Belajar Toleransi Beragama Pada Orang Laut

0
1210

oleh:
Dedi Arman (Staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri)

Orang Laut di Kepulauan Riau memiliki toleransi dalam keberagaman beragama. Meski satu suku dan berbeda agama, mereka tetap hidup rukun. Tak pernah ada konflik karena berbeda kepercayaan. Darah dan budaya yang sama sebagai Orang Laut menyatukan mereka.

Potret kerukunan itu dapat terlihat di Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan. Mayoritas penduduk Orang Laut beragama Katolik dan ada juga yang Islam. Ada satu gereja dan satu mushala yang letaknya berdekatan. Lokasinya disamping Dapur Arang Orang Laut yang kini dijadikan obyek wisata. Warga bebas beribadah dan melaksanakan kegiatan agama masing-masing. Dengan penduduknya yang mayoritas Katolik, kegiatan di gereja lebih hidup. Hari-hari tertentu anak-anak Orang Laut yang Katolik juga belajar Bahasa Inggris di fasilitas umum (Fasum) yang ada di sana.

Kampung Panglong bisa diakses lewat jalur darat. Letaknya diujung Pulau Bintan. Di kampung ini sekitar 75 kepala keluarga (KK) penduduknya orang Suku Laut. Mayoritas beragama Katolik, meski ada juga yang beragama Islam. Banyak juga orang Suku Laut yang kawin mawin dengan orang Flores di sini. Asal usul Orang Laut Berakit ini dari Pulau Kubung, Kecamatan Nongsa, Batam. Pada awalnya hanya satu kepala keluarga (KK) Suku Laut yang tinggal di Kampung Panglong ini tahun 1962. Namanya Bone Pasius atau lebih dikenal dengan nama Pak Boncet. Tahun 1965 datang lagi tiga KK dari Pulau Numbing dan Perairan Kelong yaitu keluarga Jantan, Dolah dan Mat. Mereka pindah ke Kampung Panglong ini karena perairan di daerah ini kaya terumbu karang. Ikan pun sangat kaya.

Damainya hidup di Kampung Panglong diakui Fransiskus Tintin (26) dan kakaknya, Mira (43). Keduanya aktivis gereja di Kampung Panglong. Orang tua mereka bernama Pak Boncet, Ketua Suku Laut Desa Berakit yang sangat dihormati. Setelah Boncet meninggal, jabatan Ketua Suku Orang Laut dipegang Fransiskus Tintin. “Kami di sini hidup dalam suasana damai. Kami Katolik banyak juga saudara yang Islam. Sesama Orang Suku Laut, kami tetap kompak,”kata Tintin.

Kakak Tintin, Mira menikah dengan Lago, Orang Laut dari Pulau Air Mas, Desa Ngenang, Batam. Mira beragama Katolik, sementara Lago dan saudara-saudaranya di Air Mas beragama Kristen Protestan. Lago pun Masuk Katolik. Menurut Mira, sejak ia masih kecil hingga sekarang, belum ada pernah warga yang ribut karena permasalahan beda agama di Kampung Panglong.

Harmonisnya hubungan antar warga juga diakui Mat Beyeng (63), Tokoh Orang Laut Kampung Panglong. Orang tua laki-lakinya asal Flores dan ibunya asli Orang Laut. Dulu ia beragama Katolik dan menjadi mualaf setelah menikah dengan istrinya yang sekarang. “Keluarga saya Katolik. Tapi saya bertemu dengan istri yang Orang Melayu Deli. Kami menikah dan saya jadi mualaf,”kata Mat Beyeng.

Meski sudah pindah agama, Mat Beyeng mengaku ia tetap diterima secara baik oleh Orang Laut yang lain di Kampung Panglong. Kegiatan-kegiatan Orang Laut di sana, mereka bekerjasama. Begitu juga kalau ada peneliti atau wartawan yang ingin mengetahui tentang budaya Orang Laut, biasanya ia bersama keluarga Fransiskus Tintin duduk bersama.

Berbeda dengan Kampung Panglong yang warganya cukup ramai, Orang Laut di Kawal Pantai, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan hanya belasan KK. Meski kampungnya berstatus kelurahan, tapi belum ada akses jalan darat atau jembatan menuju ke perkampungan mereka. Lokasi kampung Suku Laut Kawal Pantai terbilang dekat dan bisa terlihat dari jalan raya Kawal-Trikora.

