Upacara Adat “Nyangku” Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat

You are currently viewing Upacara Adat “Nyangku” Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat
Gambar 1 : Proses Pembersihan Kris pada upacara Nyangku (Dok. BPK.IX-2024)

Upacara Adat “Nyangku” Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat

Nyangku adalah upacara adat yang dilaksanakan di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Upacara Nyangku adalah rangkaian prosesi adat penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora, para raja, dan bupati Panjalu juga penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Bumi alit sendiri adalah museum tempat penyimpanan benda peninggalan yang terletak 200 meter ke arah selatan dari Situ Lengkong Panjalu.

Benda-benda pusaka yang dimandikan, antara lain, pedang zulfikar, keris pancaworo, bangreng, goong kecil, cis, keris komando, dan trisula. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan benda pusaka sebagai penghormatan terhadap leluhur Panjalu yang telah menyebarkan agama Islam. Upacara Adat Nyangku dilaksanakan rutin setiap tahun oleh Yayasan Borosngora yang didukung seluruh sesepuh Panjalu, Pemerintah Desa Panjalu, para tokoh Agama, para tokoh masyarakat, juru kunci makam keramat, keturunan Raja Panjalu dan pihak terkait lainnya. Persiapannya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat Panjalu.

Istilah Nyangku berasal dari kata yanko yang dalam bahasa Arab artinya membersihkan. Namun, pelafalannya berubah menjadi nyangku. Nyangku dalam bahasa Sunda dapat berupa akronim dari nyaangan laku atau menerangi perilaku. Upacara adat ini diadakan masyarakat Panjalu pada hari senin atau kamis terakhir bulan Maulud atau Rabiul Awal. Selain untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tradisi ini dilaksanakan juga untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora dan Raja Panjalu yang sudah memeluk agama Islam dan menyebarkan ajarannya di Panjalu.

Bagi masyarakat yang melestarikannya, tradisi ini juga sebagai waktu untuk berintrospeksi diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat. Sebelum nyangku, dilaksanakan upacara Samida atau hajat danau Lengkong. Tradisi ini biasa dilakukan setahun sekali, tepatnya seminggu sebelum ritual adat nyangku. Asalnya, samida ini merupakan kegiatan manakib atau pembacaan berjanji dalam kerangka memperingati maulid nabi. Setelah manakib pindah ke Pesantren Suryalaya, upacara adat yang biasa dilaksanakan di Lengkong namanya berganti menjadi samida. Inti acara samida pun sama memperingati apa yang telah terjadi di Lengkong Panjalu pada masa lalu.

Proses upacara
Pertama, berbagai benda peninggalan Raja Panjalu Prabu Borosngora dikeluarkan dari Pasucian Bumi Alit sebagai museum tempat menyimpan peninggalan benda pusaka tersebut. Kedua, pusaka tadi lalu diarak oleh para keturunan Raja Panjalu dan warga terpilih. Keturunan dan para tokoh adat Panjalu yang terlibat di wajibkan menggunakan pakaian adat berupa ikat kepala dan baju pangsi baik yang berwarna hitam ataupun putih. Hal tersebut tidak diwajibkan kepada pengunjung yang mengikuti prosesi Upacara Adat Nyangku. Di sepanjang jalan, mereka membacakan sholawat diiringi dengan tabuhan musik gembyung menuju pulau di Situ Lengkong Panjalu atau yang terkenal dengan sebutan Nusa Gede. Ketiga, setelah selesai pengajian dan berdoa di makam Raja Panjalu, pusaka tersebut kembali diarak menuju ke Taman Borosngora.

Di taman ini dilaksanakan pembersihan benda pusaka atau jamas. Benda-benda yang dibersihkan dalam upacara adat nyangku adalah:
• Pedang, sebagai senjata yang digunakan untuk membela diri dalam menyebarkan agama Islam.
• Cis, merupakan senjata sejenis tombak yang digunakan untuk membela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
• Keris komando, senjata yang digunakan raja panjalu sebagai alat komando dalam perang.
• Keris, pegangan para bupati panjalu saat menjabat.
• Pancaworo, digunakan senjata perang zaman dahulu.
• Bangreng, digunakan senjata perang zaman dahulu.
• Gong kecil, sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.

Gambar 2: Proses Penyerahan Keris untuk dilakukan Ritual (Dok.BPK IX – 2024)

Ada tiga benda pusaka yang dicuci secara simbolis dan disaksikan oleh seluruh masyarakat yang hadir, yakni pedang Zulfikar yang diberikan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Prabu Borosngora, Kujang Panjalu dan Keris Stok Komando. Pusaka-pusaka ini dicuci dengan air karomah tirta kahuripan yang diambil dari 9 sumber mata air yang dikeramatkan oleh masyarakat Kecamatan Panjalu. Sumber mata air tersebut berasal dari sumber mata air gunung bitung, mata air gunung sawal, mata air cipanjalu, mata air situ lengkong, mata air kapunduhan, mata air ciater, mata air gunung tilu, mata air cilimus, dan mata air ciomas. Air tersebut di bawa menggunakan “kele” yaitu sebuah tempat yang dibuat dari bambu dan dilubangi dibagian atasnya.

Selain air, jeruk nipis juga dipakai untuk menghilangkan karat dari benda-benda peninggalan kerajaan Panjalu yang pada dasarnya terbuat dari bahan besi tempa yang dikarenakan termakan usia pasti menimbulkan karat yang cukup tebal. Terakhir, setelah dilakukan pensucian, benda peninggalan itu diolesi minyak khusus yang kemudian dibungkus kain berwarna putih dan disimpan kembali ke Pasucian Bumi Alit. Semua benda pusaka peninggalan Raja Panjalu dibersihkan. Hanya saja yang diperlihatkan secara simbolis ke masyarakat hanya tiga. Yakni Pedang Zulfikar, Kujang Panjalu dan Keris Stok Komando.