JEJAK SEJARAH SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAMSYAH I (1722-1760)

0
14552

Oleh :
Anastasia Wiwik Swastiwi
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang

Pengantar
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (sebelum dilantik menjadi Sultan Kesultanan Riau Johor Pahang bernama Raja Sulaiman) adalah anak dari Tun Abdul Jalil. Tun Abdul Jalil adalah Bendahara Kesultanan Johor Riau semenjak masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah (1677-1685). Pengganti Sultan Ibrahim Syah (1677-1685) yaitu Sultan Mahmud Syah II meninggal dalam usia muda, 24 tahun. Wafatnya Sultan Mahmud Syah II menyebabkan timbulnya kemelut di dalam kesultanan Melayu Johor Riau karena Sultan Mahmud Syah II tidak meninggalkan ahli waris sebagai penggantinya. Beliau tidak memiliki keturunan. Dengan demikian yang menjadi sultan adalah Bendahara Tun Abdul Jalil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Naiknya Bendahara sebagai Sultan menyebabkan konflik intern dalam Kesultanan Johor Riau, yang menyebabkan munculnya Raja Kecil yang mengaku sebagai ahli waris Sultan Mahmud Syah II ingin merebut kembali tahta Sultan. Raja Kecil berhasil mengalahkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV dan dilantik menjadi Sultan Kesultanan Johor Riau dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.

Pada tahun 1722, Raja Sulaiman (anak bendahara Tun Abdul Jalil) “bersekutu” dengan bangsawan Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) untuk merebut kembali kekuasaan Johor Riau atas Raja Kecil. Pada akhirnya, kemenangan ada pada pihak Tengku Sulaiman. Tengku Sulaiman kemudian dilantik menjadi Sultan pada tanggal 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar I. Pusat pemerintahan kesultanan pada saat pelantikan berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai Carang (sekarang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang).
Pelantikannya menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Kerajaan Riau Johor Pahang Lingga, karena diiringi dengan sebuah “sumpah setia” antara pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) dengan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Berdasakan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan, namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda. Berturut-turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749), Daeng Kamboja (1749-1777).

Dengan sistem pemerintahan seperti itu, banyak pembesar Melayu merasakan dominan Bugis di dalam pemerintahan tersebut sehingga sering timbul konflik internal di kalangan pemerintahan pada waktu itu. Pembesar Melayu mendesak agar Sultan mengurangi dominan Bugis. Maka dalam masa pemerintahannya seringkali terjadi konflik internal antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan pihak Bugis. Konflik internal itu berakhir setelah diadakan perdamaian antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan Daeng Kamboja pada tanggal 1 Desember 1759 dimana kedudukan pihak Bugis diakui kembali sebagai Yang Dipertuan Muda. Bugis juga mengakui bahwa segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan. Dalam perkembangannya pembauran antara Sultan (Melayu) dengan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) tidak hanya dalam kekuasaan pemerintahan saja tetapi juga terwujud melalui pernikahan antaretnik Melayu dan Bugis bahkan juga dengan etnik lainnya.
Tidak lama setelah perdamaian antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan Daeng Kamboja pada tanggal 1 Desember 1759 itu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah wafat. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah wafat pada tahun 1760, setelah memegang peranan sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar I selama 38 tahun, disebut dengan Marhum Batangan. Beliau dimakamkan di Kampung Bulang Km. 6 Kelurahan Kampung Bulang Kecamatan Tanjungpinang Timur, tepatnya di pinggir Sungai Carang Batu 6. Kompleks yang panjangnya dan lebarnya sama (13,20 meter) ini, selain terdapat makam Sultan Sulaiman itu sendiri, juga 15 makam lainnya. Dari ke-15 itu, 5 diantaranya berukuran besar, sedangkan selebihnya berukuran kecil.
Kekuasaan Sultan Ahmad tidak berlangsung lama karena tahun 1761 ia dibunuh oleh orang Bugis yang tidak mendukung pengangkatan Sultan Ahmad sebagai penguasa Kesultanan Riau (Pemda Tk. I Propinsi Riau, 1976: 231). Kemudian, sebagai pengganti berikutnya diangkatlah Tengku Mahmud cucu Sultan Sulaiman yang masih anak-anak bergelar Sultan Mahmud Riayat Syah tahun 1761 berkedudukan di Riau.

Riwayat Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I

Dalam Tuhfat al Nafis, disebutkan bahwa Sultan Sulaiman Badrul alam Syah I adalah anak dari bendahara ibn Datuk Bendahara Tun Pikrama Tun Habib Bendahara Seri Maharaja yang bergelar Sultan Abd al-Jalil Syah. Sebelum menjadi Sultan Johor Pahang Riau, beliau bernama Raja Sulaiman. Berikut adalah petikannya.

Syahadan maka mangkatlah pula Sultan Mahmud itu terbunuh di Kota Tinggi pada Hijrat seribu seratus sebelas tahun, pada tahun Wau, sanat 1111. Maka menggantikan kerajaannya bendahara ibn Datuk Bendahara Tun Pikrama Tun Habib Bendahara Seri Maharaja. Adalah ia naik kerajaan pada Hijrat yang tersebut itu, pada delapan hari bulan Rabiulawal hari Khamis, waktu zuhur. Syahadan pada ketika itu maka bergelar ia Sultan Abd al-Jalil Syah. Kata sahib al-hikayat masa inilah Raja Sulaiman putera Sultan Abd al-Jalil itu zahir ke/dalam/dunia, yakni diperanakkan bondanya. Sebermula adalah mangkatnya Sultan Mahmud Syah itu yaitu sebab dibunuh ((oleh)) seorang hulubalangnya yang bernama Megat Seri Rama, sebab Sultan Mahmud itu membunuh isterinya (Megat Seri Rama itu), karena makan sehulas nangka pada ketika raja (lagi tengah) beradu. Adalah terbunuhnya di Kota Tinggi di Makam Tawhid namanya di dalam negeri Johor//.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 140)

Raja Sulaiman memiliki beberapa saudara kandung yang juga menjadi pembesar kerajaan. Diantaranya menjadi bendahara, temenggung, raja muda dan menjadi indera bongsu. Berikut adalah petikannya.

