Sejarah Kampung Cacing di Bantaran Sungai Cisadane Tangerang
Oleh :
Ani Rostiyati
(Balai Arkeologi Provinsi Jawa Barat)
Kedatangan pencari cacing di bantaran Sungai Cisadane dimulai pada tahun 1993 ketika Bapak Tamin, seorang petani dari Indramayu datang ke daerah Tangerang. Bapak Tamin datang dari kampung bersama keluarga untuk mengadu nasib dan berharap dapat penghidupan yang lebih baik lagi dibanding dengan hidup di kampungnya. Menurutnya, di kampung Indramayu tidak memiliki tanah untuk digarap dan dijadikan sandaran hidupnya, maka berangkatlah ke daerah Tangerang untuk mengadu nasib. Terdamparlah di sebuah tanah kosong milik sebuah Yayasan Cina yang sekarang disebut Rumah Duka Boen Tek Bio (tanah gocap) yang berdekatan dengan Bantaran Sungai Cisadane.
Dengan latar belakang sebagai seorang petani dan berpendidikan rendah, Bapak Tamim menggarap tanah kosong milik Yayasan Rumah Duka Boen Tek Bio (Rumah persinggahan orang Cina yang meninggal sebelum dikuburkan). Selama dua sampai tiga tahun ia menggarap tanah dengan menanam berbagai tanaman seperti singkong, ubi jalar, dan berbagai sayur-sayuran. Selama itu, Bapak Tamin tidak sendirian dalam menggarap tanah kosong yang disulap menjadi kebun, mereka bertiga dengan Bapak Taryan dan Bapak Arnali bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Mereka hidup dan tinggal dengan mendirikan rumah-rumah gubug di Bantaran Sungai Cisadane. Sebagai seorang penggarap tanah atau petani, maka banyaklah waktu luang untuk menunggu hasil panen kebunnya. Di waktu senggang itulah ketika sedang menunggu hasil panenan, melihat seseorang yang masuk ke dalam sungai kemudian menyelam dan membawa sesuatu dari dasar Sungai Cisadane.
Setelah beberapa waktu diperhatikan ternyata orang itu bernama Kardun seorang pencari cacing dari Cengkareng. Bapak Kardun inilah yang setiap hari berangkat dari Cengkareng untuk mencari cacing sutra di Sungai Cisadane. Pertemuan dan perkenalan dengan Pak Kardun, membuat keinginan Pak Tamin menjadi pencari cacing di Sungai Cisadane yang terus ditekuninya hingga sekarang. Alasan beralih profesi dari pertanian menjadi pencari cacing adalah karena dengan mencari cacing bisa langsung mendapatkan uang, sedangkan pertanian harus menunggu tiga atau empat bulan untuk memanen dan harus punya modal. Oleh sebab itu, banyak pencari cacing sutra yang berdatangan dari berbagai daerah dan mengawali kehidupan perkampungan Cacing dengan mendirikan rumah-rumah gubug sederhana yang dibangun di Bantaran Sungai Cisadane. Inilah awal terjadinya Kampung Cacing di bantaran sungai Cisadane tangerang, karena banyak pencari cacing datang dari berbagai daerah seperti Indramayu, Cirebon, bahkan dari Jawa Tengah. Cacing sutra memang banyak dicari karena bagus untuk pakan ikan dan bahan kosmetik.
Bapak Kardun mulai membangun rumah sederhana di bantaran Sungai Cisadane bersama Pak Tamin dan kawan-kawan. Sebelumnya, Bapak Kardun Tinggal di daerah Cengkareng tapi lama-lama memilih untuk tinggal di bantaran Sungai Cisadane Tangerang, karena jarak tempuh dari Cengkareng ke Tangerang cukup jauh. Bapak Kardun, boleh dikatakan menjadi pencari cacing yang berhasil karena sudah memiliki rumah di lain tempat di Ranjeg (Kabupaten Tangerang). Istri dan anak-anaknya yang menempati rumah tersebut, sementara dia tinggal sendiri di Kampung Cacing ini, seminggu sekali datang ke rumahnya. Adapun Bapak Arnali dan Bapak Taryan yang dahulu bersama-sama hidup di bantaran Sungai Cisadane, tidak lagi berada di Kampung Cacing, keduanya sudah lama meninggalkan Tangerang dan kembali ke kampung halamannya di Indramayu. Sedangkan Bapak Tamin bersama seluruh keluarganya tetap tinggal di Kampung Cacing, meskipun sudah memiliki rumah di tempat lain.
Secara geografis, Kampung Cacing ini terletak di bantaran Sungai Cisadane di mana sungai ini memiliki banyak manfaat bagi warganya, salah satunya adalah penghasil cacing sutra. Oleh karena itu warga Kampung Cacing tidak dapat dipisahkan dengan Sungai Cisadane sehingga keberadaan bantaran sungai ini dijadikan tempat tinggal dan sekaligus untuk memproses cacing. Kehadiran masyarakat Kampung Cacing itu merupakan hal yang sangat dilematis bagi pemerintahan Kota Tangerang, pertama, sangat mengganggu keberadaan Daerah Aliran Sungai Cisadane, kedua, kemiskinan warganya akan menimbulkan permasalahan sosial dan budaya di masyarakat yang terjadi diwilayahnya, ketiga, akan mempengaruhi sistem sosial budayanya termasuk nilai, sikap, dan perilaku. Namun pada sisi positifnya warga Kampung Cacing dapat dijadikan objek atau destinasi pariwisata dan menjadi kebanggaan Kota Tangerang, apabila dikemas dan dikelola dengan baik.
Pada awal tahun 1997 ketika kerusuhan nasional dan awal krismon (krisis moneter) terjadi, perekonomian memburuk dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Tapi bagi para pencari cacing hal ini tidak menjadi masalah, karena stok cacing yang ada di Sungai Cisadane pada waktu itu sangat melimpah dengan harga yang cukup stabil. Dari situlah Pak Kardun dan Pak Tamin juga warga lain mengajak keluarga yang ada di kampung untuk mencari cacing di Tangerang. Mereka datang bertahap ada yang perorangan dan bahkan dengan keluarganya. Dari jumlah rumah sederhana (gubug) yang awalnya hanya ada tiga rumah dan ditempati oleh tiga keluarga, sekarang ini rumah-rumah di sana sudah mencapai 54 buah terdiri dari 97 kepala keluarga (KK) dan 189 jiwa.