Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda

You are currently viewing Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda

Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda

Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda
Gunung Padang

Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda

A. Pendahuluan
Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai kegiatan fisik dan sosial yang kerap berkaitan erat sehingga menimbulkan sebuah paduan yang seharusnya menuju pada kesejahteraan dan kedamaian antar umat manusia. Berawal dari upaya memenuhi kebutuhan konsumsi yang dilanjutkan dengan upaya pertahanan diri terhadap obyek-obyek yang dapat membahayakan manusia, sedikit demi sedikit strategi yang dilakukan mengalami penyempurnaan agar segala kebutuhan primer manusia dapat dipenuhi dengan tanpa mengalami hambatan melalui strategi yang telah diterapkan.

Upaya penyempurnaan strategi dalam mempertahankan hidup terus dilakukan dan kemudian ditambah dengan upaya-upaya menemukan ketenangan yang diwujudkan dengan perilaku berkesenian dan melakukan ritual-ritual tertentu. Sangat dimaklumi bahwa segala bentuk seni dan ritual terus mengalami perkembangan sehingga sering memunculkan stigma terhadap religi atau seni terdahulu yang dianggap lebih rendah atau tidak sesuai etika kekinian. Padahal, alur kesenian dan religi saat ini merupakan bagian dari proses sangat panjang perjalanan manusia sehingga menapaki apa yang saat ini dianggap sebagai sebuah pedoman hidup yang terbaik menurut versi saat ini
Sengaja menyebutkan kesenian dan religi dalam kajian ini karena mitos kerap berkaitan dengan unsur seni yang kebanyakan mewarnai pelaksanaan berbagai religi sehingga pada saatnya kesenian kemudian dibedakan antara kesenian yang bertemakan hiburan dan kesenian yang bertemakan religi/magis.

Garis yang tidak begitu jelas untuk memisahkan antara kesenian dengan religi membuat unsur kesenian sebagai sebuah kebutuhan pokok dalam melakukan religi. Unsur seni dalam sebuah ritual tidaklah secara umum dilakukan dengan menggunakan tetabuhan yang hingar bingar diiringi dengan gerakan tari yang dinamik. Penyajian sesajen, tata ruang tempat ritual, dan perilaku dalam melakukan persembahyangan kerap disajikan dengan unsur seni tertentu dengan melekatkan berbagai bentuk filosofis berlatar belakang sejarah sehingga tercipta satu set religi yang lengkap dengan unsur seni berikut filosofis dan latar belakang sejarahnya.

Filosofi dan sejarah mengenai religi tertentu pada masanya memiliki bukti kuat tentang keberadaan atau kejadian sesuatu dipegang teguh sehingga menjadi bagian dari kepercayaan mereka pada waktu itu. Dua hal tersebut terus hidup dari zaman ke zaman jauh meninggalkan bukti-bukti yang dulu dianggap pernah ada. Dan, dua hal yang dulu dianggap sakral pada saat ini banyak dimasukan sebagai mitos yang memang sangat sulit dibuktikan dengan metode pembuktian saat ini.

Manusia merupakan mahluk berakal yang disesuaikan dengan jiwa zaman. Pembuktian yang dilakukan untuk menggali sebuah mitos harus dilakukan sesuai dengan logika zaman dimana ia berada. Telah banyak upaya pembuktian yang dilakukan untuk menggali kebenaran dari sebuah mitos. Di Indonesia, sebuah kasus sangat fenomenal yang mencuat beberapa tahun belakangan ini adalah keberadaan Gunung Padang. Sebenarnya mitos awal dari Gunung Padang ini adalah sebagai tempat atau sarana pemujaan yang tentunya sangat banyak situs-situs serupa di Indonesia.

Dapat dianggap sebuah keanehan yang menggelitik para arkeolog adalah bukti fisik dalam bentuk bebatuan yang seakan terpahat serupa, sangat banyak, tersusun menyerupai piramida, dan berskala besar. Akankah manusia pada zaman dahulu mampu membuat begitu banyak pahatan batu yang berukuran besar dan disusun menyerupai piramida? Hingga kini penelitian Gunung Padang masih dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan lagi, apakah Gunung Padang hanya diperuntukan semata sebagai tempat pemujaan saja, atau untuk hal yang lain?
Fokus pencarian jawaban dari para arkeolog memang ditujukan pada bukti fisik yang menjadi sumber cerita dan jawaban apa yang menjadi pertanyaan mereka selama ini. Sementara itu, sebuah jawaban tentunya tidak hanya didasarkan atas satu sumber saja. Harus ada sumber alternatif yang mendukung tercapainya sebuah jawaban yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan karena didasarkan dari berbagai sumber.

Mitos yang menjadi awal dari sebuah penggalian besar terhadap Gunung Padang ini menjadi sebuah alternatif yang diharapkan mampu menguak “cerita” apa yang tersimpan di Gunung Padang. Mitos biasanya muncul dengan adanya unsur-unsur yang mendukungnya, seperti adanya bentukkan benda alam yang sangat fantastik, seperti batu yang berbentuk hewan, bentukkan alam yang unik dan menyerupai kejadian manusia dan lainnya. Untuk menjelaskan bentukkan yang fantastis tersebut maka manusia berusaha menjelaskan dengan akalnya dan dikaitkannya dengan kejadian dalam kehidupan dirinya sehingga muncullah sebuah mitos. Gunung Padang yang merupakan benda alam yang disusun sedemikian rupa erat kaitannya dengan kondisi manusia prasejarah di lokasi tersebut sehingga menjadi sebuah garapan menarik melalui sumber informasi salah satunya dari mitos-mitos yang beredar di masyarakat terkait dengan keberadaan Gunung Padang.

