adalah pula keuntungan Yang Dipertuan Muda di dalam itu. Syahadan maka apiun itulah diserahkan oleh Yang Dipetuan Muda kepada segala perahu-perahu Bugis dan perahu-perahu dagang mana-mana orang yang sahabat handai Yang Dipertuan Muda itu. Maka habislah apiun itu konon, maka cukuplah akan pembayar hutang marhum
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 316)
Untuk memperbaiki perekonomian Kesultanan Johor Riau Pahang, Sultan Mahmud Syah III membuka penambangan timah di Singkep. Selain dikerjakan oleh orang Melayu dan Bugis, Sultan Mahmud Syah III juga mendatangkan orang-orang dari Bangka untuk penambangan timah tersebut. Dengan demikian perekonomian berhasil dibangun kembali. Bahkan masyarakat Kesultanan Johor Riau Pahang kembali ramai dan didatangi penduduk dari berbagai nusantara. Berikut kutipan dalam Tuhfat Al Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.
Alkisah maka tersebut(lah) perkataan Baginda Sultan Mahmud didalam negeri Pahang. Maka apabila dinantikan bicara Yang Dipertuan Terengganu perbaikan-perbaikan dia dengan Kompeni Holanda, (maka) tiada juga juga datang suruhnya atau khabar(nya), maka Bagida (Sultan Mahmud) pun berangkatlah balik ke negeri Lingga. Maka apabila sampai ke (negeri) Lingga tetaplah ia didalam Lingga serta orang-orang Melayu dan peranakan Bugis sehari-hari jua memikirkan pencarian (segala) orang-orangnya (sama ada sebelah suku-suku Melayu atau sebelah Bugis). Maka dengan takdir Allah Taala maka terbuka ((tanah)) Singkep, maka Baginda (Sultan Mahmud) pun menyuruhlah orang-orang Melayu dan peranakan Bugis mengerjakan timah-timah di situ serta (diaturkannya) masing-masing (dan masing-masing) bahagian (dan) datanglah kapal-kapal Inggris ke situ meninggalkan beberapa wang cengkeramnya timah pulang pergi. Maka dapatlah sedikit-sedikit rezeki dan kehidupan orang-orangnya. Dan perahu-perahu dari (negeri) timur (timur) pun datang (juga) membawa beras ke Lingga (dan beras-beras dari dari rantau-rantau pun datang juga), dan wangkang-wangkang (dari) China pun datang juga. Maka di dalam hal itu perompak-perompak pun banyak juga karena baginda (Sultan Mahmud) belum (tetap lagi) berdamai dengan kompeni Holanda, dan kompeni Inggris pun selalu juga membawakan ubat bedil dan peluru dan meriam senapang/dan/berpalu dengan (dagangan) timah-timah dan lainnya. Maka besarlah perompak/pada/seketika itu. Adalah kepalanya/perompakitu/Panglima Raman namanya, hingga merompak ia ke tanah Bangka (hingga) lalu(lah) ke Jawa. Maka banyaklah orang Bangka dan (orang) Jawa ditawannya dibawanya ke Lingga dijadikannya isi negeri Lingga. Lama-lama sukalah orang-orang Bangka itu diam di Lingga membuat kebun dan dusun tiadalah ia mau balik ke Bangka lagi. Terkadang datang sanak-sanak saudaranya dari Bangka dengan suka hatinya (tiadalah dengan rompak) memperhambakan dirinya di bawah perintah baginda Sultan Mahmud. (Maka) jadilah ramai (didalam) negeri Lingga.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 447)
Timah di Pulau Singkep yang berhasil dirintis oleh Sultan Mahmud Syah III ini dalam perkembangannya dikenal sebagai salah satu tambang timah terbesar di Indonesia selain Bangka di Bangka-Belitung. Di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep. Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut. Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Penambangan timah pada masa Sultan Mahmud Syah III itu, dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) yang kebijakan kerajaan adalah memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat . Selain menggalakkan sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga menggalakkan penambangan bijih timah di Pulau Singkep (Daud Kadir, 2008 : 188).
Tahun 1803 Sultan Mahmud menikah dengan Raja Hamidah (Engku Puteri) anak Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau IV). Dalam perkawinannya dengan Engku Putri ini Sultan Mahmud memberi mas kawin Pulau Penyengat Indera Mulia (nama aslinya Pulau Penyengat Indrasakti). Tahun 1812 Sultan Mahmud meninggal dunia, tepatnya pada 12 Januari 1812 di Daik karena beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Sultan Lingga di Daik Lingga.
