Melemang; Tubuh yang Kayang

0
1884

Melemang, demikian masyarakat menyebut seni pertunjukan ini. Bentuk kesenian ini menitikberatkan pada kelenturan tubuh dengan membuat gerakan-gerakan kayang. Tentu untuk melakukan gerakan kayang semacam itu butuh kelenturan tubuh. Mungkin karena kelenturan tubuh tersebut penutur / informan menyamakan dengan sifat lemang; kenyal dan lentur. Lemang sendiri sejenis makanan berbahan pulut (ketan) yang cukup akrab bagi masyarakat Melayu, baik di Sumatera maupun kepulauan.

Menurut cerita lisan yang berkembang melemang muncul di Desa Penaga, Teluk Bintan. Pada masa lalu masyarakat mengenal daerah tersebut dan sekitarnya dengan sebutan Bintan Penaung. Di daerah tersebut terdapat makam Datuk Penaung. Datuk Penaung dianggap sebagai noyang bagi masyarakat setempat. Dan pada masa kerajaan atau kesultanan dulu melemang menjadi salah satu bentuk sajian pertunjukan untuk menghibur keluarga kerajaan, punggawa kerajaan, dan juga para tamu kerajaan. Dengan kata lain melemang menjadi pertunjukan khusus di area istana raja (seni tinggi). Dalam pertunjukan melemang para penampilnya adalah para dayang istana ataupun kelompok kesenian “binaan” yang digaji oleh pihak istana. Kelompok-kelompok kesenian binaan tersebut tugasnya hanya untuk menghibur kalangan istana saja.

Pasca pengaruh kerajaan luntur menjadi berkah bagi masyarakat awam untuk dapat menikmati pertunjukan tersebut. Bekas para pelaku kesenian istana tersebut menyebar dan mengembangkannya di luar tembok istana. Mereka tersebar di beberapa daerah atau pulau. Mereka membuat kelompok-kelompok kesenian yang berdiri sendiri dan mandiri. Kelompok-kelompok kesenian yang mempertunjukkan melemang yang tumbuh di masyarakat biasanya bersatupadan dengan joged dangkong. Dangkong dan melemang menjadi satu paket tampilan yang disuguhkan kelompok-kelompok kesenian itu.

Pada tuturan sejarah lisan melemang tidak lepas dari keberadaan joged dangkong. Di mana ada joged dangkong di sana ada melemang atau sebaliknya. Melemang menjadi salah satu tampilan untuk meramaikan pertunjukan joged dangkong. Maka tidak mengherankan jika banyak penari dangkong yang fasih melakukan melemang ataupun sebaliknya.

 Pertunjukan Melemang  

Secara sederhanya melemang adalah gerakan kayang. Para penampil melakukan gerakan kayang dengan cara menjatuhkan atau melentingkan tubuhnya ke belakang dan menjadikan kedua tangan dan kedua kaki sebagai tumpuannya. Bagi yang pandai dan lihai akan menjatuhkan badannya secara perlahan-lahan. Di sana penampil terlihat kekokohan dan kelenturannya. Dan yang lebih mahir lagi hanya tangannya yang jadi tumpuan. Kedua tangan menahan beban tubuh dan kakinya. Melemang kala demikian gerakan ini disebut. Posisi tersebut dipandang menyerupai bentuk kalajengking yang bercapit (sejenis laba-laba). Untuk melakukan gerakan ini dibutuhkan bukan hanya kelenturan, namun juga kekuatan menahan tubuhnya.

Mak Itam, bekas penampil dangkong dan melemang, menuturkan melemang dipertunjukan selepas pertunjukan dangkong. Dulu sebelum mempertunjukan melemang para penampil akan melakukan gerakan teatrikal besikat. Dalam Besikat penampil memperagakan gerakan atau laku orang yang sedang memoles-menghias rupa diri, yaitu dengan menjadikan tangan kiri seolah-olah sebagai cermin sedang tangan kanannya melakukan adegan mendanani wajahnya. Seperti anggapan umum, kaum perempuan adalah kaum pesolek dan kaum laki-laki adalah penyuka yang bersolek. Para penampil tersebut mengelilingi penonton yang berada di luar garis batas panggung atau area pertunjukan. Sebuah upaya untuk menghidupkan suasana dan menghibur penonton. Penonton menanggapinya dengan riuh; selebritas pujaannya mendatangi dirinya.