Sebermula adalah Sultan Abd al-Jalil itu beberapa ada puteranya yang gahara, dan yang bukan gahara, iaitu puteranya dengan gundikinya yang bernama Encik Nusamah anak orang Acheh. Adapun anak (nya) yang gaharanya beberapa orang (akan anak ia) di dalam lagi (jadi) bendahara, bersalahan Raja Sulaiman sungguhpun ia anak gundik, akan tetapi (nya) ia putera di dalam sudah menjadi raja. Sebab itulah anaknya yang tuanya dijadikannya bendahara, dan (seorang) dijadikannya temenggung, dan saudaranya dijadikan raja muda, (dan) seorang lagi anaknya kata setengah kaul, dijadikannya indera bongsu. Adapun Raja Sulaiman pada niat-niar hatinya ia hendak (di) jadikan (nya) gantinya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 140)

Secara keseluruhan, Raja Sulaiman memiliki saudara kandung yang berjumlah 16 orang. Beberapa saudara perempuan yang tertulis dalam Tuhfat Al Nafis adalah Tengku Tengah, Tengku Kamariah dan Tengku Mandak. Berikut kutipannya.

Syahadan kata rawi adalah Raja Sulaiman itu enam belas beradik, akan tetapi yang dapat disebutkan (nama) di dalam salasilah ini, maka inilah bilangannya. Pertama Raja Sulaiman, kedua Tengku Tengah, ketiga Tengku Kamariah/timang-timangannya Tengku Puan/, keempat Tengku Mandak. Adapun Raja Sulaiman ia (lah yang) menjadi raja diangkat oleh Bugis iaitu opu yang lima beradik, iaitu lagi (akan) datang kisahnya di dalam siaran ini.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141)

Tengku Tengah kemudian bersuamikan Opu Dahing Parani. Tengku Kamariah bersuamikan Raja Kecik Siak. Sedangkan Tengku Mandak bersuamikan Opu Dahing Cellak. Dengan demikian dua anak perempuan Sultan Abd al-Jalil melakukan perkawinan silang dengan suku Bugis dan satu lagi yaitu Tengku Kamariah nantinya akan melahirkan raja-raja Siak. Berikut Kutipannya.

Dan adapun Tengku Tengah adalah ia jadi isteri Opu Dahing Parani beranakkan Raja Maimunah, bersuamikan //ia akan// temenggung Johor beranakkan Dahing Cellak dan Dahing Kecik, dan Engku Muda. Adapun Dahing Cellak mati (ia) sebab terbakar ubat bedil di dalam keci yang diamuknya itu. Adapun Dahing Kecil ialah beranakkan Temenggung Abd al-Rahman, dan temenggung Abd al-Rahman beranakkan Dahing Ronggik, dan Dahing Abdullah, keduanya mengadakan (beberapa) anak. Adapun Dahing Ronggik jadi temenggung ((di)) Singapura, ada anaknya bernama Tun Abu Bakar, akan sekarang sudahlah ia menjadi temenggung Johor bergelar Temenggung Seri Maharaja Raja Johor pada tatkala (masa) membuat salasilah ini. Adapun Tengku Kamariah bersuamikan Raja Kecik Siak, beranakkan Raja Mahmud timang-timangannya Raja Buang. Adapun Tengku Mandak bersuamikan Opu Dahing Cellak [maka beranak ia dua orang perempuan (yang) seorang namanya Tengku Putih dan (yang) seorang namanya Tengku Hitam]. Inilah setengah daripada anak-anak Sultan Abd al-Jalil yang perempuan (-perempuan) yang menjadi bercampur-campur nasab dengan raja-raja Bugis, dan dengan raja-raja Siak, lagi akan datang kisahnya¹ pada siarah (nya), akan tetapi dengan jalan (yang) smpan perkataannya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141)

Dalam perkembangannya, anak cucu Raja Sulaiman menjadi pewaris penguasa Riau Lingga. Berikut kutipannya.

Syahadan adapun daripada pihak anaknya yang laki-laki yang berkekalan anak cucunya menjadi raja di dalam Riau dan Lingga dengan segala takluk daerahnya. Maka inilah aku nyatakan salasilahnya setengah daripada (yang) aku ketahui (daripada) mereka itu (adanya). Al-Sultan Sulaiman Bard al-Alam, yaitu anak Sultan Abd al-Jalil yang dapat di dalam ia sudah menjadi raja Johor, dan seorang anaknya bernama Raja Abd al-Rahman, anak daripada Encik Nusamah (ibunda), yaitu dua laki-laki empat belas perempuan. Syahadan Sultan Sulaiman inilah beranakkan Raja di Baruh yang bernama Raja Abd al-Jalil, inilah anaknya yang gaharanya dengan Encik Puan Perak. Adapun anak-anaknya yang lain, iaitu Raja Usman, an Raja Ismail, dan Raja Ahmad, dan ayahandanya Tengku Panglima Besar. Dan (yang) perempuannya Raja Bulang, dan beberapa lagi anaknya laki-laki dan perempuan.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141-142)

Beberapa nama anak cucu Raja Sulaiman yang kemudian menjadi penguasa di Riau Lingga diantaranya adalah Sultan Mahmud Syah III, Sultan Muhammad dan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.

