WULLA PODDU

0
3251

Upacara poddu di beberapa suku di Sumba dilakukan hampir bersamaan yakni pembukaan pada bulan Oktober dan puncak pada bulan Nopember (1 bulan) Tidak ada tanggal pasti menurut penanggalan modern, orang berkeyakinan marapu mempunyai tanggal dan perhitungan sendiri berdasarkan bulan gelap. Biasanya, perhitungan tanggal adalah sebagai berikut : 7 malam setelah bulan purnama dihitung sebagai pembukaan dan bulan berikutnya dihitung lagi seperti di atas dan ditetapkan sebagai hari puncak perayaan poddu. Selama upacara Poddu berlangsung setiap anggota suku tidak diperkenankan untuk pesta, membunyikan musik berupa gong atau tambur, hidup ugahari, tidak boleh kerja yang berat seperti membangun rumah dan sebagainya. Suasana kampung harus dijaga agar selalu dalam keadaan hening. Bila ada anggota keluarga meninggal pada masa ini langsung dikuburkan tanpa upacara pemotongan hewan dan lain-lain. Upacara ditunda sampa masa Poddu berakhir. Semua larangan ini bertujuan untuk menolong setiap anggota suku merefleksikan dan menata hidupnya, atau dengan kata lain untuk meningkatkan semangat tobat dalam diri setiap anggota suku.

Upacara Poddu kendati dijalankan di beberapa tempat atau suku, namun di setiap suku mempunyai upacara ritual yang khas yang membedakannya dari suku yang lain. Sebagai contoh pada tanggal 26 Nopember 2008 dan 16 Nopember 2009 lalu saya menghadiri upacara penutupan Poddu di kampung adat Umbu Koba, suku Ende Sumba Barat Daya. Kampung Umbu Koba terhitung sebagai salah satu kampung yang sangat ketat menjalankan upacara ritualnya. Contoh anggota suku yang pergi berburu mesti berpakaian cawat yang terbuat dari kulit kayu. Berburu merupakan salah satu upacara ritual penting yang mesti dilakukan. Hasil buruan dipersembahkan kepada arwah leluhur. Menarik sekali ketika kami tanyakan kenapa mesti pakai cawat ? Meniru Esau di dalam kitab sucinya orang Kristen. Ketika Esau berburu untuk ayahnya (Iskak) ia mengenakan cawat dari kulit kayu. Berburu merupakan bentuk pengabdian dan hormat pada arwah leluhur. Jawaban ini sangat mencengangkan karena yang memberi jawaban bukan orang Kristen tapi Imam Marapu.

Upacara ritual berikut ialah “pengakuan dosa kolektif”. Imam Marapu meletakkan wadah berupa tempurung kelapa yang berisi abu dapur. Setiap orang yang telah melakukan kesalahan selama satu musim poddu yang lalu (biasanya 1 tahun) sekarang ini datang mencelupkan tangannya dalam abu dapur sebagai tanda salah dan mohon pengampunan dari arwah leluhur. Manusia juga berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu tanah juga. Demikian keterangan Imam Marapu ketika kami tanyakan mengapa menggunakan abu dapur. Selanjutnya Imam Marapu memerciki para anggota suku dengan “air berkat” yang telah dikeramatkan dengan doa-doa dari ketua Imam Marapu, kemudian menyusul pemberian makan kepada arwah leluhur.

Akhir dan sekaligus puncak dari upacara poddu ialah makan bersama. Tamu undangan diberi makan dengan lauk 1 ekor ayam. Sebelum ayam disembelih, Imam Marapu “berdoa” untuk anggota suku dan tamu undangan. Hati dan usus ayam “dibaca” atau diramal oleh Imam Marapu apakah mendatangkan berkah atau tidak. Bila hasil “membaca” tidak baik, perlu refleksi untuk menyesali dosa-dosa masa lampau dan membangun niat masa depan. Imam Marapu meyakinkan anggotanya dan tamu undangan untuk tidak usah khawatir. Marapu atau arwah leluhur akan mengampuni asal ada pertobatan sungguh yang ditujukan lewat perilaku hidup baik. Makan bersama ungkapan syukur dan suka cita karena poddu telah berlalu dan boleh berharap bahwa masa depan akan cerah dalam lindungan arwah para leluhur. (Marapu).

Sangat mencengangkan bahwa orang sederhana dan tak pernah mengenyam pendidikan formal begitu tulus dan murni membangun hidup bersama dengan sesama dan alam sekitar. Dengan sesama diperlihatkan dengan posisi rumah berhadap-hadapan dengan maksud untuk saling melihat (bukan memata-matai) apa kesulitan yang dialami oleh tetangga. Hal ini nyata dalam pesta adat poddu, mereka tunjukkan bahwa makanan yang disiapkan oleh masing-masing kepala keluarga sudah dipastikan mendapat bagian, barulah makan bersama dimulai.

Praktek saling memperhatikan dan peduli akan yang lain tidak hanya sebatas pada upacara poddu saja tapi sudah menjadi semangat yang hidup dalam kampung Umbu Koba. Lewat kerjasama dan tolong menolong mereka menunjukkan solidaritas dengan sesama yang kekurangan. Pekerjaan membangun rumah adat merupakan salah satu contoh bagaimana membangun dan memupuk kerjasama antar mereka. Setiap orang yang mampu bekerja baik pria maupun wanita bahu membahu bekerja dan menyumbang bagi keperluan penyelesaian pembangunan rumah tersebut. Tidaka da tempat bagi orang egois, juga tidak ada tempat bagi orang yang berjuang atau bekerja sendiri (single fighter). Hormat kepada alam mengagumkan pula, mereka yang masuk hutan mesti minta ijin dulu pada “pemilik” hutan, untuk apa ia masuk dan mencari apa. Bila menebang pohon, ia mesti minta ijin pada pohon itu untuk apa pohon itu ditebang. Jadi tidak ada keserakahan membabat hutan. Hormat kepada ekosistem dan kelangsungannya begitu dijunjung tinggi. Kita mesti berguru dan belajar dari penduduk Umbu Koba bagaimana membangun solidaritas antar sesama dan bagaimana menghormati dan menjaga kelestarian alam lingkungan kita.

Selama berada di kampung suku Umbu Koba, dan khususnya upacara poddu yang mereka lakukan cukup kental dengan nuansa tradisi Kristiani. Seperti para pemburu mesti bercawat kulit kayu seperti Esau dalam kitab suci Perjanjian Lama, hormat dan bakti pada orang tua (perintah 4) “pengakuan dosa kolektif” dengan mencelupkan tangan ke dalam bejana yang berisi abu dapur mengingatkan kita akan upacara Rabu-Abu dari Liturgy Katolik, makan bersama sebagai puncak syukur upacara poddu mengingatkan kita akan Ekaristi sebagai pusat dan Puncak Iman kita. Pertanyaannya ialah darimana tradisi ritual yang bernuansa Kristiani ini hidup dan berkembang di suku Umbu Koba yang dari turun temurun adalah penganut agama Marapu ? Untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan perlu ada penelitian lebih lanjut. Jawaban sementara dan umum dapat diberikan di sini bahwa pasti ada sentuhan tradisi Kristiani pada suku ini khususnya dalam pelaksanaan upacara ritualnya. Kapan dan oleh siapa ? Penduduk kampung sendiri tidak tahu.