B. Mitos Gunung Padang dan Kehidupan Religi Semasa Kerajaan Sunda
Berdasarkan pandangan kaum Behavioralist, terdapat tiga ranah penelitian arkeologi (three research domains) yang perlu diperhatikan (Reid, 1995). Pertama, menjawab pertanyaan “how”, yaitu “How did a particular configuration of objects come to be where they are presently observed?”. Pertanyaan ini berhubungan dengan proses pembentukan data (formation of the archaeological record); Kedua, menjawab pertanyaan “where, what, dan when”, yang berhubungan dengan upaya untuk merekonstruksi, mengidentifikasi, dan menggambarkan tingkah laku manusia pada masa lalu; Ketiga, menjawab pertanyaan “why”, yang berhubungan dengan penjelasan tentang tingkah laku manusia masa lalu. (Yuwono, 4: 1999)

Mitos, folklor, legenda, ataupun dongeng kerap mewarnai sisi sejarah dan budaya dari sebuah daerah. Daerah yang dapat saja berupa sebuah wilayah administratif, budaya, sejarah, ataupun kerajaan. Mitos yang menjadi fokus penelitian ini tidak menafikan unsur folklor, legenda, ataupun dongeng karena keseluruhannya dapat saling mendukung dari upaya untuk mencari keakuratan apa yang terjadi di balik “cerita” dari suatu daerah. Beberapa penelitian arkeologi juga turut menyertakan “cerita-cerita rakyat” sebagai penunjuk jalan pertama untuk melakukan ekskavasi di sebuah daerah penelitian. Mitos mengenai kuburan keramat, pohon angker, penampakan mahluk astral merupakan beberapa contoh untuk kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan uji kelayakan tanah.

Sebuah cerita, dongeng, dan anekdot yang terkesan kuno saat ini kadang hanya menjadi bumbu yang tidak sedap bagi kalangan generasi muda. Mitos-mitos yang bercerita seputar Gunung Padang misalnya, mungkin saat ini hanya menjadi sebuah cerita yang hanya didengar dan tidak dicerna apa makna dibalik mitos tersebut. Para antropolog dan beberapa pakar terkait sebenarnya sudah memberi aba-aba untuk memberi sebuah penilaian lebih bagi keberadaan mitos-mitos yang tersebar di berbagai daerah termasuk di tanah air.

Arahan mitos yang menuju pada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat pemujaan atau penghormatan kepada arwah leluhur, atau bahkan “Sang Pencipta”, sebelum dilakukan penelitian oleh kalangan arkeolog sebenarnya sudah diketahui melalui keberadaan mitos-mitos tentang asal mula dan fungsi Gunung Padang. Konsep pemujaan yang tertera dan melekat pada status Gunung Padang yang kemudian oleh beberapa pakar kasundaan dikaitkan dengan religi dan sistem kepercayaan Orang Sunda adalah sebuah pandangan umum yang terjadi dalam dalam sebuah lokasi pemujaan di hampir ada di belahan dunia.

Kenyataan ini kemudian menjadikan posisi religi sebagai unsur utama yang mengatur dan menjadi pedoman bagi terbentuk dan berjalannya sebuah kebudayaan di lokasi sekitar pemujaan. Kata “sekitar” tidak diartikan secara sempit dan hanya ditujukan pada lokasi di wilayah sekitar pemujaan belaka namun dapat diartikan menjadi sebuah lokasi yang amat luas bahkan dapat disamakan dengan geografi kebudayaan.

1. Gunung Padang dan Kerajaan Galuh Purba
Salah satu Kerajaan Sunda yang dikaitkan dengan Gunung Padang adalah Kerajaan Galuh Purba seperti yang tertera dalam Wawacan Sajarah Karajaan Galuh yang sekarang secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Ciamis. Dikatakan dalam salah satu peristiwa bahwa seorang bernama Ajar Sukaresi, seorang pandita sakti, tengah diuji kesaktiannya oleh Raja Bojong Galuh untuk menerka apakah perut buncit dari sang anak raja yang bernama Nyai Ujung Sekarjingga, tersebut apakah hamil dan jenis kelamin dari sang bayi yang tengah dikandungnya.

Perut buncit yang ternyata diketahui oleh Ajar Sukaresi tersebut sebagai sebuah kuali kemudian berkat kesaktiannya mampu diubah sehingga menjadi sebuah kehamilan yang benar-benar terjadi. Ajar Sukaresi kemudian menjawab bahwa memang perut buncit tersebut adalah sebuah kehamilan dan anak yang tengah dikandung adalah dari jenis kelamin laki-laki. Ternyata, setelah pakaian Nyai Ujung sekarjingga dibuka ternyata benar hamil. Sang raja kemudian murka karena merasa sangat malu. Upaya membunuh Ajar Sukaresi kemudian direncanakan dan dilaksanakan dan berakhir dengan kegagalan. Untuk menghormati sang raja, Ajar Sukaresi kemudian rela untuk dibunuh. Dengan tubuh penuh luka, Ajar Sukaresi berupaya untuk menuju ke pertapaannya di Gunung Padang.

Gunung Padang kembali diceritakan dalam sejarah Kerajaan Galuh Purba, yaitu rasa malu yang sangat dari sang raja saat sang jabang bayi lahir dan diberi nama Ciung Wanara membuat keinginan untuk membunuh cucunya sendiri. Sang patih yang ditugaskan untuk membunuh Ciung Wanara tidak tega. Sang patih kemudian menaruh Ciung Wanara dan sebutir telur ayam dalam sebuah wadah dan menghanyutkannya ke sungai. Ciung Wanara kemudian ditemukan oleh sepasang suami isteri dan dirawat hingga remaja sementara sebutir telur ayam yang dihanyutkan bersama Ciung Wanara kemudian dieramkan oleh seekor naga sakti bernama Nagawiru di Gunung Padang hingga menetas menjadi seekor ayam jantan.

Kata “Gunung Padang” juga terkait dengan perjalanan Prabu Galuh yang lengser dan kemudian digantikan oleh patihnya bernama Aria Kebondan. Prabu Galuh yang telah lengser kemudian menjadi seorang pertapa di Gunung Padang. Singkat cerita, dalam Wawacan Sajarah Galuh ditemukan tiga sosok terkait dengan Gunung Padang, yaitu Ajar Sukaresi, Ayam Jantan, dan Prabu Galuh. Oleh karena itu, bahwa Kerajaan Galuh menjadi bagian dari alur perjalanan sejarah Kerajaan Sunda yang mengkaitkan dan mengikatkan diri dengan keberadaan Gunung Padang. Masyarakat Ciamis, terutama para budayawan dan tokoh adat hingga kini masih menghormati para tokoh dan tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh tokoh tersebut seperti Kampung Kuta, Pananjung, Pulau Majeti, dan Gunung Padang.