Mayoritas Orang Laut yang berdiam di Kawal Pantai beragama Islam. Ada dua orang beragama Kristen.
Kondisi perumahan warga berbeda dengan Kampung Panglong. Masing-masing rumah terpisah. Tak ada
pelantar atau jembatan yang menghubungkan rumah yang satu ke rumah yang lain. Untuk pergi ke rumah tetangga, terpaksa naik sampan atau pompong.
Meski berbeda agama, antar warga hubungannya tetap harmonis.

Nasir, salah seorang Orang Laut di Kawal Pantai menyebut dalam keluarga besar istrinya ada yang beragama Islam dan ada juga yang Katolik.
Mereka tetap hidup damai dan tak ada konflik.
“Kampung kami Kawal d kampung kami. Belum ada pelantar. Jembatan menuju ke darat juga belum ada. Terpaksa naik sampan,”kata Nasir.

Menurut Nasir, kampung Kawal Pantai ini belum setua Kampug Panglong di Berakit. Antara Orang Laut Kawal Pantai dan Kampungh Panglong banyak yang statusnya masih bersaudara dan semuanya saling kenal. Warga Kawal Pantai ada yang datang dari Berakit dan ada juga yang datang dari Air Mas dan Air Kelubi, Bintan.
“Karena lokasi rumah terpisah-pisah. Warganya kurang kompak meski kami ini semuanya bersaudara.
Nenek kami adik beradik,”kata Nasir.

Di Kawal Pantai ini, Orang Laut-nya tak ada ketua suku. Warganya jarang sekali kumpul bersama kecuali kalau ada kegiatan, seperti adanya kunjungan dari pejabat pemerintah atau pun orang politik. “Kami semuanya nelayan. Pergi pagi pulang sore. Tak ada lagi yang mencari ikan atau hasil laut berhari-hari,”sebutnya.

Kampung Orang Laut ketiga yang bisa menjadi potret toleransi beragama adalah Pulau Air Mas, Kecamatan Nongsa, Batam.
Lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Punggur. Berbeda dengan dua kampung lain yang warganya beragama Katolik dan Islam, Air Mas warganya mayoritas beragama Kristen Protestan. Uniknya, nama-nama warganya nama khas Melayu dan Islam. Disini tinggal sekitar 40 Kepala Keluarga. Sekitar 23 KK Orang Laut pindah ke Pulau Air Mas tahun 2002 lalu. Pemerintah membuat rumah untuk mereka.

Kondisi dermaga dan pelantar di Air Mas terbilang lebih bagus ketimbang di Kawal Pantai. Namun, kondisi rumahnya belum ada satu pun yang permanen. Rumah yang ada dan kondisinya bagus itu bantuan dari pemerintah melalui Rehab Rumah Tak Layak Huni (RTLH) dari Pemko Batam tahun 2014.
Sejumlah rumah terlihat kosong. Pemilik rumah meninggalkan Air Mas untuk mengembara ke Perairan Mantang. Mereka bepergian dalam beberapa kelompok sejak bulan Juli 2017 lalu. Akhir bulan November ini, Orang Laut itu kembali ke Air Mas untuk persiapan jelang Natal. “Lumayan banyak Orang Laut sini yang hidup di laut. Anak-anaknya tak sekolah. Kalau saya tak bisa lagi,”kata Sabariah, salah seorang warga Orang Laut.

Sabariah memiliki satu putra yang sekolah di SMA 6 Batam di Pulau Air Raja. Untuk beribadah warga Air Mas tiap minggu naik pompong ke Pulau Kubung. Gereja ada di sana. Warga yang beragama Kristen dan Islam di Air Mas rumahnya dibuat terpisah. Tapi yang beragama Islam hanya sekitar dua atau rumah saja. Meski begitu, antara warga kompak dan tak pernah terjadi perselisihan.

Konsep Religi

Bagi Orang Laut, agama belum jadi urusan yang sakral. Mereka dengan mudah berpindah agama tergantung penawaran dari siapa yang membantu
mereka. Kalau pemuka agama Islam yang rajin turun memberikan bantuan, maka diyakini warga Orang Laut banyak beragama Islam. Sementara kalau
pemuka Kristen atau Katolik yang rajin membantu warga, dipastikan warganya juga berminat masuk Kristen atau Katolik.
Hal ini terjadi di Pulau Air Mas, Batam. Sebagian warga yang dulunya animisme masuk Islam. Namun karena kurang perhatian, warga
yang beragama Islam pindah memeluk Protestan. Tak heran nama-nama warga sebagian besar nama Melayu dan nama Islam.

