Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tahun 1755, maka Sultan Hamengku Buwana I untuk sementara tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang sambil menunggu pembangunan keraton selesai. Tampaknya penyiapan lahan bukan untuk keraton saja, tetapi juga untuk komponen-komponen kota lainnya. Menurut sumber-sumber literer, semuanya itu, termasuk keraton, dibangun secara bertahap, misalnya: Prabayeksa dan Sitinggil Ler dibangun pada tahun 1769 M, Gedhong Pulo Arga di Tamansari tahun 1770 M, dan Masjid Agung didirikan tahun 1773 M, Pembangunan fisik Kota Yogyakarta dan keraton berlangsung secara berkesinambungan, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921 – 1939).
Pada waktu itu, tata fisik kota Kesultanan Yogyakarta, terutama civic centernya, sudah mencapai bentuknya yang utuh. Di dalam lingkup tersebut tercakup komponen utama kota dan tata ruangnya yang berorientasi ke utara serta mengambil tempat di antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo di barat. Komponen utama kota adalah keraton dengan cepurinya, Alun-alun Ler dan Kidul, masjid Agung, benteng dengan jagangnya, pasar Beringharjo, Tamansari, Tugu (Pal Putih), Panggung Krapyak, jaringan jalan, dan pemukiman penduduk yang tercermin dari berbagai toponim termasuk keberadaan dalem-dalem. Heterogenitas penduduk Kota Yogyakarta dari sisi profesi, lapisan sosial, serta etnisitas tampak dari toponim-toponim yang ada, misalnya: Gerjen (= tempat para gerji yakni penjahit), Siliran (= tempat abdi dalem petugas lampu), Gamelan (= tempat abdi dalem pemelihara kuda), Mangkubumen (=kediaman Pangeran Mangkubumi), Pugeran (=kediaman Pangeran Puger), Pecinan (=tempat komunitas Cina), Sayidan (=tempat komunitas Arab).
Mantapnya VOC sebagai penguasa di Yogyakarta tampak dari keberhasilan mereka “menyisipkan” ke civic center bangunan-bangunan yang mencerminkan kekuasaan, yaitu: kediaman dan kantor residen, serta Benteng Vredeburg. Selain itu ada pula bangunan-bangunan lain, di antaranya: rumah-rumah tinggal, tempat peribadatan, serta societeit, yang semula dikhususkan bagi warga Belanda. Seiring dengan makin berkembangnya aktivitas dan jumlah warga Belanda di Yogyakarta, maka kebutuhan pemukiman bagi mereka juga berkembang. Oleh karena itu, kemudian muncul pemukiman Belanda di Bintaran, Nieuwe Wijk (Kotabaru), Terban Taman (Cik di Tiro), Jetis, dan sebagainya.
Sementara itu, pada awal abad XIX, terbentuklah Kadipaten Paku Alaman yang pusat pemerintahannya berada di timur Sungai Code. Komponen civic centernya mirip dengan yang di kesultanan, hanya skalanya lebih kecil, dan orientasinya ke selatan. Komponen tersebut adalah: Pura Paku Alaman dengan cepurinya, Alun-alun Sewandanan, masjid Paku Alaman, pasar, jaringan jalan, dan pemukiman penduduk beserta dalem-dalemnya pula.