2. Gunung Padang, Kerajaan Pajajaran, Harimau, dan Prabu Siliwangi
Masyarakat Sunda mengenal salah satu tokoh mitologis yang disebut Prabu Siliwangi. Dia disebut-sebut sebagai ‘karuhun” atau leluhurnya orang Sunda, yang menjadi raja di Kerajaan Sunda Pajajaran. Tokoh Prabu Siliwangi ini bahkan diidentikkan dengan identitas orang Sunda. Sisi lain dari tokoh Prabu Siliwangi ini ialah dia dilambangkan sebagai seekor binatang yang perkasa, yaitu seekor “maung” atau harimau. Binatang ‘maung” ini kemudian menjadi totem orang Sunda dan komunitas-komunitas kasundaan. Salah satu contohnya adalah kesebelasan sepak bola yang lahir dan besar di Kota Bandung, yaitu PERSIB BANDUNG.

Keberadaan harimau, kerajaan Pajajaran, dan Prabu Siliwangi yang menjadi mitos di seputaran Situs Gunung Padang menimbulkan asumsi bahwa Situs Gunung Padang dibangun pada masa kerajaan Sunda. Masyarakat setempat pun meyakini mitos tersebut dan mengasumsikan adanya upaya Prabu Siliwangi untuk membangun istana yang dilakukan dalam satu malam. Hal ini kemudian dimentahkan dan ditolak dalam Naskah Bujangga Manik. Dalam salah satu paragraf disebutkan bahwa Situs Gunung Padang sudah ada sebelum dibangun atau berdirinya kerajaan Sunda. Sementara mengenai keberadaan harimau, Kerajaan Pajajaran, dan Prabu Siliwangi untuk sementara dapat dibuktikan dengan adanya lekukan pada batu yang menyerupai senjata Kujang dan dan tapak kaki harimau. Lalu, mengapa Prabu Siliwangi diidentikkan dengan seekor harimau, dan bagaimana hubungan antara Prabu Siliwangi dengan situs Gunung Padang, ceritanya adalah sebagai berikut:

a. Legenda Prabu Siliwangi
Menurut catatan sejarah, pada awal abad ke-16 di Tatar Sunda terdapat sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berpusat di daerah barat (Bogor sekarang). Kerajaan Pajajaran sangat terkenal ketika berada di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi adalah seorang raja yang sangat bijaksana, gagah perkasa, dan sangat teguh memegang keyakinan yang diwarisi dari para leluhurnya. Keadaan Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur, rakyatnya hidup tentram, damai dan makmur.

Konon, sebelum menajdi raja Pajajaran, Prabu Siliwangi pernah menjadi raja di Kerajaan Sindang Kasih, yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda – Galuh. Ketika itu nama beliau adalah Prabu Jayadewata atau Pamanahrasa yang menikah dengan Nyi Mas Ambetkasih, putri Ki Gedeng Sindang kasih.

Ketika itu Kerajaan Sunda dibagi dua bagian: sebelah timur Sungai Citarum masuk ke wilayah Kerajaan Galuh di bawah raja Prabu Dewaniskala, ayah dari Prabu Siliwangi; sebelah barat Sungai Citarum masuk ke dalam wilayah Kerajaan Sunda di bawah pemerintahan Prabu Susuktunggal, paman Prabu Siliwangi. Pada akhir abad ke-16, kedua kerajaan itu oleh Prabu Siliwangi dipersatukan menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran, dan ibukotanya dipindahkan ke daerah Bogor sekarang.

Perkawinan Prabu Siliwangi dengan Ambetkasih tidak dikaruniai anak. Kemudian beliau menikah lagi dengan Nyi Mas Subanglarang, seorang putri dari lngkungan keluarga pesantren di daerah Karawang. Dari pernikahannya dengan Subanglarang, Prabu Siliwangi memiliki 3 orang anak: yang paling besar bernaman Raden Walangsungsang, anak kedua seorang perempuan bernama Nyi Mas Rarasantang, yang bungsu bernama Raden Sagara yang kemudian lebih dikenal dengan nama Keyan Santang.

Ketiga putra Prabu Siliwangi berbeda keyakinan dengan ayahnya. Anak pertama dan kedua mengikuti ibunya menganut agama Islam, sedangkan Prabu Siliwangi teguh dengan kepercayaan yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan paham antara anak dan ayah ini menyebabkan hengkangnya kedua anak Prabu Siliwangi, yaitu Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang. Mereka bedua meninggalkan keraton Kerajaan Sindangkasih utuk menyebarkan syi’ar Islam di Tatar Sunda.

Anak ketiga dari Prabu Siliwangi adalah Keyan Santang. Julukan Keyan adalah singkatan dari Rakeyan, yang menandakan bahwa dia adalah anak raja. Ketika kedua kakaknya meninggalkan keraton Sindangkasih, Keyan Santang masih di dalam rahim ibunya. Oleh sebab itu, ketika ia dilahirkan, Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang sudah tidak ada di keraton.

Berbeda dengan kedua kakaknya, Keyan Santang lebih dekat kepada ayahnya ketimbang ibunya. Ia pun oleh Prabu Siliwangi dijadikan Putra Mahkota untuk menggantikannya kelak bila ia sudah turun tahta. Oleh sebab itu, ajaran-ajaran yang meresap ke dalam diri Keyan Santang lebih banyak ajaran-ajaran dari ayahnya, ketimbang ibunya. Oleh ayahnya, semenjak kecil Keyan Santang diajari berbagai ilmu kesaktian sebagai persiapan untuk kelak bila ia naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sindangkasih, agar ia menjadi seorang raja besar yang gagah perkasa dan sakti mandraguna.

Ketika menginjak usia remaja muda, Keyan Santang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia pun menjadi seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Sayangnya, ia memiliki sifat sombong, takabur dan tinggi hati, merasa dirinya paling sakti dan tidak ada yang sanggup mengalahkannya.

Suatu ketika dia merenung, “…Aku ini sudah tamat mempelajari berbagai ilmu kesaktian. Tubuhku sudah kebal dari berbagai macam senjata, sampai-sampai aku belum pernah melihat warna darahku… Apa benar aku ini paling sakti dan paling gagah di dunia ini….? aku harus mengembara, siapa tahu masih ada ilmu yang belum kuketahui dan belum kupelajari ….” demikian ia berfikir.