Sebermula adalah Sultan Abd al-Jalil itu beristerikan Tengku Putih, putera Opu Dahing Cellak. Maka beranakkan Sultan Mahmud (al-Marhum) yang mangkat di Lingga, dan Sultan Mahmud ini berputra dua orang laki-laki yang seorang bernama Tengku Lung, dirajakan oleh orang Inggris di Singapura bergelar Sultan Husain Syah, dan yang seorang lagi bernama Tengku Abd al-Rahman timang-timangannya Tengku Jumaat//, iaitulah yang bergelar Sultan Abd al-Rahman (al)-Marhum Bukit Cengkeh di negeri Lingga. Dan Sultan Abd al-Rahman inilah berputerakan Sultan Muhammad// di negeri Lingga//, tatkala ia (sudah) mangkat digelar orang Marhum Keratun di dalam Lingga. Dan Sultan Muhammad inilah berputerakan Sultan Mahmud yang diturunkan kerajaannya oleh Holanda, adalah mangkatnya itu di negeri Pahang. Syahadan adalah pada tatkala ia diturunkan daripada kerajaannya itu, iaitu menggantilah akan ayah saudaranya iaitu bergelar Sultan Sulaiman Badr al-Alam Syah, /adapun Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah itu apabila ia sudah mangkat digantikan oleh Raja Abdul Rahman putera Yang Dipertuan Riau Raja Muhammad Yusuf dan bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dan ialah membuat muzik. Adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah itu yang ia/putera Marhum Sultan Abd al-Rahman Syah yang disebutkan orang Marhum Bukit Cengkeh. Syahadan putra Marhum Bukit Cengkeh itu ada laki-laki ada perempuan. [Adapun laki-laki itu, iaitu] ((Sultan)) Muhammad yang dipanggil orang Marhum Keratun, inilah puteranya yang gahara, dan kedua Sultan Sulaiman Badr al-Alam Syah yang tersebut itu, ketiga Raja Daud. Adapun yang perempuan iaitu pertama Tengku Tengah namanya, jadi isteri Raja Abdullah putra Marhum Muda Raja Jaafar bangsa Bugis, kedua Tengku Kecik namanya, jadi isteri Bendahara Pahang yang bernama Tun Mutahir, ketiga Tengku Andak namanya, jadi isteri Temenggung Ibrahim yang diam di Singapura Teluk Belanga, keempat Tengku Hitam, tiada bersuami mati di dalam daranya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 143-144)

Salah satu keturunan Raja Sulaiman yaitu Tengku Ambung pada akhirnya bersuamikan dengan Yang Dipertuan Muda Kesepuluh Raja Muhammad Yusuf. Berikut Kutipannya.

Adapun putera Sultan Abd al-Rahman yang bernama Sultan Muhammad/ yang telah disebut/itu/ tadi iaitu/ maka adalah (ia beberapa menaruh) anak laki-laki dan perempuan. Adapun yang laki-lakinya iaitu Sultan Mahmud yang telah tersebut tadi, iaitu berdua saudara satu ibu yang perempuannya bernama Tengku Dalam adalah bondanya Raja Terengganu yang bernama Tengku Tih. Adapun anak (nya) yang lain daripada itu, iaitu /laki-lakinya/ [Tengku Sa’id namanya dan Tengku Ibrahim, dan Tengku Ambung dan Tengku Andut]. Adapun yang perempuannya Tengku Hamidah namanya, dan Tengku Safiah, dan Tengku Mariam, dan Tengku Salma//namanya//.

Syahadan adapun Tengku Dalam bersuamikan Raja Terengganu dan Tengku Hamidah bersuamikan anak Bendahara Pahang, dan Tengku Mariam bersuamikan anak Raja Abdullah (yang bernama Raja Yahya), anak/Engku/Raja Ahmad Haji saudara Marhum Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar, putera Marhum yang mangkat di Teluk Ketapang bangsa Bugis. Dan Tengku Salma /itu/ bersuamikan Raja Mansur, anak Yang Dipertuan Raja Abdullah, putera Marhum Raja Jaafar yang disebut itu. Dan Tengku Safiah bersuamikan Raja Siam.

Syahadan Sultan Mahmud putera Sultan Muhammad Marhum Keratun itu, berputra seorang perempuan namanya Tengku Ambung, bersuamikan putera Marhum Raja Ali, putera Marhum (Raja) Jaafar yang telah disebut itu, yang bernama Raja Muhammad Yusuf, yang menjadi Yang Dipertuan Muda yang kesepuluh daripada Raja Bugis. Adalah ia mengada (kan) /beberapa/ anak laki-laki dan perempuan pada masa membuat salasilah ini.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 143-144)

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I : Penyelesaian konflik Suku Melayu – Bugis

Manuskrip Tuhfat al Nafis banyak menggambarkan situasi hubungan antara suku Bugis dengan suku Melayu. Namun teks ini lebih menonjolkan kelebihan kekuatan di pihak Bugis dan seringkali menggambarkan suku Melayu sebagai pihak yang mencetuskan kekacauan dan pergeseran. Suku Melayu dengan suku Bugis sebenarnya telah membuat beberapa kali perjanjian di antara mereka. Perjanjian itu biasanya dilaksanakan ataupun diperbaharuhi apabila seorang Yang Dipertuan Muda baru dilantik. Di dalam manuskrip Aturan Satiya Bugis dengan Melayu disebutkan perjanjian-perjanjian yang berlaku tersebut. Perjanjian yang pertama, misalnya berlaku selepas pelantikan Yang Dipertuan Muda yang pertama pada tahun 1722. Perjanjian ini diantaranya menyebutkan bahwa kedua belah pihak mengaku bersaudara dan setuju untuk bergabung di dalam satu kerajaan. Perjanjian ini dikenal dengan “Persetiaan Marhum di Sungai aru”.
Perjanjian yang kedua terjadi pada tahun 1728 yaitu selepas pelantikan pelantikan Daeng Cellak sebagai Yang dipertuan Muda Kedia Kerajaan Johor Riau. Disebutkan dalam Aturan Satiya Bugis dengan Melayu bahwa pelaksanaan perjanjian itu juga dihadiri oleh Sultan Sulaiman, Yang Dipetuan Muda, bendahara, Raja Indera Bongsu dan semua pembesar dari suku Melau maupun Bugis. Pokok Utama dalam perjanjian itu adalah :
…..tun kepada Bugis melainkan tuanlah kepada Melayu dan jikaulau tuan kepada Melayu melainkan tuanlah kepada Bugis itu dan jikaulau musuh kepada Bugis melainkan musuhlah kepada Melayu dan jikalau musuh kepada Melayu melainkan musuhlah kepada Bugis itu.

