Agama, Ritual dan Konflik: Suatu Upaya Memahami Konflik Internal Umat Beragama di Indonesia

0
10799


Oleh:
Febby Febriyandi YS S.Sos MA

PENDAHULUAN
Agama telah menjadi perbincangan serius dalam sejarah panjang umat manusia. Ia selalu berada dalam dua kutub yang saling bertolak belakang, di satu sisi agama diajarkan dan diterima sebagai suatu keyakinan yang tidak dipertanyakan, di sisi lain agama diperdebatkan dan ditentang keberadaannya, dikubur dalam kitab- kitab usang dan dibuang dari kalbu manusia.
Selain penerimaan dan penolakan itu, suatu fenomena yang melekat dalam sepanjang sejarah perjalanan agama dan menjadi perhatian semua pihak adalah konflik yang mengatasnamakan agama. Beragam konflik telah tercatat dalam perjalanan panjang sejarah agama manusia. Sebut saja Perang Salib, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir dinasti Islam terakhir di Spanyol, pembantaian umat Yahudi oleh kelompok Nazi, konflik antara umat Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, konflik berdarah antara umat muslim dan kristiani di Afrika Tengah, konflik umat Buddha dengan muslim di Myanmar, konflik Israel dan Palestina yang hingga hari ini masih terus terjadi dan sederetan panjang kasus konflik

yang melibatkan agama. Bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa sepanjang tahun 2012, sepertiga dari
198 negara yang mereka teliti mengalami konflik agama yang tinggi atau bahkan sangat tinggi. Konflik agama ini termanifestasi antara lain dalam bentuk kekerasan sektarian, terorisme atau intimidasi.
Dalam konteks Indonesia juga terjadi sederetan konflik agama sepanjang sejarah kehidupan ber- negara. Kushendrawati (2012: 185) mengatakan bahwa masalah agama adalah masalah yang paling sensitif di Indonesia. Berbagai konflik terjadi di Indonesia akibat kekurangpahaman masyarakat tentang bagaimana dapat hidup bersama dalam perbedaan (terutama perbedaan agama). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis, namun sifat pluralistik yang ditampilkan bukanlah hidup berdampingan dengan damai, yang ditampilkan justru kehidupan yang penuh dengan konflik. Beberapa konflik di Indonesia misalnya pembakaran gereja di Situbondo, konflik antar-agama di Ambon, di Poso, kerusuhan Ketapang, Kupang1, dan

1 lihat : Dadang, 2009.

Tolikara. Selain itu ada juga kasus 1 Juni 2008 di Monas yang melibatkan ormas FPI dan Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama yang meng- akibatkan jatuhnya korban.
Beberapa konflik yang disebutkan di atas terjadi antara pemeluk agama yang berbeda. Tetapi apakah konflik hanya terjadi antar-pemeluk agama yang berbeda?, seperti yang dikatakan oleh Alford (1988) bahwa agama menjadi suatu masalah hanya dalam masyarakat yang heterogen secara agama. Kondisi homogenitas agama dipandang Alford sebagai suatu kondisi kestabilan secara politik. Kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa Alford salah besar. Konflik agama juga terjadi antara pemeluk agama yang sama. Di Indonesia misalnya, terjadi tragedi Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Ratusan orang menyerang lokasi jemaat Ahmadiyah dengan membawa senjata tajam. Selain itu ada pula konflik penyerangan yang terjadi terhadap warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kabupaten Sampang2 dan banyak lagi konflik yang melibatkan penganut keyakinan agama yang sama. Berkaitan dengan konflik-konflik ini, Human Rights Watch menilai Indonesia gagal merespon peningkatan aksi kekerasan terhadap agama minoritas termasuk Ahmadiyah dan Syiah. Mereka meminta pemerintah mengambil langkah konkret untuk mengatasi konflik yang dipandang sebagai masalah intoleransi ini (Rumagit, 2013: 57).

2 lihat : Kushendrawati, 2012.

Melihat berbagai konflik umat seagama yang telah terjadi, ada dua pertanyaan dasar yang perlu dijawab: pertama, mengapa terjadi konflik keagamaan di antara pemeluk agaman yang sama?, apa pemicunya? Kedua, apakah konflik keagamaan ini memiliki fungsi bagi tatanan kehidupan bermasyarakat?
Penelitian seputar konflik antar- pemeluk agama di Indonesia telah banyak dilakukan dengan berbagai hasil dan simpulan. Geertz (1960) dalam bukunya The Religion of Java telah mengidentifikasi konflik yang melibat- kan kaum santri, abangan, dan priyayi dalam masyarakat Jawa. Menurut Geertz, konflik agama juga meliputi konflik ideologi, konflik kelas, dan konflik kepentingan politik. Rusli (2013: 124-125) berpendapat bahwa akar konflik agama berasal dari keyakinan bahwa agama memiliki ajaran yang: 1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali; 2) bersifat lengkap dan fi- nal, oleh karena itu tidak diperlukan kebenaran dari agama lain; 3) kebenaran agama sendiri dianggap sebagai satu-satunya jalan keselamatan;
4) seluruh kebenaran itu diyakini orisinal dari Tuhan tanpa konstruksi manusia.
Yunus (2014: 220-221) yang me- maparkan konflik agama di Poso, Bogor dan Puger, berpendapat bahwa konflik antar-umat beragama disebabkan oleh sedikitnya dua faktor: pertama, klaim atas kebenaran sendiri yang menyebab- kan kecenderungan umat beragama

yang membenarkan ajaran agamanya masing-masing, meskipun ada yang tidak paham dengan nilai luhur yang terkandung dalam agamanya. Semangat yang menggelora kadang kala telah merendahkan orang lain yang memiliki pemahaman berbeda. Kedua, doktrin perjuangan atau perang suci yang membenarkan tindakan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap berseberangan.
Retnowati (2014) melakukan penelitian terhadap konflik agama di Situbondo. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana institusi agama dan umat beragama Islam dan Kristen mengupayakan penyelesaian konflik dan membangun integrasi pasca konflik yang mereka alami. Retnowati menemukan, konflik fisik berhasil diatasi dengan melibatkan kiai terkemuka di Situbondo. Menurut Retnowati, keberhasilan ini disebabkan karena kiai dan ulama di Situbondo berperan sebagai cultural broker dan agent of change yang memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik. Hal yang menarik menurut Retnowati adalah pemulihan hubungan pasca-konflik tidak hanya melibatkan para tokoh agama saja, tetapi melibatkan umat beragama secara keseluruhan. Warga gereja dan para santri melakukan kegiatan bersama baik di gereja maupun di pondok pesantren, sehingga mereka dapat saling belajar tentang Islam dan Kristen. Inilah yang menyebabkan pemulihan konflik dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

