PULAU GALANG DARI MASA KE MASA

0
8329

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

Oleh : Anastasia Wiwik Swastiwi
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang

Pendahuluan
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat sekitar, Galang memiliki arti yang bermakna landasan. Pulau tersebut dikenal sebagai sebuah pulau yang memiliki potensi kayu seraya. Kayu seraya diyakini sebagai bahan dasar untuk membuat perahu atau kapal yang memiliki kualitas baik. Dari pulau inilah kemudian terlahir sebuah “lancang” (bahtera raja) yang diyakini masyarakat setempat sebagai kapal milik Sultan Malaka. Dari kisah terciptanya kapal tersebut lahirlah toponimi Galang. Seperti yang dituturkan oleh Bp. Salim (60 tahun) berikut ini :
Pulau Galang adalah pulau kecil yang letaknya persis di depan Tanjung Pengapit. Pada abad ke 16 diperintahkan Sultan Malaka untuk membuat lancang. Lancang adalah bahtera raja. Sampailah pasukan ke sebuah pulau yang kemudian menjadi Pulau Galang. Di pulau tersebut banyak pohon seraya, yang memang bagus untuk membuat kapal. Saat membuat kapal, datang seorang penduduk setempat yang bernama “Canang” . Namun para pembuat kapal tersebut mengusir “Canang”, agar jangan mengganggu. “Canang” kemudian bersumpah “lancang tersebut tidak akan turun ke laut”, namun pasukan raja melaka tidak peduli. Ternyata lancang tersebut benar-benar tidak bisa turun ke laut. Agar dapat turun ke laut, perlu landasan 7 orang wanita yang sedang hamil anak pertama. 7 orang wanita yang sedang hamil anak pertama itulah kemudian yang menjadi landasan turunnya “lancang” ke laut. Maka selanjutnya, pulau itu disebut dengan Galangan. Galangan dalam arti landasan yaitu manusia dijadikan galang. Dalam perkembangannya penyebutan pulau itu menjadi Pulau Galang saja.”

Pulau Galang dan sekitarnya berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat setempat, kemudian menjadi pusat konsentrasi para lanun atau bajak laut yang memiliki kekuatan “luar biasa”. Mereka hanya bisa dikalahkan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung. Para lanun tersebut diketuai oleh 7 orang panglima yang terlahir dari 7 orang wanita hamil anak pertama. Ke-7 orang wanita hamil anak pertama itulah yang menjadi landasan turunnya “lancang” ke laut. Karena rasa “dendam” akibat dijadikannya ibu mereka sebagai landasan “lancang”, sifat mereka menjadi pemberani dan tidak pernah putus asa. Seperti yang dikisahkan oleh Bp. Salim (60 tahun) berikut ini :

Kemudian tujuh wanita tersebut melahirkan anak laki-laki yang kemudian menjadi 7 panglima galang. Mereka juga memiliki “rasa dendam” karena ibunya menjadi landasan kapal. Mereka kemudian menjadi lanun, apa pun kapalnya selalu dibajak. Pemimpinnya bernama “Canang”. Dikisahkan “Canang” memiliki kelebihan yang luar biasa. Kekalahan orang galang tersebut kemudian ditangan raja kecil. “Canang” akhirnya dimakamkan di Pulau Karas. Ketujuh panglima tersebut masing-masing menguasai pulau-pulau di sekitar Galang berikut : Pulau abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung dan Pulau Panjang.

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang seperti tersebut di atas, ktujuh panglima galang yang menjadi “koordinator” lanun di sekitar Pulau Galang tersebar di Pulau Abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung dan Pulau Panjang. Cerita rakyat yang berkembang seperti dalam uraian di atas, ternyata juga tertulis dalam beberapa sumber sejarah tertulis bahwa di perairan Pulau Galang pernah terjadi penyerangan lanun.