Perjanjian-perjanjian lain yang ikut disebutkan dalam manuskrip itu antara lain yang terjadi pada tahun 1945 yaitu saat pelantikan Dahing Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda ketiga Kerajaan Johor Riau. Perjanjian itu diperbaharui lagi pada tahun 1748. Perjanjian selanjutnya dilakukan pada tahun yang sama beberapa bulan kemudian. Perjanjian itu lebih menekankan tentang tanggung jawab bendahara dan peranannya dalam mewakili suara suku Melayu. Isi perjanjian saat itu sesuai dengan situasi pelaksanaannya karena bermeterai dan dilakukan saat pelantikan bendahara baru yaitu Tun Hassan anak dari Bendahara Tun Abas yang bergelar Bendahara Seri Maharaja. Sejarah menunjukkan banyak perjanjian yang dilaksanakan diantara suku Bugis dan suku Melayu. Namun tidak berarti hubungan antara suku Melayu dan Bugis semakin erat, justru sebaliknya.
Perselisihan di antara suku Melayu dan suku Bugis ini sangat jelas terjadi pada masa pemerintahan Dahing Kamboja. Tokoh dari pihak suku Melayu yang paling menonjol dan banyak melakukan pertentangan terhadap suku Bugis adalah Tun Dalam. Tun Dalam adalah Yang Dipertuan Terengganu yang merupakan menantu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Manuskrip Tuhfat al Nafis banyak menggambarkan peranan Tun Dalam (disebut Raja Kecik di dalam teks) dalam mencetuskan kekeruhan hubungan antara dua ini dan beliau juga mendapat sokongan dari bendahara, temenggung dan juga pembesar-pembesar Melayu lainnya.
Tun Dalam ini sebenarnya adalah putera dari Sultan Trengganu, Sultan Zainal Abidin dan ibunya Che Puan Besar Trengganu, Nang Rugayah. Beliau juga dikenal sebagai Ku Tana Mansur yang telah menonjolkan ciri-ciri kepahlawanannya sejak kecil. Pada usia 11 tahun, saat ayahnya meninggal dunia, beliau dilantik sebagai Sultan Trengganu yang bergelar Yang Dipertuan Kecik.
Tahun 1739, untuk pertama kali beliau ke Riau dan menikah dengan Raja Bulang, puteri Sultan Sulaiman tetapi kemudian kembali ke Trengganu dua tahun kemudian. Tahun 1746, beliau kembali ke Riau dan menetap di riau selama 14 tahun.Dlam tempo 14 tahun inilah beliau banyak ebrusaha supaya penguasaan suku Bugis ke atas politik Johor dapat dikurangi. Tun Dalam juga dikatakan banyak menerima aduan dari masyarakat suku Melayu yang rata-rata tidak suka pemerintahan dikuasai oleh suku Bugis.
Salah satu contoh perselisihan pendapat antara suku Melayu dan suku Bugis adalah ketika tercetusnya perang saudara di antara dua bersaudara Siak (putera Raja Kecil yang berlainan ibu) yaitu Raja Mahmud (Raja Buang) dan Raja Alam. Di dalam perselisihan itu, Raja Mahmud meminta bantuan dari Sultan sulaiman yang juga merupakan bapa saudaranya untuk merampas tahta Siak yang disandang oleh Raja Alam. Tun Dalam memang setuju untuk memberi bantuan tetapi tidak di pihak suku Bugis. Oleh karena itu, Tun Dalam berusaha mendapatkan bantuan Belanda dan dan pada tahun 1784, sultan Sulaiman, Tun Dalam, pembesar-pembesar Melayu bersama-sama bantuan Belanda telah berlayar ke Siak dan mereka berhasil. Sebagai hadiahnya, Belanda dibolehkan menjalankan aktivitas perdagangan mereka di Pulau Gontong. Sebenarnya, Tun Dalam melihat terlibatnya suku Melayu di dalam peperangan ini sebagai satu peluang untuk menjauhkan diri mereka dari penguasaan Bugis dengan membawa masuk dan melibatkan pihak Belanda ke dalam percaturan politik setempat.
Selain itu, manuskrip Tuhfat al Nafis misalnya, menggambarkan perselisihan di antara suku Melayu dengan suku Bugis ini bermula dengan saling fitnah sehingga muncul salah paham. Teks itu menggambarkan Tun Dalam dan pengikut-pengikutnya menyebarkan fitnah setiap minggu bahwa suku Bugis mengancam keselamatan suku Melayu dengan mengamuk dan membakar rumah mereka. Namun apabila siasat itu dilakukan, terdapat persoalan yaitu tidak benar sebaliknya hanyalah usaha untuk melahirkan perasaan anti Bugis di kalangan suku Melayu.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa kabar angin yang timbul itu sengaja diedarkan oleh Tun Dalam supaya pembesar-pembesar dan suku Bugis merasakan tidak selamat dan mereka tinggal di Riau yang senantiasa terancam dan tidak tentram. Usaha itu membuahkan hasil karena Yang Dipertuan Muda Kamboja terpaksa memohon untuk keluar dari Riau karena ketidaamanan kota. Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja kemudian menetap di Linggi sementara pembantunya Raja Haji ditinggalkan di Riau sebagai wakil masyarakat Bugis di sana.
Tindakan lain yang dilakukan oleh Tun Dalam adalah ketika melaksanakan titah sultan Sulaiman supaya menjemput Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja di Linggi untuk kembali ke Riau. Beliau yang ditugaskan bersama-sama dengan Raja Haji telah menemui Gubenur Belanda di Melaka, mengatasnamakan dirinya sebagai utusan Sultan Sulaiman. Utusan itu dikatakan memohon bantuan Belanda untuk menyerang Raja Haji yang sedang singgah di pinggir Melaka dan Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja di Linggi sekaligus menghalau Bugis dari Riau. Semasa peperangan meletus antara suku Bugis dengan Belanda itu, Tun Dalam telah membuat rancangan untuk memisahkan terus suku Melayu dan Bugis di Riau. Beliau pulang ke Riau dan menunjuk keluarganya bersama suku-suku Melayu yang lain termasuk Sultan Sulaiman dan keluarga untuk berpindah ke Trengganu. Namun begitu, usaha beliau tidak berhasil karena berita peperangan antara Linggi dengan Belanda yang tercetus hasil rancangannya telah tersebar ke Riau. Lebih lagi kemudian didapati Bugis dan Belanda telah menandatangani perjanjian perdamaian pada Januari 1758 di Fort Filipina di Kula Linggi.
Semenjak kejadian itu, Tun Dalam kembali ke Trengganu dan tidak lagi campur tangan dalam politik Kerajaan Johor Riau. Dapat dikatakan kegagalannya dalam usaha menyingkirkan suku Bugis dari Kerajaan Johor dan mendapatkan sokongan sultan telah mematahkan semangat beliau untuk meneruskan perjuangan. Selepas peranan beliau ini, memang tidak nampak penonjolan tokoh lain yang boleh menggugat penguasaan Bugis di dalam Kerajaan Johor Riau sebagaimana usaha beliau.
Namun begitu, pertikaian terus terjadi dan suku Bugis terus memperlihatkan penguasaan mereka di dalam politik Kerajaan. Misalnya, setelah kemangkatan Sultan Sulaiman yang kemudian digantikan dengan puteranya Raja di Baruh yang juga tidak sempat menaiki tahta karena mangkat di Selangor, Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja bersama-sama suku Bugis telah melantik Raja Ahmad, putera Raja di Baruh yang masih kecil sebagai sultan. Pelantikan ini bermakna Yang Dipertuan Muda meminggirkan peranan bendahara dan suku-suku Melayu yang lain yang ingin melantik saudara-saudara Raja di Baruh yaitu Tengku Abdul Kadir, Tengku Buang ataupun Tengku Osman. Pertikaian yang samajuga terjadi saat Sultan Ahmad wafat dan suku-suku Bugis berkeras hati untuk melantik Raja Mahmud, adik Sultan Ahmad yang terlalu kecil sedangkan pembesar-pembesar Melayu masih dengan keinginan yang sama sebelumnya yaitu melantik saudara-saudara Raja di Baruh.
Ada pihak yang menduga wafatnya Raja di Baruh sebelum sempat memimpin kerajaan adalah karena diracun oleh Dahing Kamboja. Demikian juga dengan Sultan Ahmad dipercayai ikut diracun untuk memberi jalan kepada adidanya Raja Mahmud yang masih kecil mengingat beliau sedang menginjak remaja dan bersedia bila mengambil alih pemerintahan yang sedang dijalankan oleh Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja.
Menjalankan pemerintahan saat usia masih kecil memberikan kelebihan kepada Yang Dipertuan Muda Johor Riau karena beliau menjadi pemangku dan bisa menguasai kekuasaan kerajaan. Hikayat Riau menyebutkan sejak dilantik menjadi Sultan Kerajaan Johor Riau, Sultan Mahmud hanya tinggal di dalam istana saja. Oleh karena itu, bermula dari pelantikan Sultan Mahmud hingga kematian Dahing Kamboja tahun 1777, Dahing Kamboja dianggap sebagai pemangku sultan yang menjadi pemerintah de facto ke atas Kerajaan Johor Riau.
Sementara itu, Hikayat Siak mengisahkan perselisihan Melayu dengan Bugis seperti tersebut di atas, dimulai saat Bugis bersaudara menagih janji untuk menjadi Raja Muda. Dikisahkan sebagai berikut.

