Panjang Mulud, Tradisi Menyambut Hari Besar Islam pada Masyarakat Banten
Oleh:
Irvan Setiawan
(BPNB Jabar)
SEJARAH
Berkembangnya sebuah tradisi Maulid Nabi ke Nusantara seiring dengan perjalanan proses Islamisasi Nusantara. Banten adalah provinsi yang memiliki sebuah kearifan budaya lokal yang terus berkembang setiap tahunnya, dan salah satunya adalah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya, perayaan Panjang Mulud yang dilakukan secara massal telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yaitu sekitar tahun 1651 M-1672 M. Kala itu perayaan Panjang Mulud dilakukan dengan sangat meriah. Pada masa pemerintahan belanda bahkan jepang, perayaan Panjang Mulud masih tetap berlangsung namun tidak semeriah pada masa kesultanan (Robiansyah, 2016: 41).
Panjang Mulud menurut bahasa terdapat dua kata, yaitu Panjang dan Mulud, Panjang dari bahasa sansekerta berarti hiasan atau dekorasi, sedangkan Mulud berarti kelahiran, kelahiran disini ada dua upacara secara kebersamaan, pertama perayaan Panjang Mulud sebagai upacara memperingati pembelian sultan, kedua peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Robiansyah, 2016: 41). Versi lain menyebutkan bahwa Istilah Panjang tidak terkait dengan sebuah ukuran dalam skala meter atau apa pun itu. Konon istilah Panjang lebih terkait pada kata Panjang yakni memajangkan atau memperlihatkan. Panjang Mulud adalah benda yang dihias, yang digunakan dan dipertontonkan pada saat perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw (Heryana, 2019: 10).
LOKASI
Tradisi Panjang Mulud di Provinsi Banten diselenggarakan di empat kab/kota, yaitu Serang, Cilegon, Pandeglang dan Lebak. Pola penyelenggaraan secara umum memiliki persamaan, sedangkan yang membedakan hanya terletak pada kekhasan daerah, salah satunya adalah lantunan lagu shalawat yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Heryana, 2019: 3).
PELAKSANAAN
Masyarakat di empat Kab/kota dalam wilayah Provinsi Banten menganggap Panjang Mulud sebagai hari raya ketiga setelah hari raya idul fitri dan idul adha. Oleh karena itu, sebagai sebuah tradisi yang melibatkan banyak anggota masyarakat, pelaksanaan Panjang Mulud dilakukan dengan suatu perencanaan yang matang. Proses pelaksanaan diawali dengan mengadakan musyawarah pembentukan panitia pelaksanaan dengan melibatkan aparat pemerintahan desa, DKM, dan tokoh masyarakat. Musyawarah dilakukan untuk membahas menentukan waktu, tempat, anggaran sekaligus menetapkan iuran. Sesi berikutnya adalah pembuatan Panjang. Bentuk Panjang tidak menganut suatu pakem. Ajang kreativitas bermain dalam hal ini. Oleh karena itu, bentuk Panjang menjadi sangat beraneka ragam, antara lain kapal terbang, mobil, dan perahu. Setiap Panjang biasanya merupakan perwakilan kelompok antara lain, keluarga besar, wilayah RT, DKM, dan sebagainya. Setelah Panjang selesai dikerjakan, proses selanjutnya adalah mengisi Panjang dengan uang, hiasan, dan barang-barang (biasanya bukan makanan jadi) yang dapat dimanfaatkan atau dipakai seperti baju, perlengkapan shalat, dan lain-lain. Setelah terisi, Panjang kemudian disimpan. Hari-hari menjelang pelaksanaan diisi dengan kegiatan mengirim hidangan antar tetangga (Heryana, 2019: 4).
Sehari sebelum pelaksanaan, warga melakukan acara ngeriung ‘makan bersama’ dan tausiah maulid ‘ceramah maulid’ yang dimulai setelah shalat magrib. Esok harinya, pelaksanaan Ngarak (Panjang Mulud) dimulai. Titik awal arak-arakan Panjang Mulud berada di Mesjid dan dilaksanakan sekitar pukul 07.00. Pelaksanaan diawali dengan doa bersama yang dipimpin kyai. Dalam sesi doa bersama diselipkan sesi hadhoroh, yaitu doa yang dipanjatkan untuk keluarga atau kerabat yang sudah meninggal. Biasanya keluarga yang mengikuti sesi hadhoroh ini akan menaruh uang – seikhlasnya – dalam amplop yang bertuliskan keluarga atau kerabat yang sudah meninggal. Amplop tersebut bersama dengan amplop lainnya ditaruh di dekat kyai. Seluruh amplop tersebut biasanya akan dikumpulkan untuk dipergunakan untuk acara keagamaan atau disumbangkan kepada warga tak mampu.
Selesai sesi hadhoroh, acara Ngarak kemudian dilaksanakan. Kelompok seni Terebang Gede yang tergabung dalam sesi Ngarak menampilkan alunan musik khas Panjang Mulud untuk mengiringi dzikir mulud. Teks dzikir yang digunakan adalah dari Kitab Barzanzi yang dilantunkan oleh kelompok pedzikir dan peserta Ngarak. Selain berdzikir, shalawat juga dilantunkan dalam acara Ngarak tersebut. Rute pertama Ngarak adalah berjalan menuju lokasi Panjang. Setelah seluruh Panjang ikut dalam rombongan, acara Ngarak dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi kampung. Durasi prosesi Ngarak dilakukan hingga menjelang shalat dzuhur. Seluruh Panjang disusun, sementara peserta shalat dzuhur berjamaah kemudian dilanjutkan dengan sesi ngeropok, yaitu menginventarisir seluruh isi yang ada dalam Panjang lalu didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh warga yang menghadiri kegiatan Panjang Mulud (Heryana, 2019: 5-10).
NILAI DAN MAKNA
Nilai dan makna tradisi Panjang Mulud adalah semangat masyarakat dalam menyambut bulan Maulud. Kemeriahan yang tersaji merupakan salah satu apresiasi dan penghormatan datangnya bulan Maulud. Selain itu, dari segi kebersamaan, Panjang Mulud selain untuk mempererat tali silaturahmi juga memelihara semangat bergotong royong. Kalau dahulu gotong royong dicurahkan secara nyata dengan tenaga, saat ini dilakukan dalam bentuk uang, barang atau kepedulian saja sudah bisa menunjukkan partisipasi pada tradisi Panjang Mulud sehingga partisipasi warga yang berhalangan datang tetap tersalurkan. Selain itu, adanya tradisi Panjang Mulud menumbuhkan semangat menabung untuk biaya pembuatan Panjang dan perayaannya.