Pulau Galang Dari Satu Otoritas ke Otoritas Lain
Penaklukan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784 menimbulkan rasa tidak puas dan rasa dendam yang mendalam pada beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Walaupun perlawanan secara terang-terangan tidak dapat dilakukan lagi, secara diam-diam telah diorganisir suatu gerakan yang dikenal dengan gerakan Lanun (gerilya di laut). Gerakan ini bertujuan merebut kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau. Gerakan-gerakan lanun cukup membuat resah pemerintah Belanda dan Inggris. Gerakan lanun melakukan aksinya dengan merampok setiap kapal asing yang memasuki perairan Riau. Akan tetapi, kapal-kapal anak negeri tidak diganggu sama sekali. Pusat-pusat kegiatan lanun ini tersebar di seluruh perairan Riau. Kapal-kapal lanun tidak memiliki tanda pengenal tertentu. Penyerangan lanun selalu dilakukan secara tiba-tiba di tempat-tempat yang strategis.
Pada tanggal 28 Juni 1837 terjadi pertempuran yang sengit di Pulau Galang. Pertempuran tersebut pecah ketika sepasukan lanun membajak sebuah kapal perang Inggris yang bernama Andromache yang dipimpin oleh Kapten H.D. Chods. Dalam pertempuran tersebut, pihak Inggris dengan bersusah payah akhirnya dapat menghancurkan armada lanun. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap isi seluruh kapal lanun yang berhasil ditawan, ditemukan beberapa dokumen berisi instruksi-instruksi dengan tanda penyerangan yang diatur dan ditandatangani oleh seorang pangeran bernama Haji Abdurrachman putra almarhum Raja Idris saudara almarhum Raja Jaafar. Semenjak itu, Belanda dan Inggris mengetahui dengan jelas bahwa gerakan-gerakan lanun tersebut mempunyai tendensi potitik dan berasal dari Pulau Galang dan Lingga. Untuk memberantas kegiatan lanun sampai ke akarnya, Belanda memerintahkan agar Sultan Riau dengan segenap rakyatnya turut aktif dengan cara menempatkan orang–orang kepercayaannya di tempat-tempat yang diduga menjadi sarang lanun.
Tindakan Inggris menghancurkan armada lanun di Pulau Galang mendapat protes dari Belanda karena bertentangan dengan Traktat London 1824 yang isinya antara lain menyebutkan: “Tindakan Inggris untuk memberantas lanun harus dilakukan bersama-sama dengan Belanda”.
Sultan Riau menganggap tindakan Inggris di Pulau Galang tersebut sebagai suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Inggris terhadap Traktat London tersebut di atas. Oleh sebab itu Sultan terpaksa meminta perlindungan Belanda dengan jalan menyerahkan seluruh kerajaan kepada Belanda. Sebagai ganti rugi, Sultan meminta ganti rugi sebesar f 40.000,- sebulan. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Belanda.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi yang terdiri atas Residen Riau dan Mayor D.H. Kolff untuk berunding dengan Sultan. Dari hasil perundingan tersebut diperoleh kata sepakat bahwa dalam memberantas lanun di perairan Riau, pemerintah Belanda dan Inggris jika perlu dapat bertindak sendiri secara langsung tanpa memberitahukan kepada Sultan terlebih dahulu. Sultan harus menghukum rakyat yang melakukan pembajakan tanpa pandang bulu dan hukum harus dikenakan kepada negeri dan tempat-tempat terjadinya pembajakan.
Selain itu, pemerintah Belanda akan menempatkan satu pasukan kecil di Lingga atau di salah satu pulau-¬pulaunya untuk memberi dan mengawasi rute-rute jalan laut. Belanda memberikan bantuan kepada Sultan dalam upaya pemberantasan lanun-lanun. Dengan demikian, pemerintah Belanda mengharapkan lanun-lanun tersebut dapat diberantas, sedangkan hubungan baik dengan Sultan tetap dapat dijalin. Inggris bertindak sendiri memberantas lanun-lanun hanya di lautan terbuka atau di pelabuhan dan tempat-tempat yang sering menjadi sarang lanun tanpa meneruskan operasi-operasi minter di daratan. Jika perlu, tindakan tersebut tanpa seizin pemerintah Belanda. Meskipun demikian, perlawanan-perlawan dari para lanun terus terjadi di perairan Riau dengan motif utama mengusir dan mengganggu orang Belanda dari perairan Riau.