Dan tiada berapa lamanya di ‘Johor, maka Dahing Parani pun datang menuntut janji, hendak jadi Raja Muda, “Kerana aku tiada mungkirkan janji, kerana adik yang meninggal akan aku.” Dan segala hulibalang baginda tidak mahu member. Orang yang tiada merasa pahit maungnya, hendak dapat senang. Dan baginda pun mengikut mufakat dengan segala orang besar-besar. Maka baginda pun tiadalah menrima kehendak Dahing Parani itu. Maka Dahing Parani pun marah. Dan didengar oleh Raja Sulaiman, Dahing Parani datang. Maka dipanggilnya oleh Raja Sulaiman, Dahing Parani datang. Maka dipanggilnya oleh Raja Sulaiman, makan. Dan Tengku Tengah berpikir di dalam hatinya, “Baiklah aku menyerahkan diri. Biar aku menjadi budaknya oleh orang Bugis, asal lepas Maluku ini.”

Hatta, serta Dahing Parani, maka Tengku Tengah pun bicara dengan saudaranya, Raja Sulaiman. “Baiklah abang bicara dengan Raja Bugis,/ jikalau ia mahu menolong kita. Barang apa kehendak, kita turutlah.” Maka Dahing Parani pun bertemulah dengan Raja Sulaimann. Maka ia pun berbicara dengan Dahing Pareani. Setelah itu, sudah putus bicaranya, maka bidai istana Raja Sulaiman digulung oranglah. Maka Raja Tengahpun berdiri di muka pintu, mengelepak subangnya. Lalu ia berkata dengan Dahing Parani, “Hai Raja Bugis, jikalau engkau berani, hendaklah tolong lepaskan malu aku. Dan jikalau sudah lepas Maluku ini, sukalah aku menjadi hamba engkau, aku sekalian turu.” Maka Dahing Parani pun bercakaplah, ialah melepaskan malunya. “Adikku, itu jangan susah hati.” Maka Raja Sulaiman pun berjanji, “Jikalau dapat seperti maksud kita, adikku menjadi Raja Besar, aku menjadi Raja Muda.” Setelah sudah, maka Dahing Parani pun nikah dengan Raja Tengah.

