Adalah Nana Suryana – atau biasa dipanggil dengan Nana, anak dari pasangan Engkon dan Juwa. Ia bertugas sebagai penjaga Kabuyutan Ciburuy yang telah diembannya sejak tahun 2004, menggantikan tugas turun temurun dari sang ayah. Entah kenapa, sebagai anak bungsu dari 12 Bersaudara, orangtuanya menjatuhkan pilihan tugas turun temurun tersebut untuk diteruskan kepadanya. Proses pemilihan yang bersifat intangible membuat pilihan jatuh padanya. Walau demikian, pekerjaan yang menjadi rutinitas sang ayah tidak dikuasai dengan serta merta. Butuh proses bertahun-tahun agar ia bisa semahir ayahnya dalam menjalankan tugas memelihara situs Kabuyutan Ciburuy. Ayahnya sendiri (Engkon) juga mendapat perintah menjaga dan merawat Kabuyutan Ciburuy dari orang tuanya (Cudi dan Emeh)
Proses pelatihan – mungkin dapat dikatakan demikian, dimulai sejak tahun 1995-an, yang pada waktu itu, usia Nana masih setara pelajar tingkat SD. Proses pelatihan demi pelatihan dijalaninya dgn tekun. Pelatihan yg dimaksud bukanlah seperti yg dibayangkan layaknya duduk di belakang meja dan mendengarkan setiap ajaran yang disampaikan oleh tutor. Nana melakukan pelatihan dalam dua jenis, yaitu pelatihan etika dan “keilmuan”. Pelatihan etika adalah semacam tata cara dalam menghadapi dan menerangkan kepada tamu mengenai apa yang boleh dan apa yang ditabukan dalam lingkungan situs Kabuyutan Ciburuy. Hal ini dialami oleh tim tatkala hendak melakukan pendokumentasian pada hari Selasa. Salah satu dari dua hari yang memang sangat ditabukan untuk melakukan aktivitas di lingkungan tempat penyimpanan benda pusaka. Dan, tabu yang sama juga berlaku untuk hari jumat. Selain pantangan hari, tata cara lainnya juga harus dikuasai oleh Nana saat ia nantinya akan diserahi tanggung jawab penuh dari sang ayah. Jenis pelatihan kedua adalah tentang keilmuwan, yang dalam hal ini adalah sebuah bekal ilmu yang nantinya digunakan salah satunya untuk berkomunikasi dengan karuhun Ciburuy.
Sistem pewarisan turun temurun untuk menjaga Kabuyutan Ciburuy berikut sepertinya tetap dilakukan. Menikahi Siti rohmah, Nana Suryana dikaruniai dua orang anak, yaitu Dewi Rasmanah dan Jajang Gunawan. Petunjuk yang diperoleh secara intangible membuat Nana Suryana semakin memperhatikan anak bungsunya, Jajang Gunawan yang masih berusia balita. Gerak gerik disertai bakat yang dimilikinya semakin memperkuat pendirian Nana untuk kelak melimpahkan jabatan penjaga situs Kabuyutan Ciburuy kepada anak bungsunya tersebut.
Keseharian dalam melakukan tugas sebagai juru pelihara, Nana Suryana ditemani Nana Sumpena, oleh kakak kandung yang juga menjabat sebagai juru pelihara situs Kabuyutan Ciburuy. Kebersihan area kabuyutan harus terjaga. Oleh karena itu, tugas sehari-hari yang dilakukan adalah menyapu seluruh area seluas kurang lebih 1.550 m2 yang memang dipenuhi oleh rumpun bambu. Meskipun terkadang merepotkan karena sampah daun kering bambu yang kerap berguguran, tidak ada niat dari Nana Suryana untuk mengganti jenis tanaman bambu dengan tanaman lainnya. Tanaman bambu yang berada di lokasi Kabuyutan Ciburuy dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan jenis bambu lainnya terutama dari daya tahan dan kekuatan bambu untuk dijadikan sebagai pengganti dari 5 bangunan yang di Kabuyutan Ciburuy.
Tugas lainnya adalah menemani sekaligus menjadi guide para tamu yang datang dengan berbagai keperluan, seperti penelitian, konservasi, meditasi, ataupun hanya sekedar melakukan wisata budaya. Jadwal kunjungan dilakukan pada hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Hari Selasa dan Jumat merupakan hari yang dilarang untuk berkunjung. Tidak ada jawaban pasti mengenai alasan larangan pada dua hari tersebut. Nana menyebutkan bahwa aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dan ia tidak dapat mengira-ngira dalam mencari jawaban atas larangan tersebut. Spesifikasi larangan kunjungan pada hari Selasa dan Jumat hanya ditujukan untuk kunjungan pada dua dari lima bangunan, yaitu Bumi padaleman dan Bumi pangalihan. Oleh karena itu, tamu yang tidak mengetahui larangan tersebut hanya dapat mengunjungi 3 bangunan saja, yaitu bumi patamon, lisung dan leuit.