Pembagian Wilayah Kekuasaan Antara Kerajaan Riau Lingga dan Belanda
Dalam perjanjian pada tanggal 1 Desember 1857 ditetapkan wilayah kekuasaan antara Kerajaan Riau Lingga dan Belanda sebagai berikut (ARNAS, 1970 : 90) :
1. Daerah kekuasaan Riau-Lingga
Yang menjadi daerah kekuasaan sultan dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga termasuk daerah taklukannya adalah:
a) Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya, pulau-pulau yang terletak disebelah barat Pulau Tamiang dan pulau disebelah barat Selat Sebuaya.
b) Pantai pesisir Pulau Sumatera disebutkan pula, yaitu pulau-pulau yang terletak di sebelah timur dan barat Selat Durai. Demikian pula pulau-pulau yag terletak di sebelah barat Selat Riau, sebelah selatan Singapura dan Pulau Bintan.
c) Daerah lainnya ialah Pulau Anambas yang diperintah orang kaya Jemaja, Pulau Anambas kecil yang diperintah Pangeran Siantan, Pulau Natuna Besar di bawah pemerintahan orang kaya Bunguran, Pulau Natuna sebelah utara yang diperintah orang kaya Pulau Laut, Pulau Natuna selatan yang diperintah orang kaya Subi, Pulau Serasan di bawah orang kaya Serasan, dan Pulau Tambelan yang diperintah petinggi Tambelan.
d) Begitu juga daerah Indragiri Hilir bagian Hilir, Kuala Gaung, Kuala Sapat dan Reteh, semuanya masuk daerah Kerajaan Melayu Riau-Lingga.

Walaupun daerah ini merupakan wilayah kerajaan Riau-Lingga, namun tetap harus tunduk kepada kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

2. Daerah kekuasaan Belanda
Yang menjadi daerah pemerintahan Hindia Belanda, adalah pulau-pulau barat Selat Riau, sebelah timur Selat Durai, dan Selat Singapura ke Selat Abang. Di samping itu, pulau-pulau sebelah Bulang, pulau-pulau di Selat Tiung, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Belanda tidak saja campur tangan dalam bidang ekonomi dan politik melainkan juga terjun untuk menguasai wilayah Riau secara terperinci.

Pada tanggal 22 Desember 1884, Sultan Abdurrahman Maadlam dilantik oleh Belanda. Semenjak itu Sultan Abdurrahman resmi menjadi Sultan Lingga-Riau. Untuk mengikat hubungan dengan Belanda, sultan yang baru dilantik itu mengadakan perjanjian dengan Belanda pada taggal 23 Desember 1884. Perjanjian tersebut pada intinya berisi pernyataan tanda setia sultan yang baru kepada pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan sultan.
Setelah itu, menyusul beberapa tambahan perjanjian yang isinya menekankan bahwa Belanda berhak atas daerah Riau. Pada tahun 1913 seluruh daerah Riau-Lingga diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan diatur oleh Belanda sebagai berikut:
1) Seluruh daerah Riau-Lingga diperintah oleh residen dibantu oleh seorang Asisten Residen yang ditempatkan di Daik sedangkan residen berkedudukan di Tanjung Pinang.
2) Beberapa kepenghuluan dan kebantinan di bawahi oleh seorang Amir. Pengangkatan Amir ini ditentukan oleh Belanda.
3) Datuk-datuk kaya dinaikkan pangkat dan kedudukannya oleh Belanda menjadi Amir
4) Di atas Amir itu ada seorang controleur yang terdiri atas orang-orang Belanda. Sedangkan Amir-amir terdiri atas orang Melayu.
Kepala pemerintahan yang dipegang oleh banngsa Melayu dalam bahasa Belanda dinamakan Inlandsche Bestuurshoofden. Mereka terdiri atas Batin, Penghulu, Datuk Kaya, dan Amir. Seorang Amir bisa juga menjabat sebagai: (a)Onder Districthoofd, (b) Districthoofd .