Rumagit (2013: 59) bependapat konflik antara umat beragama di Indo- nesia disebabkan oleh beberapa faktor: pertama, perbedaan doktrin agama yang menyebabkan para penganut agama sadar atau tidak membandingkan ajaran agamanya dengan ajaran agama lain. Ajaran agamanya dijadikan patokan untuk menilai ajaran agama lain. Kedua, perbedaan suku dan ras (ditambah dengan perbedaan agama) menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antara kelompok dalam masyarakat. Ketiga, perbedaan kebudayaan juga ikut memengaruhi terciptanya konflik antar-agama. Keempat, persoalan mayoritas dan minoritas pemeluk agama.
Beberapa kajian terhadap konflik agama yang disebutkan di atas bersimpulan bahwa konflik agama disebabkan oleh faktor-faktor seperti: klaim atas kebenaran, aspek heterogenitas seperti kelas, ideologi, budaya, dan pandangan yang keliru terhadap ajaran serta doktrin agama. Secara tersirat para penulis juga berpandangan bahwa keberadaan konflik yang mengatasnamakan agama kontras dengan tujuan agama sebagai sarana untuk mencapai kedamaian hidup manusia. Selain itu, keberadaan konflik ini juga dipandang bertentangan dengan fungsi agama yang ber- kontribusi bagi keseimbangan sistem sosial masyarakat.
Sedikit berbeda dengan kajian- kajian tersebut, paper ini lebih melihat konflik sebagai sebuah keniscayaan

dalam gejala keagamaan, yang muncul disebabkan oleh sifat dualisme agama itu sendiri. Dengan mengikuti pemikiran Elizabeth Nottingham mengenai dualisme agama, teori fungsionalisme konflik ala Alfred Coser serta dengan meminjam contoh kasus konflik agama dalam artikel John Bowen, saya mencoba menjawab dua pertanyaan dalam tulisan ini dengan empat hal: pertama, konflik dalam kehidupan beragama adalah suatu keniscayaan. Kedua, konflik yang terjadi antara pemeluk agama yang sama disebabkan oleh perbedaan penafsiran terhadap ritual agama. Ketiga, ritual tidak hanya memiliki aspek religius semata, tetapi juga aspek sosial-politik. Keempat, konflik keagamaan memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat.
Tulisan Bowen yang saya “pinjam” dalam artikel ini berjudul Salat in Indonesia : The Social Meanings of an Islamic Ritual, yang terbit dalam majalah Man, new series, Vol. 24, No. 4, Desember 1989. Melalui artikel ini Bowen menunjukkan antropolog dan ahli studi Islam selalu melihat salat sebagai ritual agama Islam secara universal dan mengabaikan konstruksi makna salat di tingkat komunitas lokal. Dengan melihat konflik mengenai tatacara pelaksanaan salat dalam masyarakat Aceh, Gayo, dan komunitas Islam di Jakarta. Bowen menunjukkan salat tidak hanya bermakna ibadah, tetapi juga bermakna sosial politik bagi pelakunya. Saya sepakat dengan gagasan Bowen, dan saya juga melihat

bahwa konflik internal umat Islam di Indonesia dimotivasi oleh klaim mengenai kebenaran tata cara pelaksanaan ritual agama.
Teori fungsionalisme konflik yang dibangun oleh Alfred Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap teori fungsional yang sangat menekankan konsensus normatif, keteraturan dan keselarasan. Dalam pandangan aliran fungsionalisme, agama dilihat sebagai sesuatu yang berfungsi. Agama dilihat sebagai suatu institusi yang bertugas (berfungsi) agar masyarakat dapat mewujudkan cita- citanya (Hendropuspito, 1990).
Aksioma teori fungsional adalah segala hal yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Karena dalam kehidupan manusia agama tetap ada, maka dapat dikatakan agama memiliki fungsi atau memerankan sejumlah fungsi. Dalam pandangan aliran fungsional, agama melayani kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran dan mengatasi berbagai hal buruk dalam kehidupannya. Berbagai hal buruk selalu membayangi kehidupan manusia sepanjang masa, yang terwujud dalam bentuk ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Karena agama dapat memberikan penjelasan yang masuk akal beserta cara untuk mengatasi hal buruk yang mungkin terjadi, maka agama dapat tetap lestari selama manusia tetap ada (Suparlan, 1980). Pandangan seperti inilah yang dikecam oleh Coser, karena dianggap mengabaikan fenomena konflik dalam kehidupan manusia.

Coser berpendapat bahwa konflik pada prinsipnya adalah suatu interaksi sosial dasar yang mendorong terjadi- nya perubahan sosial, memperkuat solidaritas kelompok dan mempertegas batas struktur. Teori Coser berangkat dari tiga asumsi: 1) masyarakat terdiri atas unsur-unsur yang saling ber- hubungan satu dengan lainnya sehingga terjadi integrasi sosial; 2) gejala atau fenomena sosial seperti patologi sosial, peperangan dan pertentangan memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi hal ini merusak, namun di sisi lain hal ini memiliki fungsi; 3) gejala sosial seperti ketidakstabilan sosial, ketegangan, peperangan, dan pertikaian merupakan ciri khas setiap masyarakat (Upe, 2010: 160).
Dari asumsi dasarnya itu, kita dapat melihat bahwa Coser berusaha mendamaikan dua teori: fungsional- isme yang sama sekali mengabaikan keberadaan konflik dengan pemikiran ekstremis konflik yang berpandangan bahwa manusia hidup dalam konflik yang berkepanjangan. Coser berusaha memadukan penjelasan mengenai konsensus, ketertiban, dan keteraturan dengan konflik. Coser membedakan konflik berdasarkan penyebabnya. Konflik yang disebabkan oleh persoalan abstrak seperti nilai, norma, dan ideologi cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit melahirkan integrasi antara kelompok yang bertentangan. Sebaliknya konflik yang didasarkan pada persoalan yang riil akan mudah melahirkan konsensus di antara kelompok-kelompok (Upe, 2010: 160).