Ia pun kemudian melaksanakan niatnya mengembara. Seluruh pelosok Tanah Jawa sudah ia datangi. Orang-orang yang dikabarkan sakti pun telah dia jajal dan tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Ia pun kemudian menyeberangi lautan, menuju ke tanah Mekah. Ia mendengar bahwa di Tanah Mekah, ada seorang yang sangat sakti dan tinggi ilmunya, yang bernama Bagenda Ali, alias Sayidina Ali. Ia bertekad ingin menemui dan menantangnya mengadu kesaktian.

Singkat cerita Keyan Santang tiba di Tanah Mekah. Ketika Keyan Santang tengah berjalan di tengah padang pasir, ia dihampiri oleh seorang kakek tua renta. Kakek tua itu bertanya kepada Keyan Santang mau kemana dan apa tujuan Keyan Santang datang ke Tanah Arab.

Keyan Santang pun menjawab, “…Saya ini ingin menemui Bagenda Ali, yang kabarnya sangat sakti dan tinggi ilmunya. Saya ingin sekali mencoba kesaktiannya …” jawab Keyan Santang.
“…Baiklah kalau begitu, mari kuantarkan…” kata orang tua itu.
Keyan Santang pun kemudian mengikuti kakek itu. Belum jauh mereka berjalan, kakek tua itu berkata. “Aduh…tongkat kakek tertinggal. Tuh…menancap di atas tanah. Tolong ambilkan, Nak….” kata kakek itu.

Keyan Santang pun kemudian balik lagi untuk mengambilkan tongkat kakek tua itu. Tongkat yang menancap itu, lalu ditarik oleh Keyan Santang. Ia kaget, karena tongkat itu menancap kuat di atas tanah. Ia mencoba lagi mencabutnya, tapi tongkat itu tidak juga tercabut, bahkan tidak bergeming sama sekali. Keyan Santang pun kemudian mengerahkan segenap tenaga dan kesaktiannya, tapi ternyata tongkat itu tidak bergeming sedikit pun. Keyan Santang terus memaksakan diri mencabut tongkat itu. Segenap tenaga dan ilmu kesaktiannya sudah ia kerahkan, sampai-sampai darah bercucuran dari sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali itulah Keyan Santang melihat darahnya sendiri,…ternyata warna darahnya merah, tidak berbeda dengan darah orang-orang lain.

Kakek tua itu lalu menghampirinya. “Kenapa lama sekali mengambil tongkat kakek, Anak Muda….?” kata kakek tua itu.
“Aduh Kek, ternyata saya tidak sanggup mencabut tongkat yang menancap ini…” jawab Keyan Santang dengan nafas tersengal-sengal.
“Katanya mau mengadu kesaktian dengan Bagenda Ali, tapi mencabut tongkat itu saja tidak sanggup….” ujar kakek itu menyindir.
“Ketahuilah Anak Muda, aku inilah Bagenda Ali yang kamu cari….” kata kakek itu. Keajaiban pun terjadi, baru saja kakek itu selesai berujar, wujud kakek itu pun seketika berubah menjadi seorang yang gagah perkasa.

Melihat kejadian itu, badan Keyan Santang seketika terpuruk, ia bersujud di hadapan Bagenda Ali dan memohon untuk menjadi muridnya. Bagenda Ali pun menyanggupinya dengan syarat Keyan Santang harus menganut Agama Islam. Semenjak saat itu, Keyan Santang pun resmi menjadi murid Baginda Ali. Keyan Santang dengan penuh semangat mempelajari seluruh ajaran Islam yang disampaikan oleh Baginda Ali, gurunya.

Dikisahkan sudah bertahun-tahun Keyan Santang menuntut berbagai ilmu, khususnya ilmu agama Islam di Tanah Mekah. Suatu ketika, Bagenda Ali menyuruhnya untuk kembali ke Tanah Jawa, khususnya ke Tanah Sunda, tempat kelahiran Keyan Santang.
“Keyan Santang, sudah saatnya sekarang Ananda kembali ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Tapi sebelum Ananda kenbali ke Tanah Sunda, Mama akan memberikan nama keislaman, yang artinya Ananda sudah resmi menjadi penganut dan wajib menyebarkan Agama Islam. Mulai sekarang nama ananda adalah Rohmat Suci…” demikian Bagenda Ali berkata kepada Keyan Santang, yang kini sudah berganti nama menjadi Rohmat Suci.

Tidak dikisahkan di perjalannya, dikisahkan Keyan Santang sudah tiba kembali di Pulau Jawa, tepatnya di Tatar Sunda. Keyan Santang alias Rohmat Suci mulai menyebarkan ajaran Islam di Tatar Sunda, khususnya di kalangan masyarakat yang masih menganut agama Hindu dan Budha. Syi’arnya terbilang berhasil, banyak warga masyarakat di sekitar Banten, Karawang, dan wilayah sebelah utara Tatar Sunda yang mengikutinya menjadi penganut Agama Islam dan menjadi pengikut Keyan Santang.

Kabar perihal banyaknya rakyat Pajajaran yang membelot menjadi pengikut Keyan Santang, sampai juga ke telinga Prabu Siliwangi Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di hati Prabu Siliwangi. Ia takut rakyatnya semua membelot dan mengikuti ajaran baru yang dibawa oleh putranya sendiri.

Pada suatu ketika, Keyan Santang mendatangi ayahnya di keraton Pajajaran. Maksudnya membujuk agar ayahnya masuk Islam dan meninggalkan ajaran leluhurnya yang selama ini dipegang kukuh oleh ayahnya. Ajakan Keyan Santang ditolak oleh ayahnya, dan dianggap suatu hal yang mustahil bila dia harus meninggalkan ajaran leluhurnya. Prabu Siliwangi kemudian menasehati putranya.

“…Rakeyan Santang, anakku, kalau kamu tetap ingin menyebarkan agama baru itu, silakan saja. Tapi jangan sekali-kali dengan cara memaksa. Silakan kamu menyebarkan agama barumu, tapi hanya kepada orang-orang yang benar-benar rela ingin menganutnya, tidak ada pemaksaan. Karena kalau kamu memaksakan ajaran barumu, itu artinya kamu sudah merampas hak asasi orang lain…” Demikian pesan Prabu Siliwangi kepada putranya.