Pulau Galang Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka ternyata Pulau Galang masuk ke wilayah geografis Tanjungpinang, baru pada tahun 1992 dengan dikeluarkannya Kepres No. 28 Tahun 1992 wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah Pulau Batam, Rempang, Galang dan pulau-pulau sekitarnya (Barelang) dengan luas wilayah seluruhnya sekitar 715 Km ( 115 % dari luas Singapura ).
Membicarakan Pulau Galang dalam wilayah administratif, secara kronologis harus di mulai dengan membicarakan Pulau Batam terlebih dahulu. Karena secara administratif, Pulau Galang selalu menjadi bagian dari Batam. Sejak dua puluh tahun silam, pulau kecil Batam yang terletak di sebelah utara Kepulauan Riau, telah berkembang dengan sangat pesat di luar imajinasi orang. Sampai tahun 1970-an bahkan sangat sedikit orang yang mengetahui keberadaannya. Kebangkitan perkembangan ekonomi pulau tersebut dimulai sejak penggunaannya sebagai basis logistik dan penunjang eksplorasi sumber daya minyak dan gas oleh Pertamina, pada akhir tahun 1960-an.
Perkembangan Batam dimulai pada tahun 1969. Pada tahun itu, Letjen (Purn) Dr. H. Ibnu Sutowo, semasa menjabat sebagai direktur utama Pertamina, ingin menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia sehingga pada masa itu, pulau tersebut ditetapkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri yang berkaitan dengan eksploitasi dan gas bumi di lepas pantai.
Melalui Keputusan Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1970, Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai penanggung jawab, terutama yang menyangkut penggunaan biaya pembangunan proyek yang anggarannya memang disisihkan dari anggaran Pertamina. Pada akhirnya, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri melalui Keppres Nomor 41 tahun 1973 dan Ibnu Sutowo dikukuhkan sebagai Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) yang meliputi beberapa pulau, yakni Pulau Batam, Pulau Janda Berhias, Pulau Ngenang, Tanjung Sauh, Pulau Moi-Moi dan Pulau Kasem.
Sebelum menjadi daerah otonom, Kotamadya Batam merupakan Kotamadya ke-2 (dua) di Provinsi Riau yang pertama Kotamadya Batam pada mulanya merupakan suatu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batam yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tingkat II Kepulauan Riau.
Tahapan selanjutnya dengan Keppres Nomor 33 tahun 1974, dibentuk beberapa kawasan berikat (bonded zone). Waktu itu, pemerintah menunjuk PT. Persero Batam sebagai pelaksana kawasan bonded zone di Sekupang dan Batu Ampar. Saat terjadi resesi di tubuh Pertamina tahun 1975, pemerintah mengambil alih tanggung jawab pembangunan di Pulau Batam. Pada waktu itu, Presiden menetapkan Dr. J.B. Sumarlin sebagai Ketua Otorita Batam menggantikan Ibnu Sutowo. Di tangan J.B. Sumarlin, beberapa keputusan menteri meluncur guna memberikan dukungan terhadap pembangunan Pulau Batam dan sekitarnya.
Melalui keputusan Nomor 77 tahun 1977, tanggal 18 Februari 1977, Menteri Dalam Negeri memberikan hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam termasuk tanah gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang, Pulau Kasem dan Moi-Moi. Menteri Perhubungan dengan keputusan nomor 119 tahun 1977 mengizinkan Otorita Pembangunan Pelabuhan Sekupang, Batu Ampar, Nongsa, dan Kabil. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melimpahkan wewenang kepada otorita untuk mengurus dan menilai permohonan calon investor baik dalam rangka Penanaman Modal Asing maupun PMDN.
Dengan keputusan Presiden no. 41 tahun 1978, seluruh Pulau Batam ditetapkan sebagai kawasan berikat (bonded zone). Presiden melalui Keppres no. 194 tahun 1978, mengangkat Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita, dan Brigjen TNI Soedarsono Dharmosoewito sebagai Kepala Badan Pelaksana (Kabalak) dan sepuluh tahun kemudian digantikan oleh Laksamana Pertama Soepandi dan selanjutnya digantikan oleh Laksamana Pertama Soryohadi Djatmiko, SE.J.E. Habibie (adik kandung B.J. Habibie) sempat memimpin selama 3 bulan dari bulan Maret 1998 hingga Juli 1998. Selanjutnya, sejak bulan Juli 1998 hingga saat ini Badan Otorita Batam (BOB) dipimpin oleh Drs. H. Ismeth Abdullah.
Setelah beberapa pembangunan proyek mendapat prospek cerah, negara tetangga mulai melirik pulau ini. Perkembangan selanjutnya mulai mengadakan kerja sama ekonomi regional. Dimulai dengan kunjungan Perdana Menteri Singapura, waktu itu Lee Kuan Yew, pada tahun 1979 menjalin kerja sama dengan pemerintah Singapura. Tahun 1980 dikukuhkan penandatanganan perjanjian ekonomi antar pemerintah untuk pengembangan Pulau Batam ke depan.