Coser berpandangan penyebab konflik yang paling utama adalah ketidakadilan dan besarnya jurang antara harapan dengan kenyataan. Coser membuat proposisi bahwa makin terpinggirkan posisi seseorang semakin tidak adil, maka semakin besar peluang terjadinya konflik. Begitu juga, makin besar ketimpangan antara harapan dan kenyataan maka semakin besar kemungkinan terjadinya konflik (Upe, 2010: 165).
Coser sampai pada simpulan bahwa konflik memiliki lima fungsi, yaitu: pertama, konflik dapat menciptakan integrasi dalam in group. Konflik memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan para anggota dari sebuah kelompok yang sedang mengalami konflik. Hal ini dimungkin- kan karena manusia memiliki perasaan memiliki terhadap kelompoknya, yang diikat oleh keyakinan dan nilai yang sama di antara para anggota. Kedua, konflik berfungsi untuk mempertegas batas antara kelompok yang berkonflik. Ketiga, konflik berfungsi untuk menciptakan aliansi-aliansi atau pengelompokan. Konflik yang terjadi dalam satu kelompok misalnya akan mendorong munculnya pengelompokan yang menambah dinamika dalam masyarakat. Keempat, dengan konflik kita dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan yang mendorong kemajuan pihak yang berkonflik. Kelima, konflik berfungsi sebagai katup penyelamat integrasi masyarakat. Agar suatu konflik tidak langsung menyentuh inti sistem, dibutuhkan mekanisme

penyelamat yang dapat berbentuk organisasi atau kelompok yang lebih kecil (Upe, 2010: 167-168).
Coser juga menjelaskan batasan konflik yang dianggap fungsional dengan yang tidak fungsional. Konflik menurut Coser masih fungsional selama konflik itu tidak berkaitan dengan inti sistem. Atau dengan kata lain suatu konflik skala luas, dalam dan merusak inti masyarakat dianggap tidak lagi fungsional (Upe, 2010: 66). Menurut saya, ini adalah ketidak-konsistenan pandangan Coser. Seharusnya, sebesar dan sedalam apapun konflik merusak inti sistem, tetap dapat dilihat sebagai suatu yang fungsional bagi suatu sistem. Namun demikian, teori Coser ini tetap dapat digunakan untuk melihat fungsi dalam konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia.

B. METODE
Data dan keterangan dalam artikel ini diperoleh dengan metode studi pustaka. Penulisan artikel ini diawali dengan merumuskan pertanyaan yang ingin dijawab, kemudian mencari konsep dan teori yang sesuai, serta kemudian melengkapi dengan contoh kasus dari kajian terdahulu yang masih relevan untuk menjelaskan realitas saat ini.

C. HASIL DAN BAHASAN
1. Konflik Beragama Sebagai Suatu Keniscayaan
Upaya memahami persoalan konflik beragama harus dimulai dari definisi mengenai agama itu sendiri. Para ilmuwan sosial yang mengkaji agama

telah memberikan definisi agama yang cukup beragam. Beberapa definisi mengenai agama adalah sebagai berikut:
1. Durkheim (2011: 80) mendefinisi- kan agama sebagai sekumpulan keyakinan dan praktik yang berkaitan dengan sesuatu yang sacred, yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan
-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal di mana masyarakat memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya.
2. Spencer mengatakan bahwa agama adalah keyakinan akan adanya sesuatu yang maha kekal yang berada di luar intelek (Durkheim, 2011: 50).
3. Max Muller mengatakan agama adalah usaha untuk memahami apa- apa yang tidak dapat dipahami, dan untuk mengungkapkan apa-apa yang tidak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas (Durkheim, 2011: 50).
4. Hendropuspito (1990) mengatakan agama adalah suatu sistem sosial yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan digunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
5. J. Milton Yinger mendefinisikan agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik dengan mana suatu

masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah t e r a k h i r d a r i h i d u p i n i (Hendropuspito, 1990).
6. Dunlop, mendefinisikan agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia untuk mana tidak tersedia suatu institusi lain. Ia melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal tidak berdaya (Hendropuspito, 1990).
7. Joachim Wach mendefinisikan agama meliputi tiga unsur yaitu unsur teoretis melihat agama sebagai sistem kepercayaan, unsur praktis melihat agama sebagai sistem kaidah yang mengikat penganutnya, dan unsur praktis yang melihat agama mempunyai sistem perhubungan d a n i n t e r a k s i s o s i a l (Hendropuspito, 1990).
8. Suparlan (1980) mendefinisikan agama sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujud- kan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menafsirkan dan merespon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu hal yang gaib dan suci. Dengan pengertian ini agama dapat dikatakan sebagai sistem keyakinan yang dimiliki secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang bersifat

pribadi, dan yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagama- an yang sifatnya individual maupun sosial, yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.
Sebagai suatu keyakinan agama dibedakan dari keyakinan lain. Keyakinan beragama berkaitan dengan konsep suci dan pada sesuatu yang supranatural, bersumber pada wahyu dan petunjuk Tuhan, yang disampaikan kepada “pesuruh” Nya. Sebagai sistem keyakinan, agama dapat menjadi penggerak dan pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat, agar tetap bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
9. Menurut Nottingham (1985) agama adalah sebuah produk dari kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayaan. Dengan demikian, agama dapat dianggap sebagai suatu sarana kebudayaan bagi manusia dan dengan sarana itu ia mampu m e n y e s u a i k a n d i r i d e n g a n p e n g a l a m a n – p e n g a l a m a n n ya dalam keseluruhan lingkungan hidupnya, termasuk dirinya, anggota kelompoknya, alam, dan lingkungan lain yang ia rasakan sebagai sesuatu yang transendental. Menurut Nottingham, inti agama adalah pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia terhadap hal-hal yang menurut perasaannya berada di luar jangkauan pengalaman-

