Timbulnya Gambelan Gambang di Banjar Sembuwuk Desa Pejeng Kaja ini sudah ada sejak dahulu, yang merupakan warisan leluhurnya (tetamian). Pada jaman kerajaan Tabanan, salah seorang dari keluarga “Arya Simpangan” (sekaa gambang sekarang) tinggal di kerajaan Tabanan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan, maka kerajaan Tabanan dibagi menjadi dua. Atas petunjuk Dalem Watu Renggong (Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating adik Gusti Ngurah Tabanan diberi tugas oleh Dalem untuk membuat Gambelan Gambang yang gending-gendinya diambil dari lontar pemberian “wong gamang” (orang halus).
Gambelan ini oleh petunjuk Dalem dipergunakan sebagai sarana perlengkapan di dalam upacara Ngaben (Pitra Yadnya). Maka sejak saat itu atau petunjuk I Gusti Ngurah Klating, mulailah orang-orang mempergunakan Gambelan Gambang didalam pelaksanaan upacara Ngaben.
Salah seorang keluarga Arya Simpangan, merasa tertarik untuk ikut membuat Gambelan Gambang tersebut, kemudian pulang ke Sembuwuk memberitahukan keluarganya tentang adanya gembelan tersebut dan sepakat untuk membuatnya.
Maka sejak saat itu mulailah di Banjar Sembuwuk ada gambelan Gambang yang pada mulanya hanya dipergunakan untuk upacara Ngaben (Rundah, wawancara, tanggal 5-11-1986, dalam Saptanaya, I Nyoman, 1986:13).
Keterangan ini diperkuat oleh Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, yang menyimpan sebuah lontar tentang sejarah gambelan Gambang. Cokorda Agung Suyasa menerangkan sebagai berikut: Disebutkan pada jaman kerajaan Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) di Tabanan ada sebuah kerajaan. Pada waktu itu raja mempunyai dua orang putra yaitu I Gusti Ngurah Tabanan dan adiknya I Gusti Ngurah Klating. Karena beliau sudah tua, maka kedudukan beliau diberikan kepada putranya yang pertama yaitu I Gusti Ngurah Tabanan. Oleh adiknya I Gusti Ngurah Klating hal itu tidak mau diterima, karena beliau juga menginginkan kedudukan tersebut. Maka terjadilah perang antara kakak dan adik dalam memperebutkan kedudukan sebagai raja. Kejadian itu lalu didengar oleh Dalem Watu Renggong, dan Gusti Ngurah Klating dipanggil untuk diminta keterangannya. Dalam keterangan itu Gusti Ngurah Klating mengakui bahwa dirinya memang menginginkan kedudukan itu, sehingga terjadilah perang.
Oleh Dalem permintaan Gusti Ngurah Klating bisa dipenuhi, dengan syarat Gusti Ngurah Klating harus menyelesaikan dulu tugas yang akan diberikan kepadanya. Kemudian Gusti Ngurah Klating diberi tugas oleh Dalem untuk mencari lontar milik wong gamang, yaitu lontar “tanpa sastra“ (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Kalau tidak berhasil maka Gusti Ngurah Klating akan dikenakan hukuman mati, dan seandainya berhasil nantinya akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem berkeyakinan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi, karena hal itu hanya merupakan hukuman saja.
Dengan perasaan ragu-ragu Gusti Ngurah Klating berangkat mememnuhi permintaan Dalem. Gusti Ngurah Klating juga berkeyakinan bahwa hal itu tidak mungkin untuk dipenuhi. Segala tempat yang keramat dikunjunginya, tetapi dari sekian tempat yang sudah dikunjungi satupun tidak ada menunjukan tanda bahwa itu ada lontar yang dimaksud oleh Dalem.
Pada hari terakhir (hari ketujuh) siang hari saat matahari dengan teriknya memancarkan sinar, Gusti Ngurah Klating merasa kepanasan, sehingga timbul niatnya untuk mencoba berteduh yang kebetulah pada waktu itu menjumpaui pohon kepuh yang sangat besar terletak disebuah kuburan. Kemudian sambil merebahkan diri, Gusti Ngurah Klating mencoba untuk tidur. Pada saat itu entah dari mana datanglah burung gagak yang jumlahnya sangat banyak mengitari pohon kepuh tersebut sambil mengibas-ngibaskan sayapnya. Gusti Ngurah Klating kemudian terbangun dan melihat burung gagak yang sangat banyak itu. Dari kerumunan burung gagak itu kemudian jatuh sebuah lontar tepat dihadapan Gusti Ngurah Klating. Lontar tersebut lalu diambil dan setelah digenggam, kembali Gusti Ngurah Klating mencari-cari dimana burung gagak tersebut berada, tetapi ternyata sudah hilang.
Dengan didapatnya lontar tersebut, Gusti Ngurah Klating kembali ke Gelgel untuk menghadap Dalem tanpa memeriksa apa isinya. Di Gelgel Dalem menyambut kedatangan Gusti Ngurah Klating dengan dugaan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi. Gusti Ngurah Klating menghadap dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, serta menghaturkan lontar yang telah didapatnya.
Dalem kemudian memeriksa isi lontar tersebut, dan betapa terkejutnya karena lontar lontar tersebutlah yang sebenarnya diminta oleh Dalem. Karena janjinya untuk menobatkan Gusti Ngurah Klating sebagai raja, maka kerajaan kaka Gusti Ngurah Klating (I Gusti Ngurah Tabanan) lalu dibagi menjadi dua. Sebelum dinobatkan menjadi raja, Gusti Ngurah Klating disuruh oleh Dalem untuk membuat seperangkat gambelsn yang gending-gendinya diambil dari lontar tersebut.
Karena gending-gending tersebut diambil dari lontar milik wong gamang, maka barungan gambelan tersebut oleh Dalem diberi nama gambelan gambang yang dipergunakan untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum dimainkan gambelan tersebut diberikan sesajen dengan tujuan untuk dihaturkan kepada wong gamang agar tidak menggagu jalannya upacara. Maka sejak saat itulah di Bali berkembang Gambelan Gambang yang dipergunakan sebagai sarana pelengkap di dalam melakukan upacara atau yadnya.
Sumber : BPNB Bali, NTB, NTT Warisan Budaya Tak Benda Provinsi Bali Tahun 2010