Dan Dahing Parani bicara hendak membuat Yang Dipertuan. Dan Raja Tengah pun hendak mencuri Tengku Kamariah. Dan kepada satu malam, lepas waktu sembahyang masgrip, Raja Tengah pun masuk ke dalam kota. Dan waktu Duli Yang Dipertuan lagi tengah sembahyang isyak. Dan istri tiada boleh jauh, duduk dekat baginda juga. Dan Raja Tengah pun masuk dari penangga. Raja Tengah sampai di pintu tengah. Maka kelihatan Tengku Kamariah duduk dekat baginda, lagi sembahyang. Maka lalu dilambai oleh Raja Tengah. Maka Tengku Kamariahpun datang mendapatkan saudaranya, lalu dibawa oleh Raja Tengah turun. Lalu keluar kota, pulang ke istananya. Maka baginda pun sudah sembahyang. Maka dipandang baginda istri baginda tiada itu. Maka baginda pun bertanya, kemana perginya, dicari, tiada di dalam istana itu. Maka baginda turun, bertanya kepada penunggu pintu. Maka sembah penunggu pintu, mengatakan, “Paduka kanda Raja Tengah yang membawa paduka adinda itu, tuanku.”

Setelah baginda mendengar perkataan itu, maka baginda pun terlalu murkanya, lalu menyuruh memukul semboyan. Maka gemparlah segala orang. Berkumpullah segala hulubalang, menghadap baginda. Maka baginda pun menyuruh melanggar Datuk Bendahara, “Kerana dia member malu kita.” Dan segala hulubalang pun pergilah melanggar Bendahara. Dan kepada malam itu juga, alah Bendahara, lalu Bendahara lari. Dan istri baginda pun dapat. Dan Bendahara pun lari ke Pahang. Dan Dahing Parani ke Langat, mendapatkan segala orang Bugis, kerana hendak melanggar Johor.

Dan baginda menyuruh titah kepada Laksamana dan Seri Bija Wangsa, menyuruh mengikut pun pergi (nya) mengikut ke Pahang. Dan Laksamana/pun menghadap Datuk Bendahara, menyampaikan titah baginda, “PAduka anakanda menyuruh menyilakan Datuk kembali ke Johor.” Maka Datuk Bendahara pun bersabda, “Adalah beta ini, sudah banyak salah kepada Duli Baginda, kerana tiada patut sekali-kali beta mencuri istri Duli Yang Dipertuan. Dan sekali-kali beta tiada tiada tahu dengan perbuatan isteri Duli Yang Dipertuan. Dan sekali-kali beta tiada tahu dengan perbuatan yang demikian itu; oleh sebab anak-anak yang sudah (ia) membuat, maka beta dapat malu. Dan itulah sebabnya beta tiada cakap lagi memandang muka baginda. Dan baiklah Laksamana bunuh sekali beta.” Dan Laksamana pun fikir dalam hatinya, “Jika Bendahara ini lepas, besar kelak bicaranya. Jika demikian, baiklah aku segerakan, karena dosanya derhaka. Jika dengan (tiada) bicara Bendahara, tiada akan sampai duli marhum mangkat.” Maka kata Seri Bija Wangsa, “Benarlah bicara tuan hamba itu. Hutang nyawa, bayar nyawa juga.”

Setelah putuslah mufakat pegawai itu, maka Bendahara pun dikerjakan oranglah. Maka Bendahara pun sangat melawan. Delapan orang yang mati, dibunuh Bendahara. Dan Raja Tengah pun melawan, tiada dipedulikan(nya) orang, kerana ia perempuan. Dan Bendahara pun ditanamkan oranglah di Kuala Pahang, sampai sekarang (disebut) Marhum Mangkat (Di) Kuala Pahang.

Dan Laksamana dan Seri Bija Wangsa pun kembali ke Johor, membawa Raja Tengah. Dan Raja Sulaiman/ lari ke hulu Pahang, mendapatkan saudaranya, Bendahara Pekok, dan Laksamana sampailah ke Johor.

Maka baginda pun mendengar Bendahara mati itu, maka baginda pun menyesal menyuruh mengikut, sebab melihat istrinya menangis itu, sangat percintaan akan paduka ayahanda baginda. Maka baginda pun fikir, “Baiklah aku pindah dari Negeri Johor itu, kerana negeri celaka, hendaka membunuh rajanya juga.” Dan lalu baginda mengimpunkan segala rakyat lahut dan darat, disuruh menebas serta membuat rumah, dan membuat kota istana, cukup dengan balainya. Dan serta sudah mustaid, maka baginda pun pindahlah ke Riau.
(Yussoff Hashim, Muhammad, 1992: 127-130)

Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I : Peranannya Dalam Bidang Ekonomi

Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I ini, Riau menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai. Perekonomian Kerajaan digambarkan sangat makmur. Disebutkan dalam Tuhfat Al Nafis gambir menjadi komoditi andalan Kesultanan Johor Pahang Riau. Berikut kutipannya
Syahadan kata sahib al-hikayat adalah pada masa inilah negeri Riau itu ramai, serta dengan makmurnya dan segala dagang dari(pada negeri) jauh-jauh (pun datanglah), dan (berapa kapal-kapal dari) Benggal membawa apiun, dan lain dagangan, dan perahu-perahu dagang pun di Kuala Riau, daripada kapal-kapal dan keci-keci, dan selub, dan senat, dan wangkang, dan tob Siam. Dan apalagi di dalam Sungai Riau segala perahu-perahu rantau seperti bercocok ikanlah, bersambung berpendapat. Syahadan (kata sahib al-hikayat) pada masa inilah Yang Dipertuan Muda (Opu Dahing Cellak) menyuruh Punggawa Tarum, dan Penghulu J-n-d-w-a-n, mengambil benih gambir sebelah tanah Pulau Perca di bawa ke Riau memulai bertanam gambir. Maka bertanam gambirlah segala Bugis-bugis (itu) dan Melayu(-Melayu). (Maka) membuat(lah orang Melayu dan Bugis) beberapa ratus /lading dan berapa ratus /lading gambir. Adalah kuli/-kuli yang/masak itu segala Cina(-Cina) yang datang dari (negeri) China. Maka apabila jadilah gambir itu, /maka se/mangkin ramailah Riau. Maka datanglah segala perahu-perahu dagang dari timur seperti Jawa dan Bugis. (Maka) berpalu(lah) dagangan (tanah Jawa) dengan gambir, (mangkin sukalah segala dagang-dagang masuk Riau itu, karena segala dagangannya berlawan sama dagangan pulang perginya untung banyak. (Syahadan) maka (Baginda) Sultan Sulaiman, serta Yang Dipertuan Muda, (serta Raja Indera Bongsu, serta orang besar-besar sekalian), banyaklah beroleh hasil (daripada cukai-cukai dan labuh batu. ((Maka)) tatkala demikian itu halnya, maka banyaklah orang-orang negeri yang kaya-kaya dan kelengkapan pun banyaklah yang sedia. Maka hal itulah dibahasakan oleh orang /Riau baik bahasa orang/tuha-tuha, zaman dahulu Riau baik.