Religi yang mengatur perilaku orang Laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme. (Sopher, 1977). Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka. Meski telah beragama Kristen, Islam atau Katolik, Orang
Laut tetap percaya pada dunia gaib.

Dunia roh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Ruh-ruh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang Laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah ‘orang sendiri’, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.
Orang Laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri, yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan dapat mencelakakan orang.

Meski telah memeluk agama, dalam upacara tertentu seperti kematian, Orang Laut tetap percaya pada hal gaib. Kematian bagi Orang Suku Laut bukan akhir dari kehidupan. Mereka meyakini kematian sebuah jalan bagi seseorang untuk pindah dari dunia nyata ke dunia tidak nyata, yaitu dunia roh. Dunia roh ini terletak di sebelah barat, digambarkan sebagai dunia yang abadi, tenang dan tentran sepanjang masa. Roh tidak boleh tersesat ketika menuju ke tempat tersebut. Jika tersesat roh takkan berkumpul dengan para pendahulunya.

Ada dua bentuk upacara kematian Orang Laut di Bintan. Pertama, bagi Orang Suku Laut yang sudah tinggal menetap dan memeluk agama tertentu.
Kedua, bagi Orang Suku Laut yang masih mengembara dan meninggalkan rumahnya untuk hidup di laut. Secara umum prosesinya tak jauh beda dengan penguburan Orang Islam. Orang Laut di Bintan yang hidupnya belum menetap di darat tak memiliki lokasi makam atau pekuburan yang tetap. Saat ada yang meninggal dunia, pihak keluarga memakamkan di pulau terdekat.Jenazah dikuburkan di dalam tanah.Ada papan keranda dan jenazah dimasukkan dalam kain. Cara pemakamannya seperti cara Islam meski saat ini Orang Laut tak memiliki agama. Bedanya, tak ada sholat jenazah dan doa seperti halnya dalam Agama Islam.
Keluarga berkabung biasanya selama tiga hari dan kemudian menjalankan aktivitas seperti biasa.

Orang Laut yang beragama Islam, tahapan dalam upacara kematian dilaksanakan disiang hari. Tempatnya di tepi pantai yang berpasir dan dibuat dinding dari kain panjang atau kajang yang terbuat dari nipah atau mengkuang. Tujuannya agar prosesnya tidak dilihat, khususnya saat memandikan jenazah.Ada mantera atau serapah yang dibaca saat proses memandikan, yang bunyinya: biar selamat engkau berjalan, jangan sampai sesat. Jangan teringat pada kami yang tinggal. Jenazah dimandikan dengan air dan digosok dengan sabut kelapa. Tujuannya agar bersih. Badan jenazah ditaburi bedak yang terbuat dari beras yang ditumbuk halus dan dicampuri dengan sedikit kunyit. Kegunaannya untuk menghilangkan bau yang kurang enak.

Orang Suku Laut juga mengenal kenduri acara kematian Tujuannya untuk memohon kesalamatan agar roh si mayat sampai ke tujuan. Selain itu juga untuk berterimakasih pada kepada orang yang telah membantu proses upacara kematian. Kenduri dipimpin seorang dukun. Dibacakan mantera-mantera oleh dukun agar keluarga yang ditinggalkan merasa aman dan jenazah rohnya tak menggaggu. Orang Suku Laut di Bintan juga melakukan peringatan kematian.Pelaksanaannya 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian. Pihak keluarga menyiapkan makanan untuk tamu undangan dan juga makanan yang dipersembahkan bagi arwah.Makanan yang disiapkan untuk tamu, seperti nasi, ayam, pulut, kopi atau teh, juga disediakan khusus untuk, arwah. Sesajen ini diyakini nantinya akan dimakan almarhum. Saat mengantar sesajen itulah, pihak keluarga mengucapkan serapah yang isinya agar keluarga yang ditinggalkan bisa merasa tenang ditinggalkan dan tak mendapat bencana. ** (terbit di Jembia.Harian Tanjungpinangpos, 31 Desember 2017)