Iwan Nurdaya Djafar
(Dewan Kesenian Lampung)
Dialog Budaya Lampung yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung pada hari ini mengambil tema ‘Mengangkat Potensi Budaya Lampung.” Potensi adalah sesuatu yang belum teraktualisasikan, yang masih terpendam atau tersembunyi, dan karenanya perlu dicuatkan, perlu diangkat, untuk kemudian – dalam konteks pariwisata – perlu dijual. Yang dijual di sini, jika kita memerhatikan subtema yang ditentukan untuk narasumber dari Dewan Kesenian Lampung –- ‘kesenian tradisional sebagai ikon pariwisata Lampung’ — adalah kesenian tradisional.
Dalam kaitan ini, saya akan memahami ‘kesenian tradisional’ bukan dalam arti yang sudah ada belaka, tetapi juga yang masih potensial, sehingga terbuka untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang bisa dikembangkan dalam konteks kesenian tradisional Lampung.
Berikut ini pokok-pokok pikiran berkenaan dengan tema dan subtema di atas yang perlu saya sampaikan pada kesempatan ini dan untuk didiskusikan pada waktunya nanti.
- Masyarakat suku Lampung memiliki khazanah kesenian tradisional yang dapat dimanfaatkan sebagai ikon pariwisata Lampung. Khazanah kesenian tradisional ini terdapat pada cabang seni tari, sastra, musik, senirupa, seni kerajinan. Hal ini mesti tersedia di obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Lampung, di tempat-tempat wisata belanja, bahkan juga di hotel tempat para wisatawan menginap dan di bandara, terminal atau pelabuhan.
- Dari khazanah seni tari dapat ditampilkan Tari Sigeh Penguten (Tari Sembah) untuk penyambutan para wisatawan pada saat kedatangan mereka di Provinsi Lampung. Di samping itu dapat ditampilkan Tari Bedana yang bisa melibatkan para wisatawan untuk ikut menari. Tari-tarian lainnya juga dapat ditampilkan sebagai seni pertunjukan misalnya Tari Melinting, Tari Tuping (topeng) dan lain-lain.
- Dari khazanah seni musik dapat ditampilkan gambus lunik, cetik (kulintang pring), talo balak. Petikan gambus lunik sudah bisa ditampilkan secara lamat-lamat di lobi hotel tempat wisatawan menginap, di dalam angkutan bus pariwasata, di samping menjualnya dalam media CD/VCD/DVD atau dalam bentuk rekaman digital lainnya. Kulintang pering dan talo balak bisa ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan.
- Dari khazanah seni rupa dapat ditampilkan seni pertunjukan Topeng Sekura, kain kapal, kain tapis baik dalam bentuk pakaian maupun sebagai hiasan dinding (kaligrafi ayat kursi, kaligrafi had Lampung ka-ga-nga dan angka Lampung; dan motif-motif tapis lainnya yang jumlahnya cukup banyak), dan seni kerajinan lainnya berupa patung gajah main bola atau miniatur Menara Siger, miniatur rumah Lampung; miniatur pengantin Lampung; dan topeng. Dari bahan tenunan kain tapi sejatinya dapat dibuat bermacam cendera mata semisal dompet, tas, tas pinggang, peci, tempat tisu, sampai gantungan kunci.
- Seni batik berupa kain sebagi dapat menampilkan motif-motif tradisional Lampung seperti jung (perahu kehidupan orang Lampung), motif tepi pucuk rebung yang diilhami dari kain tapis, dan dapat terus dikembangkan dengan mengangkat motif-motif tradisional yang lain semisalh had Lampung dan angkka Lampung.