pengalamannya sehari-hari dengan dirinya sendiri, teman-temannya dan dengan dunia nyata.
Beberapa definisi agama tersebut, ada yang menunjukkan perbedaan namun ada pula yang memiliki kesamaan dalam penekanannya. Ada definisi agama yang menekankan aspek institusi dari agama, ada yang menekankan pada aspek ketuhanan, dan ada penekanan pada aspek keyakinan individu. Nottingham (1985) sendiri mengakui bahwa tidak akan ada definisi agama yang benar-benar memuaskan, karena agama sangat beraneka ragam dan hampir tidak dapat dibayangkan. Berdasarkan pandangan Nottingham mengenai keanekaragaman agama itu, saya berpendapat bahwa dalam suatu definisi agama aspek keterlibatan penafsiran individu harus dimasukkan, karena manusia bukanlah objek pasif dari ajaran agama. Pentingnya aspek penafsiran individu ini dikarenakan beberapa hal yaitu:
Pertama, penafsiran individulah yang menyebabkan terwujudnya keanekaragaman agama. Pandangan yang melihat agama semata-mata sebagai sistem aturan dari Tuhan dan mengabaikan peran individu akan membatasi pemahaman terhadap agama itu sendiri. Suparlan (1980) mengatakan agama secara umum hanya dilihat sebagai doktrin dan aturan, sehingga berbagai persoalan seperti keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut suatu agama, kehidupan k e a g a m a a n i n d i v i d u m a u p u n

kelompok, pengetahuan dan keyakinan yang bersumber dari nilai lain, peranan keyakinan agama terhadap aspek kehidupan duniawi maupun sebaliknya, dan perubahan-perubahan keyakinan agama yang dimiliki manusia tidak tercakup di dalamnya.
Kedua, agama pada kenyataannya dapat bersifat mendua. Di satu sisi agama mempersatukan, namun di sisi lain agama memecah belah sehingga penafsiran individu menjadi sangat penting. Berkenaan dengan hal ini Nottingham (1985) mengatakan bahwa agama tidak hanya menjamin stabilitas sosial dengan mendukung konservatisme, tetapi agama juga seringkali mempunyai fungsi berlawanan dengan memberikan pembenaran moral pada kelompok- kelompok yang menentang keras sistem yang sudah ada. Selain itu agama mempunyai peranan di dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan melestarikan, namun ia juga bisa menjadi kekuatan yang mencerai- beraikan, memecah belah, dan bahkan menghancurkan, khususnya pada saat terjadinya perubahan dalam bidang sosial dan ekonomi, agama sering memainkan peran yang bersifat kreatif, inovatif bahkan revolusioner.
Sisi negatif agama juga disampaikan oleh O’Dea (1994) yang mengatakan bahwa agama sering memiliki efek negatif terhadap ke- sejahteraan masyarakat dan individu. Isu-isu keagamaan menjadi salah satu penyebab perang, keyakinan agama

sering menimbulkan sikap tidak toleran. Loyalitas terhadap agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Jonathan Swift.
“Kita mempunyai cukup agama hanya untuk membuat kita membenci, namun tidak cukup untuk membuat kita saling mencintai.”
Kedua pendapat ini, bagi saya menegaskan bahwa agama pada kenyataannya dapat bersifat mendua, bergantung pada manusia yang memaknainya.
Ketiga, perhatian pada aspek penafsiran individu dalam mendefinisi- kan agama menjadi penting karena praktek agama tidak luput dari perubahan. Geertz (1971) mengatakan bahwa agama mengalami suatu bentuk perubahan pada tradisi- tradisi keagamaan dan sistem-sistem keyakinan keagamaan. Adapun teks suci atau doktrin keagamaan yang tertuang dalam kitab suci tidak mengalami perubahan. Menurut Robertson (1980) perubahan keyakinan keagamaan antara lain disebabkan oleh adanya interpretasi para penganut agama itu sendiri. Agama juga berubah karena perubahan situasi yang diinterpretasi secara berbeda oleh penganut agama tersebut. Perbedaan interpretasi ini kemudian menyebabkan adanya tingkat-tingkat keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh penganut suatu agama.

Keempat, keberagamaan seseorang turut ditentukan oleh pengetahuan dan penafsiran individualnya. Apa itu keberagamaan? keberagamaan adalah suatu keadaan yang menunjukkan atau membuktikan seseorang itu meyakini keyakinan agama tertentu. Indikator seseorang dikatakan beragama atau tidak, tentu tidak mudah untuk ditetapkan. Stark dan Glock (1968) mengatakan bahwa untuk menetapkan seseorang beragama atau religius dengan orang yang tidak religius adalah persoalan yang rumit. Istilah beragama dapat mengacu pada ragam makna seperti keyakinan terhadap doktrin suatu agama, seperti menjadi anggota suatu gereja dan menghadiri ibadah. Akan tetapi, orang yang sering mengikuti ibadah di gereja tidak dapat langsung dikatakan lebih beragama dari orang yang jarang mendatangi gereja. Hal ini dikarenakan konsep mengenai beragama tidak sama bagi semua or- ang.
Menurut Stark dan Glock (1968), paling tidak terdapat lima dimensi di mana keberagamaan seorang individu dapat diungkapkan. 1) Dimensi keyakinan, yaitu seorang yang religius berpegang teguh pada keyakinan agama tertentu dan mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. 2) Dimensi praktik, yaitu mencakup perilaku seseorang yang menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. 3) Dimensi pengalaman, yaitu berkenaan dengan pengalaman, perasaan, persepsi, dan sensasi keagamaan yang dialami oleh seorang pemeluk agama. 4) Dimensi

pengetahuan agama, berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemeluk agama, mengenai dasar keyakinan, kitab suci, dan tradisi agamanya. 5) Dimensi konsekuensi, berkenaan dengan akibat yang ditimbulkan oleh keyakinan, praktik, pengetahuan, dan pengalaman beragama yang dimiliki oleh seorang pemeluk agama.
M e n g u n g k a p k a n d i m e n s i keberagaman seseorang juga bukan persoalan mudah, karena setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap ekspresi keberagamaannya. William (1962) mengatakan bahwa sedikitnya ada empat tingkat pandangan individu mengenai ekspresi keberagam- an yaitu: pertama, tingkat rahasia, di mana seseorang meyakini ajaran agama tertentu untuk dirinya sendiri dan tidak didiskusikan atau dinyatakan kepada orang lain. Kedua, tingkat privat, di mana seorang pemeluk agama membicarakan keyakinannya kepada orang-orang yang secara pribadi memiliki hubungan sangat dekat. Pada tingkat ini seorang pemeluk agama juga berusaha menambah atau menyebarkan pengetahuan dan keyakinan yang dianutnya kepada orang-orang dekatnya. Ketiga, tingkat denominasi, yaitu suatu tingkatan di mana seorang penganut agama memiliki keyakinan agama yang sama dengan yang dimiliki oleh orang lain dalam kelompok masyarakatnya, sehingga keyakinan agama tidak lagi bersifat rahasia atau pribadi. Keempat, tingkat masyarakat, yaitu keyakinan agama yang dimiliki

