Ayunan jantra adalah salah satu istilah untuk sebuah permainan tradisional yang ada di Provinsi Bali. Ayunan jantra oleh masyarakat Bali sering pula disebut ayunan betara. Penyelenggaraan permainan ayunan jantra bertepatan dengan pelaksanaan upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat sebagai rangkaian pelaksanaan upacara piodalan di Pura Desa Pancering Jagat di Desa Terunyan.
Ayunan jantra oleh masyarakat Terunyan berbentuk tapak dara (swastika). Ayunan jantra yang terdapat di Pura Pancering Jagat Desa Terunyan bahannya terbuat dari dua jenis kayu yaitu kayu kesuna dan kayu owa, dapat dikatakan menjadi artefak dalam upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat yang pelaksanaannya biasa dilakukan dua tahun sekali.
Dalam filosofi masyarakat Terunyan, kehidupan manusia diibaratkan sebagai sebuah perputaran roda kehidupan yang disimbolkan dengan ayunan jantra. Ayunan ini mirip dengan simbol swastika, bisa diputar ke arah kanan dan ke arah kiri, sebagai simbol keseimbangan dalam hidup. Hal inilah yang dijadikan pedoman untuk melihat keadaan kehidupan masyarakat Terunyan. Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakatnya dapat dilihat tidak ada warga desa yang kaya sekali atau miskin sekali.
Dalam kehidupan masyarakat Terunyan dikenal istilah Sibak Luh dan Sibak Muani. Istilah ini merupakan pembagian kelompok masyarakat di Desa Terunyan yang terdiri dari Sibak Kaje (Sibak Luh) dan Sibak Kelod (Sibak Muani). Untuk membuat ayunan jantra, maka karma Sibak Luh dan Sibak Muani harus bekerja secara bersama-sama, mulai dari mencari kayu kesuna dan kayu owa. Kayu kesuna akan dicari di hutan sekitar Terunyan oleh warga Sibak Luh dan kayu owa akan dicari oleh Sibak Muani. Setelah kayu ini ditemukan kemudian dibuat persiapan untuk membuat canggah (tiang penopang). Apabila canggah dari kayu kesuna sudah selesai dibuat dan canggah satu lagi dari kayu owa juga sudah selesai disiapkan, maka tahap berikutnya adalah mendirikan tiang ayunan.
Tiang ayunan dari kayu kesuna akan ditancapkan oleh warga Sibak Luh di sebelah timur (kaja/utara di Terunyan) dan tiang kayu dari owa akan ditancapkan di sebelah barat (kelod/selatan Terunyan). Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan tempat duduk ayunan yang jumlahnya empat buah. Setelah selesai ayunan ini, maka warga yang naik juga harus dari krama Sibak Luh dan Sibak Muani secara bergantian.
Sebelum melakukan acara inti dari permainan ayunan jantra, diawali dengan upacara Mantening Ayunan. Upacara ini merupakan upacara untuk memberi sajian kepada ayunan jantra. Upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari, karena pada pagi dan siang harinya dipergunakan untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan sajian. Seperti menyembelih seekor babi besar, mengukir janur, daun kelapa muda, daun lontar dan daun aren.
Permainan ini diamanatkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Terunyan khususnya. Secara filosofis, permainan ayunan jantra ini memiliki makna sebagai perputaran kehidupan di dunia ini, dikaitkan dengan roda perputaran nasib, karma, perjalanan hidup mengabdi atau menjalankan kewajiban (swadharma) ketika masuk menjadi karma (warga). Roda perputaran kehidupan di dunia ini dikaitkan dengan filosofi kelahiran utpeti, kehidupan stiti, kematian praline dan reinkarnasi (numitis/numadi), yaitu lahir kembali ke dunia ini apakah sebagai manusia, binatang/hewan, serangga dan lain-lain sesuai dengan baik atau buruknya perbuatan seseorang (cubha acubha karma) ketika mereka hidup di dunia sebelumnya. (WN)