20 Tahun Berjualan Bubur, Antarkan Anak Jadi PNS

0
379

Kisah tukang bubur naik haji bukan hanya di sinetron. Dalam kehidupan nyata, Warnita (65), seorang penjual bubur di Tanjungpinang juga terbilang berhasil. Usaha dan kerja kerasnya berjualan bubur selama 20 tahun membuahkan keberkahan. Selain memiliki rumah sendiri, anaknya bisa dikuliahkan dan kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemko Tanjungpinang.
==============

Sehari-hari wanita asal Salo, Kecamatan Baso, Agam (Sumatra Barat) itu berjualan di depan Kantor Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Ia berjualan dengan sebuah gerobak dan bubur yang disajikan juga beragam. Ada kolak serabi pisang, bubur sumsum, kacang hijau, serabi kampiun dan ada juga lopis. Ia berjualan pada sore hari.
“Saya sudah tua. Tapi kalau duduk-duduk saja di rumahnya, badan bisa sakit. Makanya saya tetap berjualan,”kata Warnita yang juga sering pelanggannya dengan sebutan Etek Sarabi, pekan lalu.

Ia menuturkan, dirinya berjualan bubur di Tanjungpinang sejak tahun 1998.
Lokasinya berjualan dari dulu hingga sekarang tak pindah-pindah. Tetap di depan Kantor Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Warnita merantau ke Tanjunginang karena ikut dengan saudaranya. Ia ikut membantu saudaranya berjualan gorengan di bilanga Lapangan Pamedan Tanjungpinang.
“Hanya sebentar saya jualan goreng bantu saudara. Biaya hidup besar, sementara saya harus menghidupi anak. Belum lagi biaya kontrak rumah. Ketimbang berjualan goreng, saya mencoba menjual bubur. Alhamdulilah jualan buburnya sampai sekarang. Sudah 20 tahun,”ujarnya.

Ditanya sampai kapan berjualan bubur, Etek Sarabi hanya tersenyum. Saat ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya di rumah yang dibelinya dari hasil jualan bubur. Sementara, satu anak lelakinya yang ada di Tanjungpinang tinggal bersama istrinya. “Bapak tak ada lagi.Di rumah saya hanya tinggal berdua dengan ibu. Usianya sudah 95 tahun. Beliausudah tua sekali. Ke masjid tak bisa sendiri lagi,”sebutnya.

Warnita merasa bahagia. Anak lelakinya terbilang sudah berhasil. Dari hasilnya berjualan bubur, anaknya itu dikuliahkan ke Padang. Tamat kuliah, anaknya itu sempat jadi supir angkot dan beberapa bulan jadi guru honorer di MTsN Tanjunginang. “Pas ada pembukaan tes CPNS, dia ikut. Alhamdulillah lulus. Orang terkejut anak tukang bubur lolos PNS. Tak ada nyogok-nyogok masuk,”kata dia tergelak.

Dalam berjualan bubur, ia berjualan sendiri. Kecuali pada saat bulan Ramadhan dan pelanggan ramai, baru ia cari orang untuk membantu. Dulu ada anak perempuannya, tapi kini anaknya itu sudah pindah ke Pekanbaru ikut dengan suaminya. Dengan usia yang terbilang senja, Warnita mengaku menjual bubur setiap hari dengan porsi yang tak banyak.”Diperkirakan saja. Saya buat kira-kira berapa yang habis. Hal terpenting rasanya tak berubah dan harganya tak boleh naik sembarangan. Pelanggan bisa kecewa,”tukasnya.

Sejumlah warga Tanjungpinang mengaku sudah langganan membeli bubur di sana. “Rasanya mantap. Saya sudah langganan membeli bubur di tempat etek itu sejak 2002,”kata Rinni Amir, salah seorang pelanggan.

Tak hanya Rinni, M Zen Syarif, warga Batam mengaku kalau datang ke Tanjungpinang sering makan bubur di sana. “Beberapa kali saya ada acara di PN Tanjungpinang, sempat mencicip bubur. Sarabi dan lopisnya sedap,”kata Zen.

Penulis pun hampir tiap pekan singgah di sana. Paling suka beli kolak pisang campur sarabi. Kadang makan lopis kuah. Harganya pun terjangkau. Satu porsi berkisar sekitar Rp10 ribu. Pelanggannya pun beragam. Lihat saja sore hari. Ada mobil yang parkir untuk membeli bubur. Paling banyak membeli bubur dibungkus dibawa pulang ketimbang makan langsung di lokasi. **