Tidak ada keterangan yang pasti kapan kesenian Patingtung muncul di daerah Banten. Namun demikian, berdasarkan cerita yang berkembang dapat diambil beberapa kesimpulan sementara bahwa Seni Patingtung dahulu digunakan oleh para ulama sebagai alat untuk memanggil masyarakat agar berkumpul. Sumber lain menyebutkan bahwa Seni Patingtung berkembang pada masyarakat Banten yang berbahasa Jawa. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, Tim Studi Pengembangan Kesenian Tradisional Serang menyimpulkan bahwa Seni Patingtung muncul bersamaan dengan masa berkembangnya zaman Kesultanan Banten, yaitu sekitar tahun 1552. Kesimpulan tersebut diperkuat oleh adanya keterangan bahwa pada zaman Kesultanan Banten semua aspek kehidupan termasuk kesenian masyarakat setempat mengalami perkembangan.
Ada sebuah legenda yang dikenal oleh masyarakat Banten yang berkaitan dengan kesenian Patingtung. Alkisah disebutkan bahwa Sultan Maulana Hasanudin mengadu ayam dengan raja Pajajaran, yaitu Prabu Pucuk Umum yang bertempat tinggal di Banten Girang. Ayam Sultan yang diberi nama Jalak Putih diciptakan dari salah seorang santrinya, sedangkan ayam Prabu Pucuk Umum yang diberi nama Jalak Rawe dibuat dari besi dan baja. Nama Jalak Rawe sampai sekarang dipergunakan oleh perkumpulan pencak silat di Kabupaten Serang yang mempunyai organisasi cukup besar. Ketika itu sabung ayam selalu diiringi dengan irama gendang yang bertautan, sekaligus mengiringi para ‘bobotoh’ (suporter) menari-nari.
Jadi, pada mulanya kesenian Patingtung diciptakan untuk mengiringi permainan sabung ayam. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian patingtung berkembang menjadi salah satu jenis kesenian di daerah Banten.
Dewasa ini, setelah agama Islam sudah menjadi agama dominan masyarakat Banten dan berakhirnya masa Kesultanan Banten, Seni Patingtung berkembang menjadi seni pertunjukan. Sebuah seni yang berfungsi sebagai media hiburan. Jenis kesenian tersebut dipertunjukkan pada acara-acara selamatan warga setempat, seperti khitanan dan pernikahan.
Seni Patingtung merupakan jenis kesenian yang memadukan pencak silat dengan tarian. Adapun gerak dasar tarian dalam Seni Patingtung sangat didominasi oleh gerakan pencak silat sehingga seni ini dapat dikatakan identik dengan pencak silat. Akan halnya tarian dalam seni Patingtung bersifat atraktif karena gerakan-gerakannya menggambarkan ketangkasan, baik dalam hal menggunakan piring-piring dari beling maupun menggunakan belati yang ditikamkan di dada penari sendiri.
Pertunjukan Seni Patingtung melibatkan banyak orang yang terdiri atas para penari, penabuh waditra atau pangrawit, dan juru panggung. untuk pertunjukan kesenian dengan jumlah pendukung yang banyak tentu diperlukan kerja sama dan kekompakan sehingga pertunjukan berjalan dengan lancar, mulai dari persiapan hingga selesai pertunjukan. Setiap penari membawakan tariannya masing masing, sedangkan tugas pangrawit harus menguasai seluruh lagu atau instrumen yang akan dibawakannya. Para penari dalam seni Patingtung dapat disebut pesilat juga karena mereka umumnya berasal dari berbagai perkumpulan pencak silat. Jumlah penari dalam pertunjukan Seni Patingtung berkisar antara 10 sampai 15 orang. Adapun pangrawit yaitu orang yang memainkan waditra jumlahnya sesuai dengan jumlah waditra yang akan dimainkan. Waditra yang dimainkan dalam setiap pertunjukan ada 8 buah, yaitu : kendang besar, kendang kecil, terompet, gong dengan 3 macam ukuran, ketuk, dan kecrek..
Seni Patingtung merupakan pertunjukan yang bersifat magis religius karena memadukan unsur agama dan kekuatan magis. Biasanya, pertunjukan Patingtung diawali dengan doa shalawat yang dilafalkan oleh para pendukung. Selanjutnya, ditampilkankan tari-tarian pria, karawitan dan ketangkasan para penari. Tahap pertunjukan secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut. Pada awal pertunjukan ditampilkan tarian pembuka yang dilakukan oleh seorang penari. Tarian tersebut diiringi musik gambrung dan sederetan lagu instrumental, seperti “yem”, “Numpak Sado” dan “Uti-uti Uri”. Setelah tarian tunggal dilanjutkan dengan “tarian sambutan” yang dimainkan oleh dua orang penari. Pada tarian ini digambarkan tarian bela diri dengan gerakan-gerakan menunjukkan ketangkasan penari dalam berkelahi tanpa menggunakan senjata.
Meskipun Seni Patingtung bersifat magis — religius, sebagian kecil dari kesenian nerupakan sisipan berbentuk humor, baik ditampilkan dalam bentuk dialog maupun tarian.
Setelah tarian sambutan, pertunjukan dilanjutkan pada “tarian rampak” yang dimainkan oleh tiga orang penari laki-laki. Tarian tersebut diiringi tetabuhan pencak silat sehingga gerakan-gerakan penari tampak sangat hidup.
Suasana semakin hidup dan tegang ketika ditampilkan tarian pasangan yang berupa gerakan perkelahian menggunakan alat atau senjata. Yang ditampilkan dalam perkelahian tersebut adalah ketangkasan dalam menyerang dan menangkis serangan lawan. Adapun alat atau senjata yang digunakan dalam tarian tersebut adalah trisula dan tongkat bambu yang dinamakan toya.
Pada akhir pertunjukan diisi tarian tunggal. Tarian tersebut sekaligus menjadi klimaks pertunjukan yang menampilkan ketangkasan yang lebih menegangkan, yaitu atraksi kekebalan tubuh oleh sayatan dan bacokan golok sendiri. Bagian pertunjukan ini biasanya ditambah dengan kesenian Debus yakni menampilkan atraksi mengupas kelapa dengan gigi, menggesek-gesek golok ke leher dan anggota tubuh lainnya, berguling-guling di atas landasan penuh paku, memakan bohlam, memasukkan bara api ke dalam mulut, menggoreng kerupuk di atas kepala dan mengeluarkan kelelawar dari mulut.
Penyebaran Seni Patingtung di Kabupaten Pandeglang tidak seluas di Kabupaten Serang. Di Pandeglang Seni Patingtung berkembang di Kecamatan Mandalawangi.
Sumber :
Agus Heryana dkk, “Seni Patingtung di Provinsi Banten”, Laporan Perekaman Peristiwa Kesejarahan dan Kebudayaan, Bandung: BPNB Jabar, 2018
Masduki Aam dkk. Kesenian Tradisional Provinsi Banten, Bandung: BPNB Jabar, 2005