seorang individu sama dengan keyakinan agama dari masyarakat di mana ia tinggal.
Pendapat William ini menunjukkan bahwa keyakinan beragama memiliki dua sisi. Keyakinan agama dapat bersifat sangat pribadi yang ditentukan oleh penafsiran dan pemikiran individu, dan juga dapat menjadi penafsiran dan keyakinan dari suatu kelompok dalam suatu masyarakat atau juga masyarakat secara keseluruhan, yang mewujud dalam perilaku para anggota kelompok atau masyarakat tersebut. Dengan kata lain, agama memiliki aneka ragam interpretasi pada tingkat individu, kelompok dan masyarakat.
Empat persoalan yang telah diuraikan tersebut tidak hanya ber- implikasi pada pendefinisian agama saja. Lebih dari itu, empat hal tersebut merupakan dasar untuk melihat konflik keagamaan sebagai suatu keniscayaan. Konflik akan selalu ada dalam kehidupan beragama karena beragam- nya interpretasi terhadap agama, agama mengandung dualisme, praktik agama dapat berubah, dan pemeluk agama memiliki perbedaan dalam ekspresi keagamaan.
Dengan meyakini bahwa konflik agama sebagai suatu keniscayaan, maka kita diarahkan pada pandangan bahwa konflik keagamaan sebenarnya seperti satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Konflik dapat meruntuhkan dan menguatkan integrasi. Konflik juga dapat mengacaukan dan menata sistem sosial. Dengan kata lain konflik keagamaan juga memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi masyarakat.

2. Makna Ritual dan Konflik Antar- Umat
Apa yang dimaksud dengan ritual? Catherine Bell (2009: 139-163) mengatakan bahwa ritual adalah cara- cara bertindak dalam situasi sosial tertentu. Menurut Bell ada enam ciri dari sebuah ritual: 1) Ritual bersifat formal yang membedakannya dari aktivitas sehari-hari lainnya. 2) Ritual memiliki ciri tradisional, yaitu aktivitas dalam konteks budaya tertentu yang diulang-ulang dan berfungsi menunjukkan identitas masyarakat. 3) Ritual memiliki kualitas yang bervariasi. 4) Ritual terikat dengan ketat pada aturan dan tabu. 5) Aktivitas ritual mengandung simbol-simbol yang dianggap sakral. 6) Ritual merupakan suatu pertunjukan tindakan simbolis yang dramatis untuk menyampaikan pesan tertentu. Stark dan Glock (1968) berpendapat bahwa ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua agama mengharapkan penganutnya untuk melaksanakannya. Dengan definisi yang hampir mirip, Davis menyebut ritus (ibadat) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati, yang mencakup berbagai jenis tingkah laku seperti memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal tertentu, bersemedi, mengheningkan cipta, b e r n y a n y i , b e r d o a , m e m u j a , mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci, dan membaca
(Davis, 1949: 532).

Ritual memiliki arti penting dalam suatu agama. Dalam kehidupan sehari- hari keberagamaan seseorang terutama dilihat dari ketaatannya menjalankan ritual. Orang yang terlihat jarang menjalankan ritual seringkali dianggap kurang atau tidak religius. Orang yang menjalankan ritual secara berbeda dari cara yang umum, dianggap salah dan tidak jarang dianggap melecehkan ajaran agama, sehingga berujung pada terciptanya konflik internal umat suatu agama.
Untuk memahami perbedaan pemaknaan ritual sebagai sumber konflik internal umat beragama, saya me-review tulisan Bowen (1989) yang menganjurkan memahami makna sosial yang melekat pada ritual agama, karena ritual agama seringkali bukan hanya semata-mata soal keyakinan dan hubungan antara hamba dan Tuhannya, tetapi telah dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial-politik dan ekonomi dari pemeluknya. Dengan mengambil contoh pada tiga kasus konflik yang terjadi dalam kalangan umat Islam di Indonesia, Bowen (1989) melihat salat memiliki makna sosial sebagai: alat perjuangan dan politik, sarana komunikasi, batas dan identitas kelompok.

2.1 Ritual Sebagai Alat Politik
Di provinsi Aceh, salat telah menyebabkan terjadinya pertentangan antar-umat Islam. Para pemimpin provinsi memaknai salat sebagai gambaran tentang masyarakat ideal dan mereka sangat ingin mewujudkan-

nya. Dalam menghadapi pertikaian, kerjasama dan krisis ekonomi tahun 1930an, kelompok cendekiawan bersama-sama pada tahun 1939 membentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (POESA). Pemimpin POESA mendesak masyarakat Aceh lainnya untuk bergabung dan menyadari ancaman dari musuh Islam yaitu nafsu dan ketertarikan individual (bukannya pemerintah jajahan). Menurut POESA, musuh bersama ini hanya dapat ditaklukkan dengan melaksanakan ibadah, dan secara khusus ibadah salat yang berfungsi sebagai pengontrol perilaku umat Islam. Para ulama POESA berkeyakinan masyarakat yang sempurna akan terwujud hanya ketika seseorang telah menundukkan nafsunya sendiri (Bowen, 1989: 601-602).
Pemimpin provinsi Aceh dan ulama POESA ini sebenarnya menggunakan berbagai makna ibadah salat, khususnya nilai egaliter dan universal jemaah muslim untuk mendukung proyek politik mereka. Oleh karena itu mereka mengurangi kemungkinan penafsiran lain dari ritual salat. Pemimpin POESA juga menyadari dengan makna sosial khusus dari salat, mereka dapat secara politik mengancam partikularisme lokal dalam pelaksanaan ritual. Namun usaha ulama POESA dan pemimpin Aceh terhalang oleh keberadaan habib sebagai tokoh religius lokal di wilayah Seunagan yang telah ada sejak tahun 1860. Dalam pandangan ulama POESA, para pengikut habib terlibat dalam sejumlah praktik upacara aneh: meminum air sedang menyelam selama