Selain bersolek menghias wajah diri para penampil tersebut juga melenggak-lenggokkan tubuhnya laiknya putri ayu seraya mengelilingi para penonton yang betah menunggu pertunjukan melemang. Dalam tataran ini kita dapat membayangkan suasana yang semakin memikat dan menghibur, meskipun malam telah larut. Pada umumnya pertunjukan melemang diadakan pada malam hari. Pada saat yang hampir bersamaan anggota kelompok kesenian itu menyiapkan peralatan atau bahan untuk pertunjukan melemang. Bahan-bahan yang dipersiapkan antara lain biji kelapa yang telah ditancapi uang-uang koin dan luar buah kelapa tersebut dibaluri arang atau tepung. Selain kelapa kelapa kelengkapan lainnya adalah nampan atau talam yang telah ditaburi tepung. Uang-uang koin itu dibenamkan di dalam taburan tepung tersebut. Biasanya dua buah benda tersebut peralatan atau bahan yang kerap digunakan pada pertunjukan melemang.

Melemang adalah seni akrobatik yang mempertunjukan kelenturan dan ketahanan tubuh penampilnya. Pada pertunjukannya para penampil dalam posisi tubuh kayang dengan menjadikan tangan dan kakinya sebagai tumpuannya berjalan mendekati biji kelapa atau talam yang diletakkan di tengah panggung. Tetap dalam posisi kayang mereka mengambil koin-koin tersebut dengan cara menggigitnya. Walhasil bagian mulutnya bersentuhan dengan arang atau tepung. Tidak terelakkan sekitar mulut mereka akan cemong dengan tepung ataupun arang itu. Di luar pagar panggung para penonton bersorak-sorai terhibur: antara takjub dan lucu. Pada kasus yang lain para penonton akan melemparkan koin atau sapu tangan ke tengah panggung kemudian para penampil melemang akan mengambilnya seperti halnya mengambil koin-koin di atas: saweran pada pertunjukan melemang.

Seperti telah disebutkan di atas pada pertunjukan ini ada gerakan atau posisi yang disebut dengan melemang kala. Poisisi ini terinspirasi dengan bentuk kalajengking dengan capitnya. Gerakan atau posisi ini lebih menguras tenaga dan butuh stamina. Bentuk gerakan ini adalah dengan mengangkat ke dua kaki ke atas sehingga yang jadi tumpuan hanya kedua tangannya saja. Penampil melemang kala akan berjalan dengan menjadikan kedua tangannya sebagai kaki tumpuan langkah-langkahnya menuju talam atau biji kelapa atau sapu tangan yang akan diambilnya. Saat melakukan posisi kayang tersebut para penampil menyelipkan atau mengikatkan kain sarungnya agar bagian kakinya tetap tertutup.

Melepaskan Diri dari Citra Negatif

Pada saat itu dangkong (dan melemang) menjadi preferensi hiburan yang sangat populer pada masyarakat Melayu. Lewat dangkong masyarakat Melayu dapat rehat sejenak dari aktivitas keseharian yang berkutat mencari ikan di lautan. Terlebih keberadaan hiburan semacam itu tidak datang sesering yang mereka mau. Kelompok-kelompok dangkong datang dari pulau-pulau tertentu dan datangnya juga tidak menentu. Maka ketika ada pertunjukan dangkong akan menyedot perhatian masyarakat yang haus hiburan.