Tahun 1983 Menteri Kehakiman menetapkan Pulau Batam sebagai daerah keimigrasian berstatus khusus. Menteri Perdagangan dan Koperasi melimpahkan kewenangan di bidang perdagangan dan koperasi kepada Ketua Badan Otorita Batam. Presiden pun menetapkan pelabuhan laut dan udara Pulau Batam sebagai gerbang wisata dari luar negeri. Pulau Batam berkembang pesat, sehingga menuntut pelayanan administrasi pemerintahan yang lebih luas jangkauannya.
Lokasi Batam yang strategis terletak pada jalur perdagangan internasional, menjanjikan masa depan yang cerah. Pulau Batam juga memiliki keunggulan karena terletak pada pusat Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT). Sejak tahun 1978, dengan menurunnya industri perminyakan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengembangkan Pulau Batam sepenuhnya untuk mendapatkan potensi ekonomi sebesar-besarnya. Di bawah kepemimpinan Prof. DR. Ing BJ Habibie, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, seluruh bagian Pulau Batam dinyatakan sebagai kawasan berikat, sehingga lebih memantapkan lagi kedudukannya sebagai daerah industri yang luas bertujuan ekspor.
Dibawah kendali Otorita Batam (OB) dalam pengembangkan kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan Pariwisata sudah ada 34 negara yang menanamkan investasi berasal dari Singapura, baik investasi langsung maupun Joint Ventures. Kemudian menyusul Korea Selatan, Malaysia, Jepang, dan Australia.
Sementara itu, melihat perkembangan Singapura sebagai sebuah negara yang pesat kemajuannya di segala segi, ditunjang dengan letaknya yang strategis dan keinginan menampung limpahan perkembangan industri negara kota tersebut, Pemerintah Indonesia ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk turut serta menarik investor asing menamakan modalnya di wilayah Indonesia.
Salah satu yang “dilirik” adalah Pulau Batam yang letaknya sangat strategis dijajaran terdepan jalur perbatasan perairan Internasional. Maka pada tanggal 19 Oktober 1970 Pemerintah, melalui keputusan Presiden RI (Kepres) No. 65 Tahun 1970 menetapkan Pulau Batam sebagai Basis Logistik dan Operasional untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai yang dikelola oleh pertamina.
Sejak saat itu Pulau yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi pulau yang sepi dan mati, serta kegiatan ekonomi penduduk yang belum berkembang karena keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi yang menunjang berubah menjadi suatu kawasan ekonomi yang menjanjikan masa depan.
Perkembangan daerah Pulau Batam ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dan merupakan salah satu kota yang paling tinggi pertumbuhannya di Indonesia, yaitu 5,8%. Pada sensus penduduk tahun 1971 dengan keadaan ekonomi yang belum berkembang jumlah penduduk Batam hanya 6.000 jiwa. Dua puluh tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1994, jumlah penduduk Batam meningkat menjadi 162.477 jiwa yang berarti peningkatan sebanyak 27 kali lipat. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 1995 bertambah menjadi 196.080 jiwa. Tahun 2004, jumlah penduduk kota Batam meningkat dam sudah mencapai ± 500.000 jiwa. Sampai tahun 2009 yang dijadikan patokan pengalihan manajemen Otorita Batam kepada Otoritas Pemerintah Kota Batam jumlah penduduk Batam di prediksi bisa mencapai 700.00 jiwa.
Jumlah penduduk Pulau Batam cepat bertambah dan meningkat. Hal ini disebabkan daya tarik ekonomi Batam yang sangat menjanjikan dengan adanya wilayah Batam yang disebut otorita Batam lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 41 tahun 1973 yang menetapkan Batam menjadi suatu kawasan industri.
Pulau Rempang sendiri sebenarnya merupakan salah satu Pulau diwilayah Kecamatan Galang, yang sebenarnya berada di bawah wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Luas pulau ini sekitar 168 kilometer persegi. Jumlah penduduk yang bermukim di pulau ini sebelumnya sekitar 2.740 jiwa atau 616 kepala keluarga (KK), yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. (BPS, 1994:21). Fasilitas yang ada di Pulau Rempang diantaranya jalan sepanjang 9,5 kilometer, pembangkit listrik dengan kapasitas 10 KVA, Puskesmas, 8 buah Mesjid dan satu gereja.
Sedangkan Pulau Galang, luasnya sekitar 80 kilometer persegi dengan jumlah penduduk hanya 185 jiwa (44 kepala keluarga). Fasilitas yang terdapat di Pulau ini berupa jalan raya sepanjang 6 kilometer, air minum dengan kapasitas 5 liter/detik, pembangkit listrik berkekuatan 500 KVA, dua SD, Puskesmas, satu gereja, dan satu buah candi, serta beberapa buah kuil peninggalan para pengungsi Vietnam yang pernah di tampung di pulau ini selama 17 tahun, tepatnya 1979-1996.
Sebelum ditetapkan, Pulau Rempang dan Pulau Galang masuk ke dalam Otorita Batam, Pemerintah Daerah Riau memang sempat agak keberatan. Sebabnya adalah, bila kedua pulau ini dimasukkan menjadi wilayah kerja Otorita Batam, dikhawatirkan kegiatan penyeludupan semakin meningkat dan sulit dicegah, karena semakin banyaknya pintu keluar atau masuk ke wilayah kawasan berikat dan terbatasnya sarana untuk melakukan pengawasan.