bulan puasa, mengganti bacaan khusus untuk salat berjamaah selama bulan puasa, dan mengelilingi kuburan habib yang pertama pada hari kesepuluh bulan haji sebagai tawaf lokal. Selain itu sang habib juga mengganti ucapan syahadat dengan: tiada Tuhan selain Allah, habib ini adalah nabi. Ia juga mengganti teriakan Allahu Akbar dengan versinya sendiri Allahu ku akbar (Bowen,1989: 602-603).
Inovasi ritual ini mengalihkan perhatian pengikut habib dari salat kepada diri habib itu sendiri. Mereka mengikutinya dengan penekanan pada salah satu makna salat yang telah dilalaikan oleh POESA, yakni hubungan individu dengan Tuhan. Pemimpin Aceh dan ulama POESA melihat keberadaan habib ini telah mengecilkan praktik salat yang biasa dan mencegah penyatuan provinsi melalui kesatuan tata cara salat yang diharapkan oleh pemimpin POESA. Lebih dari itu, ritual yang dipimpin habib itu memiliki implikasi politis, yaitu otoritas habib semakin kuat sedangkan pemimpin Aceh menjadi lemah sehingga menggagalkan kepentingan politik dari penyeragaman pelaksanaan salat di seluruh Provinsi Aceh. Tantangan bagi pemimpin Aceh dan POESA tidak hanya berasal dari habib di Seunangan itu, tetapi juga dari gerakan kelompok di Aceh Barat yang mengajarkan salat, puasa, dan naik haji tidak perlu dilakukan oleh mereka yang telah mencapai tingkatan pengetahuan (makrifat). Gerakan lain juga datang dari kelompok di Aceh Timur yang

mengajarkan bahwa salat Jumat dapat dilaksanakan di rumah (Bowen, 1989: 603-604).
Dari kasus ini dapat dilihat bahwa ritual salat telah ditafsirkan sebagai alat perjuangan dan politik oleh pemimpin Aceh dan ulama POESA serta juga oleh habib yang menjadi tokoh religius di Seunagan. Pemimpin Aceh dan POESA mempolitisasi penyeragaman pelaksanaan salat untuk menyatukan seluruh Aceh. Sebaliknya gerakan habib dan kelompok lain di Aceh Timur dan Barat berupaya menjadikan salat sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dan kekuasaan melawan pemimpin Aceh dan POESA.

2.2 Ritual Sebagai Alat Komunikasi Saat pemimpin keagamaan Aceh menjadikan salat sebagai penyaring sikap sopan di dalam individu dan diyakini mampu mengarahkan kepada masyarakat yang lebih baik, orang Gayo di Tanah Tinggi merasa salat sebagai suatu tindakan komunikasi antara hamba dengan Tuhan. Bagi orang Gayo, ritual di desa mereka memiliki arti moral penting untuk memelihara hubungan dalam sebuah komunitas desa yang terdiri atas manusia, nenek moyang, roh, dan Tuhan. Para ulama reformis di Aceh mengkritik praktik ritual muslim Gayo sebagai praktik yang bertentangan dengan apa yang diajarkan nabi. Orang Isak Gayo melihat salat sebagai satuan komunikasi dari manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu, mereka beralasan bahwa salat harus dilakukan dalam suatu cara

yang dapat didengar, sama halnya orang-orang harus bicara nyaring saat bicara satu sama lain (Bowen, 1989: 604).
Pada akhir tahun 1920 orang Gayo mulai belajar kepada guru yang berasal dari Aceh, Minang, atau Jawa. Kemudian banyak orang Gayo yang diyakinkan bahwa praktik agama di desa mereka adalah suatu penyimpangan (bidah) dari contoh yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Pada akhir 1930, perbedaan pendapat ini menyebabkan perpindahan orang-orang dari beberapa kampung. Di Isak satu kelompok sekitar 30 rumah tangga memutuskan membangun masjid mereka sendiri untuk melaksanakan salat menurut cara mereka sendiri.
Kaum reformis di Gayo meninggalkan Isak menuju wilayah tak berpenghuni di utara Takengon di mana mereka mendirikan desa baru. Dalam tahun 1980, reformasi salat telah dilakukan sebagian besar di kota dan daerah yang baru, sedangkan versi lain yang lebih awal dipertahankan di desa yang lama (Bowen, 1989, 604-605).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bisa masalah menguatkan bacaan salat mengarah pada per- selisihan penduduk lokal yang begitu panjang. Hal ini terletak pada tidak dipahaminya makna salat bagi orang Gayo sebagai komunikasi dan pada praktik ritual desa sebagai satu kesatuan. Para ulama reformis, memperhatikan ritual Gayo secara luas yang melibatkan komunikasi yang dianggap haram antara manusia dan

roh. Kritik reformis pada bacaan salat yang dikeraskan, termotivasi oleh implikasi gambaran orang desa tentang komunikasi haram ini (Bowen, 1989: 605).
Apa yang tidak dipahami oleh kalangan ulama reformis adalah orang Gayo melihat masyarakat mereka mencakup roh laki-laki atau perempuan yang telah meninggal dan saling berinteraksi dalam beragam cara dengan orang yang hidup (Bowen, 1989). Orang hidup mulai merekonstruksi relasi sosial dengan roh orang yang meninggal pada malam kematiannya. Keluarga dan tetangga orang yang mati itu berkumpul untuk membaca ayat Alquran. Bagian ini disebut shamadiyah, berlangsung sampai tengah malam dan diselingi dengan menyajikan makanan. Para pelaku memaknai bahwa mereka mengirimkan pahala kepada orang yang meninggal dengan membacakan ayat suci Alquran, dan azab orang yang meninggal itu berkurang setelah menerima kiriman pahala tersebut. Keikutsertaan dalam upacara ini dirasakan sebagai tanggungjawab moral dari semua tetangga dan keluarga kepada orang yang meninggal karena memiliki akibat langsung pada kesejahteraannya (Bowen, 1989: 605).
Beberapa penduduk desa meyakini roh secara langsung merasakan pahala dari ayat yang dibaca dan juga merasakan rasa makanan yang mereka makan saat shamadiyah berlangsung. Beberapa penduduk lainnya menunjuk- kan penafsiran yang berbeda dari ritual

yang sama. Mereka menganggap sesi lantunan itu sebagai satu dari sekian banyak kesempatan di mana manusia memohon pada Tuhan dengan membaca Alquran. Hubungan ini ditolak oleh guru agama yang reformis. Mereka menyangkalnya dengan mengatakan bahwa yang mati tidak lagi berhubungan dengan masyarakat. Mereka mengutip hadis mengenai orang mati tidak bisa mendengar maupun menerimah hadiah atau makanan, dan menyatakan shamadiyah adalah bidah (Bowen, 1989: 606).