Akan tetapi, walaupun sudah dinasehati oleh ayahnya, Keyan Santang tetap merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Ia pun berkali-kali membujuk ayahnya untuk mengikuti ajaran yang dibawanya. Prabu Siliwangi pun tetap kukuh pada pendiriannya.
Melihat perubahan sikap putranya yang dulu sangat patuh kepadanya, Prabu Siliwangi menjadi sangat kecewa. Suatu ketika, Prabu Siliwangi memusyawarahkan perihal bagaimana menghadapi sikap anaknya itu bersama Patih Terongpeot dan para pembesar Kerajaan Pajajaran.

“Paman Patih dan semua ponggawa, aku bingung menghadapi sikap anakku Keyan Santang, yang kini sangat berubah. Ia memaksaku untuk mengikuti ajaran baru yang dibawanya untuk dianut oleh kita semua. Aku ingin minta pendapat kalian, bagaimana sebaiknya kita menyikapi anaku itu…” demikian Sang Prabu Siliwangi membuka pembicaraannya.

Mendengar penuturan rajanya, Patih Terongpeot segera menyembah seraya berkata,

“Sembah hamba Sang Prabu… Kami semua akan menyerahkan semuanya kepada Paduka Prabu. Apa pun yang Paduka Prabu titahkan, kami semua akan mematuhinya….”
“Baiklah kalau begitu, saya akan memutuskan. Untuk menghadapi sikap Keyan Santang yang berkeras memaksakan ajaran baru yang dibawanya, tiada jalan lain, kita harus meninggalkan keraton ini. Ini kita lakukan demi menghindari pertumpahan darah dengan anaku sendiri…. Bagaimana pendapatmu Kakang Patih…?” demikian Prabu Siliwangi berujar.
“Ampun Prabu… kami semua akan mengikuti apa pun yang Prabu putuskan…” jawab Patih Terongpeot dengan sangat takzim. Semua menteri dan para ponggawa pun mengiakan apa yang dikatakan Patih Terongpeot.

Hasil musyawarah disepakati bahwa Prabu Siliwangi, bersama Patih Terongpeot dan para menteri, ponggawa, serta rakyatnya yang setia akan meninggalkan keraton sebelum Keyan Santang dan pasukannya datang kembali untuk memaksakan ajaran barunya. Selanjutnya, dengan kesaktiannya, keraton dan sekelilingnya oleh Prabu Siliwangi diubah wujudnya menjadi hutan belantara yang isinya harimau dan sebangsanya.

Apa yang dikhawatirkan oleh Prabu Siliwangi menjadi kenyataan. Kabar yang sampai kepada Prabu Siliwangi bahwa lebih dari setengahnya rakyat Pajajaran, telah membelot menjadi pengikut Keyan Santang dengan ajaran barunya, Islam. Sebelum Keyan Santang datang kembali ke tempat itu, Prabu Siliwangi beserta Patih dan para pengikutnya yang hanya beberapa orang, meninggalkan keraton itu, setelah mengubah wujud sekeliling keraton menjadi hutan belantara.

Ketika Keyan Santang datang ke keraton Kerajaan Sunda Pajajaran, ia terheran-heran, sebab tempat yang didatanginya kini telah berubah menjadi hutan belantara. Sejenak Keyan Santang merenung. Ia pun memaklumi, bahwa ayahnya yang sakti telah mengubah keraton menjadi hutan belantara. Tak lama kemudian, ia pun memutuskan untuk pergi ke arah timur, sebab menurut mata bathinnya ia yakin bahwa ayahnya pergi ke arah timur.

Dikisahkan Keyan Santang dengan para pengikutnya sudah tiba di Kabuyutan Ciburuy. Ketika Keyan Santang dan rombongannya tiba di Kabuyutan Ciburuy, tidak nampak seorang pun di sana. Yang ada hanyalah bekas-bekas bahwa tempat itu telah ditinggali oleh banyak orang. Keyan Santang pun maklum bahwa ayahnya, Prabu Siliwangi dan para pengikutnya baru saja meninggalkan tempat ini. Karena melihat para pengikutnya sudah merasa kelelahan, Keyan Santang pun memutuskan untuk singgah di kabuyutan itu. Mereka tinggal beberapa lama di Bumi Patemon. Karena Keyan Santang seorang penganut Islam yang taat, ia pun kemudian membuat tempat shalat dari batu-batu tipis yang dihamparkan. Di atas hamparan batu tipis itu, Keyan Santang melakukan shalat dan bertafakur, mohon petunjuk dari Allah untuk menyadarkan ayahnya, agar mau menganut agama Islam.

Pada suatu hari, ketika tengah bertafakur, Keyan Santang mendapat firasat bahwa ayahnya telah berada di sebuah hutan belantara, yaitu Hutan Sancang. Setelah mendapatkan petunjuk itu, Keyan Santang dan para pengikutnya segera meninggalkan kabuyutan dan melanjutkan perjalanan ke Hutan Sancang.

Dikisahkan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya telah sampai di Hutan Sancang, sebuah kawasan hutan belantara yang dipenuhi degan aneka binatang, dan pohon-pohon raksasa.
Suatu ketika, Prabu Siliwangi mendapatkan firasat, bahwa anaknya, Prabu Keyan Santang akan segera tiba di tempat itu. Ia pun kemudian berkata kepada patih dan para pengikutnya,

“…. Paman Patih dan semua pengikutku, kalau kalian masih tetap setia kepadaku, ikutilah sabdaku. Saat inilah waktunya kita akan berubah wujud. Mulai sekarang jangan sekali-kali kalian menengok ke belakang. Kalau kalian melanggar ucapanku, menengok ke belakang, maka kalian tidak akan pernah melihat ku lagi….”

Sebelum berubah wujud, Prabu Siliwangi menorehkan beberapa kata pada kulit sebatang pohon kayu menggunakan pisau pangot. Bunyi kalimat itu adalah : “kaboa panggih, kaboa moal, tapak lacak kaula ku anak incu”. Selesai menorehkan kalimat itu, Prabu Siliwangi pun berubah wujud menjadi seekor maung loreng yang sangat besar. Demikian pula para pengiringnya berubah wujud menjadi harimau belang.

