Sejarah Singkat Batik Banten
Kemunculan batik di tanah air sudah sejak ada sejak lama. Inventarisasi terus dilakukan untuk mengumpulkan segala macam aspek menyangkut proses pembuatan hingga finishing batik di berbagai daerah yang memiliki potensi mengembangkan dunia perbatikan. Mengacu pada apa yang telah dilakukan beberapa daerah yang dianggap sebagai sentra batik, seperti yogyakarta dan Solo, banyak daerah mengikuti untuk turut menemukan ciri serta mengembangkan batik di daerah mereka sendiri.
Kata batik telah terdengar umum dan pemikiran akan langsung tertuju pada kekhasan batik solo dan yogyakarta yang memang telah lama dikenal sebagai sentra pembuatan batik di Indonesia. Motif batik saat itu memang tidak dilihat sebagai ciri khas suatu daerah atau wilayah sehingga pakain yang dikenakan dengan memakai motif ukiran sudah dapat disebut sebagai pakaian batik, dan berasal dari kedua daerah tersebut.
Tak pelak setelah batik masuk dalam kategori salah satu warisan budaya dunia (cultural herritage), dan pemerintah menyarankan kepada seluruh jajarannya menggunakan batik daerah masing-masing telah memacu semangat daerah yang belum memiliki ciri khas batik untuk menggali dan mengembangkan batik ciri mereka sendiri.
Banten yang memang tidak dikenal sebagai salah satu “pemain” dalam ajang perbatikan nusantara ternyata memiliki kekhasan dalam motif-motif yang sebelumnya diterapkan pada banyak bangunan arkeologis. Sementara penerapan pada media kain masih belum dikenal mengingat daerah ini bukan dikenal sebagai salah satu sentra batik. Keinginan untuk ikut dalam ajang perbatikan tanah air telah menggugah sisi kreatif masyarakat Banten untuk mencari motif-motif khas yang memang sudah ada sebelumnya.
Langkah-langkah untuk memiliki motif khas Banten yang dilakukan pertama kali adalah bahwa pemerintah Daerah Provinsi Banten merasa perlu menginventarisasi kekayaan budaya mereka untuk menjadi acuan dalam proses pembuatan batik ciri khas banten. Pengkajian batik banten, sebelum peresmian batik sebagai salah satu warisan budaya dunia, memang telah dilakukan pada tahun 2002. Upaya ini diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Banten pada tahun 2003 untuk membentuk panitia peneliti batik banten. Penelitian dilakukan dengan mengambil sumber data arkeologis untuk menemukan motif khas yang dipergunakan “orang banten” masa dahulu.
Sumber motif yang berasal dari bangunan arkeologis memang sangat banyak terutama yang berasal dari masa kejayaan Sultan Maulana Hassanudin. Sebagai pemimpin kerajaan Banten masa itu, kejayaan yang terlahir pada sekitar abad ke-16 adalah berkat kepemimpinan yang didukung oleh kondisi geografis Banten yang masuk dalam wilayah Selat Sunda. Kapal besar yang berada di pelabuhan yang dibangun cukup besar dapat masuk melalui muara sungai Cibanten.
Intensitas tatap muka antara masyarakat asli Banten dengan awak kapal yang berasal dari Asia dan Eropa secara tidak langsung turut membawa serta pengaruh budaya yang sedikit demi sedikit membentuk akulturasi untuk kemudian diterapkan pada banyak ragam kehidupan masyarakat Banten termasuk unsur seni rupa. Islam dan Banten, demikian dapat dikatakan, masa itu merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan karena telah memberikan warna dalam segala aspek kehidupan termasuk unsur seni di dalamnya. Ragam hias dalam seni rupa juga tidak luput dalam rambu-rambu keislaman sehingga motif yang menggambarkan mahluk hidup secara “real” adalah tabu. Pengalihan dari motif “real” tersebut kemudian digantikan dengan motif abstrak yang sesuai dengan karakteristik orang Banten. Hasil dari penggambaran motif “batik” pada masa itu pada awalnya diterapkan pada bangunan, baik istana, mesjid atau bangunan lainnya. Namun demikian, Ir. Uke Kurniawan menyanggah dan mengatakan bawah memang pernah ada tradisi membatik di Banten pada masa itu yang dibuktikan oleh adanya selimut batik yang dikenal oleh orang-orang Belanda sebagai Brooven Rim Rood, atau biasa dikenal dengan istilah SIMBUT atau Selimut Van Bantam pada abad ke-17. Namun, dengan berakhirnya kejayaan Banten maka hilanglah keberadaan selimut batik dan tradisi membatik di Banten ini.
Bangunan – atau tepatnya Keraton Surosowan – yang disebutkan menggunakan motif ukiran telah dibuktikan oleh para arkeolog saat melakukan ekskavasi pada tahun 1976. Penggalian yang telah dilakukan berhasil menemukan pecahan gerabah dan keramik dengan menggunakan unsur motif yang sangat berbeda dengan unsur motif di daerah lain. Adapun teknik pembuatan motif pada dua jenis benda tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik dekorasi antara lain: teknik gores, teknik pukul (tatap berukir), teknik tekan (cap dan bukan cap), teknik cubit, dan teknik tempel (dengan cetakan dan tidak dengan cetakan).
75 motif dasar Batik Banten
Sumber Foto: Dokumentasi BPSNT Bandung, 2010
Hasil yang diperoleh dari para peneliti batik banten tersebut diserahkan dan dipresentasikan pada tahun 2004. Hasil presentasi terungkap bahwa telah terkumpul 75 ragam hias fragmen kreweng Banten yang berbentuk tumpal dan belah ketupat sebagai motif batik, dan baru hanya 12 motif saja yang telah diproduksi; yaitu datulaya, pamaranggen, pasulaman, kapurban, pancaniti, mandalikan, pasepen, surosowan, kawangsan, srimanganti, sabakingking, dan pejantren. Motif datulaya mendapat predikat terbaik dan mendapat tandatangan Menteri Dalam Negeri Malaysia dalam kongres yang dihadiri arkeolog dari 52 negara pada januari 2005 di Malaysia.
Ciri khas motif datulaya adalah memiliki dasar belah ketupat berbentuk bunga dan lingkaran dalam pigura sulur-sulur daun. Warna yang digunakan adalah bermotif dasar biru, variasi motif pada figura sulur-sulur daun adalah abu-abu, dasar kainnya kuning. Nama datulaya ini diambil dari tempat tinggal pangeran. Datu itu artinya pangeran, laya artinya tempat tinggal.
(Irvan Setiawan)
(disarikan dari Irvan Setiawan, dkk., 2010. “Pendataan Motif-Motif Batik Banten, Kabupaten Serang”, Laporan Hasil Penelitian, Bandung: BPSNT Bandung)