Penutup
Peranan yang luar biasa dari Sultan Mahmud Syah III dalam berbagai aspek kehidupan terutama aspek ekonomi dalam tulisan ini seperti yang telah diuraikan di atas, sangat memungkinkan untuk mengangkat Sultan Mahmud Syah III sebagai pahlawan nasional, seperti yang telah disandang oleh Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Disamping jasanya yang luar biasa dalam pembangunan Kota Daik pada saat Lingga dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan.
Seiring dengan berakhirnya Kesultanan Riau Lingga pada tahun 1913, sepanjang perjalanan sejarah Kesultanan Riau Lingga, Sultan Mahmud Syah III telah menjadi perintis bagi kemajuan ekonomi diantaranya :
1. Membangun Lingga sebagai sebuah kota yang lengkap dengan infrastukturnya.
2. Membuka penambangan timah di Pulau Singkep yang dalam perkembangannya dikenal sebagai salah satu tambang timah terbesar di Indonesia selain Bangka di Bangka-Belitung. Di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
3. Melanjutkan perkebunan gambir di Lingga yang sebelumnya sempat merosot di Riau.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa dalam situasi sulit dan selalu mendapat tekanan Belanda, Sultan Mahmud Syah III telah berhasil meletakkan landasan untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia Wiwik Swastiwi.“Kerajaan Johor Riau-Lingga Pada Masa Pemerintahan Sultan
Mahmud Syah III” dalam Naskah Kuno : Sumber Ilmu Yang Terabaikan (Telaah Terhadap Beberapa Naskah Kuno). Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2002
Anastasia Wiwik Swastiwi dalam “Pulau Singkep : Masa Penambangan Timah”
dalam Upacara Daur Hidup Di Bangka. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2009
Anastasia Wiwik Swastiwi. “Sejarah Pulau Benan Kecamatan Senayang Kabupaten Lingga” dalam Kesenian Tradisional Melayu Jambi. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2010
Anastasia Wiwik Swastiwi. Kota Rebah : Pusat Pemerintahan Kerajaan Johor Riau Lingga
1673-1777. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.2007
Anastasia Wiwik Swastiwi. Jaringan Perdagangan di Sungai Carang Pulau Bintan 1777-
1787.Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.2004
Anastasia Wiwik Swastiwi. Istana Kota Pring (1777-1787) : Aset Sejarah Yang Terlupakan.
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2002
Anastasia Wiwik Swastiwi. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I : Peranannya Pada
Kesultanan Johor Riau Pahang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2012
Astrid S. Susanto. 1979. Pengaruh Pariwisata Terhadap Kebudayaan. Makalah dalam Seminar Pembinaan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata. Yogyakarta. 5-9 Maret 1979.
A.W. Widjaya, Peranan Motivasi Dalam Kepemimpinan, CV. Akademika Pressindo,
Jakarta, 1986.
Ahmad Yusuf dkk. Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu
Lingga-Riau.Pemerintah Daerah Propinsi Riau. Pekanbaru.1993
A. Samad Ahmad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran Malaysia.1985Buletin Cagar Budaya. edisi pertama Vol. I I No 2 September 1999
Andaya, B.W. “Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in Historical Context”, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, vol. 153, hal.: 483-508, 1997.
———.Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj. Shamsuddin Jaafar. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1987
Buletin Arkeologi Amoghapasa. BP3 Batusangkar.2004
Buletin Arkeologi Amoghapasa. BP3 Batusangkar.2005.
Buhari Zainun, Manajemen dan Motivasi, Balai Aksara, Jakarta, 1981.
Buhari Zainun, Faktor Manusia dalam Manajemen (Human Relation Approach),
SLIA, Jakarta, 1984
Depdikbud. Sejarah Daerah Riau, Pekanbaru : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Cetakan ke-2 1986.
Daud Kadir, H. M. Sejarah Kebesaran Kesultanan Lingga-Riau. Pemerintah
Kabupaten Lingga. 2008-11-14.
D, Samsuridjal dan Kaelany HD. 1997. Peluang Di Bidang Pariwisata. Jakarta. Mutiara Sumber Widya.
Esram, M. Juramadi. 2006. Analisis Pasar Pariwisata Kota Tanjungpinang. Semarang. Undip.
Evrizal, Wan. 2004. Partisipasi masyarakat dalam Pemeliharaan Prasarana Pasca Pelaksanaan Program P2D Di Kecamatan bantam kabupaten Bengkalis. Semarang. Program Studi magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Fitra Arda, dkk. Panduan Benda Cagar Budaya dan Situs Kota Tanjungpinang, 2007.