Demikianlah, Prabu Siliwangi dan para pengikutnya yang setia kini telah tiada, berubah wujud menjadi binatang harimau yang selanjutnya menghuni Hutan Sancang. Adapun hubungan cerita ini dengan situs Gunung Padang, menurut penuturan salah seorang informan, konon pada malam-malam tertentu, di puncak Gunung Padang suka muncul seekor harimau yang misterius. Akan tetapi tidak sembarang orang yang bisa melihat kemunculan harimau ini, melainkan hanya orang-orang tertentu saja. Menurut informan, konon harimau yang muncul di puncak Gunung Padang itu adalah jelmaan Prabu Siliwangi.

b. Prabu Siliwangi sebagai sebuah Gelar
Nama Prabu Siliwangi begitu lekat dengan Orang Sunda, bahkan Prabu Siliwangi menjadi identitas Orang Sunda. Namun, siapa sesungguhnya yang disebut sebagai Prabu Siliwangi? Seorang informan menjelaskan bahwa sesungguhnya Prabu Siliwangi itu bukanlah nama seseorang, melainkan gelar yang diberikan kepada raja-raja Sunda. Mengenai hal ini, ada sebuah cerita yang terkait dengan cerita Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357, yaitu perang antara kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit. Berikut jalan ceritanya yang bersumber dari penuturan salah seorang informan.
Pada abad ke-14, di tanah Jawa berdiri sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Majapahit. Menurut beberapa sumber, Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, putra dari Jayawarman. Jayawarman adalah anak dari Prabu Dharmasiksa, raja dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Raden Wijaya yang mendirikan Kerajaan Majapahit adalah keturunan dari Kerajaan Sunda. Peristiwa perang bubat terjadi pada saat Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada.
Dikisahkan ketika itu Prabu Hayam Wuruk berusia 23 tahun, namun ia belum memiliki permaisuri. Ibunya merasa waswas melihat putranya, Prabu Hayam Wuruk belum juga beristri. Maka pada suatu ketika sang ibu suri mengutarakan kegelsahannya kepada Hayam Wuruk.

”Ananda Prabu…”, demikian sabda sang Ibu Suri. “…Ananda sudah dewasa, dan Ananda pun sudah menduduki tahta kerajaan agung Majapahit. Sudah saatnya Ananda mempersunting seorang putri untuk menjadi permaisuri…”

Prabu Hayam Wuruk pun segera mengumpulkan para pelukis istana. Mereka disebar ke seluruh kerajaan di kawasan nusantara untuk melukis putri-putri kerajaan untuk kemudian dipilih oleh sang Prabu Hayam Wuruk. Dari sekian banyaknya lukisan putri-putri kerajaan, hanya satu yang terpilih oleh sang prabu, yaitu lukisan seorang putri dari Kerajaan Sunda di Kawali. Putri itu bernama Putri Citraresmi atau biasa juga disebut Putri Dyah Pitaloka. Karena kecantikannya yang luar biasa, sang putri dijuluki Sang Permata. Sang Putri Dyah Pitaloka tinggal di keraton Surawisesa, di daerah Kawali.
Putri Dyah Pitaloka adalah putri dari Prabu Maharaja Linggabuwana yang memerintah di Kerajaan Sunda. Kebetulan leluhur Hayam Wuruk memiliki hubungan kedekatan khusus dengan Kerajaan Sunda. Konon, menurut cerita, kakek Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit. Raden Wijaya adalah cucu Prabu Dharmasiksa, seorang raja Sunda. Ketika Raden Wijaya mendirikan Majapahit, ia berpesan:

“omat ulah rek ngarempak kabuyutan galunggung (sunda)”.
“Awas jangan sekali-kali mengganggu/menyerang Kabuyutan Galunggung (Sunda)”.

Demikian pesan kakek Hayam Wuruk. Hayam Wuruk pun tahu bahwa leluhurnya adalah orang Sunda, dan ia faham betul dengan amanat yang ditinggalkan oleh kakeknya.
Hayam Wuruk pun berniat untuk mengikat kembali tali kekeluargaan dengan melamar Putri Dyah Pitaloka (Citraresmi) untuk menjadi permaisurinya. Untuk mewujudkan niatnya tersebut, Hayam Wuruk mengutus Resi Madu untuk melayangkan lamaran kepada Prabu Maharaja Linggabuwana di Galuh, melamar putrinya, Putri Dyah Pitaloka untuk diperistri oleh Prabu Hayam Wuruk. Lamaran itu diterima dengan baik oleh Prabu Maharaja Linggabuwana. Akan tetapi mengenai tempat perkawinan yang akan dilangsungkan di Majapahit, pada mulanya pihak Kerajaan Sunda tidak menyetujui, karena tidak umum perkawinan dilangsungkan di pihak laki-laki. Menurut adat Sunda biasanya perkawinan dilangsungkan di pihak perempuan. Yang menyatakan tidak setuju adalah Patih Bunisora. Akan tetapi Prabu Linggabuwana melihat itikad baik dari Hayam Wuruk, maka direstuilah lamaran tersebut.

Pada suatu hari, berangkatlah rombongan pengantin putri dari Galuh sebanyak 92 orang. Tiba di Cirebon, Prabu Linggabuwana melihat air laut berwarna merah. Ia menyadari bahwa itu adalah sebuah firasat pertanda kurang baik bagi dirinya. Dari Cirebon rombongan pengantin naik perahu ke Tuban, kemudian dari Tuban naik kuda menuju ke Mojokerto/alun-alun bubat (yang sekarang sudah menjadi kebon jagung). Sampai di Bubat kebetulan raja-raja taklukan Majapahit sedang seba kepada Prabu Hayam Wuruk.

Prabu Linggabuwana merasa heran, kenapa kedatangannya sama sekali tidak ada penyambutan dari pihak Majapahit. Sang raja pun menyuruh Patih Anapaken untuk mengabarkan perihal kedatangannya kepada raja Majapahit. Di gerbang Majapahit, sang patih Anapaken dihadang oleh Gajahmada. Gajahmada mengatakan kepada patih Anapaken bahwa kalau Citraresmi mau sampai ke keraton, Kerajaan Sunda harus takluk terlebih dahulu kepada Majapait, dan status Citraresmi atau Dyah Pitaloka haruslah sebagai upeti, bukan sebagai prameswari. Sikap Gajahmada ini didorong oleh ambisinya yang ingin menaklukkan seluruh kerajaan-kerajaan di nusantara. Ketika itu hanya dua kerajaan yang belum takluk kepada Majapait, yaitu Kerajaan Sunda dan Palembang.

