Desa Lailara Kecamatan Kahali (katala hamu lingu) terletak jauh dari hingar bingar perkotaan tetapi menyimpan berbagai cerita/sejarah tentang makna setiap aktivitas keseharian kelompok masyarakatnya. Untuk mengenang sejarah panjang perjalanan leluhur hingga tiba dipulau sumba melalui haharu malai kataka lindi watu, masyarakat Desa Lailara mengekspresikannya melalui ritual, yang dilakukan bertepatan dengan tahun baru menurut penanggalan masyarakat sumba pada setiap bulan maret. Hasil panen terbaik sebelumnya dipersembahkan kepada para leluhur, sambil memohon berkat untuk tahun yang baru. Prediksi masa depan dan pesan leluhur tersirat dalam simbol-simbol pada kain kuno sebagai media terawang, hingga pada puncaknya Renja Pai menjadi pamungkas ritual yang masyarakat menyebutnya sebagai Repit.
Ritual Repit diikuti oleh 18 suku/kabissu. Dalam upacara ini masing-masing suku membawa hasil panenannya untuk dipersembahkan kepada leluhur. Demi kelancaran ritual ini, adapun persiapan-persiapan yang dilakukan diantaranya ayam, babi sedang, padi yang ditempatkan dalam sebauah bakul kecil yang selanjutnya dijemur di atas kuburan. Rangkaian persiapan ini hanya boleh dilakukan oleh seorang Rato (dianggap sebagai penjelmaan leluhur) termasuk menumbuk, membersihkan dan memasak padi untuk konsumsi bersama.
Perlu juga diketahui bahwa dengan persedian makanan yang terbatas ini, dapat memenuhi kebutuhan makan untuk setiap masyarakat yang hadir. Pemberian makanan inipun dilakukan dengan memperhatikan kedudukan atau strata sosial seseorang dalam suku/kabissu, dimana para tokoh adat mendapat bagiannya terdahulu, sisanya baru dapat dibagikan serta direbut oleh suku-suku yang ada. Masyarakat setempat meyakini tindakan ini akan membawa berkah bagi perkembangbiakan hewan dan lain-lain yang bersifat membangun. Selain itu juga terdapat pantangan yang tidak boleh dilakukan yakni tidak boleh ada cahaya dalam bentuk apapun, bagi pengunjung yang ingin mengambil gambar, harus seijin Rato. (WN)