JARAN LUMPING KHAS CIREBON

You are currently viewing JARAN LUMPING KHAS CIREBON

JARAN LUMPING KHAS CIREBON

JARAN LUMPING KHAS CIREBON
Oleh :
Irvan Setiawan
(BPNB Jabar)

Jaran Lumping
Dok. https://4.bp.blogspot.com/

Kesenian ini oleh masyarakat Cirebon dinamakan “Jaran Lumping”, bagi masyarakat Jawa. Barat pada umumnya disebut “Kuda Lumping”. Jaran (bahasa Cirebon) berarti kuda, lumping (bahasa Cirebon) berarti kulit, yaitu kuda-kudaan yang dibuat dari kulit.
Kesenian yang sejenis dengan Jaran Lumping yang ada di daerah Kabupaten Cirebon yaitu jaran kepang atau kuda kepang. Kuda-kudaanya terbuat dari bambu yang dianyam sehingga merupakan bentuk kuda.
Pada jaman dahulu sekitar abad 16, Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah yang memerintah daerah Cirebon, selalu mengadakan hubungan dalam hal penyebaran agama Islam di daerah wilayah Cirebon khususnya dan Jawa Barat pada umumnya.
Di daerah sebelah barat keraton Pakungwati pada saat itu, berdiam seorang abdi yang bernama Ki Sasnata di kampung Danalaya Desa Tegal sari Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon sekarang. Adapun pekerjaan Ki Sasmata yakni bertani dan beternak kerbau. Di antara kerbau yang paling disayangi yaitu kerbau yang bertanduk dongkol (melengkung ke bawah).
Pada suatu malam Ki Sasmata mendapat ilham bahwa untuk mensucikan diri, ia harus bertapa di Gunung Ciremai. Dengan tekad yang bulat, pada suatu hari berangkatlah Ki Sasmata ke suatu tempat yang menurutnya cocok untuk bertapa di Gunung Ciremai. Tempat tersebut sangat sepi dan ditumbuhi oleh pepohonan besar sehingga terkesan angker. Di situlah Ki Sasmata bertapa sekarang diberi nama “panyusupan”.
Dinginnya hawa pegunungan yang menusuk kulit itu, tak mampu menggoyahkan kekhusyukan Ki Sasmata, justru ketabahan Ki Sasmata dalam bertapa itu menjadikan hawa panas bagi makhluk halus penghuni daerah sekitarnya.
Di antara makhluk halus itu ada yang bernama Bregola. Ia dan istrinya adalah raja jin atau setan dari peri prayangan. Ia sangat masgul melihat penderitaan kawulanya yang kepanasan. Sumber air menjadi tertutup, dedaunan semua layu, burung perkutut tak lagi bersuara merdu. Di samping itu sang Bregola sedang dibuat pusing oleh keadaan istrinya yang sedang hamil tua selama tiga tahun belum juga melahirkan. Pada suatu hari Bregola minta diri kepada istrinya hendak mencari apa dan siapa gerangan yang mampu membuat onar di daerah kekuasaannya.
Setelah berhari-hari Bregola mengadakan pencarian, akhirrya bertemu ia dengan Ki Sasmata yang tengah kusyu bertapa. Begitu Ki Sasmata melihat ada Bregola datang, ia segera menghentikan tapanya. Kepada Bregola Ki Sasmata menayakan maksud kedatangannya. Sang Bregola meratap dan memohon Ki Sasmata segera menghentikan tapanya agar penghuni hutan gunung Ciremai itu terlepas dari siksa dan derita. Di samping itu, Bregola pun minta petunjuk dari Ki sasmata agar istrinya dapat segera melahirkan. Ki Sasmata kemudian memberi petunjuk agar istri Bregola makan daun talas. Keberhasilan usahanya itu membuat Bregola menjadi senang. Ia Segera pulang untuk menyampaikan petunjuk dari Ki Sasmata kepada istrinya. Begitu usai makan daun talas, atas kehendak Allah SWT istri Bregola pun melahirkan. Tetapi yang keluar dari rahimnya bukanlah seorang bayi, melainkan benda-benda pusaka sebanyak 3 buah. Ketiga benda pusaka itu diberinya nama: Jimat Si Kuncung, Jimat Si Bitung, Jimat Cis.
Bregola membalas jasa Ki Sasmata dengan cara memberikan ketiga benda pusaka itu dan ditambah dengan sebuah keranjang yang berisi kunyit. Bregola memberi petunjuk bahwa keranjang kunyit itu dapat dimanfaatkaan sebagai alat kendaraan manakala Ki Sasmata akan pulang ke kampungnya. Dan memang begitulah adanya, dengan menaiki keranjang itu dengan sekejap mata Ki Sasmata sudah sampai di kampung asalnya.