Patih Anapaken marah mendengar ucapan Gajahmada. Terjadilah pertengkaran mulut di antara kedua patih kerajaan tersebut. Patih Anapaken pun segera pergi dari tempat itu dan menghadap rajanya, kemudian ia menyampaikan pesan Gajahmada.
Patih Anapaken menyampaikan ucapan Gajahmada kepada Prabu Linggabuwana, bahwa bila rombongannya ingin sampai ke keraton Majapahit, mereka harus menyatakan takluk kepada Majapahit dan Dyah Pitaloka statusnya harus menjadi upeti, bukan calon prameswari. Mendengar pesan itu, Prabu Linggabuwana murka. Ia berkata kepada para pengiringnya:

“dengekeun ku maraneh sakabeh…kajeun getih ngamalir didieu, pikeun urang sinatria sunda moal gedag ku kaanginan, panjeg hate sakabeh, urang lawan…”.

Usai berkata demikian Sang Prabu berganti pakaian, mengenakan pakaian serba putih dan menghunus senjata kujang bermata sembilan, diikuti oleh semua pengikutnya. Mereka siap melakukan “perang puputan”, perang habis-habisan sampai titik darah penghabisan.
Prabu Linggabuwana hanya ditemani oleh 92 orang pengantar pengantin, harus menghadapi pasukan perang keraton Majapahit. Sudah barang tentu ini tidak berimbang. Tapi semuanya siap berkorban nyawa demi kehormatan Kerajaan Sunda. Mereka pun siap melakukan perang puputan dan semuanya berganti pakaian mengenakan pakaian serba putih, pertanda siap berjuang sampai titik darah penghabisan.

Tidak lama kemudian datanglah pasukan Majapahit mengepung mereka, maka terjadilah perang campuh antara rombongan pengantin dari Sunda melawan pasukan kerajaan Majapahit. Tentu saja kekuatan mereka tidak berimbang. Rombongan Prabu Linggabuwana ditumpas habis, kendati pun pasukan Majapahit banyak yang menjadi korban. Rombongan dari Sunda semuanya gugur termasuk Prabu Linggabuwana dan prameswarinya, Dewi Raraningsih, kecuali putrinya, Dewi Citraresmi atau Dyah Pitaloka. Ketika Dewi Citra Resmi melongok ke luar tenda, ia kaget menyaksikan semua rombongannya telah gugur. Ia pun bersumpah:

“…cadu aing kudu kawin ka raja nu geus numpas kulawarga jeung karajaan…“

Setelah mengucapkan sumpah itu, ia pun lalu bunuh diri menggunakan patrem/tusuk rambut. Di keraton Majapahit geger karena peristiwa itu. Prabu Hayam Wuruk meninjau ke tempat terjadinya peperangan, ternyata sudah banjir darah. Dewi Citraresmi pun telah tergeletak menjadi mayat. Prabu Hayam Wuruk memangku mayat Citraresmi sambil menangis. Ia kemudian memperabukan mayat-mayat Prabu Linggabuwana dan keluarganya, kemudian abunya diserahkan kepada Prabu Bunisora di Galuh. Prabu Hayam Wuruk tidak pernah menganggap Sunda menjadi kerajaan taklukannya, maka ia mengibarkan bendera Kerajaan Sunda sejajar dengan bendera Majapahit. Selanjutnya Prabu Hayam Wuruk mengadakan sidang untuk mengadili Gajahmada, tapi Gajahmada sudah melarikan diri dan hingga kini menghilang entah kemana.

Raja-raja nusantara yang tengah berkumpul pun merasa salut dengan sikap dan kegagahan prabu Linggabuwana, maka mereka menjuluki Prabu Linggabuwana dengan sebutan “Prabu Wangi”. Setiap raja Sunda keturuna Prabu Wangi, berhak atas gelar “Prabu Siliwangi”, yaitu turunan dari Prabu Wangi, yaitu Prabu Niskala Wastukancana, Prabu Dewa Niskala, Sanghyang Susuk tunggal, Sribaduga Maharaja, Prabu Surawisesa, Ratu Sakti Sang Mangawatang, Prabu Nilakendra, Prabu Ragamulya Surakancana. Ada sekitar 9 orang yang mendapat gelar Prabu Siliwangi. Pada zaman Sribaduga Maharaja memerintah merupakan puncak kejayaan Kerajaan Pajajaran. Di nusantara yang bisa menyaingi Kerjanaan Pajajaran hanya dua, yaitu Demak dan Samudra Pasai. Pasukan Demak punya meriam, pasukan Pajajaran punya pasukan panah yang disebut “Walet Pajajaran”.

4. Mitos Angka Lima di Gunung Padang
Lima, bukan hanya tertuju pada lima teras yang ada di Gunung Padang, tetapi juga terlihat dari sebagain besar batuan di Gunung Padang yang berbentuk persegi lima. Tidak sembarang orang yang dapat memuja langsung di teras V, orang memuja harus berurutan mulai dari teras I hingga terasa V, dan sangat jarang orang yang lulus di teras V sebab di teras V merupakan tempat pemujaan bagi orang-orang yang sudah marifat kepada Tuhannya. Orang yang ma’rifat adalah orang yang sudah benar-benar melepaskan diri dari sifat-sifat keduniawiannya. Salah seorang informan menuturkan:

“Teu sadayana lulus. Numawi calon-calon raja pajajaran mah kedah lulus di dinya heula, nembe lulus ti eta tempat tiasa jadi raja. Calon patih sareng putra raja kedah kadinya heula. Lulus ti eta lulus jadi rajana. Gunung padang tempat Ujian terahir, jadi teu ujug-ujug ka puncak… lebet ka trap ka hiji teras salajengna ka trap kalima…..”