Selain itu Pemerintah Daerah Riau juga khawatir, pemisahan kedua daerah tersebut dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau kemudian masuk menjadi wilayah Otorita Batam, berarti sudah dua kali wilayah Kabupaten Kepulauan Riau kehilangan sebagian wilayah kerjanya.
Diantaranya pada tahun 1983 dengan dibentuknya Kodya Batam, yang wilayahnya meliputi Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya. Dan kedua, dengan dimasukkannya Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai perluasan wilayah kerja daerah industri Pulau Batam. Kehilangan kedua kaki ini sangat merugikan Pemda Kabupaten Kepulauan Riau.
Karena itu, Pemerintah Daerah Riau di Pekanbaru berpendapat, alangkah baiknya apabila pengembangan Pulau Galang dan Pulau Rempang diintegrasikan dengan pengembangan Pulau Bintan dalam kaitannya dengan pengembangan Segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapura, Johor, Riau). Dengan demikian, keutuhan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau tetap dapat menyelenggarakan urusan otonomi daerahnya dengan lebih baik, menuju otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.
Namun demikian, Pemda Riau akhirnya menjadari, tujuan kebijaksanaan Pemerintah mengintegrasikan Pulau Rempang dan Pulau Galang ke dalam wilayah kerja Otorita Batam sangat beralasan untuk masa depan pengembanan wilayah itu. Karenanya, Pemda Tingkat I Riau mendukung sepenuhnya, sehingga akhirnya Presiden RI mengeluarkan ketetapan mengenai penambahan wilayah lingkungan kerja daerah Otorita Batam dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang, sehingga lebih dikenal dikemudian hari denganb istilah populer: Barelang alias Batam, Rempang, Galang.
Sebenarnya tidak hanya Pulau Rempang dan Galang saja yang dimasukkan ke wilayah kerja Otoritas Batam tetapi juga Pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Pulau-pulau itu semuanya sebanyak 39 pulau. Beberapa diantaranya Pulau Setokok, Pulau Galang Baru, Pulau Nipah, Pulau Janda Berhias, Ngenang, Kasem, Moi-moi, dan Tanjung Sawu serta Pulau-pulau kecil lainnya. Dengan masuknya Pulau-pulau itu ke dalam kawasan berikat Pulau Batam, berarti akan menambah luas wilayah kerja Otorita Batam.
Sebagai langkah awal penggabungan kedua pulau itu, Otorita Batam melakukan penyempurnaan rencana induk pengembangan daerah industri Pulau Batam yang ditetapkan Presiden RI kemudian untuk mempelancar arus transportasi ke pulau-pulau itu, tentunya harus ada jembatan untuk itu di bangunlah enam buah jembatan yang menghubungkan antar pulau.
Enam jembatan tersebut, masing-masing menghubungkan Pulau Batam ke Pulau Tonton sepanjang 331 meter, dari Pulau Tonton ke Pulau Nipah sepanjang 370 meter, dari Pulau Nipah ke Pulau Setokok sepanjang 255 meter, dari Pulau Rempang ke Pulau Galang sepanjang 214 meter, dan dari Pulau Galang ke Pulau Galang Baru sepanjang 118 meter.
Bila keenam buah jembatan itu di total seluruhnya, maka panjang keseluruh dari Pulau Batam ke Pulau Galang Baru adalah 1.568 meter. Dengan Pembangunan jembatan tersebut, maka antara Pulau Batam dengan Pulau Rempang dan Galang menjadi suatu kesatuan wilayah pengembagan yanbg populer dengan sebutan “Barelang”.
Dengan Keppres Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1970 Pemerintah menetapkan Pulau Batam sebagai Basis Logistik dan operasional untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai yang dikelola oleh Pertamina, dan Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai penanggungjawab, Keppres Nomor 74 tahun 1971 menetapkan pengembanan pembangunan daerah industri Pulau Batam dengan Kawasan Batu Ampar, Kabil, dan Sekupang sebagai daerah industri (Bonded Ware House) dibawah penguasaan Badan Pimpinan Daerah Industri yang bertanggungjawab kepada Presiden (BOB:31,1999).
Selanjutnya Keputusan Preiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan bahwa seluruh wilayah Pulau Batam di tetapkan sebagai daerah industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata. Sebagai pengelola dan pelaksana, pemerintah menunjuk Badan Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) dan PT. Persero Batam.
Dengan keberadaan Otorita pembangunan industri Pulau Batam pelaksanaan pembangunan tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga menuntut adanya pelayanan administrasi pemerintah yang sejalan dengan perkembanan daerah Pulau Batam. Untuk merealisasikan keinginan tersebut, Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau Nomor: 168/IX/1976 membentuk kantor Perwakilan Pemerintah Daerah Tingkat I Riau di Pulau Batam. SK Gubernur tersebut diperkuat dengan persetujuan Manteri Dalam Negeri melalui suratnya Nomor Pem, 2.2.4. tanggal 29 September 1975. Dan, berdasarkan Keppres Nomor 41 tahun 1978 tanggal 24 November 1978 seluruh wilayah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah usaha kawasan berikat.
