Salah satu kesenian yang sudah menjadi kebanggaan tidak hanya Indonesia namun juga dunia yaitu Cak atau Kecak. Di mata masyarakat luas, Kecak itu tari kera. Di barat disebut sebagi monkey dance. Istilah ini muncul tatkala dalam pementasan Cak sering diangkat cerita Ramayana. Kedua istilah ini sebetulnya kurang tepat, karena esensi dari Tari Cak sendiri bukan tarian kera tetapi lebih kepada orchestra bunyi atau apabila di Bali disebut dengan gamelan suara. Walaupun ceritanya bukan Ramayana, asalkan masih menampilkan orchestra bunyi itu tetap disebut dengan Kecak.

Hal yang paling unik dari Cak atau Kecak ini adalah adanya pukulan-pukulan suara yang ritmenya berbeda-beda dan diletakkan berlapis-lapis. Sebagai sebuah kesenian yang merupakan produksi kolektif, sejak awal memang Cak ini ditujukan agar dapat menampung partisipasi dari warga masyarakat. Sehingga dalam Kecak ada bagian-bagian yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak terlalu bagus rasa ritmenya atau yang bagus sekalipun dalam menyanyinya. Semuanya diberikan ruang. Inilah salah satu ciri khas dari Kecak sebagai sebuah kesenian masyarakat.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman I Wayan Dibia sebagai salah satu seniman Tari Cak, sesungguhnya Cak sendiri bisa ditampilkan dengan baik hanya dengan 11 orang penampil. Tidak perlu 50, 100 bahkan hingga 1000 karena sesungguhnya pukulan-pukulan pokok dalam Cak hanya memerlukan 11 orang. Secara lebih lengkap memahami lebih jauh soal Tari Cak dapat mengakses kanal youtube BPNB Bali.

Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali beberapa waktu lalu (8/5/20) telah menyelenggarakan pertunjukan daring Tari Cak bersama I Wayan Dibia. Bagi Sahabat Budaya yang belum sempat menyaksikan, dapat langsung mengunjungi link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=E8syaL82AkQ. (WN)