Dalam suatu kelompok dangkong para penampil dangkong dan melemang adalah perempuan, sedang yang laki-laki hanya pengiring musik yang memainkan biola, gong, kendang, dan atau akordion. Namun eksistensi perempuan pada ranah seni tradisi (dan modern) kerap menimbulkan kontroversi di masyarakat, terutama dari kalangan agamawan. Perempuan yang bergiat pada seni pertunjukan kerap dipandang negatif. Begitu juga dengan para penampil atau penari dangkong, yang dapat dikata sebagai induk dari melemang. Hal tersebut tidak lepas dari bentuk pertunjukannya yang melibatkan kaum laki-laki dan perempuan berjoged bersama mengikuti alunan musik Melayu yang bertalu-talu. Secara kategori dangkong termasuk tari pergaulan. Seperti halnya tari pergaulan lainnya maka dalam berjoged tidak menutup kemungkinan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Dan ketika mereka menari atau berjoged tidak menutup kemungkinan terjadi sentuhan secara fisik, padahal mereka bukan muhrim. Terlebih norma Melayu yang dilandasi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Kondisi ini cukup dipandang riskan.

Pandangan negatif ini turut menyurutkan gerak dinamika dangkong di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Citra negatif melekat pada dangkong. Dangkong kian jarang dipertunjukan. Keberadaan lanun yang merompak rombongan kelompok juga turut menyumbangkan kekhawatiran kelompok dangkong untuk melakukan pertunjukan lintas pulau. Ditambah lagi masuknya alat-alat musik modern (konsep band) yang serta-merta menjadi idola baru menambah beban bagi eksistensi kesenian dangkong dan melemang. Akhirnya keberadaan dangkong dan melemang semakin terbenam di dalamnya. Tahun 1960-an dianggap sebagai tahun keemasan terakhir bagi seni dangkong dan melemang. Mereka tetap ada dengan langkah tertatih. 1970-an menjadi titik balik rekontruksi dan revitalisasi melemang. Dengan dikawal, diawasi, dan didampingi oleh pejabat kebudayaan melemang dipisahkan dari pertunjukan dangkong. Hal tersebut untuk melepaskan beban citra negatif yang kadung melekat pada dangkong. Hasilnya melemang menjadi pertunjukan yang berdiri sendiri: membentuk citranya sendiri. Sekarang melemang adalah sebuah pertunjukan tarian akrobatik. Gerakan melemang kala ditiadakan. Kini mereka hanya mempertunjukan tarian Melayu pada umumnya lantas dilanjutkan dengan gerak kayang yang para penampilnya membentuk lingkaran, terinspirasi dari bentuk bunga yang mekar. Mereka akan melangkah sedikit untuk mengambil sapu tangan dengan gigi mereka.

Lengang  

Melepaskan diri dari dangkong bukan berarti melemang dapat melenggang dan berkembang dengan kencang. Terlepas dari masih adanya pandangan negatif, meskipun terdengar samar, keberadaan pertunjukan melemang seperti stagnan; berjalan di tempat. Saat ini terdengar hanya satu sanggar atau kelompok yang menggelutinya, yaitu sebuah kelompok seni di Desa Penaga. Dan pertunjukannya pun kian lengang terdengar. Mungkin hanya menunggu pemerintah daerah punya acara dan mereka bisa tampil di sana. Tidak menutup kemungkinan melemang akan mati suri: mati segan, hidup tidak mau.

Salah satu yang dihadapi para pegiat melemang di Desa Penaga adalah minimnya regenerasi, terutama untuk penampil melemang. Untuk pemain musik cenderung lebih gampang dicari, meskipun di luar desa. Mereka kesusahan mendapatkan kader-kader penampil yang akan meneruskan kesenian tersebut. Selama ini para penampilnya adalah siswa-siswa sekolah menengah atau gadis-gadis yang masih tinggal di desa tersebut. Keterlibatan mereka dalam pertunjukan melemang akan terhenti ketika mereka melanjutkan sekolah atau kuliah di kota atau menikah.

Kondisi kesenian tradisi yang stagnan atau bahkan mati suri saya kira tidak dialami kesenian melemang saja tapi kesenian-kesenian tradisi lainnya dan itu terjadi di banyak daerah. Lantas? (penulis: jauhar mubarok, terbit di Batampos, Agustus 2016).