Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai ritus Pasola yang sangat karakteristik dengan muatan sejarah yang sudah mentradisi. Pasola pertama digelar di Kodi kemudian di Wanokaka, Gaura dan Lamboya. Gelar pasola di daerah-daerah itu berbeda namun tetap dalam kurun waktu Pebruari dan Maret setiap tahun. Penanggalannya ditentukan oleh rato (tokoh adat yang berwenang).
Menyebut Pasola bagi masyarakat Kodi tidak bisa dilepaskan dari kisah kembara purba tiga bersaudara Ngongu Toumatutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla dari kampung Waiwuang (sebuah perkampungan adat di Wanokaka). Kisah yang kemudian melahirkan tokoh sentral Rabu Kaba. Dara purba inilah yang kemudian merangkaikan jalinan kawin mawin Waiwuang (Wanukaka) dengan Tossi (Kodi) dimana memeteraikan ritus, “Nyale dan Pasola” yang digelar mentradisi hingga kini.
Pasola adalah upacara ritual Marapu yang diselenggarakan oleh orang Sumba bagian barat untuk merayakan musim tanam padi. Pasola merupakan bentuk ritual untuk menghormati Marapu, mohon pengampunan, kemakmuran dan untuk hasil panen yang melimpah. Upacara ini biasanya diselenggarakan dalam bulan Pebruari di daerah Lamboya dan Kodi, dan pada bulan Maret di daerah Gaura dan Wanukaka. Perayaan puncak mulai 6 (enam) sampai 8 (delapan) hari setelah bulan purnama. Saat itu pantai bagian selatan menjadi tempat munculnya milyaran cacing nyale yang kecil-kecil. Pemandangan seperti ini menjadi tanda musim pasola dimulai.
Selain Pasola, para “prajurit” duduk di atas punggung kuda sambil melemparkan lembing kayu kepada penunggang kuda yang lainnya. Yang menjadi lawan dalam pasola ialah dari suku lain. Para penunggang kuda adalah mereka yang mempunyai ketangkasan menunggang kuda dan melempar lembing. Menurut kepercayaan para leluhur, darah yang tumpah akan menyuburkan tanah dan menghasilkan panen yang melimpah. Semakin banyak darah yang tumpah, maka panen akan lebih baik. Para penganut kepercayaan marapu yakin bahwa setiap tetes darah yang ditumpahkan (korban binatang atau terluka bahkan mati di lapangan pasola) dianggap sebagai tanda kemakmuran yang akan datang. Pada akhirnya darah yang tertumpah dan kekerasan pasola, harmoni dengan alam dan ciptaan dapat diperbaharui di dalam masyarakat Sumba. Dengan demikian mereka hidup dengan bahagia, sejahtera dan sama-sama senang dan puas.