Tahun 1978-1998 merupakan periode pembangunan Prasarana dan Penanam Modal dengan Pimpinan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai ketua Otorita Batam. Pada periode ini rencana pengembangan disesuaikan dengan rencana strategis dan situasi ekonomi dunia yang sedang mengalami resesi.
Sejalan dengan perkembangan Pulau Batam tersebut oleh Otorita pengembanan Daerah Industri Pulau Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1983 dibentuklah kota Administratif Batam dengan membagi 3 kecamatan yaitu: Kecamatan Belakangpadang, Kecamatan Batam Barat dan, Kecamatan Batam Timur. Kemudian Keppres Nomnor: 7 tahun 1984 menyangkut hubungan kerja antara Kotif Batam dengan Otorita Batam dikeluarkan oleh Pemerintah.
Kota Administratif Batam diresmikan tanggal 24 Desember 1983, dan sejak saat itulah Pulau Batam dipasarkan secara luas dan terencana dan ternyata menunjukkan keberhasilan. Jadi sejak tahun 1983 sampai sekarang dan seterusnya merupakan periode penanaman modal dan industri serta pengembangannya. Berdasarkan Keppres Nomor: 56 tahun 1984 dikeluarkan ketetapan tentang penambahan wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha kawasan berikat (Bonded area) yang mencakup Pulau Janda Berhias, Tanjung Sawu, Ngerang, Kasem dan Moi-moi.
Selanjutnya Kotif Batam yang bersifat administratif dipimpin oleh Walikota Administratif yang kedudukannya setingkat Kabupaten/Kotamadya lainnya di Indonesia. Sebagai kepala wilayah, walikota administratif Batam adalah penguasa tunggal dalam bidang Pemerintahan, dalam arti memimpin pemerintahan, membina kehidupan masyarakat kotif Batam di semua bidang, dan mengkoordinasi bantuan dan dukungan pembangunan derah industri Pulau Batam. Eksistensinya berada dibawah koordinasi dan bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau.
Walikota Administratif Batam bersama Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam secara periodik mengadakan rapat koordinasi dengan instansi-instansi pemerintahan lainnya guna mewujudkan sinkronisasi program diantara mereka dan sejauh mana pelaksanaan pembangunan, sarana, prasarana dan fasilitas lainnya yang diperlukan dalam rangka pengembangan daerah yang diperlukan dalam rangka pengembangan derah industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha kawasan Berikat meliputi Batam, Rempang, Galang dan Pulau-pulau kecil lainnya (Barelang), sehingga luas Pulau Batam yang semula hanya 415 kilometer persegi menjadi 620 kilometer persegi.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah yang sedang bergulir di seluruh wilayah Indonesia, tahun 1999 terbit Undang-undang Republik Nomor 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaen Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Sengingi, dan Kota Batam.
Dengan keluarnya UU Nomor 53/1999 tersebut, maka Kota Administratif Batam menjelma menjadi Kota Otonom, dengan nama Kota Batam dengan wilayah sebagai berikut:
1. Kota Administratif Batam yang membawahi 3 kecamatan, yaitu kecamatan Belakangpadang, kecamatan Batam Barat, dan Kecamatan Batam Timur.
2. Sebagaian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri dari atas:
a. Sebaian wilayah kecamatan Galang, meliputi Desa Rempang Cate, Desa Sembulang, Desa Sijantung, Desa Karas, dan Desa Pulau Abang.
b. Sebagaian wilayah kecamatan Bintan Utara yang meliputi sebagian wilayah Desa Galang Baru yaitu Pulau Air Raja, Pulau Mencaras, dan Desa Subang Mas.
Dengan demikian Kota Batam ditata dan dimekarkan menjadi 8 kecamatan, 41 kelurahan, dan 11 desa. Delapan kecamatan tersebut adalah:
1. Kecamatan Batu Ampar
2. Kecamatan Nongsa
3. Kecamatan Galang
4. Kecamatan Sungai Beduk
5. Kecamatan Bulang
6. Kecamatan Belakang Padang
7. Kecamatan Sekupang
8. Kecamatan Lubuk Baja
Implementasi Undang-undang nomor 53 Tahun 1999 seperti tersebut di atas, diubah dengan Undang-undang nomor 13 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam yang semula sebagai Kota Administratif Batam statusnya berubah menjadi Daerah Otonomo Kota Batam. Untuk itu, dalam struktur pemerintahan dan penataan wilayahnya juga mengalami perubahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pemekaran, Perubahan dan Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan Dalam daerah Kota Batam dinyatakan bahwa semula terdiri dari 8 Kecamatan dan 51 Kelurahan berubah menjadi 12 Kecamatan dan 64 Kelurahan.
Kecamatan dan Kelurahan yang ada selama ini adalah Kecamatan dan Kelurahan sejak terbentuknya Pemerintah Kota Batam dan secara nyata perlu dilakukan penataan, baik dalam kaitan dengan pemekaran, perubahan nama maupun pembentukan Kecamatan dan Kelurahan Baru berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pemerintah Kota Batam.