Artinya:

“Tidak semuanya lulus. Makanya calon-calon raja Pajajaran harus lulus di tempat tersebut, setelah lulus baru bisa menjadi raja. Calon patih dengan putra raja harus kesana dulu. Lulus dari situ (maka) lulus menjadi raja. Gunung Padang tempat ujian terakhir, jadi tidak langsung mencapai puncak … masuk ke trap ke teras satu sampai kelima”

Di Teras ini dijadikan tempat semacam fit and proper test bagi calon pemimpin (kerajaan) pada waktu itu, sebab Gunung Padang merupakan salah satu kabuyutan. Pada zaman pajajaran ada tiga tempat untuk menguji keilmuan calon pemimpin, yaitu pertama kawikuan yaitu tempat untuk menimba ilmu keagamaan lamanya untuk menimba ilmu adalah 12 tahun, kedua binayapanti yaitu tempat menimba ilmu pengetahuan, ilmu berperang, kepemimpinan, dan ilmu duniawi lainnya yang dilakukan selama 12 tahun. Ketiga adalah kabuyutan yaitu tempat yang sangat dikeramatkan dan tempat bersemedinya calon pemimpin yang telah lulus dari ke dua tempat sebelumnya, di sini untuk menimba ilmu tidak ditentukan lamanya. Hal tersebut disebabkan bahwa dalam menimba ilmu kabuyutan sangat ditentukan oleh kualitas pribadi calon pemimpin yang diistilahkan dalam pepatah sunda, yaitu:

“dimana kataekanana, sidakep sinuku tunggal mepet bayu pancadriya maja raga manteng ka hyang jagatpati nu disebat agama sangyang sunda wiwitan, tah upami tos mendak wangsit nembe lulus”.

Angka lima di Gunung Padang sangat dianggap sakral, hal ini disebabkan banyak ditemui simbol-simbol angka lima. Sehingga Lima menjadi angka yang istimewa. Angka lima tersebut dapat dilihat dari :

  1. Teras Gunung Padang terdiri atas 5 teras, di mana teras V merupakan teras yang dianggap paling suci.
  2. Batu-batu yang menumpuk di Gunung Padang terbentuk dalam bentuk pentagon (atau lima sisi).
  3. Terdapat lima gunung yang mengelilingi Gunung Padang, yaitu : (1) Gunung Batu atau masyarakat sekitar menyebut dengan nama Pasir Domas, (2) Pasir Pogor, (3) Gunung Kendeng atau disebut juga dengan sebutan Gunung Kancana, (4) Gunung Gede, dan (5) Gunung Pangrango.
  4. Dilingkari oleh lima bukit di sebelah barat Gn Karuhun, Di sebelah timur Gn Malati, di sebelah utara Gn. Batu, dan si sebelah selatan Gn. Emped dan di sebalah utara laut Pasir Malang (antara Gn Malati dan Gn Batu).
  5. Angka lima diartikan lima unsur kehidupan yaitu : langit, tanah, air, api, dan angin
  6. Angka Lima adalah hitungan sakral manusia Sunda “opat kalima pancer”, sebuah kalimat yang paling disakralkan bagi orang Sunda.
  7. Terasering untuk menuju ke teras 2 ada lima tahapan.

Menurut beberapa penduduk setempat, kesakralan Gunung Padang ini dapat dilihat dari beberapa nama “tokoh” yang sekaligus menjadi ciri khas dari penamaan teras 1 hingga teras 5. Ciri khas yang dilatarbelakangi oleh peran mereka dalam tiap-tiap teras. Adapun penghuni dari masing-masing teras tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Teras pertama dihuni oleh Teras 1 dihuni oleh Eyang Suasana. Di tengah teras 1 ada gundukan batu yang disebut masjid, karena batu-batu yang ada di sana menggambarkan sebuah masjid dan dihuni oleh Syeh Usman.
  2. Teras kedua, dihuni oleh Eyang Tajimalela.
  3. Teras ketiga dihuni oleh Eyang Telapak,
  4. Teras keempat dihuni oleh Eyang Balungtunggal, dan
  5. Teras kelima dihuni oleh Sunan Ibu.

5. Gunung Padang sebagai Tempat Menimba Ilmu
Versi mitos Gunung Padang sebagai tempat menimba ilmu sudah sering di dengar dan dibaca. Dalam salah satu versi dikatakan bahwa batu-batu yang berbentuk seperti peralatan masa kini di antaranya meja, tempat duduk, sandaran kursi, dan lain-lain banyak dimitoskan pernah dipergunakan oleh “orang sakti”. Mitos tersebut dimunculkan terutama pada masa keislaman di mana nama atau gelar berbau Islam muncul di Situs Gunung Padang seperti Kiai Giling Pangancingan yang disematkan pada salah satu batu berbentuk meja. Nama lainnya adalah kursi Eyang Bonang, tempat duduk Eyang Suasana, sandaran batu Syeh Suhaedin (Syeh Abdul Rusman), tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.

Menurut Yondri (2014: 15) bahwa Gunung Padang menjadi salah satu tempat menimba ilmu bagi orang-orang yang hendak menginginkan kedigjayaan dan kemahiran. Dikatakan oleh Yondri bahwa ada 11 leluhur yang kerap diziarahi dengan tokoh utama adalah Eyang Rama dan Eyang ibu (Sunan Ibu) di samping Prabu Siliwangi. Bagi para peziarah yang hendak pandai mengaji maka akan menziarahi di tempat bersemayamnya Eyang Marzuki. Untuk mereka yang menginginkan mahir memainkan kendang dapat berziarah atau nyekar ke tempat bersemayam Eyang Bonang. Orang yang hendak mencari kekayaan dapat berziarah ke tempat bersemayam Eyang Kuta Dunya. Dan, untuk mereka yang ingin naik jabatan hendaklah berziarah dahulu ke tempat bersemayam Eyang Tajimalela.

Daftar Pustaka

Djunatan, Stephanus, tanpa tahun. “The mythological worldview of the contemplative site of Nagara Padang, West Java”, Indonesia. Makalah.
Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Jambatan
Yondri, Lutfi, 2014. “Punden Berundak Gunung Padang Maha Karya Nenek Moyang Dan Kandungannya Akan Nilai- Nilai Kearifan Lingkungan Di Masa Lalu Di Tatar Sunda”, Jurnal Sosioteknologi Volume 13, Nomor 1 April 2014.
Yuwono, J. Susetyo Edy, 1999. “Situs Gunungbang dalam Perspektif Transformasi”, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Sehari Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul Tahap I: Gunungbang, UGM, 12 Mei 1999

Oleh : Irvan Setiawan, Rosyadi, Nandang Rusnandar, Suwardi Alamsyah P., Lasmiyati

BACA ARTIKEL TERKAIT : Mitos Tata Ruang Gunung Padang