- Dari khazanah seni sastra dapat ditampilkan teater tutur puisi-puisi Lampung klasik seperti reringget, muayak, sesikun (sekiman, pepatoh), warahan (aruhan, ruwahan), memmang (mantra), wayak, gagoret (gegurit, sastra berirama jenaka), bubandung, dadi (adi-adi, segata, pantun setimbalan/pantun bersahut), tetimbai (nyanyian epik, prosa berirama), pi’saan (sindiran atau cerita kuno), cerita rakyat, pepancer (pepaccur), wawancan, hahiwang (hiring-hiring, tangis, ngehahedo), babar bunyi surat, incang-incang, dan talibun. Di samping itu menjualnya dalam media CD/VCD/DVD atau dalam bentuk rekaman digital lainnya dan tentu saja dalam bentuk media cetak (buku). Ada baiknya, puisi-puisi Lampung klasik ini diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris sehingga wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara dapat memahami dan mengapresiasinya.
- Dari khazanah seni teater dapat ditampilkan seni pertunjukan warahan yang sudah dilengkapi dengan seni peran (akting) dengan durasi yang tidak terlalu panjang misalnya 30 menit. Saya pernah menonton teater tradisional Thailand di Bangkok yang melibatkan unsur musik, tari, bahkan Thai Boxing, dan terbukti para wisatawan menyukainyanya. Bahkan di Pataya berkembang seni kabaret yang dimainkan oleh para waria, termasuk dalamnya menampilkan waria yang tampil dalam ‘dua karakter laki-laki dan perempuan; persis seperti yang diatmpilkan Hudson dalam suatu program acara Indonesia Mencari Bakat di sebuah stasiun televisi, yang bahkan mendendangkan sebuah lagu dangdut Indonesia (artinya, seni kabaret Thailand tadi bersikap akomodatif dengan menyanyikan lagu-lagu dari mana wisatawan yang menonton berasal). Hal barusan ini dapat mengilhami kita untuk mengangkat seni pertunjukan warahan sebagai konsumsi para wisatawan mancanegara.
- Selain itu khazanah kesenian di atas, dari khazanah adat juga dapat dijadikan ikon pariwisata Lampung, misalnya meminta wisatawan untuk mengenakan pakaian adat, pakaian pengantin, dan mengabadikannya dalam bentuk potret, sehingga seni fotografi dapat ikut berperan di sini. Paling tidak, sang wisatawan diminta berpotret – dan menebus potretnya tentu saja — dengan seorang muli (gadis) atau meranai (bujang) yang mengenakan pakaian adat. Hal barusan ini pernah saya alami ketika melancong di Thailand, yaitu pada obyek wisata makan malam di kapal pesiar yang menyusuri sungai Chopraya, yang membelah kota Bangkok.
Potensi kesenian tradisional Lampung di atas perlu diperkenalkan kepada para wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Mendiang Nurcholish Madjid menandaskan bahwa kita baru tiba pada tahap “pluralisme antropologis yang eksotik saja,” seperti secara simbolik mengakui dan memanfaatkan pakaian daerah yang beraneka ragam!
Oleh karena itu, kita harus menembus batas-batas pengakuan dangkal tentang adanya sekadar keanekaragaman itu, menuju kepada hubungan interaktif dalam ikatan-ikatan kewargaan masyarakat di atas landasan sikap saling percaya, saling menghargai, dan saling harap. Dapat ditambahkan, untuk itu, kita perlu saling mempelajari khazanah budaya yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa dan menerimanya sebagai kekayaan bersama.
Gagasan Nurcholish Madjid tadi pada gilirannya akan menghantarkan kita kepada gagasan dan harapan mendiang Romo Mangun Wijaya yang merindu-dambakan kita semua menjadi Manusia Pasca-Indonesia, alih-alih berhenti sebagai manusia-suku belaka. Bahkan, kita semua diharapkan menjadi manusia mondial, yang berwawasan global namun tetap bertindak lokal (think globally, act locally).
Selanjutnya, akan dibicarakan soal pengaruh pariwisata terhadap seni budaya. Dalam mempertahankan mutu seni budaya, kerjasama antara pihak pariwisata dan pihak kebudayaan paling menonjol. Dalam jalinan kerjasama itu, pihak yang berpikir secara kuantitas dan pihak yang berpikir secara kualitas dapat bertemu. Mempertahankan mutu seni budaya tidak perlu menghambat pariwisata, sebaliknya pariwisata mesti ikut menjamin kelestarian mutu itu, justru untuk kepentingan daya tarik pariwisata dan wisata budaya secara khusus.