Kemudian /dari/pada/itu pada/ masa Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja rosak pula sebentar. Kemudian baik pula samula, hingga sampai kepada Yang Dipertuan Muda Raja Haji, mangkin ramailah. Adalah masa Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda bertambah pula ramainya kira-kira tujuh tahun masuk kedulapannya. Syahadan apabila sudah mangkatlah Yang Dipertuan Muda Raja Haji Riau pun rosaklah demikianlah halnya, lagi akan datang kisahnya di dalam siarah ini) adanya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 212 – 221)

Berdasarkan petikan dalam Tuhfat Al Nafis di atas, Daeng Celak mendatangkan bibit gambir dari wilayah Sumatra (Sumatera Utara) untuk di tanam di wilayah Kesultanan Riau. Beliau juga mendatangkan pekerja-pekerja perkebunan gambir dari Cina. Oleh beliau pekerja-pekerja gambir ini di tempatkan di daerah Senggarang. Karenanya, di Senggarang terdapat kelenteng tua peninggalan pekerja gambir tersebut.
Pusat gambir pada masa lalu diperkirakan ada di Jalan Gambir (Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau sekarang). Di Jalan Gambir diperkirakan pernah berdiri areal gudang, yang digunakan untuk menyimpan komoditas gambir sebelum diekspor ke Singapura. Sedangkan gambir banyak ditanam di sekitar areal Ulu Riau, Batu Delapan, juga di kawasan Lagoi, (Sekarang Bintan Utara, Kabupaten Kepri), membawa gambir tersebut ke Tanjungpinang. Di Tanjungpinang inilah terjadi transaksi antara petani gambir dengan pedagang. Gambir, sebuah komoditas ekspor yang sempat mendunia pada masa Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga, namun sayangnya budidaya tanaman ini sudah tak lagi dikembangkan lagi pada masa kini. Areal perkebunan gambir yang tersisa dari Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga terdapat di Tanjungbatu, Kabupaten Karimun. Padahal, dari lembar demi lembar daun gambir itu dulu, selain menciptakan lapangan kerja, juga sekaligus penggerak sektor ekonomi riil bagi masyarakat pedalaman

Penutup

Sejak pelantikan Raja Sulaiman menjadi Sultan dengan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah pada tanggal 4 Oktober 1722, pusat pemerintahan kesultanan Johor Riau berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai Carang (sekarang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang). Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah menjadi Sultan Riau Johor Pahang Lingga yang pertama. Pelantikan Raja Sulaiman menjadi Sultan dengan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah menjadi catatan sejarah penting karena sejak itu muncul konsep pemerintahan yang tidak mutlak di tangan Sultan. Artinya, segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan sedangkan roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda.
Pola kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, patut diteladani terutama saat pemecahan masalah konflik antara suku Melayu dan Bugis.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa melihat riwayatnya dan peran sejarah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I yang sangat besar, maka Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I sangat patut untuk dijadikan teladan bagi masyarakat setempat. Bahkan, pada masa kini sangat memungkinkan untuk menghidupkan kembali perkebunan gambir seperti pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Melayu khususnya Kepulauan Riau.

DAFTAR PUSTAKA

Anastasia Wiwik Swastiwi.“Kerajaan Johor Riau-Lingga Pada Masa Pemerintahan Sultan
Mahmud Syah III” dalam Naskah Kuno : Sumber Ilmu Yang Terabaikan (Telaah Terhadap Beberapa Naskah Kuno). Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2002

Anastasia Wiwik Swastiwi dalam “Pulau Singkep : Masa Penambangan Timah”
dalam Upacara Daur Hidup Di Bangka. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2009

Anastasia Wiwik Swastiwi. “Sejarah Pulau Benan Kecamatan Senayang Kabupaten Lingga” dalam Kesenian Tradisional Melayu Jambi. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Tanjungpinang. 2010

Anastasia Wiwik Swastiwi. Kota Rebah : Pusat Pemerintahan Kerajaan Johor Riau Lingga
1673-1777. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.2007

Anastasia Wiwik Swastiwi. Jaringan Perdagangan di Sungai Carang Pulau Bintan 1777-
1787.Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.2004

Anastasia Wiwik Swastiwi. Istana Kota Pring (1777-1787) : Aset Sejarah Yang Terlupakan.
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2002

Anastasia Wiwik Swastiwi. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I : Peranannya Pada
Kesultanan Johor Riau Pahang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2012

Astrid S. Susanto. 1979. Pengaruh Pariwisata Terhadap Kebudayaan. Makalah dalam Seminar Pembinaan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata. Yogyakarta. 5-9 Maret 1979.

A.W. Widjaya, Peranan Motivasi Dalam Kepemimpinan, CV. Akademika Pressindo,
Jakarta, 1986.