Helen Haris P, Motivasi dan Pemecahan Masalah, Rineka Cipta, Jakarta, 1989.
Hamzah Yunus, Peninggalan-peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat. Yayasan
Kebudayaan Indera Sakti. UNRI Press, 2003
Jusman dan Carolina, Dinamika Kelompok Dalam Organisasi, BSSW Cop, Bandung,
1993.
Koentjaraningrat. 1978. Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta.
Gramedia.
——————– 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat
smayadi dan Endar Sugiatro. 2000. Metodologi Penelitian D. Jakarta. Gramedia.
Ku alam Bidang Kepariwisataan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lucas Partanda Koestoro. Dapur Gambir Di Kebun Lama Cina, Jejak Kegiatan
Perekonomian Masa Lalu Sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga.
Balai Arkeologi Medan. Tt
Margono Slamet, Kelompok Organisasi dan Kepemimpinan, Fak. Pascasarjana IPB,
Bogor, 1989.
Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung. Penerbit Alfabeta.
Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia.
Marsis Sutopo, dkk. Studi Master Plan Kawasan Kepurbakalaan Daik
Lingga, Laporan , BP3 Batusangkar, 2006.
Masri Singarimbun, Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989.
Mubyarto Cokrowinoto, Aspek-aspek Motivasi dalam Manajemen Organisasi, Bina
Aksara, Jakarta, 1983.
M. Amin Yacob, Sejarah Kerajaan Lingga, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Lingga. UNRI Press. 2004.
Moch. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Muhammad Yusoff Hashim. Hikayat Siak. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian
Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1992
Pemerintahan Provinsi Riau. Dari Kesultanan Melayu Johor Riau ke Kesultanan
Melayu Lingga Riau. Pekanbaru, 1993.
Pemerintahan Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang Land of Malay History.
Tanjungpinang, 2006.
Purnamawati, Ati. 2001. Minat Wisatawan Terhadap Obyek dan Daya Tarik Wisata Kota Di Kota Bandung. (Tesis). Semarang. Undip.
Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, Inventarisasi dan Identifikasi Benteng-
benteng di Indonesia. Makalah, PDA Indonesia, Bengkulu 2008.
Rachman Natawidjaya, Skala-skala Pengukuran Penelitian Sosial, STKS, Bandung,
1987.
Repelita Wahyu Oetomo, Benteng Tanah di Pulau Lingga, Balar Medan.
Rousseau,JJ. Du Contract Social (Perjanjian Sosial). Visimedia. 2007
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed). 1987. Metode Penelitian Survey. Jakarta. LP3ES.
Sinulingga, Budi P. 1999. Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta.
Slamet. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Peran Serta. Surakarta. Sebelas Maret University Press.
Soekadijo, R.G. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta. Gramedia.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Spillane, J. 1996. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta. Kanisius.
———— 1998. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.
Sugiantoro, Ronny. 2000. Pariwisata Antara Obsesi dan Realita. Yogyakarta. Adicita Karya Nusa.
Sukowinarto. Visi dan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Kursus Tertulis Pariwisata Tingkat Dasar Modul II. Jakarta. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Menbudpar. 2002.
Sindu Galba dkk. Sejarah Kerajaan Riau-Lingga. Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 2001
Sindu Galba dkk. Asal-Usul Nama Tempat Bersejarah Di Bintan, Daik Lingga dan Singkep. Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 2001
Sindu Galba dkk. Pelabuhan Riau : Hubungan dan Peranannya Dengan Daerah Hinterland
1700-1973. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2001
Tumini dan Hendra Fazri. Survei Pendataan Benda Cagar Budaya dari Situs di
Kota Tanjungpinang, Laporan BP3 Batusangkar, 2006.
Virginia Matheson Hooker. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1991.
Waluyo, Harry. 1994/1995. Strategi Adaptasi Masyarakat Terhadap Program Pengembangan Pariwisata. (Studi Kasus Di Daerah Riau Kepulauan Propinsi Riau). Jakarta. Depdikbud.
Wibisana, Gunawan. 1989. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Peremajaan Pasar.Bandung. Program Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Widyaninduto, Sigit. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Malang, Semarang. Universitas Diponegoro.
Yulianti, Meytia. 2005. Partisipasi Masyarakat Dalam Memelihara Benda Cagar Budaya Di Pulau Penyengat. Semarang. Undip
www.budpar.go.id
www.bps.go.id
www.kepriprov.go.id
www.lingga.dapodik.org
www.linggakab.site40.net
www.Pariwisatalingga.com