Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan merupakan salah satu program tahunan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sejarah perjuangan bangsa yang melandasi kemerdekaan dengan menanamkan nilai-nilai kepahlawan kepada para generasi muda sebagai penerus bangsa untuk dapat dipahami dan diaktualisasikan sehingga mampu memperkuat jati diri dan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kegiatan sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan dilangsungkan pada hari Sabtu (18/11/2017) kemarin, bertempat di Taman Pujaan Bangsa Margarana, Tabanan. Dengan mengambil tema “Melalui Semangat Jiwa Kepahlawanan Kita Perkuat Jati Diri dan Karakter Bangsa”, kegiatan ini dihadiri oleh 75 orang peserta yang terdiri dari Veteran, Tokoh Masyarakat, Guru, siswa SMAN 1 Mengwi, SMKN 2 Tabanan, SMAN 1 Kediri dan SMAN 1 Marga.
Acara Sosialisasi Nilai-nilai kepahlawanan menghadirkan narasumber serta moderator sebagai berikut;
No | Narasumber | Makalah |
1 | Drs.I Wayan Tagel Eddy, M.S
(Dosen Sejaran, Fakultas Ilmu Budaya, UNUD) |
Reaktualisasi Nilai Kepahlawanan dalam Rangka Memperkokoh Jati Diri dan Karakter Bangsa |
2 | I Wayan Suca Sumadi, SH
(BPNB Bali) |
Puputan, Jiwa Kepahlawanan dan Karakter Bangsa |
Moderator: Nuryahman, S.S (Peneliti, BPNB Bali) |
Dalam paparannya I Wayan Suca Sumadi, SH menyampaikan bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami krisis jati diri dan degradasi karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dilihat dari pergolakan yang terjadi baik di bidang sosial maupun politik. Ditengah pesatnya kemajuan teknologi, Bangsa ini malah mengalami keterpurukan dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat Indonesia terutama generasi muda seperti sedang bingung dengan karakternya, untuk itu nilai-nilai kepahlawanan dalam perjuangan kemerderkaan perlu digali, dikumandangkan dan terus disosialisasikan agar bisa dimengerti, dipahamai oleh generasi muda yang tidak mengalami pahit getir perjuangan bangsa sebelumnya. Usaha itu tentu perlu mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat agar bangsa ini tidak terlalu lama menemukan yang menjadi cita-cita perjuangan bangsa sebelumnya.
Selanjutnya Drs.I Wayan Tagel Eddy, M.S juga menyampaikan, pada era globalisasi ini, arti “pahlawan” telah bergeser. Anak-anak telah memiliki “pahlawan-pahlawan” baru dalam kehidupannya. Ironisnya, pahlawan masa lalu yang merebut dan membela kemerdekaan dengan bambu runcingnya telah tergantikan oleh pahlawan-pahlawan yang mereka kenal lewat media cetak dan elektronik dengan mudah dapat didengar dan dilihat dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai contoh, Saras, Superman, Power Rangers, Peterpan, Scoby Doo, Naruto, Avatar hingga Sponge Bob. Pahlawan-pahlawan tersebut cukup berperan penting sebagai idola pada perkembangan generasi muda sekarang. Begitu memuja-muja idolanya sampai-sampai mereka kehilangan jati diri, karena mengejar identifikasi ingin menjadi seperti para idolanya. Padahal idola-idola tersebut belum tentu bersikap dan berperilaku positif yang dapat dijadikan acuan bagi pengembangan kepribadian generasi muda kita. Ini menunjukkan bahwa generasi muda telah mengalami krisis idola. Jika kecenderungan semacam ini dibiarkaan berkembang terus dikhawatirkan akan terjadi pergeseran terhadap makna kepahlawanan. Bagi bangsa yang sedang berkembang, di pundak generasi mudalah kita meletakkan harapan. Sebagai orang dewasa, apapun profesi dan dimanapun berada, seyogyanya bisa menjadi orang tua bagi generasi muda kita yang dalam kemudaannya membutuhkan sosok idola. Sosok idola yang terbaik dalam rangka memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa adalah para pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara, yang bisa memberi teladan serta pantas untuk ditiru. Citra kepahlawanan yang seharusnya banyak diangkat oleh media, terutama di Indonesia, selama ini lebih sibuk dengan berbagai tayangan kriminologi dan mistik. Nilai kepahlawanan seperti rela berkorban, punya prinsip, dan harga diri dalam sosok jelata kerap terlupakan. Pendekatan jurnalisme sastra dapat menjadi alternatif menangkap keindahan dan misteri yang yang kerap terluputkan itu.
Para peserta tampak antusias mengikuti rangkain acara, hal ini terlihat dari peran aktif peserta dalam mengajukan pertanyaan serta pendapatnya. (WN)
Kontributor: Ni Made Ana Kurnia