Ahmad Yusuf dkk. Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu
Lingga-Riau.Pemerintah Daerah Propinsi Riau. Pekanbaru.1993

A. Samad Ahmad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran Malaysia.1985Buletin Cagar Budaya. edisi pertama Vol. I I No 2 September 1999

Andaya, B.W. “Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in Historical Context”, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, vol. 153, hal.: 483-508, 1997.
———.Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj. Shamsuddin Jaafar. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1987
Buletin Arkeologi Amoghapasa. BP3 Batusangkar.2004

Buletin Arkeologi Amoghapasa. BP3 Batusangkar.2005
.
Buhari Zainun, Manajemen dan Motivasi, Balai Aksara, Jakarta, 1981.

Buhari Zainun, Faktor Manusia dalam Manajemen (Human Relation Approach),
SLIA, Jakarta, 1984

Depdikbud. Sejarah Daerah Riau, Pekanbaru : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Cetakan ke-2 1986.

Daud Kadir, H. M. Sejarah Kebesaran Kesultanan Lingga-Riau. Pemerintah
Kabupaten Lingga. 2008-11-14.

D, Samsuridjal dan Kaelany HD. 1997. Peluang Di Bidang Pariwisata. Jakarta. Mutiara Sumber Widya.
Esram, M. Juramadi. 2006. Analisis Pasar Pariwisata Kota Tanjungpinang. Semarang. Undip.

Evrizal, Wan. 2004. Partisipasi masyarakat dalam Pemeliharaan Prasarana Pasca Pelaksanaan Program P2D Di Kecamatan bantam kabupaten Bengkalis. Semarang. Program Studi magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.

Fitra Arda, dkk. Panduan Benda Cagar Budaya dan Situs Kota Tanjungpinang, 2007.

Helen Haris P, Motivasi dan Pemecahan Masalah, Rineka Cipta, Jakarta, 1989.

Hamzah Yunus, Peninggalan-peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat. Yayasan
Kebudayaan Indera Sakti. UNRI Press, 2003

Jusman dan Carolina, Dinamika Kelompok Dalam Organisasi, BSSW Cop, Bandung,
1993.

Koentjaraningrat. 1978. Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta.
Gramedia.

——————– 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia.

Kusmayadi dan Endar Sugiatro. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lucas Partanda Koestoro. Dapur Gambir Di Kebun Lama Cina, Jejak Kegiatan
Perekonomian Masa Lalu Sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga.
Balai Arkeologi Medan. Tt

Margono Slamet, Kelompok Organisasi dan Kepemimpinan, Fak. Pascasarjana IPB,
Bogor, 1989.

Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia.

Marsis Sutopo, dkk. Studi Master Plan Kawasan Kepurbakalaan Daik
Lingga, Laporan , BP3 Batusangkar, 2006.

Masri Singarimbun, Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989.

Mubyarto Cokrowinoto, Aspek-aspek Motivasi dalam Manajemen Organisasi, Bina
Aksara, Jakarta, 1983.

M. Amin Yacob, Sejarah Kerajaan Lingga, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Lingga. UNRI Press. 2004.

Moch. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Muhammad Yusoff Hashim. Hikayat Siak. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian
Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1992

Pemerintahan Provinsi Riau. Dari Kesultanan Melayu Johor Riau ke Kesultanan
Melayu Lingga Riau. Pekanbaru, 1993.

Pemerintahan Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang Land of Malay History.
Tanjungpinang, 2006.

Purnamawati, Ati. 2001. Minat Wisatawan Terhadap Obyek dan Daya Tarik Wisata Kota Di Kota Bandung. (Tesis). Semarang. Undip.

Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, Inventarisasi dan Identifikasi Benteng-
benteng di Indonesia. Makalah, PDA Indonesia, Bengkulu 2008.

Rachman Natawidjaya, Skala-skala Pengukuran Penelitian Sosial, STKS, Bandung,
1987.

Repelita Wahyu Oetomo, Benteng Tanah di Pulau Lingga, Balar Medan.

Rousseau,JJ. Du Contract Social (Perjanjian Sosial). Visimedia. 2007

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed). 1987. Metode Penelitian Survey. Jakarta. LP3ES.

Sinulingga, Budi P. 1999. Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta.

Slamet. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Peran Serta. Surakarta. Sebelas Maret University Press.

Soekadijo, R.G. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta. Gramedia.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1990.

Spillane, J. 1996. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta. Kanisius.

———— 1998. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.

Sugiantoro, Ronny. 2000. Pariwisata Antara Obsesi dan Realita. Yogyakarta. Adicita Karya Nusa.

Sukowinarto. Visi dan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Kursus Tertulis Pariwisata Tingkat Dasar Modul II. Jakarta. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Menbudpar. 2002.

Sindu Galba dkk. Sejarah Kerajaan Riau-Lingga. Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 2001

Sindu Galba dkk. Asal-Usul Nama Tempat Bersejarah Di Bintan, Daik Lingga dan Singkep. Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 2001

Sindu Galba dkk. Pelabuhan Riau : Hubungan dan Peranannya Dengan Daerah Hinterland
1700-1973. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2001

Tumini dan Hendra Fazri. Survei Pendataan Benda Cagar Budaya dari Situs di
Kota Tanjungpinang, Laporan BP3 Batusangkar, 2006.

Virginia Matheson Hooker. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1991.

Waluyo, Harry. 1994/1995. Strategi Adaptasi Masyarakat Terhadap Program Pengembangan Pariwisata. (Studi Kasus Di Daerah Riau Kepulauan Propinsi Riau). Jakarta. Depdikbud.
.
Wibisana, Gunawan. 1989. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Peremajaan Pasar.Bandung. Program Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.

Widyaninduto, Sigit. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Malang, Semarang. Universitas Diponegoro.

Yulianti, Meytia. 2005. Partisipasi Masyarakat Dalam Memelihara Benda Cagar Budaya Di Pulau Penyengat. Semarang. Undip

www.budpar.go.id
www.bps.go.id
www.kepriprov.go.id
www.lingga.dapodik.org
www.linggakab.site40.net
www.Pariwisatalingga.com