2.3 Ritual Sebagai Batas dan Identitas Kelompok
Di Jakarta, kebanyakan orang tinggal di lingkungan yang padat disebut kampung. Mayoritas orang Islam di Jakarta melaksanakan salat berjamaah di masjid atau musala. Di sini ibadah membawa rasa kebersamaan bagi seluruh jemaah. Di lain sisi, masjid dan jemaah salat dapat bertindak sebagai pusat komunitas, yang menggerakkan beragam suku bangsa di Jakarta secara tepat karena masjid terbuka untuk semua orang (Bowen, 1989: 606).
Pada tahun 1970 sikap santun, ramah dan keterbukaan masjid merasa terancam oleh gerakan yang disebut Islam Jama’ah. Nama itu berlaku pada setiap kecenderungan ekslusif, terutama diwujudkan saat menolak melaksana- kan salat bersama yang lain. Pendiri gerakan tersebut bernama Nurhasan Ubaidah yang menghabiskan waktu beberapa tahun untuk belajar agama di Makkah. Tahun 1950, ia membuka

sekolah agama di daerah lain di Jawa. Sampai akhir 1970 ia telah mendirikan paling tidak 20 sekolah di Jawa Timur seorang diri. Di Jakarta dan kota besar lain, Nurhasan mendirikan kelompok ibadah dengan pengikut di Jakarta diperkirakan berjumlah 23.000 pada 1976. Meskipun pemerintah melarang organisasi itu pada 1971, ia tetap tumbuh dengan subur, hingga muncul kemarahan publik tahun 1979 yang mengarah pada permintaan untuk mencekalnya. Nurhasan meninggal tahun 1982 dan menjadi akhir dari organisasinya (Bowen, 1989: 607).
Juru bicara Islam Jama’ah menjelaskan tujuan gerakan tersebut untuk membangun cara salat yang tepat dan tindakan ibadah lain dengan meniru apa yang dilakukan nabi. Nurhasan melarang setiap buku selain Alquran dan hadis di sekolahnya agar para muridnya tidak disesatkan. Islam Jama’ah mengajarkan bahwa khotbah salat Jumat harus dilaksanakan dalam bahasa Arab (Bowen, 1989: 607).
Corak ritual Islam Jama’ah yang menimbulkan konflik di Pulau Jawa bukan disebabkan oleh urutan salat mereka, tetapi karena membeda- bedakan antara angota jemaah mereka dengan yang bukan anggota. Mereka mendirikan masjid-masjid sendiri dan melarang orang lain menggunakannya. Juru bicara gerakan itu mengumumkan pada tahun 1979 bahwa tidak ada salat yang benar di luar perkumpulan, dan perkumpulan hanya sah jika didasarkan pada suatu sumpah setia kepada pemimpin. Gerakan itu juga

mengajarkan salat hanya sah jika seorang hamba telah berhasil menghindari kontak fisik dengan orang yang tidak terlibat dalam gerakan itu. Pengikutnya dilarang makan bersama orang luar. Pakaian harus dicuci ulang untuk salat jika pakaian itu telah dicuci oleh orang lain (Bowen, 1989: 607).
Kelompok muslim lain menilai bahwa semua muslim memang harus mengamati ritual bersuci. Poin utama pandangan ritual pencucian ini memungkinkan pergaulan universal di antara seluruh muslim. Dengan menciptakan suatu kode baru yang membatasi, Islam Jama’ah menolak kemungkinan keramahan universal seperti itu. Aturan dan perilaku Islam Jama’ah menyiratkan pengotoran secara permanen terhadap semua orang luar. Banyak orang merasakan penolakan untuk makan bersama, bahkan untuk berjabat tangan yang diajarkan kelompok Islam Jama’ah, sebagai gangguan terhadap simbol keramahan Indonesia. Keeksklusifan kelompok dilihat sebagai simbol dari bentuk Islam yang berbahaya. Karena publikasi seputar Islam Jama’ah yang intens, nama mereka digunakan untuk setiap individu atau kelompok yang melaksanakan salat secara tertutup. Dengan kasus ini terlihat bahwa sebagian masyarakat muslim di Jakarta memahami salat menjadi ujian bagi kerelaan seseorang untuk bergabung dalam komunitas, untuk berpartisipasi dalam pergaulan masyarakat kota melalui suatu ibadah (Bowen, 1989: 608).

Menurut Bowen (1989: 614-615), perbedaan ritual salat dalam masyarakat muslim terjadi paling tidak karena tiga hal. Pertama, perbedaan ritual salat terjadi karena sejarah perbedaan penafsiran terhadap hadis dari Nabi Muhammad. Masing-masing pihak yang bertentangan sama-sama saling mengklaim bahwa mereka mengikuti ritual langsung dari Nabi Muhammad. Kedua, manusia bersifat kreatif, memahami ritual seolah-olah ritual itu merupakan gambaran realita, sehingga realitas di sekeliling manusia menentukan bentuk ritualnya. Realitas yang berbeda-beda menyebabkan ritual yang berbeda-beda. Pendapat ini sesuai dengan apa yang disampaikan Nottingham (1985) bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan tidak mempengaruhi masyarakat sebagai kekuatan dari luar semata, yang menanamkan pengaruhnya terhadap umat manusia dari luar. Nilai-nilai keagamaan memainkan perannya dalam masyarakat hanya selama nilai-nilai tersebut dikenal, dianggap cocok dan diyakini oleh setiap anggota masyarakat. Ketiga, ritual mungkin mengalami pengerasan, di mana dari waktu ke waktu kejelasan makna menjadi hilang, dan ritual seperti mengalami kemandekan makna. Hal ini membuka kemungkinan penganut suatu ritual beralih pada makna sosial ritual daripada makna religius antara dirinya dengan Tuhan.