Setelah Ki Sasmata usai dalam bertapa dan tiba kembali di kampung Danalaya serta mendapat julukan Buyut Danalaya. Keranjang pemberian Bregola diubah menjadi bentuk gambar kuda. Rotan pengait bagian atas keranjang dibentuk menjadi kuda-kudaan yang diberi nama Sekar Nembe. Pada bagian bawah dibuat menjadi bentuk kuda dan diberi nama “bopang” atau “bopong”.
Buyut Seda – murid Ki Sasmata – pun ikut melengkapi pula dengan membuat bentuk kuda dari kulit yang diberi nama “tremben'”, yang artinya kuda pelengkap. Adapun Kuda Lumping yang bernama Si Mendung, juga ciptaannya.
Di daerah Celancang – sebelah utara Gunung Jati – terdapat variasi gambar Kuda Lumping yang diberi nama Sembrani. Sehingga dengan demikian jumlah Kuda Lumping itu ada 5 buah yaitu:
1. Sekar Nembe
2. Bopong
3. Tremben
4. Si Mendung
5. Sembrani
Dalam komplek pemakaman Mbah buyut Sasmata yang bergelar buyut Danalaya dan Ki Tuan Candi, terdapat juga makam para muridnya, yaitu Mbah buyut Seda, Ki Tuan Kapitan (Tiong Hwa), Mbah buyut Mangemuh, dan Mbah buyut Jenggot.
Keadaan di pekuburan danalaya sekarang yang tinggal hanyalah batu nisan dan pepohonan yang besar yang menjadi saksi bisu sewakhu jasa-jasanya kampung Danalaya. Setiap tahun sekali dalam bulan Mulud tanggal 27 di kompleks pekuburan Danalaya diadakan Mauludan sebagaimana mauludan di kota Cirebon dan Trusmi. Adapun penggunaan Kuda Lumping untuk mengasuh para putra dalem yang diasingkan di parwusupan.
Biasanya pementasan Kuda Lumping disertai dengan gamelan pengiring yang disebut “renteng”, adapun riwayat gamelan rentang seperti berikut ini:
Pada suatu ketika Syekh Sinduaji Ki Gedeng Gamel memperoleh kehormatan dari Sinuhun Sunan Jati Purba diajak menghadiri hajat pernikahan di keraton Demak. Setelah sampai di sana, Ki Gedeng Gamel yang pekerjaan sehari-harinya memelihara kuda keraton, menjadi tertarik melihat seperangkat gamelan yang tengah di gelar di atas panggung dengan suaranya yang merdu mengumandang mengiringi setiap tamu yang hadir, tak terkecuali pula menyambut kehadiran tamu agung dari Cirebon. Ia berminat ingin memiliki gamelan itu, sehingga begitu hajat usai Ki Gedeng Gamel tak urung pulang meskipun Sinuhun Sunan Jati mengajaknya pulang berulang kali.
Ki Gedeng Gamel memberanikan diri menghadap sultan Demak dengan maksud hendak meminta gamelan yang diinginkannya. Sultan Demak merasa terhina karena ulah seorang hamba yang berani meminta gamelan keraton. Walaupun demikian, permohonan Ki Gedeng Gamel dikabulkan juga namun disertai dengan syarat yang cukup berat. Ki Gedeng harus sanggup memikul seluruh gamelan tersebut tanpa bantuan orang lain. Apabila gagal, ia akan dijatuhi hukuman yang cukup berat. Ki Gedeng Gamel menyanggupi persyaratan itu. Segera diambilnya setangkai batang padi dan dengan kesaktiannya semua bonang gamelan itu ditusuk dengan batang padi sehingga berlubang. Dengan demikian, gamelan tersebut mudah dipikul karena telah diikat menjadi satu. Atas dasar peristiwa itu maka gamelan tersebut dinamai “renteng”.
Pada suatu ketika seorang patih Cirebon merasa aneh, karena melihat ada Jaran Lumping, yang sedang menari begitu indah tanpa adanya waditra yang mengiringinya. Begitu pula Gamelan Renteng yang begitu merdunya, tanpa ada yang menari. Atas saran dialah renteng dan Jaran Lumping distukan sehingga merupakan paduan yang serasi dan menarik. Sejak saat itu hingga sekarang renteng menjadi pengiring kesenian Jaran Lumping.

Sumber Tulisan:
Bagian dari Laporan Pendataan Kesenian di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat, 2007