Bukan Melayu Kalau Belum Pernah ke Penyengat

0
333
Rombongan peneliti, budayawan Melayu Singapura bersama Kadisbudpar Tanjungpinang, Bank Indonesia, BPNB Kepri foto bersama di Restoran Sei Enam, Selasa (11/2) kemarin.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjungpinang, Surjadi menilai betapa penting arti Pulau Penyengat bagi dunia Melayu di kawasan ini. Ia pun mempunyai tagline menarik ‘bukan Melayu kalau belum pernah ke Penyengat.
“Penyengat menarik dikaji dari banyak sisi. Tidak hanya sisi sejarah. Makanya saya ingin mempopulerkan bahasa ini. Bukan Melayu kalau belum pernah ke Penyengat,”kata Surjadi saat acara diskusi terpumpun dengan peneliti dan budayawan Melayu Singapura di Restoran Sei Enam, Tanjungpinang, Selasa (11/2) kemarin.

Arti penting Penyengat dipaparkan Raja Malik bin Raja Hamzah Yunus, budayawan Melayu asal Penyengat. Penyengat, katanya dikenal bukan hanya karena tinggalan bangunan fisik sejarah belaka. Penyengat jadi tamannya para penulis. Di Penyengat abad 19 lahir penulis-penulis atau cendikiawan hebat. “Karena inilah Penyengat dibicarakan dimana-mana. Manuskrip penulis penulis hebat masih banyak kita simpan,”kata Malik.

Perjalanan sejarah panjang Kemaharajaan Melayu dari Bukit Siguntang sampai Tumasik hingga hijrahnya Sultan Abdul Rahman Muazzaman Syah ke Singapura dijelaskan Peneliti Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Anastasia Wiwik Swastiwi. Wiwik menyebut, Singapura sangat memiliki hubungan yang sangat erat dengan Tanjungpinang sejak abad 12 dan 13 saat mulainya Tumasik hingga lahirnya Singapura. “Pulau Penyengat sudah banyak dikaji para peneliti. Banyak disertasi, tesis dan tulisan tentang Penyengat. Jadi kalau ada yang mau meneliti, tinggal fokus apa saja yang belum dikaji orang,”ujarnya.

Rombongan dari Singapura yang datang 9 orang difasilitasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Singapura. Rombongan di Tanjungpinang disambut Disbudpar Tanjungpinang dan Kantor Bank Indonesia Cabang Batam. Agenda ke Tanjungpinang dan Pulau Penyengat para peneliti, budayawan dan praktisi pariwisata Singapura ini ingin melihat Pulau Penyengat secara langsung untuk belajar. “Orang Melayu di Singapura tinggal 13 persen. Kita memang sedang krisis identitas dan tidak ingin makin lama hilang nilai-nilai kemelayuannya. Makanya kami ingin melakukan penyelidikan ke Penyengat,”kata Mohamad Shansuri bin Juhari, Research Fellow Institute of Policy Studies, National University of Singapore (NUS). **