Mengenai adanya kekhawatiran akan merosotnya nilai seni budaya sebagai akibat perkembangan pariwisata, Prof Haryati Subadio menandaskan sebagai berikut, “Warisan budaya yang non-konkret, terutama kesenian dan kerajinan, baru pada tahun 1982 mendapat perhatian dengan memberi perlindungan dengan memberikan hak cipta berdasarkan UU Hak Cipta yang baru. Meskipun non-konkret sifatnya, namun juga yang paling peka terhadap pengaruh masuk dan berkembangnya kehidupan modern dalam bentuk teknologi modern serta akibat kontak-kontak dengan dunia luar, karena teknologi dan transportasi modern. Memang dalam mengembangkan kebudayaan yang dipersoalkan adalah mutu, akan tetapi popularisasi, penyederhanaan atau penggunaan bahan murah bukan berarti perlu menurunkan mutu itu. Misalnya, pertunjukan tarian dan musik yang diperpendek belum tentu berarti harus menjadi ceroboh dan sembarangan tekniknya. Apabila pertunjukan yang diperpendek itu mutu teknis dan seninya tinggi, maka rasanya tidak akan merugikan standar kebudayaan kita. Demikian pula dengan pembuatan cendera-mata berharga murah tidak perlu berarti menjatuhkan martabat budaya bangsa. Bila pembuatannya tetap indah dan memerhatikan teknik dan penghalusan penyelesaian, maka mutu seni bisa terjamin di samping harga murah terjangkau di luar negeri.”
Bila kita kaji agak mendalam, sesungguhnya kegiatan kepariwisataan tidak harus merugikan perkembangan seni budaya dan seni tradisional pada umumnya. Dengan pengelolaan yang baik dan terarah, ia bisa menguntungkan seni budaya dan seni tradisional itu sendiri. Karena itu dalam pengelolaan kegiatan kepariwisataan itu dianggap perlu keikutsertaan orang-orang yang banyak tahu tentang seni budaya dan seni tradisional itu. Hal ini perlu mendapat perhatian orang-orang yang bergerak dalam industri pariwisata yang kadang jalan sendiri tanpa memerhatikan diperlukannya sentuhan tangan para seniman yang nyatanya masih banyak mengharapkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Industri pariwisata yang ada hendaknya jangan hanya sampai “sekadar menjual saja.” Kepada mereka juga diharapkan suatu kesadaran untuk dapat memelihara bagaimana penyajian suatu atraksi kesenian yang pantas dipertunjukkan. Sangat ideal sekali kalau pertunjukan itu disenangi para wisatawan, tetapi penyajiannya tetap dalam norma-norma yang hidup dalam kebiasaan pada masyarakat yang tradisional. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menangani seni budaya dan kepariwisataan jangan sekali main coba-coba dan ditangani oleh mereka yang masih amatir. Inilah yang selama ini banyak terjadi.
Intinya adalah, nilai-nilai yang tinggi di dalam kebudayaan tradisional maupun daerah harus dipegang, kemudian disesuaikan, dibina dan dikembangkan untuk menunjang pengembangan kebudayaan Indonesia yang kita cita-citakan. Harus disadari bahwa setiap bentuk seni tradisional yang tinggi mutunya di suatu daerah, bukan hanya menjadi warisan daerah atau suku yang bersangkutan, melainkan menjadi warisan seluruh bangsa Indonesia.
Kekhawatiran akan adanya pengaruh negatif terhadap seni budaya sebagai akibat arus wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia, tidak akan mematikan seni budaya tradisional itu sendiri. Walau ada usaha-usaha yang sifatnya komersial, seni budaya ini akan tetap selalu hidup berdasarkan sumber aslinya dari peninggalan warisan leluhur yang telah dipelihara secara turun-temurun.
Demikian beberapa pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini. Kiranya dapat diperbincangkan lebih jauh dalam diskusi nanti. Terima kasih atas perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.[]
Sumber: Makalah Dialog Budaya Lampung, yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung di Gedung Olah Seni Taman Budaya Provinsi Lampung, 2011