Batam (Termasuk Galang) Sebagai Bagian Dari Provinsi Kepulauan Riau
Batam yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini memiliki Luas wilayah daratan sebesar 715 kilometer persegi atau sekitar 115% dari wilayah Singapura, sedangkan luas wilayah keseluruhan mencapai 1,570,35 kilometer persegi. Beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celcius, dengan dataran yang berbukit dan berlembah, serta tersebarnya vegetasi mangrove pada garis pantai merupakan karakteristik geografis Kota Batam.
Masyarakat Kota Batam merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Dengan berpayungkan budaya melayu dan menjunjung tinggi bhineka tunggal ika, menjadikan Kota Batam kondusif dalam bergeraknya kegiatan ekonomi, sosial politik serta budaya dalam masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, fasilitas pendidikan telah tersedia mulai dari jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah hingga tingkat perguruan tinggi. Terdapatnya fasilitas kesehatan berupa rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit swasta serta puskesmas, maka pelayanan kesehatan bagi masyarakat dapat terpenuhi.
Dengan pertumbuhan ekonomi Kota Batam yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional, menjadikan wilayah ini sebagai wilayah andalan bagi pemacu pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun bagi Provinsi Kepulauan Riau. Beragam sektor penggerak ekonomi meliputi sektor komunikasi, sektor listrik, air dan gas, sektor perbankan, sektor industri dan alih kapal, sektor perdagangan dan jasa merupakan nadi perekonomian kota batam yang tidak hanya merupakan konsumsi masyarakat Batam dan Indonesia tetapi juga merupakan komoditas ekspor untuk negara lain. Keberadaan kegiatan perekonomian di Kota ini juga dalam rangka meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat.
Kota Batam dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini telah menjadi kota metropolis. Harapan masyarakat Batam pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya untuk menjadikan Batam sebagai lokomotif pembangunan Indonesia, telah menggerakkan kita untuk ikut serta dalam pembangunan, yang pada akhirnya Kota Batam dapat mewujudkan misinya menuju Bandar Dunia yang Madani.

DAFTAR PUSTAKA

Andaya, Leonard Y. Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi dan
Politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1987

Draft Sejarah Provinsi Kepulauan Riau. 2009

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 6. PT. Cipta Adi Pustaka.Jakarta.1989..

Kanib, Muhammad. “Berawal dari Pulau Sambu (Batam dalam Perjalanan Sejarah)”
dalam Batam Problematika Multidimensional. Penerbit CV Karya Mandiri. Batam.2004

Surat-Surat Perdjanjian Antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintahan2 V.O.C. Dan
Hindia-Belanda 1784 – 1909. Arsip Nasional. Djakarta.1970

Samad Ahmad. A. Sulalatus Salatin Sejarah Melayu Edisi Pelajar. Dewan
Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur. 2006

Swastiwi, Anastasia Wiwik Swastiwi. “Batam : Sejarah dan Peninggalannya” dalam
Marwah. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 2007

Virginia Matheson Hooker. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah
Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1991.