3. Fungsi Konflik Umat Beragama Menelaah kasus-kasus konflik umat Islam dalam artikel Bowen ini, dapat dipahami bahwa agama bukan semata- mata untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap jawaban atas ketidakpastian dan berbagai hal buruk yang tidak diinginkan dalam kehidupan. Agama dengan serangkaian ritualnya bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia, demi terwujudnya kedamaian hidup di dunia, tetapi juga melekat di dalamnya berbagai konflik perebutan kekuasaan dan sumber daya.
Dalam ketiga kasus konflik antar- sesama muslim yang dijelaskan dengan sangat rinci oleh Bowen, kita dapat memahami bahwa konflik memang tidak akan pernah hilang dari kehidupan beragama. Kasus Bowen juga menegaskan bahwa konflik tidak hanya terjadi antara agama yang berbeda, tetapi juga antar umat-agama yang sama. Meskipun Bowen sendiri tidak menjelaskan kasus yang ia teliti dengan teori fungsionalisme konflik, namun kita tetap dapat menggunakan teori Coser terhadap kasus Bowen.
1. Memperkuat integrasi kelompok. Konflik yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran makna sholat antara kelompok POESA dan kelompok Habib di Seunagan telah memperkuat integrasi anggota kelompok ke dalam group mereka masing-masing. Demikian juga halnya dengan kasus konflik di Tanah Tinggi Gayo, dimana konflik dengan pihak luar telah menyebab-

kan masyarakat menyadari arti penting adat dalam kehidupan mereka.
2. Meningkatkan motivasi untuk belajar ilmu agama. Dalam semua kasus konflik agama yang dijelaskan Bowen, terlihat bahwa konflik agama telah mendorong umat Islam yang terlibat di dalamnya untuk semakin mempelajari ajaran Islam yang mereka yakini, dan berdampak positif pada peningkatan keimanan mereka.
3. Mendorong tumbuhnya beragam komunitas baru. Dalam kasus konflik di Tanah Tinggi Gayo, konflik yang terjadi telah menyebabkan terbentuknya aliansi baru, dimana sebagian dari anggota kelompok membentuk komunitas baru di daerah yang baru. Hal ini menurut Coser dapat menambah dinamika dalam masyarakat.
4. Menjaga konsensus sosial. Kasus konflik di Jakarta jelas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi berfungsi menjaga solidaritas, dan sikap keterbukaan dalam masyarakat yang telah menjadi suatu konsensus. Konflik yang terjadi juga mendorong orang-orang untuk bersosialisasi dalam masyarakat dimana ia tinggal. Contoh konflik beragama yang disampaikan Bowen menyentuh inti sistem masyarakat karena konflik- konflik tersebut disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan nilai agama. Meskipun menyentuh inti sistem ternyata konflik-konflik ini tetap bersifat fungsional, dan tidak bersifat

disfungsional seperti diteorikan oleh Coser. Coser benar bahwa dalam konflik yang demikian cenderung sulit melahirkan integrasi, namun tidak berarti disfungsional karena integrasi internal kelompok yang berkonflik tetap terbangun. Pada saat konflik berakhir, dengan kemenangan salah satu pihak, pada saat itu juga berlaku konsensus, meskipun sifatnya hanya sementara.

D. SIMPULAN
Berbagai persoalan yang meliputi kehidupan beragama menunjukkan bahwa agama merupakan aspek penting bagi sebagian besar manusia, terlebih bagi masyarakat di suatu negara yang dibangun berdasarkan agama tertentu, atau negara yang turut mengatur kehidupan beragama warganya. Di Indonesia, persoalan keagamaan mulai dari pelaksanaan ibadah, pendidikan agama dan juga konflik antar-umat beragama telah menjadi dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika konflik beragama di Indonesia ini dituliskan dalam sebuah buku, tentu telah menghabiskan puluhan ribu halaman, dan kita mungkin perlu menyediakan lebih banyak kertas lagi untuk masa yang akan datang.
Dengan memperhatikan banyaknya konflik antar-umat beragama itu, paper ini sampai pada simpulan bahwa sebagai bagian dari sistem sosial agama tidak dapat hanya dipandang sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan, sebagaimana pemahaman masyarakat Indonesia secara umum hingga hari ini.

Kita perlu memahami bahwa agama yang datang dari Tuhan itu diwujudkan melalui interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh beragam kepentingan. Karena agama merupakan wujud interpretasi manusia dengan beragam kepentingan, maka tidak akan ada wujud tunggal. Ragam interpretasi melahirkan praktik ritual yang berbeda- beda. Perbedaan praktik ritual inilah yang menjadi sumber konflik internal umat beragama. Hal ini dikarenakan setiap kelompok saling melakukan klaim kebenaran tunggal atas praktik ritual yang mereka lakukan, sebagai- mana dapat kita lihat dalam contoh- contoh kasus yang saya kutip dari artikel Bowen. Di sinilah menurut saya, letak keniscayaan konflik dalam kehidupan beragama.
Selain itu, untuk memahami persoalan keagamaan kita harus berpijak pada cara pandang yang tepat, termasuk dalam memandang persoalan konflik keagamaan. Kita harus melihat perbedaan penafsiran terhadap agama sebagai suatu hal yang alamiah. Kita juga hendaknya melihat konflik bukan hanya memiliki sifat menghancurkan tetapi di balik itu, konflik pada dasarnya memiliki fungsi bagi masyarakat, sebagaimana juga terlihat dalam contoh kasus yang disajikan Bowen.
Mengutuk konflik dan meng- harapkannya tidak hadir dalam kehidupan beragama tidak akan menghindarkan masyarakat dari konflik. Konflik antar-umat beragama hanya dapat dikurangi atau dicegah dengan: pertama, memahami secara

sadar bahwa agama sangat kental dengan aspek penafsiran manusia, oleh karena itu tidak perlu merasa penafsiran kita adalah yang paling benar. Kedua, memahami dengan sadar bahwa konflik adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan beragama.
(Terbit di Jurnal handep Volume 2, Nomor 2, Juni 2019)