Naskah kuno Ciburuy disimpan dalam peti yang ada di bangunan bernama Bumi Padaleman. Tidak sembarang orang dapat melihat naskah tersebut. Hanya pada saat Upacara Seba Panyalikan saja secara khusus naskah kuno tersebut dikeluarkan untuk “dibersihkan” secara ritual. Selain pada Upacara Seba Panyalikan, naskah kuno juga dapat dikeluarkan untuk tujuan penelitian dan konservasi (pemeliharaan dan perawatan) yang biasanya dilakukan oleh kalangan akademisi dan lembaga yang terkait dengan pelestarian warisan budaya.
Ada tata cara yang harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah naskah kuno tersebut dikeluarkan dan diperlihatkan. Sebelum beranjak ke Bumi Padaleman, Nana Suryana harus mengenakan pakaian berwarna putih, sementara untuk para tamu berpakaian bebas rapih. Di Bumi Patamon, ada satu ruang khusus yang digunakan Nana Suryana untuk melakukan ritual memohon izin kepada karuhun sebelum mengeluarkan naskah kuno.
Setelah ritual permohonan izin selesai, Nana Suryana beranjak dari Bumi Patamon menuju lokasi Bumi Padaleman. Area tersebut dikelilingi oleh pagar bambu dan tembok (pada sisi luar) setinggi kurang lebih 2 meter. Di dalam area tersebut ada dua bangunan panggung berbahan bambu bernama Bumi Padaleman dan Bumi Pangalihan.
Di depan pintu masuk area, pengunjung (termasuk Nana sendiri) harus melepas alas kaki dan berjalan menyusuri jalan setapak sepanjang 50 meter yang telah disemen untuk sampai di Padaleman. Sementara untuk bangunan Pangalihan berada kurang lebih 10 meter di belakang Padaleman. Bangunan Padaleman yang berukuran 6 x 12 meter terbagi menjadi dua ruang, yaitu ruang depan dengan luas sekitar 2 x 6 meter, dan ruang naskah seluas kurang lebih 10 x 6 meter. Di ruang depan terdapat semacam perapian yang sekaligus difungsikan untuk menyalakan dupa. Ruang naskah berbentuk panggung beralas tikar pandan. Naskah kuno disimpan dalam 3 peti di bagian sudut kiri atas ruang naskah.
PETI NASKAH CIBURUY
PETI 1
Di dalam peti 1 terdapat sejumlah naskah yang menggunakan aksara sunda buhun ditulis dgn pisau raut diatas daun lontar. Naskah ditaruh dalam 2 kotak kecil dan 5 tumpukan yang dijepit dengan menggunakan bambu berukir.
Keseluruhan dibungkus oleh kain putih / kain kafan. Masing masing memiliki kisah tersendiri. kotak kecil bermotif bunga pasundan yg menjadi inspirasi motif batik garutan seluruh kotak terbuat dr kayu jati. Selain berisi naskah, di dalam peti 1 juga disimpan benda-benda kuno. Beberapa di antaranya menurut Nana Suryana berasal dari sebelum zaman Kerajaan Pajajaran. Ada lima buah benda yang tersimpan, yaitu:
Genta/lonceng zaman Nabi Isa
Ada semacam kepercayaan bahwa Lonceng tersebut tidak boleh dibunyikan sembarangan akan berpengaruh pada pergerakan tanah. Lonceng tersebut digunakan pada saat selesai acara penyiraman dalam ritual seba panyalikan.
Tongkat Zaman Nabi Musa
Tongkat nabi musa terdiri dari dua bagian. Satu bagian (seperti terlihat pada gambar di atas) dipegang tangan kiri, dan bagian kedua dipegang tangan kanan. Sebenarnya masih ada bagian lainnya, yaitu tongkat (menurut Nana) yang terbuat dari kayu, sudah tidak ada lagi.
PETI 3
Di dalam peti 3 terdapat sejumlah naskah yg ditulis dengan tinta di atas lembar daun nipah. Aksara ditulis dengan menggunakan bahasa jawa sunda. Masing masing kotak ditutupi dgn kain putih dan diikat dgn menggunakan daun aren. Jumlah keseluruhan naskah terbagi dalam 5 kotak.
PETI 2
Isi peti 2 adalah sama dengan peti 3. Hanya, jumlah kotak/koropak ada 11 buah. Dan, disimpan dalam 1 buah kotak sebelum disimpan dalam peti 2. Keseluruhan koyak dibungkus dengan kain kafan. (Irvan)